2
“Kenapa datang sepagi ini, Paman?”
Puspita pura-pura tidak tahu, di saat dia sepenuhnya memahami apa maksud kedatangan pamannya ke sini. Gadis itu bahkan sempat ragu untuk membuka pintu tadi.
Namun, ia tidak punya pilihan lain. Sekalipun ia perlu Soraya dan janjinya, nyatanya Puspita harus menghadapi ini sendirian karena Pram tidak mengizinkan ia menemui kakak madunya itu.
“Pita ….” Pria yang tengah menghisap rokok itu langsung membuangnya saat melihat Puspita datang. Senyum menjijikan langsung terukir di bibir hitamnya sementara ia duduk di kursi yang tersedia di teras. Satu kakinya ditumpangkan di atas kaki lainnya.. “Sudahlah, jangan pura-pura, kamu pasti tahu kenapa Paman datang.”
Puspita menelan ludah.
Sementara itu, sepeninggal Puspita, Pramuda lanjut bersiap-siap. Pria itu mengenakan pakaiannya, lalu setelah rapi, Pram melangkahkan kaki ke kamar Soraya, satu-satunya wanita yang ia akui sebagai istrinya, untuk melihat wajah Soraya sebelum Pram berangkat kerja.
Namun, tanpa diduga, Soraya justru turut menghampirinya.
“Soraya–Sayang, apa yang kamu lakukan di sini?” Wajah Pram sontak tampak khawatir. Pria itu berjongkok agar sejajar dengan Soraya yang duduk di kursi roda. “Ayo kuantar kembali–”
“Mas tahu kalau Puspita sedang menemui pamannya?”
Pram mengernyit. “Mbok tadi bilang,” jelasnya singkat. “Dia tidak ada urusannya denganmu. Ayo, kuantar kembali ke kamar.”
“Mas,” bisik Soraya dengan bibir bergetar. Kedua tangannya tiba-tiba tertangkup di depann dada. “Mas, tolong Puspita. Dia akan dibawa pulang oleh pamannya. Aku tidak mau …. Dia harus tetap di sini, Mas.”
Pram menghela napas. Dengan lembut ia menyentuh tangan Soraya yang tertangkup dan menurunkannya ke pangkuan wanita itu.
“Itu keputusannya. Jika memang ia ingin pergi, biarkan saja.” Pramudya berucap.
“Mas, dia juga istrimu–”
“Soraya, aku mau kamu memikirkan dirimu dulu, jangan orang lain,” ujar Pram dengan lembut, tapi tegas. Pria itu menghela napas. “Aku sudah menikahinya seperti maumu, tapi jika dia memang ingin pergi, aku tidak akan menahannya.”
Sepasang mata Soraya sudah berkaca-kaca. “Jika Mas Pram melepaskan Puspita untuk dibawa pamannya, Mas akan menyesal.”
Pram mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Jika Puspita pergi, mungkin saja aku akan lebih cepat pergi dari sisimu.”
Pram terkejut, tidak percaya kata-kata itu keluar dari bibir istrinya.
“Jangan bicara seperti itu,” tegurnya dengan suara yang tegas. “Kamu akan sembuh, jika saja kamu mengizinkanku untuk membawamu berobat ke–”
Soraya mengangkat tangannya. “Sudahlah, Mas,” ucapnya lemah. Seperti sudah lelah berjuang. “Aku hanya ingin menghabiskan sisa hariku dengan tenang. Bersama kamu, Puspita, dan putri kita.”
Dengan penuh harap, Soraya menatap Pramudya. “Bisa kan, Mas?”
**
“Kalau Paman datang untuk memaksa Pita menikah dengan juragan itu, Pita tegaskan sekali lagi. Pita tidak mau!”
“Jangan bodoh, Pita. Hidupmu akan bahagia di sana,” tukas sang paman. “Kamu akan bergelimang harta! Bukankah cita-citamu menjadi orang kaya? Ya caranya adalah nikah dengan orang kaya!”
Puspita menggeleng. “Tidak, Paman. Aku–”
“Apa pun yang kamu inginkan, dia akan penuhi,” potong pamannya lagi, tidak peduli dengan penolakan Puspita. “Kamu akan menjadi ratu dan kesayangan karena kamu masih muda. Aku bisa jamin!”
Pria itu lalu berdiri. “Sekarang, kemasi barangmu dan ayo ikut denganku! Aku sudah berjanji akan membawamu pulang hari ini.”
Puspita melihat tatapan tamak pria yang masih merupakan keluarganya tersebut. Tangannya yang gemetar ia remas kuat-kuat. Sejak tadi, Puspita sudah menolak ajakan pamannya, mencoba mengurusi masalahnya sendiri tanpa melibatkan Soraya ataupun Pram.
Namun, sepertinya sia-sia saja. Meskipun Puspita sudah dinikahi, Pram pastilah lebih suka jika ia pergi dan tidak mengganggu rumah tangganya. Apalagi–
Gadis itu terkesiap saat tiba-tiba majikannya duduk di kursi di sebelah Puspita, sontak membuat gadis itu berdiri dan menunduk dalam-dalam.
“Masuklah,” ucap Pram kemudian tanpa menoleh pada Puspita. “Biar aku yang bicara pada pamanmu.”
Meski bingung, Puspita menurut. Ia tahu bahwa perintah dari majikan sekaligus suami barunya itu sama sekali tak terbantah. Segera, Puspita masuk ke dalam rumah.
“Selamat pagi. Anda pasti majikannya Puspita.” Sepeninggal Puspita, sang paman langsung mengajak bicara. “Ini pertama kalinya saya berkunjung.”
“Maaf, Pak, boleh saya tahu apa kepentingan Bapak?” tanya Pram sopan, meski tidak terkesan ramah.
Pamannya Puspita terlihat tidak suka dengan sikap Pram yang dinilainya sombong. Ia duduk di depan Pram usai mendengus pelan. “Saya ingin membawa Puspita pulang,” jawabnya dengan nada angkuh. “Toh di sini cuma jadi pembantu. Kasihan.”
Pram tidak tampak bereaksi. Namun, ucapan pria itu selanjutnya membuat sang paman naik pitam.
“Puspita akan tetap tinggal. Saya membutuhkannya di sini.”
“Anda tidak berhak menahan keponakan saya!” sergah paman Puspita. “Apa masalahnya, hah? Kalau soal pinalti kontrak, tenang! Calon suami Puspita pasti bisa bayar.”
Pram mengernyit. “Calon suami?” tanyanya.
“Ya! Puspita akan menikah dengan orang terkaya di kampung!” Sang paman sesumbar sombong. “Hidupnya akan bahagia karena cita-citanya sejak dulu memang punya suami kaya, haha. Jadi istri keempat pun tidak masalah!”
Pram terdiam mendengar perkataan paman Puspita. Sekarang, ia mengerti kenapa Puspita mau mengabulkan permintaan Soraya untuk menikah dengannya.
Bagi wanita seperti Puspita, tidak masalah menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat, asalkan menikah dengan pria kaya.
Heh, lucu sekali. Sayangnya Soraya sudah terpedaya oleh Puspita. Namun, Pram tidak akan ditaklukkan semudah itu. Kini, ia tahu sifat asli Puspita yang selalu terlihat polos itu.
Dasar wanita materialistis.
“Meski begitu, saya tidak bisa mengizinkan Puspita untuk ikut bersama Bapak.” Pram kembali berkata kemudian.
Paman Puspita makin tampak marah. “Panggil Puspita lagi! Dengan atau tanpa izin, saya tetap akan membawanya pulang!”
“Sekalipun dia ikut dengan Bapak, Puspita tidak akan bisa menikah dengan calon suaminya,” ucap Pram dengan tenang. “Karena dia sudah saya nikahi.”
Di dalam, Puspita menutup mulutnya karena terkejut dengan ucapan majikannya tersebut. Sekalipun pria itu sudah menikahinya kemarin, Pram tidak terlihat ingin Puspita untuk tinggal. Kenapa–
“Pita. Kamu baik-baik saja?”
Puspita menoleh dan mendapati Soraya dengan wajah pucatnya tengah menghampirinya di atas kursi roda.
Ah, sekarang ia tahu kenapa. Soraya rupanya menepati janjinya.
“Ibu. Terima kasih.” Puspita langsung bersimpuh di hadapan Soraya. Majikan sekaligus kakak madunya itu langsung merengkuhnya.
“Tidak apa-apa,” bisik Soraya. “Kamu akan tetap di sini.”
Puspita mengangguk. Cukup lega, tanpa tahu bahwa hari-harinya akan makin berat karena kesalahpahaman yang tidak disampaikan.
3Beberapa minggu berlalu setelah kepergian sang paman untuk menjemput paksa Puspita. Sekalipun pria paruh baya itu pergi dengan marah-marah, setengah diusir, paman Puspita tidak kembali lagi.Mungkin itu karena ucapan Pram juga, yang mengatakan bahwa sekalipun Puspita diseret pulang, ia tidak akan bisa dinikahi karena sudah menjadi istri Pramudya.Harusnya Puspita merasa senang dan lega. Masalahnya selesai.Namun, kalimat yang dikatakan Pram padanya setelah itu membuatnya tidak mudah.“Sekarang kau bisa tenang di sini sebagai nyonya muda, hm? Menikmati kemewahan karena sudah menikahi laki-laki kaya, demi menaikkan derajatmu.” Pram mendengus. “Selamat. Wanita picik.”Puspita berusaha meluruskan kesalahpahaman itu, karena bukan seperti itu pernikahan impiannya. Namun, Pram tidak mau dengar.Hingga akhirnya, Puspita menyerah. Ia di sini bukan untuk mengambil hati Pram, melainkan untuk merawat Soraya dan putrinya, sesuai pekerjaan dan janjinya pada wanita baik hati itu.“Sebentar ya, Bu.
4"Kamu menikah lagi tanpa restu Ibu? Ibu doakan istri barumu juga kena kanker seperti Soraya!""Ibu, cukup!" Pram berseru, wajahnya menegang. Ia menatap ibunya dalam-dalam, mencoba mengendalikan emosinya, tetapi tetap tak bisa menutupi kegeraman. "Apa Ibu tahu betapa sulitnya situasi kami sekarang?""Sulit?" Bu Hasna mendengus. "Kamu bilang sulit? Kamu tahu apa yang Ibu rasakan saat tahu kamu menikah dengan seorang pembantu tanpa restu?"Puspita yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa meremas ujung kerudungnya. Ia menahan diri, tetapi hatinya perih mendengar cemoohan Bu Hasna. Akhirnya, dengan suara bergetar, ia berkata, "Maaf…."Hasna menatap tajam wanita yang menunduk itu. "Seharusnya kau sadar diri sejak awal. Kau hanya seorang pembantu. Apa itu memang tujuanmu bekerja di sini?" Kata-kata Hasna semakin menusuk."Ibu, jangan berkata seperti itu pada Puspita!" Soraya tidak tahan lagi. Meski sangat lemah, ia tidak bisa membiarkan ibu mertuanya berkata buruk pada Puspita. "Saya yang
5Pramudya dan Puspita masih terpaku di tempatnya, sementara wanita cantik yang baru saja bicara itu mendekat. Senyum manis terus mengembang dari bibir merahnya. Tepat saat wanita dengan dress selutut itu tiba di meja makan, Hasna muncul dari pintu yang sama."Pram, ini Imelda, anak Tante Dini. Jangan bilang kamu lupa." Hasna langsung menjelaskan saat menyadari keheranan di wajah anaknya."Imelda?" gumam Pram. Keheranan masih menghiasi wajahnya."Iya, Pram. Imel yang waktu kecil suka kamu gendong-gendong, suka main pengantin-pengantinan sama kamu. Cantik, kan, dia sekarang?" Hasna tersenyum bangga sambil melirik wanita bernama Imel itu. Setelahnya, wanita lebih setengah abad itu duduk di kursi, mendekat ke arah Puspita yang kini menundukkan kepala."Lebih cantik dari kedua istrimu, bahkan jika kecantikan keduanya digabungkan," lanjut Hasna dengan sengaja. Matanya mengerling tajam ke arah Puspita.Puspita menelan ludahnya, sementara Pramudya memejamkan matanya sebentar, lalu mengembusk
“Apa? Prily sesak napas?” Pram berteriak bicara di telepon. “Ya sudah, langsung bawa ke rumah sakit, aku menyusul ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan dengan gusar.“Pak, putar arah ke rumah sakit!” perintahnya pada sopir sambil memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Wajahnya diliputi kecemasan.“Ada apa, Mas?” tanya Imel yang duduk di samping Pram. Wajahnya tampak simpatik, padahal beberapa saat sebelumnya seulas senyum terukir di wajahnya.“Prily sesak napas.” Pram menjawab tanpa menoleh. Sejujurnya, saat ini ia merasa dirinya yang tidak bisa bernapas. Apalagi Puspita meneleponnya sambil menangis. Sudah dapat dipastikan jika kondisi Prily sangat serius.Pram takut. Ia baru saja ditinggalkan orang tercintanya. Dan jika Prily pun sampai kenapa-napa, ia bisa gila.“Sesak napas?” Imel mengulang. “Perasaan, saat kita tinggal tadi, Prily baik-baik saja, kan? Kok, bisa sih, sesak napas?” tanya Imel dengan irama kalimat yang sangat diatur. Pram tidak ingin menjawab. Ia memutuskan memejamk
Butuh beberapa saat bagi Puspita untuk mencerna semuanya setelah Pram mengucapkan kalimat itu dan berbalik pergi, kembali ke kamar Prily didampingi Imel yang tersenyum puas.Kemudian, gadis itu menghapus air matanya dengan kasar setelah dapat menguasai dirinya.Ia sempat terjebak dalam keterkejutan dan ketidakpercayaan yang mendalam akibat tuduhan Pram yang keji dan kata talak yang menyusul kemudian. Tidak percaya kalau pandangan Pram padanya masih sama seperti dulu, memandang Puspita sebagai orang miskin yang dangkal, dan tidak bisa dipercaya.Tidak peduli Puspita sudah berusaha keras menjalankan amanat Soraya sekuat tenaga. Menelan sakit hatinya setiap hari.Puspita tidak menyangka justru Pramlah yang akan mengingkari janjinya pada Soraya secepat ini. Membuangnya.Ini terlalu menyakitkan. Jika pun Pram ingin menceraikannya, kenapa harus dengan cara seperti ini? Kenapa harus menuduhnya dulu?Puspita menarik napas dalam-dalam. Mencoba melonggarkan rongga dada yang sesak. Lalu setelahn
“Menikahlah dengan Imel.”Ekspresi Pram langsung mengeras. “Bu–”“Kamu ini perlu seseorang untuk mengurusmu. Dan Ibu yakin Imel orang yang tepat. Daripada kamu terus-terusan tampil mengenaskan ini,” tukas Hasna. “Dua kali kamu salah memilih istri hingga hidupmu berantakan, Pram. Itu akibat tidak mendengarkan ucapan orang tua.”“Aku tidak ingin menikah lagi,” tegas Pram. “Kamu masih mau mencoba mengurus ini semua sendirian?” tanya Hasna. Suaranya mulai meninggi. “Kamu berantakan, Pram. Dan bahkan kamu tidak becus mencari pengasuh untuk anakmu!” Hasna menunjuk wanita berusia 40 tahun yang sedang menggendong Prily. “Lihat, setiap saat Prily menangis, dan wanita itu tidak bisa menenangkannya.”Pram memejamkan mata. Kepalanya terasa ingin meledak. Ia tahu Prily selalu rewel, dan itu bukan sepenuhnya salah pengasuh barunya. Ini juga termasuk ke dalam sesuatu yang tidak Pram prediksi. Bahwa Prily akan sekeras itu mencari Puspita sejak sadar di rumah sakit.Padahal … bukankah kata Imel, w
“Puspita, kita perlu bicara.” Nada suara pria itu terdengar dingin, masih sama seperti dulu.Puspita menegakkan punggung dan menghela napas pelan tanpa kentara, setelah sebelumnya sempat menahan napas. Ia berusaha tetap tenang meski tak dapat dipungkiri hatinya bergejolak. Bertemu lagi dengan seseorang yang sudah menorehkan luka, bagai mimpi buruk di pagi hari yang seharusnya ia mulai dengan semangat.“Maaf, Pak. Saya sedang buru-buru.” Puspita menjawab singkat pada akhirnya, tanpa menatap ke mantan majikannya itu.Ia tidak ingin terintimidasi, ataupun menunjukkan reaksi yang tidak semestinya. Apalagi yang berlebihan.Sementara itu, Haidar tampaknya menyadari ketegangan Puspita. Pria itu menatap Puspita dan Pram bergantian.Kemudian, Puspita menatap pada Haidar. "Ayo, Kang, kita berangkat," lanjutnya, mengajak Haidar untuk pergi dari sana.Namun, Pram mendekat. Lantas menghentikan langkah Puspita."Puspita, ini penting," desak pria itu.Akhirnya, Puspita menoleh pada Pram, memberanik
“Pus? Masa aku tidak boleh tanya soal Kang Haidar juga?” Tika kembali bertanya.Puspita terdiam cukup lama. Kalau boleh jujur, ia akui Haidar memang sangat baik dan berjasa membantunya hingga bisa mengambil paket C. Pria itu memberikan jalan untuk mimpinya yang sebenarnya.Namun, tak ada apa-apa di antara mereka. Memang Haidar hanya orang baik yang mau membantu Puspita karena mereka berasal dari kampung yang sama.Meskipun memang saat di kampung dulu, Haidar pernah mengajarnya. Tapi itu dulu sekali.Haidar berasal dari keluarga terpandang di kampung. Orang tuanya memiliki perkebunan teh dan beberapa usaha lainnya. Seluruh keluarganya berpendidikan tinggi, dan ia bahkan tak berani berharap lebih."Kamu pacaran sama Kang Haidar?" tanya Tika lagi karena Puspita tidak kunjung menjawab. Puspita menarik napas panjang. "Kami cuma temenan, Tik. Kang Haidar itu baik banget mau bantuin aku."Tika menjentikkan jarinya. "Nah, itu dia! Dia baik banget sama kamu, nggak mungkin kalau cuma temenan
Andini duduk termenung di depan meja rias. Pantulan wajahnya di cermin terlihat lelah, mata sembab bekas menangis meski riasan masih rapi. Di dadanya sesak. Hari ini... ia resmi menjadi istri Prabu."Istri," gumamnya lirih.Kata itu terasa asing, berat, sekaligus menakutkan. Seolah menggantung di antara realita dan mimpi buruk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Ia teringat bagaimana Prabu menunduk patuh saat ijab kabul. Tanpa ekspresi, seperti membaca naskah tanpa emosi. Hanya sekilas tatapan mata yang terasa tulus saat ia menatapnya setelah akad, selebihnya hampa. Datar. Dingin. Semua yang dilakukannya ... bukan karena cinta.Andini menunduk. Ada luka yang tak bisa dilihat, tapi terasa mengiris di dalam dadanya. Ia tahu, Prabu menikahinya demi amanat Irena. Amanat dari seseorang yang sudah tiada, yang terlalu besar untuk ditolak oleh siapa pun—termasuk dirinya.Ia menghela napas berat. Dadanya bergemuruh dengan perasaan campur aduk yang sulit dijelaskan. Haru, kecewa, duka, bah
Seminggu berlalu …Mendung menggantung seolah ikut merasakan kesedihan yang masih membekas di hati banyak orang. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk menghapus luka, terutama kehilangan sebesar Irena. Tapi hidup tak menunggu siapa pun. Dan hari ini, Prabu akan mengucapkan janji baru di hadapan penghulu.Di ruangan kecil yang menjadi bagian sebuah masjid, Pram berdiri di samping kakak iparnya. Ia memandangi Prabu yang duduk tegang menunggu Andini didandani di dalam sana. Wajah kakak iparnya itu serius, matanya tampak lelah.“Bang …,” panggil Pram pelan tapi tegas. “Bawa santai saja,” lanjutnya seraya menepuk pundak Prabu.Prabu tidak menjawab. Hanya berkedip lemah. Meski sangat ingin pernikahan ini terjadi, tentu saja hatinya masih bertentangan. Kalaupun ia kemarin berjuang keras meyakinkan Andini agar mau menikah dengannya, semua karena amanat Irena dan juga demi kebaikan anak-anaknya. Bukan karena perasaannya terhadap wanita itu.Terkadang ia merasa bersalah pada adik iparnya itu.
“Kalian di sini?” suara Prabu tercekat, nyaris tak terdengar.Tubuhnya masih setengah membungkuk, napasnya tersengal. Pandangannya menangkap dua sosok di ujung lorong ruang NICU: seorang perempuan berkerudung dengan balutan coat cokelat muda, dan seorang gadis kecil yang sedang duduk di kursi tunggu sambil memeluk boneka.Andini. Chiara.Sementara di sekitar mereka, berkumpul sepasang orang tua, sepasang suami istri muda, dan juga seorang anak perempuan berusia tiga tahun. Semua orang itu kini menatap Prabu yang masih terduduk lemas di lantai rumah sakit.Prabu memejamkan matanya setelah memastikan bahwa pandangannya tidak salah. Ia memejamkan mata seolah ingin membuang rasa sesak yang bertubi-tubi datang yang nyaris merenggut nyawanya.Prabu masih memejam sampai sentuhan kecil terasa di pundaknya.“Papa kenapa?”Prabu membuka mata dan mendapati gadis enam tahun yang memeluk boneka itu berdiri tepat di hadapannya.“Kenapa Papa nangis? Kenapa Papa lari-lari?” tanyanya lagi dengan tatap
Langkah Prabu terhenti di depan pintu apartemen. Napasnya memburu, dada sesak menahan harap yang mulai menipis. Ia langsung menerobos masuk setelah Mbak Sri membuka pintu. Kakinya refleks melangkah menuju kamar Chiara, tempat mereka biasa tidur selama ini.Kosong.Selain Mbak Sri yang menatapnya sendu dari balik pintu, tak ada sesiapa pun lagi di sana.Ruang itu terasa asing, sepi, dan dingin. Koper-koper, kardus, mainan—semuanya telah lenyap. Tirai jendela dibiarkan setengah terbuka, membiarkan cahaya pagi masuk, menyinari ruangan dengan suram. Bekas-bekas keberadaan mereka pun seperti telah disapu bersih waktu.“Andini… Chiara…” gumamnya pelan, suaranya pecah, nyaris tak terdengar.Ia bergegas keluar dari kamar itu, menelusuri ruang demi ruang seperti masih berharap menemukan bayangan mereka. Tapi tidak ada. Bantal-bantal sudah ditumpuk rapi, lemari pakaian kosong, bahkan sandal kecil milik Chiara pun tak tampak di dekat pintu.“Kalian… sudah pergi?” bisiknya lagi, kini dengan suara
Prabu berdiri di ambang pintu kamar, mematung. Pintu terbuka, dan dari celah itu, terlihat punggung Andini dan Chiara yang tengah sibuk berkemas. Koper besar terbuka di atas tempat tidur, dan beberapa kardus kecil diletakkan di lantai, sebagian sudah ditutup dengan lakban.Hati Prabu terasa hampa. Seperti ruangan itu—tak lagi memiliki sisa tawa, tak ada jejak yang bisa ia pertahankan.Andini melipat satu helai baju kecil milik Chiara lalu menaruhnya di dalam koper. Gerakannya tenang, rapi, tanpa suara. Tapi justru dari ketenangan itu, Prabu bisa membaca begitu banyak hal: luka yang ditekan, kecewa yang disembunyikan, dan entah apa lagi.Chiara duduk di lantai sambil memilih beberapa buku dan mainan kesukaannya. Anak itu terlihat sangat tenang dan menurut. Tidak terlihat sedih, protes, apalagi tantrum. Begitu pandai Andini memberi pengertian. Prabu angkat jempol untuk itu.Di samping anak itu, sebuah bingkai foto diletakkan hati-hati: foto keluarga mereka. Prabu, Irena yang sedang meng
Prabu berjalan lunglai kembali ke ruang NICU. Kalimat penolakan Andini terus terngiang di telinganya saat ia menawarkan diri untuk mengantarnya pulang.“Aku bawa mobil sendiri, Mas. Tidak usah khawatir. Aku hanya minta satu hal, tolong segera urus surat pindah sekolah Chiara. Aku ingin semua beres sebelum kami berangkat.”Kalimat itu disampaikan Andini tanpa sedikit pun nada benci atau amarah. Justru terlalu tenang. Dan ketenangan itulah yang menusuk paling dalam.Prabu mengangguk pelan, menahan napas yang rasanya mulai sesak di dada. Ia tak bisa memaksa. Tidak setelah semua yang terjadi.Oma, Opa, dan Puspita hanya menatapnya dari kejauhan, tak ada satu pun yang berani bicara. Tatapan mereka penuh luka dan iba, tapi mereka memilih diam. Mereka tahu, satu kata saja bisa jadi pemicu amarah Prabu yang tengah rapuh. Dan mereka tidak ingin Prabu kembali menjauh dari mereka. Tidak lagi. Mereka juga tak ingin memaksakan lagi kehendak. Hanya bisa berdiri di sampingnya apa pun keputusannya.L
Prabu membeku di tempatnya. Ia seperti baru saja dijatuhkan dari tempat tinggi tanpa sempat bersiap. Napasnya tercekat, tenggorokannya mengering. Kalimat Andini masih bergema di telinganya."Kami akan segera berangkat setelah semuanya selesai." Berangkat? Mereka benar-benar akan pergi?Keheningan bercampur dengan dinginnya suhu ruangan semakin membalut luka di hati Prabu. Ia menggenggam besi pembatas ranjang pasien erat. Jemarinya menegang, seperti hendak menahan sesuatu yang hendak pecah di dalam dadanya.“Din…” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Kau benar-benar yakin akan membawa Chiara pergi?”“Tentu saja.” Andini menjawab masih dengan suara datar.“Lalu, bagaimana dengan amanat Irena? Bukankah kakakmu meminta kita menjaga Chiara dan Raja sama-sama?”“Bukankah aku sudah pernah bilang sebaiknya kita berbagi tugas, Mas?”“Apa kamu tidak ingin membantu mengurus Raja?”Andini diam sejenak. “Aku tidak bisa terus-terusan di sini. Aku punya pekerjaan. Punya tanggung jawab. Makanya aku
Prabu terpaku. Cangkir di tangannya nyaris jatuh jika tak segera ia letakkan ke meja. Ia menoleh ke Puspita, yang langsung menghindari tatapan itu. Sementara Opa dan Oma menatapnya dengan sorot penuh harap.Prabu menghela napas berat. Seberat beban dalam dadanya.“Aku baru saja kehilangan istri. Bahkan belum genap sepuluh hari. Aku belum mau memikirkan hal itu,” kilah Prabu lelah. Ia tidak mengira jika keluarganya berharap seperti itu.Ya, ia yakin jika semua keluarganya mengharapkan ia menikahi Andini. Buktinya, Puspita dan Opa juga diam saja, tak memberikan komentar apa pun. Ia sangat yakin jika semua orang sepemikiran. Hanya saja mewakilkan semua pada Oma karena tahu, ucapan Oma adalah yang paling ia dengar.Oma ikut-ikutan menghela napas berat.“Oma tahu. Kami sangat tahu hal itu, sakit ditinggalkan memang tidak ada obatnya. Hanya saja perlu kamu ingat, rasa sakit melihat darah daging kita tumbuh dalam ketimpangan kasih sayang akan lebih menyakitkan nantinya. Kami tidak mau meliha
Prabu membeku. Kalimat terakhir yang keluar dari mulut Puspita membentur dadanya seperti palu godam.“Mereka… datang ke apartemen sebelum Irena dibawa ke rumah sakit?” gumamnya nyaris tak terdengar.Puspita mengangguk kuat. “Iya, Bang. Aku berani bersaksi karena aku membersamai mereka. Kami tidak tahu jika Abang baru saja mengantar dokter Irena ke rumah sakit. Kami baru tahu setelah bertemu Mbak Sri dan Chiara di sana.”Sekali lagi Prabu tertegun. Saat itu ia memang buru-buru membawa Irena dengan segala kepanikannya. Tidak memperhatikan sekitar.“Kalau Abang tidak percaya,” lanjut Puspita sambil menatap mata kakaknya lembut, “silakan periksa CCTV di apartemen.”Suasana mendadak sunyi. Bahkan suara mesin inkubator terasa nyaring di tengah keheningan itu. Prabu membeku, menatap wajah Puspita dengan sorot masih tak percaya, lalu menoleh perlahan ke arah Oma.Wanita tua itu masih berdiri di sana dengan air mata yang tak kunjung berhenti. Matanya sembap, tapi dalam sorotnya, Prabu menemuka