Matanya yang terlihat sembap, sedikit basah dan memerah. Tak lepas pandangannya yang iba menyorot wajah pucat seseorang yang tengah terbaring di atas tempat tidur—Zayn. Sesekali sepasang netranya menangkap kerutan yang sangat jelas di kening lelaki itu. Persis seperti saat Zayn menahan sakit di kantornya.
Tangan perempuan dengan jilbab yang sedikit berantakan itu masih setia menggenggam tangan kekar yang kadang refleks menggenggamnya balik dengan sangat kuat, yang sangat ia yakini sebagai satu cara suaminya untuk menahan erangan. Ibu jarinya bermian mengelus punggung tangan Zayn. Dikecupnya lagi tangan itu cukup lama.
“Lekas membaik, ya, Sayangku,” ucapnya seraya menatap lagi wajah mulai damai dalam pejam itu. Kendati rona pucat belum juga ingin berubah. “Jangan buat aku khawatir dan setakut ini lagi, Zayn.” Air matanya lagi-lagi lolos dari kelopak mata dan mendarat di pipi mulusnya. Ia tertunduk, menenggelamkan kepala pada lipatan tangan untuk menahan isaknya. Takut-takut jika mengganggu tidur damai suaminya.
“Ayana,” panggil Zayn dengan suara lemah. Nyaris tak terdengar. Matanya masih belum terbuka. Kernyitan di keningnya semakin tampak jelas. Sakit itu lagi-lagi menghantamnya. Apa yang terjadi? Apakah kondisi jantungnya sudah semakin memburuk?
Meskipun hanya dengan suara kecil. Ayana masih bisa menangkap panggilan suaminya. Kepalanya terangkat dengan cepat. “Iya, Sayang. Kenapa?” Tangannya yang menggenggam tangan Zayn terlepas dan beralih ke area dada suaminya. “Di sini sakit lagi, ya? Hmm?” tanyanya dengan suara yang sangat lembut. Lantas mengelus dada Zayn yang naik turun tak teratur.
Perlahan kelopak mata Zayn terbuka. Ia menoleh ke kanan dan mendapati Ayana yang duduk di lantai. “Kenapa duduk di bawah, Na?” ucapnya bertanya tanpa lebih dulu berniat untuk menjawab pertanyaan istrinya.
Ayana membalas dengan senyum tipis. Sedang matanya sudah tak bisa lagi menahan gejolak air yang memberontak meminta ke luar.
Zayn yang melihat hal itu merasa semakin sakit. Ia tidak suka melihat air mata istrinya. “Na, aku baik-baik saja, Sayang. Kamu tidak perlu khawatir,” ucapnya seraya memaksakan senyum terbit di bibir tanpa ronanya. Tangannya bergerak pelan menyentuh puncak kepala Ayana. “Bangun, Sayang.”
Kini Ayana tersenyum kecut. Setelahnya itu tertawa sumbang. “Hanya perempuan bodoh yang tidak khawatir melihat suaminya dalam keadaan tidak berdaya seperti ini,” ucapnya penuh penekanan. Tiba-tiba amarahnya memuncak. Baginya apa yang dikatakan Zayn itu terdengar sangat konyol.
“Na, kam—”
Tangan kanan Ayana terangkat tinggi-tinggi untuk menghentikan kalimat Zayn. “Enough, Zayn! Jangan pernah mencoba untuk berbohong lagi padaku!” tegasnya dengan menekan setiap kata yang terlontar dari bibir tipisnya. Kendati air yang menggenang di kelopak mata, tetapi tatapannya benar-benar tajam dan mematikan. Untuk kali pertama sejak ia benar-benar marah pada Zayn.
Mata Zayn menyipit. Ia berusaha merubah posisi dengan susah payah. Ringisannya terdengar memilukan. Namun, hal itu tak membuat Ayana bergerak barang sedikit pun untuk membantunya. “Siapa yang membohongimu, Na?” tanyanya dengan napas berat. Ia sedikit merasa sesak. Tubuhnya kali ini benar-benar berulah. Hanya untuk merubah posisi saja ia sedikit kepayahan.
Tawa Ayana menggelegar. Tawa yang menyedihkan. “Jadi, kamu masih merasa tidak pernah membohongi hingga saat ini, Zayn?” Tatapannya yang tajam kembali mengarah pada Zayn. “Jangan bercanda!”
“Aku memang tidak pernah membohongi, Na.” Zayn mencpba menyentuh tangan Ayana. Namun, dengan cepat tangannya ditepis oleh istrinya. Ia menatap bingung ke arah perempuan itu. Apa yang sebenarnya terjadi? Ia merasa tak pernah berbohong sejauh ini.
Senyum miring terbit menghiasinya wajahnya yang kacau. “Aku sudah tahu semuanya, Zayn. Berhenti berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja di depanku.”
Kening Zayn mengkerut.
“Mama yang sudah berbaik hati menceritakan semuanya padaku.
Flashback On
Langkah Ayana begitu pelan berjalan memasuki rumah seraya memapah tubuh Zayn yang lemah dibantu oleh sopir kepercayaan Mama—Pak Yanto.
“Astaga, Zayn!” pekik Mama dengan histeris setelah melihat keadaan si Sulung yang dipapah. Ia bangkit dari sofa ruang depan dan mendekat. “Apa yang terjadi? Kenapa bisa seperti ini, Ayana?” ucap Mama menyerbu Ayana dengan pertanyaan.
“Hhh Ma, Zayn baik-baik saja,” balas Zayn memaksakan diri. Kelopak mata beberapa kali tertutup. Namun, ia berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan kesadarannya. “Na, aku ke kamar. Aku hanya butuh istirahat sekarang,” lanjutnya dan menoleh sebentar ke arah Ayana.
Ayana mengangguk lemah. Ia tidak tahu harus bagaimana kecuali mengikuti saja permintaan Zayn. Kepalanya masih terlampau buntu untuk mencerna dengan baik yang terjadi saat ini. Bersama pikiran yang entah seperti apa Ayana menemani Zayn hingga sampai di kamar mereka. Ia menuntun tubuh Zayn untuk berbaring di tempat tidur. Lantas, membantu Zayn untuk melepas jas hitam yang membungkus tubuh kekar Zayn yang kini tampak melemah. Menutup tubuh suaminya dengan selimut tebal hingga sebatas dada.
Saat tubuhnya hendak beranjak dari duduk di samping Zayn hanya untuk meletakkan jas yang sudah di pegangnya ke dalam lemari. Namun, hal itu diurungkan. Sebelum ia sempat berdiri dengan sempurna. Tangannya lebih dulu ditarik oleh Zayn dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Ia lantas menoleh. Memandang tangan Zayn yang menggenggamnya.
“Na,” panggil Zayn seraya menggelengkan kepala lemah. “Don’t leave me.”
Ayana tersenyum manis. Membuat sepasang matanya yang sembap ikut menyipit. “Aku tidak akan pergi. Aku hanya ingin meletakkan jasmu di lemari,” ucapnya seraya mengangkat jas milik Zayn.
Lagi-lagi Zayn menggelengkan kepala. Tangannya sedikit menarik tangan Ayana hingga perempuan kembali mendekat meski hanya selangkah. “Nanti saja, Na. Duduklah di sampingku. Temani aku,” pintanya dengan mata yang perlahan tertutup.
Ayana kembali merasakan ketakutan yang luar biasa. Secepat kilat ia mendaratkan bokongnya di tempat tidur—di samping Zayn. Ia masih merasakan tangannya digenggam erat oleh Zayn. Seakan enggan untuk melepaskan. Ia terdiam memperhatikan wajah tanpa rona itu. Hatinya ngilu.
Tiba-tiba Zayn menggeliatkan tubuhnya. Tangannya yang bebas menggenggam tangan Ayana mencengkram kuat selimut tebal yang menutupi sebagian tubuhnya. Ia menggigit bibir bawah untuk menahan erangan yang akan lolos. Keningnya mengkerut dalam.
“Zayn, kamu kenapa?” tanya Ayana mulai panik. Apalagi Zayn sama sekali tak merespons pertanyaannya.
“Zayn, kamu bisa dengar aku, ‘kan?” Kini Ayana mulai mengguncang tubuh Zayn yang bergerak tak menentu. Tangan Zayn sudah beralih meremat dada.
Dengan tangan bergetar Ayana menyentuh tangan Zayn yang masih bertengger di bagian tubuhnya yang sakit itu. “Sakit sekali, ya, Sayang?” Ia menggantikan tangan Zayn di atas dada sebelah kiri suaminya. Ia rasakan detak jantung suaminya berdetak sangat cepat dengan napas yang juga tak beraturan. Apa ini, pikirnya.
Zayn hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Sedang air dari matanya sudah lolos tanpa dikomandoi.
Air mata Ayana ikut menetes. Ia tidak kuat melihat Zayn-nya seperti sekarang. Namun, yang harus ia lakukan adalah bukan menangisi keadaan Zayn melainkan berusaha kuat untuk lelaki itu. “Kamu yang kuat, ya. Ada aku yang akan menemanimu di sini. Istirahatlah,” ucapnya dengan nada selembut mungkin. Tangannya masih bergerak bebas mengelus dada suaminya.
“Kamu jangan pernah meninggalkanku, Na. Aku mohon.”
Ayana tersenyum dan mengangguk. Kendati anggukannya tak akan terlihat oleh Zayn. “I’ll newev leave you. I promise, Zayn.” Wajahnya bergerak maju. Ia mengecup kening Zayn yang masih berkerut. Lantas berbisik di telinga suaminya, “Istirahat, Sayangku.”
Zayn merasa tenang mendengar ucapan Ayana. Ia berjanji setelah keadaannya sedikit membaik, ia akan mengatakan dengan jujur tentang keadaannya pada Ayana. Tak peduli jika nanti Ayana akan pergi. Meskipun harapannya jelas Ayana tidak akan pergi setelah perempuan itu tahu sisi lemahnya.
Zayn mencoba memejamkan mata setelah dirasakan sakitnya mulai berkurang berkat elusan lembut Ayana. Tangannya kembali meraih tangan Ayana dan menggenggamnya erat.
Namun, entah perasaan apa yang menyelinap dalam diri Zayn.Tiba-tiba air mata mengalir dari kedua matanya yang tertutup.
Ayana yang melihat hal itu kembali dilanda panik. Ia melepas dengan kasar genggaman Zayn. lantas, mengguncang tubuh yang sudah bergetar itu. “Zayn, kamu kenapa?”
Alih-alih menjawab. Tubuh Zayn justru semakin bergetar hebat. Isakannya semakin kentara terdengar.
Dengan berusaha bersikap setenang mungkin. Ayana mendekatkan wajahnya. “Hei, buka matamu, Sayang,” ucapnya pelan. Ia juga tengah berusaha menahan air matanya untuk tidak tumpah.
“Open your eyes and look at me, Zayn!” Seperti sudah hilang kesabaran. Ayana meneriaki Zayn. Sedang yang teriakinya justru tak bergeming. Lelaki itu masih setia dengan isakannya.
Untuk kemudian, Ayana tersadar atas apa yang dilakukannya. Ia menyesal. “Come on, Zayn! Lihat aku. Berbagi cerita dan deritalah denganku. Aku ini istrimu,” ucapnya yang kembali melunak. Ia tidak kuat menatap derai air mata yang tak juga kunjung berhenti. Dengan lembut ia menghapus jejak-jejak tetesan buliran bening itu di pipi sang suami.
Ditatapnya dengan sangat lekat wajah pucat itu. Hingga pergerakan di kelopak mata Zayn tampak. Mata yang basah itu terbuka. Tatapannya sayu dan menyedihkan.
“Aku hanya ingin istirahat di pangkuanmu, Na. Izinkan aku, ya,” pinta Zayn sedikit memelas.
Tanpa kata Ayana berpindah posisi. Ia duduk tepat di samping kepala Zayn. “Anything for you, Zayn.”
Pelan-pelan kepala Zayn berpindah ke pangkuan Ayana. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ayana dari jarak dekat. Lantas, ia cium tangan Ayana yang masih berada dalam genggamannya.
“Istirahat, ya. Aku akan menemanimu di sini.” Ayana tersenyum setelah berucap.
Sembari menemani Zayn. Ayana membelai lembut surai hitam Zayn yang sedikit lepek dan sudah tak rapi lagi. Ia tatap kelopak mata yang sedang mencoba terpejam itu. Semua akan baik-baik, Zayn.
“Jangan seperti ini lagi, Zayn. Kamu kuat. Aku yakin itu.” Ayana berbisik dalam hati. Gradasi air kembali tercipta di kelopak matanya yang indah.
Saat ia rasa Zayn sudah benar-benar jatuh di alam mimpi. Ayana dengan sangat pelan melepas genggaman Zayn di tangannya. Memindahkan kepala lelaki itu dari pangkuan menuju bantal yang ada di tempat tidur. “Hei, tidur yang nyenyak, suamiku. Kamu kuat, sayangku.” Ia mengelus pipi Zayn yang mulai ditumbuhi bulu-bulu halus. Tak lupa sebelum beranjak Ayana mencium beberapa saat kening Zayn.
Ayana bergegas ke luar kamar. Tujuan utamanya adalah menemui Mama dan mengintrogasi wanita itu tentang keadaan Zayn. Tidak mungkin Mama yang notabene adalah ibu kandung Zayn tidak tahu akan kondisi sebenarnya lelaki itu. Bagi Ayana itu terlalu mustahil sekarang.
“Ma,” panggilnya hingga wanita yang tengah menatap kosong ke depan itu tersentak. “Ayana ingin menanyakan sesuatu pada Mama,” lanjutnya tanpa berbasa-basi. Ia mendekati Mama yang duduk di sofa dengan wajah muram.
“Izinkan Mama yang bertanya lebih dulu padamu,” ucap Mama dengan datar dan dingin. Ia sama sekali tak menatap Ayana.
Ayana enggan menimpali. Ia hanya menganggukkan kepala untuk menyahuti.
“Bagaimana bisa Zayn jadi seperti itu? Apa yang sudah terjadi sebelumnya? Apa yang sudah Zayn kerjakan saat bersamamu?” ucap Mama memburu Ayana dengan pertanyaan.
Alis Ayana bertaut menjadi satu. Ia menatap Mama bingung. “Kenapa Mama bertanya seolah-olah Ayana yang menyebabkan keadaan Zayn seperti itu?” ucapnya bertanya-tanya dalam hati.
“Apa kamu tidak mendengar pertanyaan Mama, Ayana?” tanya Mama setelah beberapa saat tak menerima jawaban dari anak menantunya itu.
“Oh, Ayana dengar, Ma. Jadi, ceritanya seperti ini. Saat Zayn sedang meeting. Ayana ditinggal sendiri di dalam ruangannya. Mama tahu ‘kan kalau tidak mungkin jika Ayana harus ikut dengan Zayn. Sedang Ayana tidak tahu tentang apapun di kantor. Apalagi Ayana baru pertama kali ikut Zayn.
Ayana menarik napas dalam-dalam. Kemudian, mengembuskannya pelan. “Tiba-tiba datang seorang perempuan yang Ayana tidak kenal sama sekali memasuki ruangan Zayn. Perempuan itu menyuruh Ayana seperti seorang pegawai di kantor. Dia juga membentak Ayana dengan keras, Ma.”
Sejenak Ayana menjeda kalimatnya. “Tak lama Zayn kembali ke ruangan dan itu tepat saat perempuan itu tengah membentak Ayana dengan begitu keras.”
“Terus bagaimana?”
“Zayn tentu marah besar pada perempuan itu, Ma.”
“Kamu tahu siapa nama perempuan itu, Ayana?”
Ayana berusaha mengingat. “Kalau tidak salah Zayn memanggil perempuan itu dengan panggilan Jessi.”
“Jessi?” ucap Mama mengulang nama yang disebutkan Ayana tadi.
Ayana mengangguk. “Iya, Ma. Begitu yang Ayana dengaar saat Zayn memanggil perempuan itu.”
Mama masih terdiam.
“Ayana melihat Zayn begitu marah besar atas sikap Jessi pada Ayana. Lalu, Zayn meminta Jessi untuk meminta maaf. Tapi, Jessi tidak mau dan memilih pergi begitu saja. Zayn tidak terima. Dia meneriakkan nama perempuan itu berulang kali. Tidak lama setelah itu Zayn mengeluh dadanya terasa sakit,” tutur Ayana.
Mama menggeram tertahan. Rahangnya mengeras. Wajahnya merah padam. “Untuk apa lagi perempuan tak tahu sopan santun itu menemui Zayn? Benar-benar manusia yang tidak tahu malu,” geram Mama.
Ayana mulai penasaran. Apalagi mendengar ucapan Mama yang terdengar sangat marah dan tidak suka akan Jessica. “Memangnya siapa perempuan bernama Jessi itu, Ma? Ayana lihat sepertinya dia memang sudah terbiasa pada Zayn.”
Mama mengembuskan napas kasar. “Sudahlah, Ayana. Lupakan saja. Kamu mau tanya apa pada Mama?”
“Ma, apa yang sebenarnya terjadi pada Zayn? Ayana tidak yakin kalau Zayn baik-baik saja. Apalagi melihat kejadian seperti tadi.”
Mama kehilangan kata-kata. Bibirnya terkatup rapat.
“Ma, asal Mama tahu. Ayana pernah menemukan Zayn seperti ini menjelang pernikahan kami dulu.” Ayana menyentuh tangan Mama. Ia bangkit, lantas bersimpuh di hadapan Mama. “Ma, tolong katakan yang sejujurnya pada Ayana. Please,” pinta Ayana dengan memelas.
Wanita yang berstatus sebagai ibu mertuanya itu juga ingin membuka suara. Namun, dalam hati Mama begitu kasihan akan Ayana.
“Ma, Ayana ini istrinya Zayn kalau Mama lupa. Apa Ayana tidak pantas untuk sekedar tahu tentang keadaan suami Ayana yang sebenarnya?”
Luluh sudah hati Mama melihat air mata Ayana. “Maafkan Mama, Nak. Bukan maksud Mama untuk tidak menceritakan apapun tentang kebenaran padamu. Hanya saja Zayn selalu memohon pada Mama untuk tidak menceritakan apapun padamu, Sayang.”
Kecewa? Tentu saja. Marah? Ingin sekali memarahi Zayn. Namun, Ayana masih tahu kondisi. Ini bukanlah saat yang tepat. Ia memaksakan senyum. “Sekarang tolong ceritakan semuanya pada Ayana, Ma. Apapun itu. Jangan sampai ada yang tertinggal sedikit pun.”
Mama menghela napas panjang. Well, mungkin ini memang saatnya ia harus membuka suara pada Ayana. Cukup sampai di sini ia berkonspirasi dengan si sulung untuk menyimpan rahasia rapat-rapat. “Zayn memang tidak baik-baik saja, Na. Zayn mengidap kelainan jantung sejak dulu.”
Deg! Bibir Ayana sukses terkatup sangat rapat. Lidahnya kelu tak mampu mengucap sepatah kata pun. Air mata sudah tak bisa lagi terbendung. Runtuh sudah tembok pertahanannya. Kenyataan itu menghantamnya tanpa ampun. Ini menyakitkan. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia tenggelamkan wajahnya di pangkuan Mama.
Apa yang Mama takutkan selama ini terjadi. Perempuan itu kepalang terpukul. Ia mengelus lembut punggung Ayana untuk menenangkan. “Maafkan Mama, Ayana,” sesalnya.
Isakan itu semakin hebat. Ini menyesakkan. Jadi, selama ini Zayn sudah menahan sakitnya sendiri?
“Zayn tega sekali, Ma, menyembunyikan hal itu pada Ayana,” ucapnya di tengah isakan. Ia tersenyum miris. Dihapusnya dengan kasar air mata yang runtuh.
“Na, sudah, ya, Sayang. Jangan menangis seperti ini. Kamu harus jauh lebih kuat untuk menguatkan Zayn. Yakinlah semua akan baik-baik saja. Zayn itu anak yang kuat.”
“Sejak kapan, Ma?”
“Zayn divonis satu hari setelah ulang tahunnya yang ke enam belas.”
Ayana terdiam sejenak. “Kenapa Mama tidak menceritakan itu sejak awal pada Ayana?”
“Mama melakukan ini atas permintaan Zayn. Sekali lagi maafkan Mama, Sayang.”
Flashback Off
Air dari sepasang mata Ayana yang sudah terlanjur basah semakin deras mengalir. Apa yang ia baru saja ketahui sekarang adalah kenyataan yang paling menyakitkan untuknya. Namun, semenyakitkan apapun itu untuknya. Jelas ia tahu Zayn jauh-jauh lebih terpukul dan tersakiti akan kenyataan. Hanya saja ia tidak habis pikir kenapa Zayn dengan teganya menyembunyikan hal sepenting itu. “Sebenarnya kamu anggap aku sejauh ini, Zayn?”
“Na, maafkan aku, Sayang. Sungguh aku tak bermaksud membohongimu. Aku hanya belum siap menceritakan kebenarannya padamu. Aku takut, Na.”
Zayn menjeda kalimatnya. Ia menarik napas dalam-dalam hingga membuat rasa sakit itu menghujam jantungnya dan meringis tertahan. Namun, ia tak peduli. Tugasnya sekarang adalah membuat istrinya percaya. “Aku takut jika kamu tahu kamu akan memilih untuk meninggalkanku, Na. Aku tidak ingin itu terjadi.”
Ayana hanya terdiam. Ia belum mampu berkata-kata.
“Na, sekarang kamu tahu bahwa aku hanyalah lelaki penyakitan,” lirih Zayn. ia menunduk. Meremat dadanya yang sangat sakit.
Tawa Ayana terdengar sumbang. Ia benci mendengar ucapan Zayn. Ia menatap remeh suaminya yang tengah kesakitan.
Apa Ayana tidak merasa kasihan pada Zayn? Kata siapa ia tak kasihan? Namun, kali ini amarahnya sudah benar-benar di luar kontrol.
“Aku tidak habis pikir padamu. Bagaimana bisa seorang Nazlan Zayn Ahmad, seorang CEO muda bisa berpikir serendah itu?”
“Sssh… Na—”
“Bagiku cinta tak berbicara tentang meninggalkan, Zayn. Tapi, cinta berbicara tentang bagaimana cara saling menguatkan di dalam kerapuhan,” ucapnya cepat memotong kalimat Zayn.
Zayn langsung terdiam mendengar ucapan istrinya. Ia yakin kini Ayana sudah sangat kecewa atas sikapnya.
“Tapi, aku bahkan lebih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang suami tidak mau terbuka pada istrinya? Bahkan, dia meminta orang lain untuk bersekongkol dengannya menutup rapat-rapat hal yang tak seharusnya menjadi rahasia.” Ayana kembali tertawa. Ia menyeka air matanya yang tumpah.
“Na, kamu harus dengarkan aku dulu,” pinta Zayn meraih tangan Ayana dengan susah payah. Berusaha tak mengacuhkan rasa sakit yang semakin menyiksa.
“Enough, Zayn. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi penjelasanmu.” Ayana mengembuskan napas lelah. “Istirahatlah! Aku akan turun menemui Mama dan membuatkan makan siang untukmu,” lanjutnya mengalah. Ia tidak ingin melanjutkan perdebatannya dengan Zayn. Karena itu bisa saja membuat keadaan suaminya memburuk. Kendati hatinya saat ini juga sedang tidak baik-baik saja. Ia melepaskan pegangan Zayn di tangannya. Lantas beranjak menuju kamar mandi.
Zayn menatap sedih punggung istrinya hingga menghilang di balik pintu kamar mandi. Setelah pintu kamar mandi tertutup. Ia bisa menangkap suara isakan Ayana. Hatinya teriris. Perih mendengar tangisan yang menyedihkan.
Dengan susah payah Zayn bangkit. Dengan sisa tenaga yang dimiliki ia berjalan hingga di depan pintu kamar mandi. Telinganya semakin jelas menangkap isakan itu. Ia meringis.
Tangannya yang lemah berusaha mengetuk kamar mandi dengan pelan. “Na, are you okay, right?”
Tak ada jawaban yang didapatkan. Hanya suara guyuran air yang sempurna tertangkap telinga Zayn.
Pintu terbuka dengan lebar dan menampilkan wajah Ayana yang sendu dan basah. Begitu juga dengan rambut yang sudah berantakan dan tak terbungkus lagi oleh hijab.
Ayana terlonjak mendapati di depan pintu. “Astaga, Zayn! Kenapa kamu berdiri di sini? Aku sudah katakan padamu untuk istirahat.”
Tanpa menjawab Zayn menarik tubuh Ayana dan memeluknya erat. Hal itu sukses membuat perempuan itu dilanda kebingungan. “Sayang, maafkan aku. Please.”
Ayana masih enggan menanggapi ucapan Zayn.
“Setelah ini jangan pernah berniat untuk meninggalkanku, Na.:
Bibir ranum Ayana terkatup.
“Na, jawab aku! Jangan diam seperti ini,” ucap Zayn dan mengguncang tubuh Ayana yang masih dalam dekapan.
Zayn mengurai pelukannya. “Atau jangan-jangan kamu sudah berniat pergi dariku, Na? Setelah tahu aku ini hanyalah lelaki penyakitan. Begitu?” Ia kepalang khawatir. Otaknya tak mampu berpikir jernih.
Marah akan kalimat Zayn membuat Ayana mendorong tubuh lelaki itu.
Zayn yang tidak siap akan perlakuan Ayana pun tak mampu menahan keseimbangannya. Ia tersungkur ke lantai. “Akh!” Zayn mengerang. Rasa sakit sialan itu menyerang.
Akan tetapi, Ayana sama sekali tak menghiraukan. Ia justru menatap tajam Zayn. “Apa kamu tidak bisa berpikir yang baik tentangku? Apa aku seburuk itu di matamu?”
Sial! Ayana kembali dikepung amarah.
“Asal kamu tahu, Nazlan Zayn Ahmad. Aku bukanlah perempuan yang dengan mudah meninggalkan suamiku hanya karena tahu satu kekurangannya. Dan dalam keadaan apapun aku akan terus mendampingi suamiku,” ucap Ayana dengan wajah merah padam.
“Sayang, maaf. Aku—”
“Hentikan kata maafmu itu, Zayn! Aku muak.” Ayana berlalu meninggalkan Zayn.
“Mama,” panggil seseorang dengan jilbab instan yang membungkus mahkota. Ia masih tampak lesu. Raut wajahnya yang biasa tanpak ceria kini hanya tersirat kesenduan saja. Ia mengalungkan tangannya di lengan Mama yang tengah asyik bergelut dengan alat-alat di dapur di hadapannya. Lalu, ia sandarkan kepalanya di lengan Mama dan memejamkan mata. Di sana ia temukan ketenangan. Berada di dekat Mama seperti ia tengah berada di dekat ibu kandungnya.“Kamu kenapa, Ayana?” tanya Mama bingung melihat anak menantunya itu. Pasalnya, tak biasanya Ayana seperti saat ini. Dilepasnya pisau yang tengah ia gunakan untuk memotong bahan-bahan masakan. Lantas, beralih menoleh ke arah Ayana. Kendati ia tak bisa menangkap rupa wajah perempuan itu. Setelahnya ia berbalik menatap ke arah Bi Asih—asisten rumah tangga. “Bi, minta tolong lanjutkan dulu, ya,” ucapnya dan dibalas dengan anggukan patuh oleh Bi Asih.Mama membawa tubuh Ayana beranjak dari dapur
Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.“Semoga saja Zayn suk
Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga
Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sinar baskara menyelinap masuk dari celah-celah jendela. Ayana yang merasa terganggu dengan penyinaran itu lantas menggeliat dan membuka mata perlahan. Diliriknya samping kanannya dan mendapati sang suami juga masih terlelap. Ia memainkan tangannya di wajah Zayn. “Hai! Bangun, suamiku,” bisik Ayana di telinga Zayn. Namun, tak membuat lelaki itu bergeming dari lelapnya.“Zayn, sudah pagi,” bisik Ayana lagi. Namun, kali ini tak hanya tangannya yang bermain di wajah Zayn. Namun, bibirnya juga beberapa kali mendarat mengecup pipi suaminya.Sedikit merasa terganggu, Zayn menggerakkan tubuhnya dan perlahan membuka mata. Ia mengucek indera penglihatannya. Lantas, menegerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya menangkap cahaya yang masuk. Ia sedikit menoleh ke samping dan mendapati seorang perempuan cantik tengah tersenyum hangat padanya dengan rambut yang hanya terikat asal. Perempuan cantik yang tak lain adalah istrinya. Ia mengukir senyum seind
Sebuah kereta besi berwarna merah menyala telah terparkir rapi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Seorang lelaki dengan setelan hoodie hitam pekat berpadu celana jins warna senada yang mengemudikan kendaraan roda empat tersebut keluar dari sana. Ia mengenakan kacamata hitam untuk menghalau sinar matahari yang perlahan semakin beranjak naik seiring jarum jam yang terus bergerak konstan. Ia membawa tungkainya mengayun dan memutari mobilnya untuk bisa mencapai pintu penumpang. Lantas, membukakan untuk seseorang yang masih duduk manis di sana. Senyumnya mengembang menghias pahatan wajah dengan rahang tegas itu.“Silakan turun, Tuan Putri,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Persis seperti seorang pangeran yang tengah memperlakukan istimewa sang putri raja. Sedang senyum yang terbit sejak tadi semakin tampak manis, menambah aura ketampanan wajah yang seringkali menjadi bahan pujian kaum hawa itu.Ayana—seseorang
Setelah empat hari terpenjara di rumah dan yang bisa Zayn lakukan hanya berdiam diri di kamar. Atau hanya sekedar menikmati udara sore yang segar di taman belakang. Hari ini, sesuai janjinya pada Ayana. Ia ingin membawa Ayana ke mana saja istrinya itu inginkan. Dan yang menjadi pilihan Ayana adalah mall.Sejak menjadi istri Zayn, Ayana memang sudah jarang sekali bepergian. Bukan sebab Zayn tak ingin membawanya. Namun, kesibukan masing-masinglah yang menyita waktu mereka. Dan hari ini, karena Zayn sudah merasa baik-baik saja. Ia berani mengiyakan."Sudah siap?" tanya Zayn yang sudah berdiri di dekat tempat tidur setelah izin keluar kamar sebentar sementara Ayana melakukan ritualnya di kamar mandi. Entah kenapa pagi ini ia kepikiran seksli terhadap Ezran hingga ia mencoba ke kamar adiknya itu. Namun, adiknya itu justru tak ada di kamarnya. Entah ke mana anak itu pergi pagi-pagi seperti ini. Padahal, jika diingat-ingat. Sekarang adalah hari libur.Ayana masih
Tubuh yang berbaring di atas tempat tidur itu bergerak. Lenguhan singkat pun tak urung lolos. Zayn yang hendak menggeliat lantas mengurungkan niatnya. Ia merasakan ada sesuatu yang menindih lepas. Di kening ia juga merasakan ada sesuatu yang menempel. Ia perlahan membuka kelopak mata yang entah sudah berapa jam terkatup. Sebab, terakhir yang Zayn ingat adalah ia tengah berlagak pada Ezran.Sepasang netra dengan iris hitam bersih sedikit memicing untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang tertangkap retiba.
"Segini cukup, nggak? Atau masih sesak?" tanya Ezran tanpa membocorkan ke arah Zayn. Tangannya fokus mengatur keluaran untuk membantu pernapasan lelaki yang bertaut enam tahun dengannya. Hal yang sering ia lakukan sejak lama saat kakaknya terserang sesak. "Cukup, Dek," balas Zayn dengan suara yang masih lemas. Bagaimana tidak? Setelah mengalami serangan yang begitu tiba-tiba. Ia juga mengalami sesak yang hebat hingga menguras tenaganya. Bersyukur saja ia tidak kehilangan kesadaran seperti sebel
Setelah melewati perdebatan panjang. Mau tidak mau Ayans harus mengalah. Apalagi, lelaki yang tengah duduk manis di pinggir tempat tidur dengan senyum penuh kemenangan itu sempat menyentilnya dengan hal yang berbau agama. Ia menatap Zayn sekilas dan menggelengkan kepala. Lantas mengembuskan napas dan bergumam, "Dasar keras kepala."Gadis itu kembali duduk di depan meja rias. Ia mulai memoles wajahnya dengan perlahan. Lantas, sesekali melirik Zayn dengan ekor mata.Ketika Ayana bangkit dan hendak bergerak menuju sebuah lemari untuk memilih hijab yang akan ia padukan dengan gamisnya. Langkahnya terhenti saat menangkap sosok Zayn sudah tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Ia lihat wajah yang tadinya ceria dan berwarna itu berubah tanpa rona. Begitu juga dengan peluh yang mulai bermunculan. Padahal, kondisi udara di dalam kamarnya sudah benar-benar stabil."Hai! Kenapa?" sapanya setelah berdiri di hadapan Zayn yang tengah menundukkan kepala dengan tangan yang ia g
Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”