Share

Tentang Zayn

“Mama,” panggil seseorang dengan jilbab instan yang membungkus mahkota. Ia masih tampak lesu. Raut wajahnya yang biasa tanpak ceria kini hanya tersirat kesenduan saja. Ia mengalungkan tangannya di lengan Mama yang tengah asyik bergelut dengan alat-alat di dapur di hadapannya. Lalu, ia sandarkan kepalanya di lengan Mama dan memejamkan mata. Di sana ia temukan ketenangan. Berada di dekat Mama seperti ia tengah berada di dekat ibu kandungnya.

“Kamu kenapa, Ayana?” tanya Mama bingung melihat anak menantunya itu. Pasalnya, tak biasanya Ayana seperti saat ini. Dilepasnya pisau yang tengah ia gunakan untuk memotong bahan-bahan masakan. Lantas, beralih menoleh ke arah Ayana. Kendati ia tak bisa menangkap rupa wajah perempuan itu. Setelahnya ia berbalik menatap ke arah Bi Asih—asisten rumah tangga. “Bi, minta tolong lanjutkan dulu, ya,” ucapnya dan dibalas dengan anggukan patuh oleh Bi Asih.

Mama membawa tubuh Ayana beranjak dari dapur menuju ruang keluarga. Ia yakin Ayana tengah butuh seseorang dan ruang untuk bercerita.

Lama kedua manusia berbeda generasi itu terjebak dalam hening. Ia mengelus lembut puncak kepala Ayana yang masih bersandar padanya. Hingga detik berikutnya Ayana memberanikan diri mengangkat kepla dan menatapa Mama.

“Na, kenapa matamu sembap seperti itu, Sayang? Apa kamu baru saja menangis?” tanya Mama penuh dengan rasa khawatir. Ia takut terjadi hal-hal yang buruk pada perempuan itu. Mama sudah terlanjur menyayangi Ayana seperti ia menyayangi anak-anaknya. Sejak Ayana menjadi bagian dari keluarganya, Mama tak pernah membedakan Ayana dengan anaknya yang lain. Ia selalu memperlakukan Ayana dengan baik.

Ayana menundukkan kepala. Ia memainkan jemarinya satu dengan yang lain. Ditatapnya sepasang kaki yang hanya beralaskan sandal jepit berpijak pada lantai rumah. Ia menarik napas sangat dalam dan membuangnya kasar.

“Cerita, Nak,” ucap Mama seraya menyentuh tangan Ayana yang berada di atas pangkuan.

“Ma, bagaimana mungkin seorang suami menyembunyikan hal yang sangat serius dari istrinya? Apa seorang istri tak berhak tahu apapun yang menyangkut kondisi suaminya? Apakah Papa juga bersikap seperti itu pada Mama?” Ayana memburu ibu mertuanya itu dengan pertanyaan beruntun. Ia menatap Mama dengan tatapan yang benar-benar menyedihkan.

“Hm… Apa maksud pertanyaan kamu itu mengarah pada Zayn, Na?” tanya Mama balik dengan ragu-ragu.

Ayana menganggukkan kepala dengan polos. Ia tak perlu lagi berbasa-basi akan hal itu. Biar saja pikiran yang bersarang di kepalanya itu melebur dan didengar oleh Mama.

Sedikit pun Mama tak terlihat panik. Ia hanya mengulum senyumnya teramat tenang. Lantas, di raihnya dagu perempuan itu hingga sepasang netranya bertabrakan langsung dengan sorot mata yang masih sarat kesedihan itu. “Nak, terkadang ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan oleh seseorang untuk tidak angkat suara atau menceritakan hal yang sebenarnya pada kita. Dan itu bukan berarti dia benar-benar berniat untuk berbohong. Tapi, dia kadang hanya butuh waktu yang dirasanya tepat untuk mulai bicara. Sehingga, kita yang mendengar bisa menerima dengan baik keadaan itu.”

Mama menjeda kalimatnya. “Atau bisa jadi dia ingin menguatkan hati untuk bisa menerima bentuk penolakan yang akan dilakukan orang atas kondisinya,” lanjut Mama.

Ayana hanya terdiam mendengar penuturan Mama. Ia tak berniat sedikit pun untuk menimpali apapun yang dikatakan Mama padanya. Karena, yang ia butuhkan bukan berbicara banyak. Melainkan solusi dari wanita paruh baya itu.

“Mama mau tanya tentang satu hal padamu. Boleh?”

Perempuan itu mengangguk sebagai jawaban.

“Sekarang kamu sudah tahu tentang keadaan Zayn yang sebenarnya, Na. Tentang kekurangan yang selama ini dia rahasiakan darimu. Pertanyaan Mama, apa kamu masih mencintai Zayn, Nak?”

Alih-alih langsung menjawab pertanyaan mertuanya. Justru Ayana menatap bingung Mama. “Kenapa Mama bertanya seperti itu?”

“Karena, Zayn terlalu mencintaimu, Na. Ketakutan Zayn selama ini adalah setelah kamu mengetahui semuanya, kamu akan pergi meninggalkannya.”

Ayana menggeleng cepat. “Ma, Zayn itu sudah menjadi suami Ayana. Jadi, seperti apapun Zayn. Bagaimana pun keadaannya, tentu saja tidak akan berpengaruh terhadap perasaan Ayana padanya.” Ia menatap Mama sangat lekat. “Ma, demi apapun. Ayana mencintai Zayn dengan tulus, Ma. Sungguh,” ucapnya penuh keyakinan. Ya, karena apa yang baru saja Ayana katakan memang benar adanya. Ia mencintai Zayn dengan sungguh-sungguh.

Mama tersenyum mendengar kalimat Ayana. Ia bangga pada menantunya itu. “Na, Zayn selama ini merahasiakan penyakitnya darimu sejak awal karena rasa takut kehilangannya yang teramat besar. Dia tidak ingin kamu pergi saat dia sudah memilikimu seutuhnya.”

Ayana menatap Mama dengan seulas senyum tipis yang membingkai paras ayunya.

“Zayn selalu bilang pada Mama. Cukup sekali saja kamu pergi darinya. Setelah dia menemukanmu lagi. Dia tidak ingin mengulang kesalahan yang membuat kalian terpisahkan,” Mama berucap lirih. Entah kenapa tiba-tiba ketakutannya akan kondisi Zayn yang memburuk semakin menjadi-jadi. Ia tertunduk dalam.

“Ayana, Mama mohon padamu. Jangan pernah berniat meninggalkan Zayn. Mama tidak ingin keadaannya semakin memburuk. Tetap temani Zayn di sampingnya, Sayang,” pinta Mama memelas di hadapan Ayana. Ia menangkup kedua tangan di depan dada dengan air mata yang mulai bercucuran. Demi Zayn, anaknya. Ia rela melakukan apapun.

Ayana meraih tangan Mama. Harusnya wanita itu tidak perlu memelas seperti ini padanya. “Ma, jangan seperti ini. Tanpa Mama minta tentu Ayana tidak akan pernah meninggalkan suami Ayana.” Ia mempersempit jarak dengan cara menggeser tubuhnya. “Ma, bukankah itu sudah menjadi tugas dan kewajiban yang harus Ayana lakukan sebagai seorang istri? Menemani, mendampingi dan menguatkan suami dalam segala keadaan.”

Mama menatap Ayana dengan begitu lekat. Dalam hati ia tak pernah menyangka jika perempuan yang dianggapnya kecil itu sudah mampu berpikir demikian. Ia bangga pada perempuan di hadapannya itu.

Ayana menarik tubuh Mama dan memeluknya. “Mama tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Ayana tidak akan pernah pergi meninggalkan Zayn. Ayana pasti akan selalu di sampingnya. Ayana akan berusaha keras untuk menjadi istri yang baik dan berbakti pada Zayn,” ucapnya tulus. Kemudian, mengurai pelukannya.

“Tolong bantu Ayana, ya, Ma. Jika Ayana berbuat kesalahan sekecil apapun itu. Jangan pernah ragu untuk menegur Ayana. Dengan begitu Ayana bisa memperbaiki kesalahan itu sendiri dan tidak mengulanginya di kemudian hari.”

Wanita itu tersenyum lebar hingga membuat kerutan di wajahnya semakin tampak jelas bertambah. “Iya, Sayang. Terima kasi masih mau menerima Zayn setelah kamu mengetahui kekurangan yang orang-orang tidak tahu.”

“Apakah Ayana menanyakan sesuatu pada Mama?” tanya Ayana. Kini suaranya terdengar serius.

Mama yang selalu berusaha tenang menyikapi sesuatu mengangguk dengan senyum yang belum tanggal mengukir wajah yang mulai keriput termakan usia. “Tentu saja boleh, Na. Apa yang ingin kamu tanyakan pada Mama?”

“Apa Zayn sering mengalami hal seperti tadi, Ma?”

Lagi-lagi Mama tersenyum tipis mendengar pertanyaan menantunya itu. Lantas, ia menunduk setelahnya. “Terlampau sering, Na. Tapi, sejak menikah denganmu Zayn sudah mulai jarang mendapatkan serangan.”

Mama menghelaa napas panjang. Hatinya ngilu jika mengingat bagaimana Zayn saat tiba-tiba mendapatkan serangan. “Dulu Zayn jarang sekali bisa tidur tenang. Hampir setiap malam ia mengerang kesakitan. Apalagi ketika dia sudah mulai memporsir diri dengan bekerja menyelesaikan segala pekerjaan kantor.”

Ayana tak berniat menimpali. Ia masih menunggu cerita selanjutnya. Kendati ia sudah merasa sakit mendengar penuturan Mama.

“Itulah alasan kenapa Mama melarangnya untuk kembali bekerja di kantor. Begitu juga dengan Papa. Papa sudah berkali-kali meminya Zayn untuk berhenti. Tapi, dia selalu bersikeras dengan keinginannya. Katanya anak lelaki pertama harus tangguh dan mandiri.” Mama tertawa kecil. “Mama jauh lebih menyukai Zayn hanya tinggal di rumah. Sekiranya dia bisa mengistirahatkan tubuhnya dengan cukup dan tentu saja tidak akan memperburuk keadaannya.”

Perempuan itu masih terpaku mendengar kalimat-kalimat yang terucap dari bibir mertuanya. Ia tak habis pikir selama ini Zayn sudah melewati hari-hari yang berat.

“Kalau ditanya apa Mama tidak senang melihat Zayn bekerja? Tentu saja tidak. Mama senang mellihatnya. Mama senang jika Zayn hidup mandiri. Tapi, Mama tidak suka jika Zayn bekerja dan berakibat fatal dengan keadaannya.”

Mama berusaha mengatur napasnya yang sedikit sesak. Ya, memang begitulah Mama jika sudah membahas tentang kondisi si sulung yang istimewa. “Tapi, Zayn adalah tipe seseorang dengan jiwa pekerja keras dan susah sekali dilarang jika apa yang dilakukan itu menurutnya benar. Tak peduli jika hal itu mengancan kesehatannya. Persis seperti Papa. Alasan yang diutarakan pun selalu sama. Ia ingin menjadi lelaki bertanggung jawab, bisa menafkahi keluarganya dengan layak suatu saat nanti.” Mama terkekeh sendiri. “Ah, Zayn memang anak yang keras kepala, Na. Kamu harus sabar menghadapinya.”

“Ayana,” panggil Mama yang sukses mengalihkan atensi Ayana padanya.

“Iya, Ma. Kenapa?”

“Bantu Zayn untuk tetap kuat, ya, Nak. Mama yakin bersama denganmu dia pasti bisa melewati waktu-waktu terberat.”

Senyum lebar terbit menghias wajah tanpa make up Ayana. “Tentu saja, MA. Ayana janji akan selalu mendampingi Zayn,” ucapnya dengan nada bangga.

Hening datang menjadi jeda untuk kedua perempuan yang terlahir pada generasi berbeda itu.

“Tapi, Ayana tidak bisa berbohong kalau sekarang Ayana masih kecewa dengan sikap Zayn yang tidak mau terbuka pada Ayana, Ma,” tuturnya tanpa dusta. Lagipula, istri mana yang tidak kecewa, marah jika lelaki yang sudah mempersuntingnya masih saja ragu untuk terbuka. Sedang ia sendiri tak pernah sekalipun menyembunyikan apapun dari suaminya.

“Kamu lupa, ya, Mama bilang apa di awal tadi? Zayn bukannya tidak mau terbuka padamu, Sayang. Hanya saja Zayn belum siap. Kamu mengerti maksud Mama kan, Nak?”

Ayana mengembuskan napas panjang. Lantas menganggukkan kepala dengan polos.

“Dan sekarang kamu sudah tahu tentang semuanya. Tidak perlu lagi kamu memperdebatkan masalah itu, ya, Na. Kamu juga sudah Mama kasih tahu tentang alasan Zayn mengambil sikap seperti itu selama ini. Jadi, sudahlah, Na. Jangan pernah berlarut-larut dalam kecewa dalam hatimu itu. Karena, itu hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Kecewa juga tidak akan mampu membuat keadaan menjadi lebik baik dan tetap baik-baik saja. Yang ada hanya akan memperkeruh keadaan,” ucap Mama panjang lebar. Ia tak ada niat hati untuk membela Zayn yang notabene adalah anak kandungnya. Hanya saja ia ingin Ayana paham bahwa larut dalam rasa kecewa adalah bukan hal terbaik yang dilakukan.

Bibir perempuan itu masih tertutup rapat. Namun, kepala bergerak ke atas dan ke bawah sebagai isyarat paham akan apa yang dikatakan ibu mertuanya.

“Belajar untuk meredam emosi sendiri. Jangan dipelihara apalagi dimanjakan. Karena, itu akan merusak dirimu sendiri.”

Ayana tersenyum. Mendengar apa yang dikatakan Mama membuatnya teringat akan pesan kakaknya—Adam. “Iya, Ma. Terima kasih sudah berbaik hati menasihati Ayana.”

“Sama-sama menantu kesayangan Mama.”

Perempuan itu tersipu malu. Ia menghambur memeluk tubuh Mama. “Menantu satu-satunya, ya, Ma,” ucapnya dan tertawa kecil.

Mama sukses tergelak mendengar ucapan polos Ayana. Ia mengelus lembut puncak kepala perempuan itu yang masih memeluknya erat. “Mama sayang kamu, Nak.”

“Ayana juga sayang banget sama Mama.”

“Mau ikut masak lagi sama Mama, tidak?” tanya Mama mengalihkan topik.

Secepat kilat Ayana melepaskan pelukannya. “Tentu dong, Ma. Sebenarnya niat Ayana turun dari kamar juga untuk membantu Mama dan Bi Asih menyiapkan makan siang.”

“Eh, maksud Ayana belajar memasak lagi, Ma,” lanjutnya cepat untuk meralat kalimat yang diucapkan. Lantas tertawa geli mentertawakan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa sekarang ia masih belum bisa memasak dengan sempurna seperti Mama. Sebab itulah, ia berusaha keras untuk belajar, belajar dan belajar. Agar nanti ia bisa menyiapkan sendiri makanan untuk keluarganya.

Tak luput Mama yang mendengar ucapan Ayana juga ikut tertawa. Apalagi melihat tingkah Ayana yang polos dan apa adanya.

“Ya sudah. Ayo bantu Mama menyelesaikan masakan yang sempat tertunda tadi. Setelah itu, kamu harus antarkan makanan untuk Zayn.”

“Siap 86, komandan besar,” jawab Ayana bercanda dan lagi-lagi sukses membuat Mama tertawa.

“Apakah menantuku memang sepolos ini, ya?” tanya Mama dalam hati seraya menggelengkan kepala berulang kali.

Ayana mengernyit, membuat kerutan tampak jelas di kening. “Ma.” Ia menyentuh lengan Mama yang masih terpaku. “Kenapa Mama diam seperti itu. Mama bilang mau lanjut masak.”

“Oh, iya, Sayang. Ayo.”

Keduanya beranjak menuju ke dapur.

Tangan Ayana sudah mulai terbiasa dengan alat-alat dapur. Meskipun tak secepat pergerakan Mama.

Tak ada yang mengganggu satu sama lain. Mereka asyik dengan pekerjaan masing-masing. Hingga Ayana berhasil menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan Mama untuknya dengan baik, menurutnya. “Yeay, finish!” teriaknya kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah dari orang tua.

Mama terlonjak dibuatnya. Begitu juga dengan Bi Asih yang hanya fokus dengan pekerjaannya.

“Astaga, Ayana! Kamu ini membuat Mama kaget saja.”

“Iya, Non. Bibi juga ikut kaget. Bibi kira ada apa begitu,” sambung Bi Asih.”

Ayana hanya menunjukkan cengiran khasnya seraya mengangkat dua jari tangan—jari telunjuk dan jari tengah—membentuk huruf V. “Maaf, Ma. Maaf, Bi. Ayang tidak bermaksud untuk mengagetkan.”

“Sekarang temui Zayn di kamar, ya, Sayang. Bawakan makan siang untuknya. Jangan lupa ingatkan Zayn untuk minum obat.”

Ayana mengangguk.

“Tapi, ingat kata Mama. Kamu harus lebih sabar menghadapinya. Dia memang cukup susah kalau disuruh minum obat.”

 “Hah?” Ayana sedikit terheran.

“Iya. Dia memang seperti itu. Susah sekali jika Mama memintanya minum obat. Padahal jelas saja itu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Tapi, tetap saja. Makanya, dia sering anfal begitu.”

“Mama tenang saja, ya. Mulai sekarang sudah ada Ayana yang akan mengurus soal itu.”

“Iya, Nak. Ingat, Zayn tidak boleh absen untuk mengonsumsi obatnya.”

“Iya, Ma. Ayana mengerti.” Ia tersenyum. Bahagia memiliki mertua sebaik Mama.

“Ayana ke kamar dulu, ya, Ma.”

Mama mengangguk.

Ayana melenggang pergi dengan makanan yang sudah ia siapkan untuk suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status