Share

Bentakan

Penulis: Ynurnun
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-02 12:58:44

Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.

Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.

Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.

“Semoga saja Zayn suka dan tidak menolak masakanku kali ini,” ucapnya penuh harap saat kakinya sudah sampai dan berhenti di depan pintu kamar. Kendati selama ia membuatkan Zayn jenis makanan apapun. Lelaki yang berstatus sebagai suaminya tak pernah menolak sama sekali untuk memakannya. Kata Zayn, “Seperti apapun masakanmu. Aku pasti memakannya. Karena, masakanmu tidak akan pernah ada tandingannya dengan makanan di luar sana. Kamu tahu kenapa? Karena, apapun yang kamu masak pasti dibumbui cinta.”

Dengan sebelah tangan yang terbebas dari nampan segera menyentuh knop pintu dan membuka benda berwarna cokelat itu dengan pelan. Saat pintu terbuka, tatapan langsung menangkap sosok Zayn yang tengah asyik berkutat dengan benda segi empat besar di tempat tidur.”

Seraya melangkahkan kaki mendekat. Ayana hanya bisa geleng-geleng kepala. Kini ia membenarkan ucapan Mama beberapa hari lalu bahwa suaminya memang workholic.

“Kamu ini, ya, Zayn. Lagi sakit seperti ini masih bisa-bisanya kamu memikirkan pekerjaan,” ucap Ayana penuh heran. Ia meletakkan makanan yang dibawa di atas nakas di samping tempat tidur. Ia mendaratkan bokongnya tepat do samping Zayn. Namun, sayangnya lelaki itu sepertinya belum menyadari kehadirannya. Terbukti dari Zayn yang sama sekali tak teralihkan atensinya dari layar laptop.

“Sayang,” panggil Ayana sambil menyentuh lengan Zayn.

Zayn terlonjak kaget. Ia refleks menyentuh dadanya yang berdetak hebat. Ada rasa sakit yang kembali datang. “Astaga, Ayana. Kamu membuatku kaget tahu.”

Kening Ayana mengkerut dalam. Rupanya Zayn benar-benar tak menyadari kehadirannya. “Bagaimana bisa? Aku bahkan hanya memanggilmu dengan suara yang sangat pelan, Zayn.”

 “Tapi, memangilku dengan tiba-tiba dan menyentuhku yang sedang fokus seperti tadi membuatku kaget, Na. Sungguh,” ungkap Zayn tak berbohong sembari mengelus dadanya yang terasa sedikit nyeri. Ya, hanya sedikit, tetapi sangat mengganggu.

Ayana yang baru tersadar lantas menyentuh tangan Zayn yang memegang dada. “Sakit lagi?”

Zayn hanya mengangguk. Kini ia sudah tidak ragu mengutarakan rasa sakit yang tiba-tiba datang.

Keep calm down, Zayn,” ucap Ayana dengan suara menenangkan. Ia gantikan tangan Zayn untuk menyentuh bagian yang membuat suaminya itu tersiksa. Dari dalam sana ia rasakan detakan yang begitu cepat. Lalu, ia mengelus dada kiri Zayn berulang kali hingga detakan itu perlahan normal.

“Maaf jika aku membuatmu kaget dan sakit, ya. Lain kali aku tidak akan mengulanginya lagi.” Ayana tersenyum manis ke arah Zayn. Tangannya kini sudah tak lagi mengelus dada suaminya. Namun, beralih mengusap kening Zayn yang sudah dipenuhi butir-butir keringat sebesar biji jagung tanpa merasa risih dan jijik sedikit pun.

Zayn yang mendapatkan perlakuan manis itu membalas dengan anggukan. “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu jangan merasa bersalah seperti itu. Memang jantungku saja yang sedang rewel akhir-akhir ini,” balas Zayn dan tertawa pelan.

Ayana menggenggam tangan suaminya. Ia mainkan ibu jarinya di punggung tangan Zayn yang sudah mulai terlihat urat-urat yang menonjol ke luar. Satu bukti bahwa lelaki itu kini sudah mulai kehilangan berat badan sedikit demi sedikit. “Memangnya kamu tidak tahu kalau aku di sini?”

Kepala Zayn mengangguk membuat surai hitam yang menjuntai di depan kening ikut bergerak naik turun. “Aku bahkan tidak tahu kapan kamu datang, Na.” Setelah berucap ia kembali menfokuskan diri pada laptop yang masih menyala. Menampilkan deretan huruf-huruf, angka dan gambar lainnya yang jelas saja hanya dimengerti oleh Zayn dan orang-orang yang satu frekuensi dengannya.

Ayana yang melihat hal itu membuang napas kasar. “Huft! Sekarang kamu makan dulu. Aku sudah siapkan makanan untukmu. Setelah itu minum obat.”

Zayn sama sekali tak mengindahkan ucapan Ayana. Ia hanya terus fokus pada apa yang tengah ia kerjakan.

“Zayn, makan dulu.” Ayana meyentuh lengan suaminya dan sedikit mengguncang.

“Iya,” jawab Zayn sangat singkat. Namun, tangan dan tatapannya tak dialihkan dari benda lipat di hadapannya itu.

“Zayn,” panggil Ayana sambil mempertahankan kesabarannya. Lagi-lagi ia harus membenarkan ucapan Mama tentang sifat suaminya.

“Iya, Sayang. Sebentar lagi, ya. Nanggung kalau aku tinggal.”

Ayana mendengus kesal. Namun, akhirnya ia hanya bisa mengikuti saja apa yang dikatakan Zayn. Ia tidak bisa memaksa laki-laki itu. Ya, karena memang Zayn tidak bisa dipaksa orangnya. Zayn keras kepala.

Sepuluh menit berlalu tanpa suara. Zayn masih belum juga beralih dri kesibukannya dengan pekerjaan kantor yang katanya benar-benar urgent.

“Zayn, come on.”

Zayn hanya menanggapi dengan gumaman singkat.

“Makan dulu. Nanti kamu lanjutkan lagi pekerjaannya. Ingat, kamu harus minum obat tepat waktu.”

Zayn tak menimpali.

“Sayang.” Ayana menggapai tangan Zayn.

“Aku lagi banyak kerjaan, Na. Tolonglah jangan ganggu dulu!” bentak Zayn dengan suara keras. Ia juga menepis tangan Ayana yang sudah berhasil menggapai tangannya.

Seketika bibir Ayana terkatup rapat. Tangannya mulai bergetar. Genangan di kelopak matanya terbentuk sempurna dalam sekejap. Perlahan ia bangkit dan memilih menjauh dari Zayn.

Zayn yang baru saja menyadari sikapnya langsung menghentikan gerakan tangannya yang bermain di atas keyboard laptop. Karena, kondisinya yang masih lemah. Ia berusaha bangkit dengan sangat pelan. Berjalan ke arah Ayana yang sudah mencapai pintu. Beruntung tangannya mampu menggapai mampu menggapai lengan Ayana sebelum perempuan itu berlalu keluar.

“Maafkan aku, Na. Aku tidak bermaksud untuk membentakmu.” Zayn meraih tubuh Ayana yang terlampau kecil dari tubuhnya. Ia memeluk Ayana dengan erat.

Tak lama Ayana berada dalam pelukan Zayn. Ia mengurai lebih dulu dekapan suaminya dan menciptakan jarak dengan lelaki di hadapannya. “Tidak apa-apa, Zayn. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu. Aku akan keluar agar tidak mengganggumu,” ucapnya seraya mencoba untuk tersenyum. Meskipun sepasang bola matanya tak mampu berbohong bahwa ia sedih mendapati perlakuan seperti tadi.

Perlahan genggaman Zayn di tangannya dilepas. Ia beranjak keluar. Namun, langkahnya terhenti dan menoleh ke belakang. “Aku sudah siapkan makan siang untukmu di atas nakas. Juga dengan obatmu di sana. Jangan lupa diminum.”

Ayana benar-benar berlalu dari hadapan Zayn. meninggalkan lelaki itu dengan segala rasa sesalnya.

Sedangkan Zayn hanya bisa menatap punggung Ayana yang perlahan menjauh. Ia tatap tubuh perempuan itu yang menuruni tangga hingga tak mampu tertangkap mata. Ia mengusap wajahnya kasar. Kenapa ia bisa lepas kontrol hingga membentak istrinya dengan begitu keras? Padahal, Ayana sudah susah payah menyiapkan segala keperluannya. Juga sudah sangat sabar menghadapi sikapnya yang keras kepala.

Bab terkait

  • Menyingkap Tabir   Negative Thinking

    Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Menyingkap Tabir   Penerimaan Ayana

    Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Menyingkap Tabir   Janji?

    Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Menyingkap Tabir   Anfal

    Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan

    Terakhir Diperbarui : 2022-02-02
  • Menyingkap Tabir   Panik

    Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Menyingkap Tabir   Drama Pagi

    Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Menyingkap Tabir   Sarapan

    Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-24
  • Menyingkap Tabir   Pagi yang asing

    Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b

    Terakhir Diperbarui : 2022-04-12

Bab terbaru

  • Menyingkap Tabir   Double Date?

    Sebuah kereta besi berwarna merah menyala telah terparkir rapi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Seorang lelaki dengan setelan hoodie hitam pekat berpadu celana jins warna senada yang mengemudikan kendaraan roda empat tersebut keluar dari sana. Ia mengenakan kacamata hitam untuk menghalau sinar matahari yang perlahan semakin beranjak naik seiring jarum jam yang terus bergerak konstan. Ia membawa tungkainya mengayun dan memutari mobilnya untuk bisa mencapai pintu penumpang. Lantas, membukakan untuk seseorang yang masih duduk manis di sana. Senyumnya mengembang menghias pahatan wajah dengan rahang tegas itu.“Silakan turun, Tuan Putri,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Persis seperti seorang pangeran yang tengah memperlakukan istimewa sang putri raja. Sedang senyum yang terbit sejak tadi semakin tampak manis, menambah aura ketampanan wajah yang seringkali menjadi bahan pujian kaum hawa itu.Ayana—seseorang

  • Menyingkap Tabir   Perkara Outfit

    Setelah empat hari terpenjara di rumah dan yang bisa Zayn lakukan hanya berdiam diri di kamar. Atau hanya sekedar menikmati udara sore yang segar di taman belakang. Hari ini, sesuai janjinya pada Ayana. Ia ingin membawa Ayana ke mana saja istrinya itu inginkan. Dan yang menjadi pilihan Ayana adalah mall.Sejak menjadi istri Zayn, Ayana memang sudah jarang sekali bepergian. Bukan sebab Zayn tak ingin membawanya. Namun, kesibukan masing-masinglah yang menyita waktu mereka. Dan hari ini, karena Zayn sudah merasa baik-baik saja. Ia berani mengiyakan."Sudah siap?" tanya Zayn yang sudah berdiri di dekat tempat tidur setelah izin keluar kamar sebentar sementara Ayana melakukan ritualnya di kamar mandi. Entah kenapa pagi ini ia kepikiran seksli terhadap Ezran hingga ia mencoba ke kamar adiknya itu. Namun, adiknya itu justru tak ada di kamarnya. Entah ke mana anak itu pergi pagi-pagi seperti ini. Padahal, jika diingat-ingat. Sekarang adalah hari libur.Ayana masih

  • Menyingkap Tabir   Tak Tega

    Tubuh yang berbaring di atas tempat tidur itu bergerak. Lenguhan singkat pun tak urung lolos. Zayn yang hendak menggeliat lantas mengurungkan niatnya. Ia merasakan ada sesuatu yang menindih lepas. Di kening ia juga merasakan ada sesuatu yang menempel. Ia perlahan membuka kelopak mata yang entah sudah berapa jam terkatup. Sebab, terakhir yang Zayn ingat adalah ia tengah berlagak pada Ezran.Sepasang netra dengan iris hitam bersih sedikit memicing untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang tertangkap retiba.

  • Menyingkap Tabir   Zayn Anfal

    "Segini cukup, nggak? Atau masih sesak?" tanya Ezran tanpa membocorkan ke arah Zayn. Tangannya fokus mengatur keluaran untuk membantu pernapasan lelaki yang bertaut enam tahun dengannya. Hal yang sering ia lakukan sejak lama saat kakaknya terserang sesak. "Cukup, Dek," balas Zayn dengan suara yang masih lemas. Bagaimana tidak? Setelah mengalami serangan yang begitu tiba-tiba. Ia juga mengalami sesak yang hebat hingga menguras tenaganya. Bersyukur saja ia tidak kehilangan kesadaran seperti sebel

  • Menyingkap Tabir   Janji

    Setelah melewati perdebatan panjang. Mau tidak mau Ayans harus mengalah. Apalagi, lelaki yang tengah duduk manis di pinggir tempat tidur dengan senyum penuh kemenangan itu sempat menyentilnya dengan hal yang berbau agama. Ia menatap Zayn sekilas dan menggelengkan kepala. Lantas mengembuskan napas dan bergumam, "Dasar keras kepala."Gadis itu kembali duduk di depan meja rias. Ia mulai memoles wajahnya dengan perlahan. Lantas, sesekali melirik Zayn dengan ekor mata.Ketika Ayana bangkit dan hendak bergerak menuju sebuah lemari untuk memilih hijab yang akan ia padukan dengan gamisnya. Langkahnya terhenti saat menangkap sosok Zayn sudah tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Ia lihat wajah yang tadinya ceria dan berwarna itu berubah tanpa rona. Begitu juga dengan peluh yang mulai bermunculan. Padahal, kondisi udara di dalam kamarnya sudah benar-benar stabil."Hai! Kenapa?" sapanya setelah berdiri di hadapan Zayn yang tengah menundukkan kepala dengan tangan yang ia g

  • Menyingkap Tabir   Izin

    Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali

  • Menyingkap Tabir   Keputusan Ayana

    Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu

  • Menyingkap Tabir   Pagi yang asing

    Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b

  • Menyingkap Tabir   Sarapan

    Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”

DMCA.com Protection Status