Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”
Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”
Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”
“Tidak, Sayang.”
“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”
“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”
“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”
Zayn tertawa.
“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”
“Ba—”
“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku perbolehkan untuk kembali bekerja. Kalau untuk besok aku tidak mengizinkanmu pergi ke kantor,” katanya dengan cepat memotong ucapan Zayn.
“Lho, tapi, Sayang. Aku kan lagi banyak kerjaan.”
“Sayangnya aku tidak peduli. Karena, yang aku pedulikan hanya kondisi suamiku saja.”
“Sayang, come on!”
“Maaf, Tuan Nazlan Zayn Ahmad. Nyonya Nazura Ayana Albirru tidak menerima penolakan dalam bentuk apapun.”
Zayn melipat tangan di depan dada. “Oh, jadi sekarang kamu sudah berani melarang suamimu, ya?”
“Untuk apapun yang menyangkut kebaikan dan kesehatan. Istri boleh melarang suami,” ucap Ayana dengan tegas. Ia tak mau kalah oleh Zayn. Ia menirukan suaminya dengan melipat tangan di depan dada.
Zayn tertawa melihat sikap Ayana yang baginya tampak lucu. “Baiklah. Aku akan mengikuti perintah boss kecilku ini,” jawab Zayn dengan tangan yang tak kuasa ditahan untuk engacak jilbab Ayana hingga berantakan.
Perempuan itu mendengus kesal. Ia menatap suaminya dengan tajam. “Zayn!” pekiknya. “Kenapa kamu senang sekali membuat jilbabku berantakan sih?” Lantas ia mengerucutkan bibir beberapa senti ke depan.
Bukannya takut dan merasa bersalah. Zayn justru semakin merasa gemas dengan tingkah istrinya. Sampai-sampai rasa sakit yang terlampau menyiksa itu perlahan hilang dan tak terasa sedikit pun. “Apa kamu sudah lupa apa yang kukatakan sebelum-sebelumnya?”
Alis perempuan itu terangkat sebelah. Ia menatap bingung ke arah Zayn.
“Aku bilang kalau sejak hari pertama aku menjadi suamimu. Mengacak rambut dan jilbabmu adalah hobi baruku.”
“Kamu sama saja kayak Mas Adam. Sama-sama menyebalkan.”
Zayn tidak bisa untuk tidak tertawa. “Tapi, kamu sayang, ‘kan?”
Ayana mengedikkan bahu.
“Na, kamu tahu tidak? Sekarang namamu bukan lagi Nazura Ayana Albirru.”
“Tapi?”
“Tapi, Nazura Ayana Ahmad. Karena, sejak aku menjabat tangan Ayah dan mengucapkan ijab qabul. Sejak saat itu pula kamu menjadi Nyonya Ahmad-ku.”
Ayana tersipu. Pipinya bersemu merah. Bibirnya tak mampu berucap. Hanya kalimat sesederhana itu saja bisa membuat Ayana terbang. Apalagi hal romantis lain yang dilakukan Zayn untuknya.
“Terima kasih sudah menerimaku dengan segala kekurangan yang bahkan sempat aku sembunyikan. Aku bersyukur dikirimkan perempuan sepertimu dalam hidupku, Na.”
Ayana tersenyum. Ia meraih tangan kanan Zayn dan memainkan ibu jarinya di sana. “Seperti apapun kamu. Kamu tetaplah lelaki yang berstatus sebagai suamiku. Sebagai seorang istri adalah kewajibanku untuk selalu menjadi pelengkap segala kekurangan atasmu.”
Perempuan itu terdiam sejenak. Lalu, ditatapnya dengan intens sepasang bola mata yang indah milik Zayn. “Untuk apapun yang sudah kulakukan untukmu. Kamu tidak perlu berterima kasih. Aku ikhlas, Zayn.”
“Kamu bahkan berpikir sejauh dan sebijak itu, Na. Maafkan aku, ya, Sayang. Maafkan aku atas segala praduga yang tak seharusnya kutujukan padamu.”
Ayana mengangguk tanpa menanggalkan senyumnya yang indah. “Zayn, seberat apapun masalah yang tengah kamu hadapi. Jangan pernah tutupi dariku. Terbuka dan ceritalah padaku. Karena, aku adalah istrimu. Seseorang yang akan selalu mendampingi dan menguatkanmu dalam segala kondisi. Trust me, Zayn.”
“Iya, Sayang. I trust you.”
“Sekarang minum obat dulu, Zayn,” ucap Ayana sambil mearih piring kecil di atas nakas yang berisi obat-obatan yang akan dikonsumsi Zayn.
“Aku sudah baik-baik saja kok, Na. Untuk apa minum obat?”
Ayana tidak terima dengan ucapan Zayn. Ia menggeleng dan menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan sebagai bentuk penolakan. “No! Kamu tidak bisa lagi berbohong padaku, Zayn. Saat ini kamu sedang tidak baik-baik saja. Wajahmu masih sangat pucat seperti mayat hidup.”
“Na, ayolah. Trust me, ya.” Zayn mengedipkan mata berulang kali untuk merayu Ayana.
Satu per satu sikap Zayn yang dikatakan Mama mulai terungkap. Ia hanya mampu menggelengkan kepala karena tak habis pikir akan sikap Zayn. “Kata Mama kamu harus mengonsumsi obatmu setiap hari dan tidak boleh absen.”
“Tapi, Na—”
Ayana mendaratkan bibirnya di bibir Zayn untuk menghentikan lelaki itu berbicara. Tak hanya ucapan Zayn yang terpotong. Lelaki itu juga sukses mematung. “Jangan seperti anak kecil, Zayn. Kamu sangat membutuhkan obat-obatan itu. Tolong jangan buat aku khawatir dan setakut tadi,” ucapnya setelah melepas ciuman di bibir Zayn.
Zayn melunak seketika. “Na.”
“Iya, sayangku.”
“Apa kamu yakin dengan laki-laki penyakitan ini untuk bisa menjagamu?"
“Kamu kuat kok. Kamu pasti bisa. Kita akan melangkah sama-sama, Zayn.”
“Tapi, bagaimana kalau—”
“Jangan bicara tentang hal-hal yang belum tentu terjadi. Lebih baik kamu fokus dengan kesehatanmu saja. Jangan banyak pikiran dulu.”
Zayn tak lagi berkata-kata. Ketakutannya kini bukan lagi tentang Ayana yang akan meninggalkannya. Namun, ketakutannya kini tentang kemampuannya apakah ia bisa menjaga Ayana dengan baik atau justru sebaliknya.
Ayana yang melihat perubahan suaminya mencoba mencairkan suasana. “Zayn, kalau kamu sehat nanti. Aku mau jalan-jalan. Boleh?”
Lelaki itu mencoba berpikir. Hingga detik berikutnya ia menganggukkan kepala. Di pikirannya, barangkali dengan mengiyakan semua keinginan Ayana akan bisa membuatnya menjadi suami yang baik dan berguna.
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu
Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali
Sebuah kereta besi berwarna merah menyala telah terparkir rapi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Seorang lelaki dengan setelan hoodie hitam pekat berpadu celana jins warna senada yang mengemudikan kendaraan roda empat tersebut keluar dari sana. Ia mengenakan kacamata hitam untuk menghalau sinar matahari yang perlahan semakin beranjak naik seiring jarum jam yang terus bergerak konstan. Ia membawa tungkainya mengayun dan memutari mobilnya untuk bisa mencapai pintu penumpang. Lantas, membukakan untuk seseorang yang masih duduk manis di sana. Senyumnya mengembang menghias pahatan wajah dengan rahang tegas itu.“Silakan turun, Tuan Putri,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Persis seperti seorang pangeran yang tengah memperlakukan istimewa sang putri raja. Sedang senyum yang terbit sejak tadi semakin tampak manis, menambah aura ketampanan wajah yang seringkali menjadi bahan pujian kaum hawa itu.Ayana—seseorang
Setelah empat hari terpenjara di rumah dan yang bisa Zayn lakukan hanya berdiam diri di kamar. Atau hanya sekedar menikmati udara sore yang segar di taman belakang. Hari ini, sesuai janjinya pada Ayana. Ia ingin membawa Ayana ke mana saja istrinya itu inginkan. Dan yang menjadi pilihan Ayana adalah mall.Sejak menjadi istri Zayn, Ayana memang sudah jarang sekali bepergian. Bukan sebab Zayn tak ingin membawanya. Namun, kesibukan masing-masinglah yang menyita waktu mereka. Dan hari ini, karena Zayn sudah merasa baik-baik saja. Ia berani mengiyakan."Sudah siap?" tanya Zayn yang sudah berdiri di dekat tempat tidur setelah izin keluar kamar sebentar sementara Ayana melakukan ritualnya di kamar mandi. Entah kenapa pagi ini ia kepikiran seksli terhadap Ezran hingga ia mencoba ke kamar adiknya itu. Namun, adiknya itu justru tak ada di kamarnya. Entah ke mana anak itu pergi pagi-pagi seperti ini. Padahal, jika diingat-ingat. Sekarang adalah hari libur.Ayana masih
Tubuh yang berbaring di atas tempat tidur itu bergerak. Lenguhan singkat pun tak urung lolos. Zayn yang hendak menggeliat lantas mengurungkan niatnya. Ia merasakan ada sesuatu yang menindih lepas. Di kening ia juga merasakan ada sesuatu yang menempel. Ia perlahan membuka kelopak mata yang entah sudah berapa jam terkatup. Sebab, terakhir yang Zayn ingat adalah ia tengah berlagak pada Ezran.Sepasang netra dengan iris hitam bersih sedikit memicing untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang tertangkap retiba.
"Segini cukup, nggak? Atau masih sesak?" tanya Ezran tanpa membocorkan ke arah Zayn. Tangannya fokus mengatur keluaran untuk membantu pernapasan lelaki yang bertaut enam tahun dengannya. Hal yang sering ia lakukan sejak lama saat kakaknya terserang sesak. "Cukup, Dek," balas Zayn dengan suara yang masih lemas. Bagaimana tidak? Setelah mengalami serangan yang begitu tiba-tiba. Ia juga mengalami sesak yang hebat hingga menguras tenaganya. Bersyukur saja ia tidak kehilangan kesadaran seperti sebel
Setelah melewati perdebatan panjang. Mau tidak mau Ayans harus mengalah. Apalagi, lelaki yang tengah duduk manis di pinggir tempat tidur dengan senyum penuh kemenangan itu sempat menyentilnya dengan hal yang berbau agama. Ia menatap Zayn sekilas dan menggelengkan kepala. Lantas mengembuskan napas dan bergumam, "Dasar keras kepala."Gadis itu kembali duduk di depan meja rias. Ia mulai memoles wajahnya dengan perlahan. Lantas, sesekali melirik Zayn dengan ekor mata.Ketika Ayana bangkit dan hendak bergerak menuju sebuah lemari untuk memilih hijab yang akan ia padukan dengan gamisnya. Langkahnya terhenti saat menangkap sosok Zayn sudah tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Ia lihat wajah yang tadinya ceria dan berwarna itu berubah tanpa rona. Begitu juga dengan peluh yang mulai bermunculan. Padahal, kondisi udara di dalam kamarnya sudah benar-benar stabil."Hai! Kenapa?" sapanya setelah berdiri di hadapan Zayn yang tengah menundukkan kepala dengan tangan yang ia g
Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”