Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.
Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.
“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”
“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”
“Biar Bibi saja, Non.”
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu
Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali
Setelah melewati perdebatan panjang. Mau tidak mau Ayans harus mengalah. Apalagi, lelaki yang tengah duduk manis di pinggir tempat tidur dengan senyum penuh kemenangan itu sempat menyentilnya dengan hal yang berbau agama. Ia menatap Zayn sekilas dan menggelengkan kepala. Lantas mengembuskan napas dan bergumam, "Dasar keras kepala."Gadis itu kembali duduk di depan meja rias. Ia mulai memoles wajahnya dengan perlahan. Lantas, sesekali melirik Zayn dengan ekor mata.Ketika Ayana bangkit dan hendak bergerak menuju sebuah lemari untuk memilih hijab yang akan ia padukan dengan gamisnya. Langkahnya terhenti saat menangkap sosok Zayn sudah tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Ia lihat wajah yang tadinya ceria dan berwarna itu berubah tanpa rona. Begitu juga dengan peluh yang mulai bermunculan. Padahal, kondisi udara di dalam kamarnya sudah benar-benar stabil."Hai! Kenapa?" sapanya setelah berdiri di hadapan Zayn yang tengah menundukkan kepala dengan tangan yang ia g
"Segini cukup, nggak? Atau masih sesak?" tanya Ezran tanpa membocorkan ke arah Zayn. Tangannya fokus mengatur keluaran untuk membantu pernapasan lelaki yang bertaut enam tahun dengannya. Hal yang sering ia lakukan sejak lama saat kakaknya terserang sesak. "Cukup, Dek," balas Zayn dengan suara yang masih lemas. Bagaimana tidak? Setelah mengalami serangan yang begitu tiba-tiba. Ia juga mengalami sesak yang hebat hingga menguras tenaganya. Bersyukur saja ia tidak kehilangan kesadaran seperti sebel
Tubuh yang berbaring di atas tempat tidur itu bergerak. Lenguhan singkat pun tak urung lolos. Zayn yang hendak menggeliat lantas mengurungkan niatnya. Ia merasakan ada sesuatu yang menindih lepas. Di kening ia juga merasakan ada sesuatu yang menempel. Ia perlahan membuka kelopak mata yang entah sudah berapa jam terkatup. Sebab, terakhir yang Zayn ingat adalah ia tengah berlagak pada Ezran.Sepasang netra dengan iris hitam bersih sedikit memicing untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang tertangkap retiba.
Setelah empat hari terpenjara di rumah dan yang bisa Zayn lakukan hanya berdiam diri di kamar. Atau hanya sekedar menikmati udara sore yang segar di taman belakang. Hari ini, sesuai janjinya pada Ayana. Ia ingin membawa Ayana ke mana saja istrinya itu inginkan. Dan yang menjadi pilihan Ayana adalah mall.Sejak menjadi istri Zayn, Ayana memang sudah jarang sekali bepergian. Bukan sebab Zayn tak ingin membawanya. Namun, kesibukan masing-masinglah yang menyita waktu mereka. Dan hari ini, karena Zayn sudah merasa baik-baik saja. Ia berani mengiyakan."Sudah siap?" tanya Zayn yang sudah berdiri di dekat tempat tidur setelah izin keluar kamar sebentar sementara Ayana melakukan ritualnya di kamar mandi. Entah kenapa pagi ini ia kepikiran seksli terhadap Ezran hingga ia mencoba ke kamar adiknya itu. Namun, adiknya itu justru tak ada di kamarnya. Entah ke mana anak itu pergi pagi-pagi seperti ini. Padahal, jika diingat-ingat. Sekarang adalah hari libur.Ayana masih
Sebuah kereta besi berwarna merah menyala telah terparkir rapi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Seorang lelaki dengan setelan hoodie hitam pekat berpadu celana jins warna senada yang mengemudikan kendaraan roda empat tersebut keluar dari sana. Ia mengenakan kacamata hitam untuk menghalau sinar matahari yang perlahan semakin beranjak naik seiring jarum jam yang terus bergerak konstan. Ia membawa tungkainya mengayun dan memutari mobilnya untuk bisa mencapai pintu penumpang. Lantas, membukakan untuk seseorang yang masih duduk manis di sana. Senyumnya mengembang menghias pahatan wajah dengan rahang tegas itu.“Silakan turun, Tuan Putri,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Persis seperti seorang pangeran yang tengah memperlakukan istimewa sang putri raja. Sedang senyum yang terbit sejak tadi semakin tampak manis, menambah aura ketampanan wajah yang seringkali menjadi bahan pujian kaum hawa itu.Ayana—seseorang