Menyingkap Tabir

Menyingkap Tabir

Oleh:  Ynurnun  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
20Bab
1.3KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Sekuel Twilight (and The Feel) Teka-teki yang bermunculan dan belum menuai jawaban. menginjak usia pernikahan empat bulan tampaknya belum juga membantu untuk Ayana menemukan jawaban yang pasti tentang sesosok Zayn--suaminya--yang sebenarnya. Perihal rasa, Ayana tak pernah meragukan hal itu dari diri Zayn. Namun, hal lain-lah yang membuatnya curiga bahwa Zayn menyembunyikan sebuah rahasia besar darinya. Misalnya, Zayn yang tiba-tiba meringis kesakitan. Akan tetapi, waktu memang selalu menjawab semua. Dan seapik apapun manusia menjaga sebuah rahasia. Pada akhirnya akan terbongkar dengan sendirinya. Benar saja. Waktu dengan baik hati memberikan jawaban atas teka-teki untuk Ayana. Lantas, rahasia apa yang disembunyikan Zayn sebenarnya? Lalu, apakah Ayana akan menerima kenyataan yang sebenarnya terjadi? Atau bahkan memilih pergi?

Lihat lebih banyak

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
20 Bab

After Honeymoon

“Bagaimana bulan madunya, Na?” tanya Mama tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Ia masih berfokus dengan bahan-bahan dapur yang tengah dieksekusi dan akan disulap menjadi makan malam nanti bersama seisi rumah.Ayana yang sedang membantu Bi Asih—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—mencuci piring menatap ke arah ibu mertuanya. “Alhamdulillah, Ma. Lancar, aman, dan terkendali,” jawabnya sambil tertawa kecil.“Syukurlah, Sayang. Meskipun kalian bulan madunya telat. Tapi, Mama senang akhirnya kalian bisa meluangkan waktu untuk honeymoon.”Ya. Setelah usia pernikahan empat bulan-lah Ayana dan Zayn memilih untuk pergi berbulan madu. Sebenarnya, bukan tidak ingin. Hanya saja pekerjaan Zayn dan juga Ayana yang sedang fokus menyelesaikan skripsinya-lah yang membuat pasangan pengantin baru itu harus menunda dulu untuk bepergian. Mereka tidak ingin kehilangan fokus dalam menyelesaikan tugas masing-masing.“Tidak apa-apa,
Baca selengkapnya

Rasa Sakit

Seorang perempuan dengan balutan gamis hijau tosca yang dipadukan jilbab berwarna abu itu menyapu setiap jengkal ruangan CEO dengan pandangan setelah ditinggal oleh suaminya. Ia memperhatikan dengan begitu seksama setiap benda yang ada di ruangan yang baru kali pertama ini didatanginya. Sepasang bola matanya terhenti pada sebuah bingkai kecil di sudut meja kerja yang ada dalam ruangan dengan desain dominan kaca itu.Tubuhnya yang sempat mendarat di sofa berwarna cokelat tua bangkit. Ia beranjak dan menggerakkan sepasang tungkainya mendekati meja. Tangannya meraih bingkai tersebut. Menatap dengan begitu lekat foto yang terpasang di sana. Ia tersenyum geli melihatnya. Kamu terlihat begitu polos, Ayana, pikirnya. Lantas terkekeh kecil.Ya. Perempuan berjilbab itu adalah Ayana. Ia memutuskan dan memantapkan hati untuk menutup mahkota indahnya sebelum berangkat berbulan madu. Hal itu tentu saja sangat didukung penuh oleh suaminya. "Astaga, Zayn," ucapnya sediki
Baca selengkapnya

Kenyataan yang Terungkap

Matanya yang terlihat sembap, sedikit basah dan memerah. Tak lepas pandangannya  yang iba menyorot wajah pucat seseorang yang tengah terbaring di atas tempat tidur—Zayn. Sesekali sepasang netranya menangkap kerutan yang sangat jelas di kening lelaki itu. Persis seperti saat Zayn menahan sakit di kantornya.Tangan perempuan dengan jilbab yang sedikit berantakan itu masih setia menggenggam tangan kekar yang kadang refleks menggenggamnya balik dengan sangat kuat, yang sangat ia yakini sebagai satu cara suaminya untuk menahan erangan. Ibu jarinya bermian mengelus punggung tangan Zayn. Dikecupnya lagi tangan itu cukup lama.“Lekas membaik, ya, Sayangku,” ucapnya seraya menatap lagi wajah mulai damai dalam pejam itu. Kendati rona pucat belum juga ingin berubah. “Jangan buat aku khawatir dan setakut ini lagi, Zayn.” Air matanya lagi-lagi lolos dari kelopak mata dan mendarat di pipi mulusnya. Ia tertunduk, menenggelamkan kepala pada lipatan t
Baca selengkapnya

Tentang Zayn

“Mama,” panggil seseorang dengan jilbab instan yang membungkus mahkota. Ia masih tampak lesu. Raut wajahnya yang biasa tanpak ceria kini hanya tersirat kesenduan saja. Ia mengalungkan tangannya di lengan Mama yang tengah asyik bergelut dengan alat-alat di dapur di hadapannya. Lalu, ia sandarkan kepalanya di lengan Mama dan memejamkan mata. Di sana ia temukan ketenangan. Berada di dekat Mama seperti ia tengah berada di dekat ibu kandungnya.“Kamu kenapa, Ayana?” tanya Mama bingung melihat anak menantunya itu. Pasalnya, tak biasanya Ayana seperti saat ini. Dilepasnya pisau yang tengah ia gunakan untuk memotong bahan-bahan masakan. Lantas, beralih menoleh ke arah Ayana. Kendati ia tak bisa menangkap rupa wajah perempuan itu. Setelahnya ia berbalik menatap ke arah Bi Asih—asisten rumah tangga. “Bi, minta tolong lanjutkan dulu, ya,” ucapnya dan dibalas dengan anggukan patuh oleh Bi Asih.Mama membawa tubuh Ayana beranjak dari dapur
Baca selengkapnya

Bentakan

Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.“Semoga saja Zayn suk
Baca selengkapnya

Negative Thinking

Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga
Baca selengkapnya

Penerimaan Ayana

Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Baca selengkapnya

Janji?

Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Baca selengkapnya

Anfal

Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Baca selengkapnya

Panik

Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status