Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.
Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.
Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.
“Semoga saja Zayn suka dan tidak menolak masakanku kali ini,” ucapnya penuh harap saat kakinya sudah sampai dan berhenti di depan pintu kamar. Kendati selama ia membuatkan Zayn jenis makanan apapun. Lelaki yang berstatus sebagai suaminya tak pernah menolak sama sekali untuk memakannya. Kata Zayn, “Seperti apapun masakanmu. Aku pasti memakannya. Karena, masakanmu tidak akan pernah ada tandingannya dengan makanan di luar sana. Kamu tahu kenapa? Karena, apapun yang kamu masak pasti dibumbui cinta.”
Dengan sebelah tangan yang terbebas dari nampan segera menyentuh knop pintu dan membuka benda berwarna cokelat itu dengan pelan. Saat pintu terbuka, tatapan langsung menangkap sosok Zayn yang tengah asyik berkutat dengan benda segi empat besar di tempat tidur.”
Seraya melangkahkan kaki mendekat. Ayana hanya bisa geleng-geleng kepala. Kini ia membenarkan ucapan Mama beberapa hari lalu bahwa suaminya memang workholic.
“Kamu ini, ya, Zayn. Lagi sakit seperti ini masih bisa-bisanya kamu memikirkan pekerjaan,” ucap Ayana penuh heran. Ia meletakkan makanan yang dibawa di atas nakas di samping tempat tidur. Ia mendaratkan bokongnya tepat do samping Zayn. Namun, sayangnya lelaki itu sepertinya belum menyadari kehadirannya. Terbukti dari Zayn yang sama sekali tak teralihkan atensinya dari layar laptop.
“Sayang,” panggil Ayana sambil menyentuh lengan Zayn.
Zayn terlonjak kaget. Ia refleks menyentuh dadanya yang berdetak hebat. Ada rasa sakit yang kembali datang. “Astaga, Ayana. Kamu membuatku kaget tahu.”
Kening Ayana mengkerut dalam. Rupanya Zayn benar-benar tak menyadari kehadirannya. “Bagaimana bisa? Aku bahkan hanya memanggilmu dengan suara yang sangat pelan, Zayn.”
“Tapi, memangilku dengan tiba-tiba dan menyentuhku yang sedang fokus seperti tadi membuatku kaget, Na. Sungguh,” ungkap Zayn tak berbohong sembari mengelus dadanya yang terasa sedikit nyeri. Ya, hanya sedikit, tetapi sangat mengganggu.
Ayana yang baru tersadar lantas menyentuh tangan Zayn yang memegang dada. “Sakit lagi?”
Zayn hanya mengangguk. Kini ia sudah tidak ragu mengutarakan rasa sakit yang tiba-tiba datang.
“Keep calm down, Zayn,” ucap Ayana dengan suara menenangkan. Ia gantikan tangan Zayn untuk menyentuh bagian yang membuat suaminya itu tersiksa. Dari dalam sana ia rasakan detakan yang begitu cepat. Lalu, ia mengelus dada kiri Zayn berulang kali hingga detakan itu perlahan normal.
“Maaf jika aku membuatmu kaget dan sakit, ya. Lain kali aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ayana tersenyum manis ke arah Zayn. Tangannya kini sudah tak lagi mengelus dada suaminya. Namun, beralih mengusap kening Zayn yang sudah dipenuhi butir-butir keringat sebesar biji jagung tanpa merasa risih dan jijik sedikit pun.
Zayn yang mendapatkan perlakuan manis itu membalas dengan anggukan. “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu jangan merasa bersalah seperti itu. Memang jantungku saja yang sedang rewel akhir-akhir ini,” balas Zayn dan tertawa pelan.
Ayana menggenggam tangan suaminya. Ia mainkan ibu jarinya di punggung tangan Zayn yang sudah mulai terlihat urat-urat yang menonjol ke luar. Satu bukti bahwa lelaki itu kini sudah mulai kehilangan berat badan sedikit demi sedikit. “Memangnya kamu tidak tahu kalau aku di sini?”
Kepala Zayn mengangguk membuat surai hitam yang menjuntai di depan kening ikut bergerak naik turun. “Aku bahkan tidak tahu kapan kamu datang, Na.” Setelah berucap ia kembali menfokuskan diri pada laptop yang masih menyala. Menampilkan deretan huruf-huruf, angka dan gambar lainnya yang jelas saja hanya dimengerti oleh Zayn dan orang-orang yang satu frekuensi dengannya.
Ayana yang melihat hal itu membuang napas kasar. “Huft! Sekarang kamu makan dulu. Aku sudah siapkan makanan untukmu. Setelah itu minum obat.”
Zayn sama sekali tak mengindahkan ucapan Ayana. Ia hanya terus fokus pada apa yang tengah ia kerjakan.
“Zayn, makan dulu.” Ayana meyentuh lengan suaminya dan sedikit mengguncang.
“Iya,” jawab Zayn sangat singkat. Namun, tangan dan tatapannya tak dialihkan dari benda lipat di hadapannya itu.
“Zayn,” panggil Ayana sambil mempertahankan kesabarannya. Lagi-lagi ia harus membenarkan ucapan Mama tentang sifat suaminya.
“Iya, Sayang. Sebentar lagi, ya. Nanggung kalau aku tinggal.”
Ayana mendengus kesal. Namun, akhirnya ia hanya bisa mengikuti saja apa yang dikatakan Zayn. Ia tidak bisa memaksa laki-laki itu. Ya, karena memang Zayn tidak bisa dipaksa orangnya. Zayn keras kepala.
Sepuluh menit berlalu tanpa suara. Zayn masih belum juga beralih dri kesibukannya dengan pekerjaan kantor yang katanya benar-benar urgent.
“Zayn, come on.”
Zayn hanya menanggapi dengan gumaman singkat.
“Makan dulu. Nanti kamu lanjutkan lagi pekerjaannya. Ingat, kamu harus minum obat tepat waktu.”
Zayn tak menimpali.
“Sayang.” Ayana menggapai tangan Zayn.
“Aku lagi banyak kerjaan, Na. Tolonglah jangan ganggu dulu!” bentak Zayn dengan suara keras. Ia juga menepis tangan Ayana yang sudah berhasil menggapai tangannya.
Seketika bibir Ayana terkatup rapat. Tangannya mulai bergetar. Genangan di kelopak matanya terbentuk sempurna dalam sekejap. Perlahan ia bangkit dan memilih menjauh dari Zayn.
Zayn yang baru saja menyadari sikapnya langsung menghentikan gerakan tangannya yang bermain di atas keyboard laptop. Karena, kondisinya yang masih lemah. Ia berusaha bangkit dengan sangat pelan. Berjalan ke arah Ayana yang sudah mencapai pintu. Beruntung tangannya mampu menggapai mampu menggapai lengan Ayana sebelum perempuan itu berlalu keluar.
“Maafkan aku, Na. Aku tidak bermaksud untuk membentakmu.” Zayn meraih tubuh Ayana yang terlampau kecil dari tubuhnya. Ia memeluk Ayana dengan erat.
Tak lama Ayana berada dalam pelukan Zayn. Ia mengurai lebih dulu dekapan suaminya dan menciptakan jarak dengan lelaki di hadapannya. “Tidak apa-apa, Zayn. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu. Aku akan keluar agar tidak mengganggumu,” ucapnya seraya mencoba untuk tersenyum. Meskipun sepasang bola matanya tak mampu berbohong bahwa ia sedih mendapati perlakuan seperti tadi.
Perlahan genggaman Zayn di tangannya dilepas. Ia beranjak keluar. Namun, langkahnya terhenti dan menoleh ke belakang. “Aku sudah siapkan makan siang untukmu di atas nakas. Juga dengan obatmu di sana. Jangan lupa diminum.”
Ayana benar-benar berlalu dari hadapan Zayn. meninggalkan lelaki itu dengan segala rasa sesalnya.
Sedangkan Zayn hanya bisa menatap punggung Ayana yang perlahan menjauh. Ia tatap tubuh perempuan itu yang menuruni tangga hingga tak mampu tertangkap mata. Ia mengusap wajahnya kasar. Kenapa ia bisa lepas kontrol hingga membentak istrinya dengan begitu keras? Padahal, Ayana sudah susah payah menyiapkan segala keperluannya. Juga sudah sangat sabar menghadapi sikapnya yang keras kepala.
Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga
Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b