Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.
“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.
“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu
Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali
Setelah melewati perdebatan panjang. Mau tidak mau Ayans harus mengalah. Apalagi, lelaki yang tengah duduk manis di pinggir tempat tidur dengan senyum penuh kemenangan itu sempat menyentilnya dengan hal yang berbau agama. Ia menatap Zayn sekilas dan menggelengkan kepala. Lantas mengembuskan napas dan bergumam, "Dasar keras kepala."Gadis itu kembali duduk di depan meja rias. Ia mulai memoles wajahnya dengan perlahan. Lantas, sesekali melirik Zayn dengan ekor mata.Ketika Ayana bangkit dan hendak bergerak menuju sebuah lemari untuk memilih hijab yang akan ia padukan dengan gamisnya. Langkahnya terhenti saat menangkap sosok Zayn sudah tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Ia lihat wajah yang tadinya ceria dan berwarna itu berubah tanpa rona. Begitu juga dengan peluh yang mulai bermunculan. Padahal, kondisi udara di dalam kamarnya sudah benar-benar stabil."Hai! Kenapa?" sapanya setelah berdiri di hadapan Zayn yang tengah menundukkan kepala dengan tangan yang ia g
"Segini cukup, nggak? Atau masih sesak?" tanya Ezran tanpa membocorkan ke arah Zayn. Tangannya fokus mengatur keluaran untuk membantu pernapasan lelaki yang bertaut enam tahun dengannya. Hal yang sering ia lakukan sejak lama saat kakaknya terserang sesak. "Cukup, Dek," balas Zayn dengan suara yang masih lemas. Bagaimana tidak? Setelah mengalami serangan yang begitu tiba-tiba. Ia juga mengalami sesak yang hebat hingga menguras tenaganya. Bersyukur saja ia tidak kehilangan kesadaran seperti sebel