Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.
Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.
”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”
Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?
Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-jangan hal buruk terjadi pada suaminya.
Tanpa berpikir panjang Ayana berlari meninggalkan televisi yang masih menyala. Kakinya dengan cepat menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai dasar dengan kamarnya di lantai dua. Lantas, membuka pintu dengan kasar dan mendapati suaminya tengah meringkuk di atas tempat tidur. Dilihatnya tubuh Zayn bergerak tak menentu.
Sambil berjalan mendekati tempat tidur. Ayana berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan akibat ia berlari. Kemudian, di samping Zayn ia duduk. Ia menyentuh pundak suaminya. “Hai! Kenapa makanannya belum juga dimakan, Zayn? Padahal aku sudga membuatkan makanan kesukaanmu seperti yang Mama beritahu padaku,” ucapnya dengan sangat lembut. Padahal, belum sampai satu jam ia merasa kecewa dan marah akan bentakan Zayn padanya. Namun, karena rasa sayang yang begitu besar dan tidak ingin terjadi hal buruk pada suaminya. Ia harus membuang jauh rasa takut, juga egonya. Biar bagaimana pun. Ia mempunyai kewajiban untuk mematuhi, menyayangi, berbakti pada suaminya.
Bukan jawaban yang Ayana dapatkan. Melainkan hanya ringisan kecil yang lolos dari bibir Zayn yang tengah membelakanginya. Ia mulai khawatir. Hingga terpaksa ia menarik tubuh Zayn sampai tubuh itu benar-benar terlentang. Ayana kepalang kaget melihat wajah pucat Zayn yang sudah dibasahi keringat. Apalagi melihat tangan suaminya yang meremat kuat bagian dada.
“Jangan bercanda, Zayn,” kata Ayana dengan panik. Ia mengguncang tubuh Zayn dengan kuat. Namun, lelaki itu tak juga berhenti meringis.
“Zayn, kamu masih bisa mendengarku, kan?”
Mendengar suara istrinya yang panik. Zayn berusaha sekuat yang ia bisa untuk meredam rasa sakitnya. Perlahan ia membuka mata. Ditatapnya Ayana dengan tatapan yang masih tampak memburam. “H-hai, ja-ngan pa-nik,” ucapnya dengan suara terbata seraya berusaha meraih wajah Ayana. “A-ku baik-baik sa-ja, Sa-yang.”
Ayana tidak bisa untuk tidak menangis. Ia memegang tangan Zayn yang berada di wajahnya. “Sekarang kamu makan siang dulu dan minum obat, Zayn. please,” pintanya dan dibalas anggukan pelan oleh lelaki itu.
Ayana membantu Zayn untuk duduk dan bersandar pada sandaran tempat tidur. “Sebentar aku ambilkan makanannya.”
Tangan Ayana dicekal pelan oleh Zayn. “Aku akan sendiri, Na.”
Perempuan itu menggeleng cepat. “Izinkan aku belajar dari hal-hal sederhana untuk menjadi perempuan yang layak disebut seorang istri, Zayn.” Lalu, ia melepas pegangan Zayn di pergelangan tangannya.
Zayn tersenyum bangga sekaligus merasakan sesal yang teramat karena teringat akan sikapnya tadi. Ia biarkan Ayana mengambil makanan untuknya. Memangnya ia bisa apa saat serangan tiba-tiba ia dapatkan seperti ini? Hanya sebatas keinginan karena sikap keras kepalanya saja yang membuat berkata untuk mengambil sendiri makanannya. Padahal, hanya untuk merubah posisi saja jantung seakan tertusuk tombak.
“Aku suapin, ya.”
Tanpa menunggu persetujuan Zayn, tangan Ayana sudah siap menyuapi suaminya. “Makan yang banyak biar kamu segera sembuh.”
“Kamu tidak tahu saja, Ayana. Penyakitku ini tidak bisa disembuhkan,” ucap Zayn dalam hati. Ia tersenyum sendu. Hatinya pun ikut ngilu. Bagaimana jika penyakit yang bersarang di tubuhnya itu akan benar-benar merenggut nyawanya dengan tiba-tiba. Lalu, bagaimana dengan Ayana nanti? Zayn menepis pemikiran itu dengan segera.
Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu