“Mama,” panggil seseorang dengan jilbab instan yang membungkus mahkota. Ia masih tampak lesu. Raut wajahnya yang biasa tanpak ceria kini hanya tersirat kesenduan saja. Ia mengalungkan tangannya di lengan Mama yang tengah asyik bergelut dengan alat-alat di dapur di hadapannya. Lalu, ia sandarkan kepalanya di lengan Mama dan memejamkan mata. Di sana ia temukan ketenangan. Berada di dekat Mama seperti ia tengah berada di dekat ibu kandungnya.
“Kamu kenapa, Ayana?” tanya Mama bingung melihat anak menantunya itu. Pasalnya, tak biasanya Ayana seperti saat ini. Dilepasnya pisau yang tengah ia gunakan untuk memotong bahan-bahan masakan. Lantas, beralih menoleh ke arah Ayana. Kendati ia tak bisa menangkap rupa wajah perempuan itu. Setelahnya ia berbalik menatap ke arah Bi Asih—asisten rumah tangga. “Bi, minta tolong lanjutkan dulu, ya,” ucapnya dan dibalas dengan anggukan patuh oleh Bi Asih.
Mama membawa tubuh Ayana beranjak dari dapur menuju ruang keluarga. Ia yakin Ayana tengah butuh seseorang dan ruang untuk bercerita.
Lama kedua manusia berbeda generasi itu terjebak dalam hening. Ia mengelus lembut puncak kepala Ayana yang masih bersandar padanya. Hingga detik berikutnya Ayana memberanikan diri mengangkat kepla dan menatapa Mama.
“Na, kenapa matamu sembap seperti itu, Sayang? Apa kamu baru saja menangis?” tanya Mama penuh dengan rasa khawatir. Ia takut terjadi hal-hal yang buruk pada perempuan itu. Mama sudah terlanjur menyayangi Ayana seperti ia menyayangi anak-anaknya. Sejak Ayana menjadi bagian dari keluarganya, Mama tak pernah membedakan Ayana dengan anaknya yang lain. Ia selalu memperlakukan Ayana dengan baik.
Ayana menundukkan kepala. Ia memainkan jemarinya satu dengan yang lain. Ditatapnya sepasang kaki yang hanya beralaskan sandal jepit berpijak pada lantai rumah. Ia menarik napas sangat dalam dan membuangnya kasar.
“Cerita, Nak,” ucap Mama seraya menyentuh tangan Ayana yang berada di atas pangkuan.
“Ma, bagaimana mungkin seorang suami menyembunyikan hal yang sangat serius dari istrinya? Apa seorang istri tak berhak tahu apapun yang menyangkut kondisi suaminya? Apakah Papa juga bersikap seperti itu pada Mama?” Ayana memburu ibu mertuanya itu dengan pertanyaan beruntun. Ia menatap Mama dengan tatapan yang benar-benar menyedihkan.
“Hm… Apa maksud pertanyaan kamu itu mengarah pada Zayn, Na?” tanya Mama balik dengan ragu-ragu.
Ayana menganggukkan kepala dengan polos. Ia tak perlu lagi berbasa-basi akan hal itu. Biar saja pikiran yang bersarang di kepalanya itu melebur dan didengar oleh Mama.
Sedikit pun Mama tak terlihat panik. Ia hanya mengulum senyumnya teramat tenang. Lantas, di raihnya dagu perempuan itu hingga sepasang netranya bertabrakan langsung dengan sorot mata yang masih sarat kesedihan itu. “Nak, terkadang ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh seseorang untuk tidak angkat suara atau menceritakan hal yang sebenarnya pada kita. Dan itu bukan berarti dia benar-benar berniat untuk berbohong. Tapi, dia kadang hanya butuh waktu yang dirasanya tepat untuk mulai bicara. Sehingga, kita yang mendengar bisa menerima dengan baik keadaan itu.”
Mama menjeda kalimatnya. “Atau bisa jadi dia ingin menguatkan hati untuk bisa menerima bentuk penolakan yang akan dilakukan orang atas kondisinya,” lanjut Mama.
Ayana hanya terdiam mendengar penuturan Mama. Ia tak berniat sedikit pun untuk menimpali apapun yang dikatakan Mama padanya. Karena, yang ia butuhkan bukan berbicara banyak. Melainkan solusi dari wanita paruh baya itu.
“Mama mau tanya tentang satu hal padamu. Boleh?”
Perempuan itu mengangguk sebagai jawaban.
“Sekarang kamu sudah tahu tentang keadaan Zayn yang sebenarnya, Na. Tentang kekurangan yang selama ini dia rahasiakan darimu. Pertanyaan Mama, apa kamu masih mencintai Zayn, Nak?”
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan mertuanya. Justru Ayana menatap bingung Mama. “Kenapa Mama bertanya seperti itu?”
“Karena, Zayn terlalu mencintaimu, Na. Ketakutan Zayn selama ini adalah setelah kamu mengetahui semuanya, kamu akan pergi meninggalkannya.”
Ayana menggeleng cepat. “Ma, Zayn itu sudah menjadi suami Ayana. Jadi, seperti apapun Zayn. Bagaimana pun keadaannya, tentu saja tidak akan berpengaruh terhadap perasaan Ayana padanya.” Ia menatap Mama sangat lekat. “Ma, demi apapun. Ayana mencintai Zayn dengan tulus, Ma. Sungguh,” ucapnya penuh keyakinan. Ya, karena apa yang baru saja Ayana katakan memang benar adanya. Ia mencintai Zayn dengan sungguh-sungguh.
Mama tersenyum mendengar kalimat Ayana. Ia bangga pada menantunya itu. “Na, Zayn selama ini merahasiakan penyakitnya darimu sejak awal karena rasa takut kehilangannya yang teramat besar. Dia tidak ingin kamu pergi saat dia sudah memilikimu seutuhnya.”
Ayana menatap Mama dengan seulas senyum tipis yang membingkai paras ayunya.
“Zayn selalu bilang pada Mama. Cukup sekali saja kamu pergi darinya. Setelah dia menemukanmu lagi. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang membuat kalian terpisahkan,” Mama berucap lirih. Entah kenapa tiba-tiba ketakutannya akan kondisi Zayn yang memburuk semakin menjadi-jadi. Ia tertunduk dalam.
“Ayana, Mama mohon padamu. Jangan pernah berniat meninggalkan Zayn. Mama tidak ingin keadaannya semakin memburuk. Tetap temani Zayn di sampingnya, Sayang,” pinta Mama memelas di hadapan Ayana. Ia menangkup kedua tangan di depan dada dengan air mata yang mulai bercucuran. Demi Zayn, anaknya. Ia rela melakukan apapun.
Ayana meraih tangan Mama. Harusnya wanita itu tidak perlu memelas seperti ini padanya. “Ma, jangan seperti ini. Tanpa Mama minta tentu Ayana tidak akan pernah meninggalkan suami Ayana.” Ia mempersempit jarak dengan cara menggeser tubuhnya. “Ma, bukankah itu sudah menjadi tugas dan kewajiban yang harus Ayana lakukan sebagai seorang istri? Menemani, mendampingi dan menguatkan suami dalam segala keadaan.”
Mama menatap Ayana dengan begitu lekat. Dalam hati ia tak pernah menyangka jika perempuan yang dianggapnya kecil itu sudah mampu berpikir demikian. Ia bangga pada perempuan di hadapannya itu.
Ayana menarik tubuh Mama dan memeluknya. “Mama tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Ayana tidak akan pernah pergi meninggalkan Zayn. Ayana pasti akan selalu di sampingnya. Ayana akan berusaha keras untuk menjadi istri yang baik dan berbakti pada Zayn,” ucapnya tulus. Kemudian, mengurai pelukannya.
“Tolong bantu Ayana, ya, Ma. Jika Ayana berbuat kesalahan sekecil apapun itu. Jangan pernah ragu untuk menegur Ayana. Dengan begitu Ayana bisa memperbaiki kesalahan itu sendiri dan tidak mengulanginya di kemudian hari.”
Wanita itu tersenyum lebar hingga membuat kerutan di wajahnya semakin tampak jelas bertambah. “Iya, Sayang. Terima kasi masih mau menerima Zayn setelah kamu mengetahui kekurangan yang orang-orang tidak tahu.”
“Apakah Ayana menanyakan sesuatu pada Mama?” tanya Ayana. Kini suaranya terdengar serius.
Mama yang selalu berusaha tenang menyikapi sesuatu mengangguk dengan senyum yang belum tanggal mengukir wajah yang mulai keriput termakan usia. “Tentu saja boleh, Na. Apa yang ingin kamu tanyakan pada Mama?”
“Apa Zayn sering mengalami hal seperti tadi, Ma?”
Lagi-lagi Mama tersenyum tipis mendengar pertanyaan menantunya itu. Lantas, ia menunduk setelahnya. “Terlampau sering, Na. Tapi, sejak menikah denganmu Zayn sudah mulai jarang mendapatkan serangan.”
Mama menghelaa napas panjang. Hatinya ngilu jika mengingat bagaimana Zayn saat tiba-tiba mendapatkan serangan. “Dulu Zayn jarang sekali bisa tidur tenang. Hampir setiap malam ia mengerang kesakitan. Apalagi ketika dia sudah mulai memporsir diri dengan bekerja menyelesaikan segala pekerjaan kantor.”
Ayana tak berniat menimpali. Ia masih menunggu cerita selanjutnya. Kendati ia sudah merasa sakit mendengar penuturan Mama.
“Itulah alasan kenapa Mama melarangnya untuk kembali bekerja di kantor. Begitu juga dengan Papa. Papa sudah berkali-kali meminya Zayn untuk berhenti. Tapi, dia selalu bersikeras dengan keinginannya. Katanya anak lelaki pertama harus tangguh dan mandiri.” Mama tertawa kecil. “Mama jauh lebih menyukai Zayn hanya tinggal di rumah. Sekiranya dia bisa mengistirahatkan tubuhnya dengan cukup dan tentu saja tidak akan memperburuk keadaannya.”
Perempuan itu masih terpaku mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari bibir mertuanya. Ia tak habis pikir selama ini Zayn sudah melewati hari-hari yang berat.
“Kalau ditanya apa Mama tidak senang melihat Zayn bekerja? Tentu saja tidak. Mama senang mellihatnya. Mama senang jika Zayn hidup mandiri. Tapi, Mama tidak suka jika Zayn bekerja dan berakibat fatal dengan keadaannya.”
Mama berusaha mengatur napasnya yang sedikit sesak. Ya, memang begitulah Mama jika sudah membahas tentang kondisi si sulung yang istimewa. “Tapi, Zayn adalah tipe seseorang dengan jiwa pekerja keras dan susah sekali dilarang jika apa yang dilakukan itu menurutnya benar. Tak peduli jika hal itu mengancan kesehatannya. Persis seperti Papa. Alasan yang diutarakan pun selalu sama. Ia ingin menjadi lelaki bertanggung jawab, bisa menafkahi keluarganya dengan layak suatu saat nanti.” Mama terkekeh sendiri. “Ah, Zayn memang anak yang keras kepala, Na. Kamu harus sabar menghadapinya.”
“Ayana,” panggil Mama yang sukses mengalihkan atensi Ayana padanya.
“Iya, Ma. Kenapa?”
“Bantu Zayn untuk tetap kuat, ya, Nak. Mama yakin bersama denganmu dia pasti bisa melewati waktu-waktu terberat.”
Senyum lebar terbit menghias wajah tanpa make up Ayana. “Tentu saja, MA. Ayana janji akan selalu mendampingi Zayn,” ucapnya dengan nada bangga.
Hening datang menjadi jeda untuk kedua perempuan yang terlahir pada generasi berbeda itu.
“Tapi, Ayana tidak bisa berbohong kalau sekarang Ayana masih kecewa dengan sikap Zayn yang tidak mau terbuka pada Ayana, Ma,” tuturnya tanpa dusta. Lagipula, istri mana yang tidak kecewa, marah jika lelaki yang sudah mempersuntingnya masih saja ragu untuk terbuka. Sedang ia sendiri tak pernah sekalipun menyembunyikan apapun dari suaminya.
“Kamu lupa, ya, Mama bilang apa di awal tadi? Zayn bukannya tidak mau terbuka padamu, Sayang. Hanya saja Zayn belum siap. Kamu mengerti maksud Mama kan, Nak?”
Ayana mengembuskan napas panjang. Lantas menganggukkan kepala dengan polos.
“Dan sekarang kamu sudah tahu tentang semuanya. Tidak perlu lagi kamu memperdebatkan masalah itu, ya, Na. Kamu juga sudah Mama kasih tahu tentang alasan Zayn mengambil sikap seperti itu selama ini. Jadi, sudahlah, Na. Jangan pernah berlarut-larut dalam kecewa dalam hatimu itu. Karena, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Kecewa juga tidak akan mampu membuat keadaan menjadi lebik baik dan tetap baik-baik saja. Yang ada hanya akan memperkeruh keadaan,” ucap Mama panjang lebar. Ia tak ada niat hati untuk membela Zayn yang notabene adalah anak kandungnya. Hanya saja ia ingin Ayana paham bahwa larut dalam rasa kecewa adalah bukan hal terbaik yang dilakukan.
Bibir perempuan itu masih tertutup rapat. Namun, kepala bergerak ke atas dan ke bawah sebagai isyarat paham akan apa yang dikatakan ibu mertuanya.
“Belajar untuk meredam emosi sendiri. Jangan dipelihara apalagi dimanjakan. Karena, itu akan merusak dirimu sendiri.”
Ayana tersenyum. Mendengar apa yang dikatakan Mama membuatnya teringat akan pesan kakaknya—Adam. “Iya, Ma. Terima kasih sudah berbaik hati menasihati Ayana.”
“Sama-sama menantu kesayangan Mama.”
Perempuan itu tersipu malu. Ia menghambur memeluk tubuh Mama. “Menantu satu-satunya, ya, Ma,” ucapnya dan tertawa kecil.
Mama sukses tergelak mendengar ucapan polos Ayana. Ia mengelus lembut puncak kepala perempuan itu yang masih memeluknya erat. “Mama sayang kamu, Nak.”
“Ayana juga sayang banget sama Mama.”
“Mau ikut masak lagi sama Mama, tidak?” tanya Mama mengalihkan topik.
Secepat kilat Ayana melepaskan pelukannya. “Tentu dong, Ma. Sebenarnya niat Ayana turun dari kamar juga untuk membantu Mama dan Bi Asih menyiapkan makan siang.”
“Eh, maksud Ayana belajar memasak lagi, Ma,” lanjutnya cepat untuk meralat kalimat yang diucapkan. Lantas tertawa geli mentertawakan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa sekarang ia masih belum bisa memasak dengan sempurna seperti Mama. Sebab itulah, ia berusaha keras untuk belajar, belajar dan belajar. Agar nanti ia bisa menyiapkan sendiri makanan untuk keluarganya.
Tak luput Mama yang mendengar ucapan Ayana juga ikut tertawa. Apalagi melihat tingkah Ayana yang polos dan apa adanya.
“Ya sudah. Ayo bantu Mama menyelesaikan masakan yang sempat tertunda tadi. Setelah itu, kamu harus antarkan makanan untuk Zayn.”
“Siap 86, komandan besar,” jawab Ayana bercanda dan lagi-lagi sukses membuat Mama tertawa.
“Apakah menantuku memang sepolos ini, ya?” tanya Mama dalam hati seraya menggelengkan kepala berulang kali.
Ayana mengernyit, membuat kerutan tampak jelas di kening. “Ma.” Ia menyentuh lengan Mama yang masih terpaku. “Kenapa Mama diam seperti itu. Mama bilang mau lanjut masak.”
“Oh, iya, Sayang. Ayo.”
Keduanya beranjak menuju ke dapur.
Tangan Ayana sudah mulai terbiasa dengan alat-alat dapur. Meskipun tak secepat pergerakan Mama.
Tak ada yang mengganggu satu sama lain. Mereka asyik dengan pekerjaan masing-masing. Hingga Ayana berhasil menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan Mama untuknya dengan baik, menurutnya. “Yeay, finish!” teriaknya kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah dari orang tua.
Mama terlonjak dibuatnya. Begitu juga dengan Bi Asih yang hanya fokus dengan pekerjaannya.
“Astaga, Ayana! Kamu ini membuat Mama kaget saja.”
“Iya, Non. Bibi juga ikut kaget. Bibi kira ada apa begitu,” sambung Bi Asih.”
Ayana hanya menunjukkan cengiran khasnya seraya mengangkat dua jari tangan—jari telunjuk dan jari tengah—membentuk huruf V. “Maaf, Ma. Maaf, Bi. Ayang tidak bermaksud untuk mengagetkan.”
“Sekarang temui Zayn di kamar, ya, Sayang. Bawakan makan siang untuknya. Jangan lupa ingatkan Zayn untuk minum obat.”
Ayana mengangguk.
“Tapi, ingat kata Mama. Kamu harus lebih sabar menghadapinya. Dia memang cukup susah kalau disuruh minum obat.”
“Hah?” Ayana sedikit terheran.
“Iya. Dia memang seperti itu. Susah sekali jika Mama memintanya minum obat. Padahal jelas saja itu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi, tetap saja. Makanya, dia sering anfal begitu.”
“Mama tenang saja, ya. Mulai sekarang sudah ada Ayana yang akan mengurus soal itu.”
“Iya, Nak. Ingat, Zayn tidak boleh absen untuk mengonsumsi obatnya.”
“Iya, Ma. Ayana mengerti.” Ia tersenyum. Bahagia memiliki mertua sebaik Mama.
“Ayana ke kamar dulu, ya, Ma.”
Mama mengangguk.
Ayana melenggang pergi dengan makanan yang sudah ia siapkan untuk suaminya.
Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.“Semoga saja Zayn suk
Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga
Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”