Seorang perempuan dengan balutan gamis hijau tosca yang dipadukan jilbab berwarna abu itu menyapu setiap jengkal ruangan CEO dengan pandangan setelah ditinggal oleh suaminya. Ia memperhatikan dengan begitu seksama setiap benda yang ada di ruangan yang baru kali pertama ini didatanginya. Sepasang bola matanya terhenti pada sebuah bingkai kecil di sudut meja kerja yang ada dalam ruangan dengan desain dominan kaca itu.
Tubuhnya yang sempat mendarat di sofa berwarna cokelat tua bangkit. Ia beranjak dan menggerakkan sepasang tungkainya mendekati meja. Tangannya meraih bingkai tersebut. Menatap dengan begitu lekat foto yang terpasang di sana. Ia tersenyum geli melihatnya. Kamu terlihat begitu polos, Ayana, pikirnya. Lantas terkekeh kecil.
Ya. Perempuan berjilbab itu adalah Ayana. Ia memutuskan dan memantapkan hati untuk menutup mahkota indahnya sebelum berangkat berbulan madu. Hal itu tentu saja sangat didukung penuh oleh suaminya.
"Astaga, Zayn," ucapnya sedikit tak percaya, "Bahkan foto zaman di mana aku tampak sepolos ini saja masih kamu simpan." Ayana kembali terkekeh. Ia ingat betul. Potret dalam bingkai yang ia pegang saat ini adalah foto ketika ia pertama kali diajak menikmati matahari tenggelam. "Apa kamu tidak mau jika fotoku seperti ini kamu pahang di sudut meja kerjamu? Bagaimana jika orang-orang nelihatnya." Ia bicara sendiri seakan-akan ada Zayn yang tengah membersamai.
Ayana kembali meletakkan bingkai yang berisikan fotonya saat masih duduk di bangku SMA. Foto dengan dirinya yang berdiri membelakangi cahaya dan tersenyum lebar membingkai wajah polosnya kala itu.
Dengan lembut Ayana mendaratkan tubuhnya di kursi kebesaran milik Zayn. Ia menatap secara bergantian deretan bingkai yang ditata rapi di sudut meja kerja suaminya itu. Ujung bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan saat netranya menangkap sebuah potret foto pernikahannya dengan lelaki yang Tuhan kirimkan sebagai pendamping hidupnya. Dengan gaun putih bersih yang membalut tubuh dan dengan senyum kebahagiaan yang terpancar di antara keduanya.
"Zayn, semoga setiap jejak yang kita tapaki selalu dalam lingkar ridha Allah dan selalu dalam keberkahan, ya, Suamiku," ucapnya lagi-lagi seolah Zayn tengah berdiri di sampingnya. Sebentuk kurva terbit menghias paras ayunya.
Untuk kemudian ia mencoba merapikan meja kerja suaminya. Merapikan sisa-sisa kertas yang berserakan di sana. Menumpuk menjadi satu beberapa berkas dalam map berupa warna.
Sebelum semua yang Ayana rapikan terselesaikan. Tiba-tiba sepasang indera pendengarannya menangkap suara decit pintu yang terbuka. "Kamu sudah sele—"
Ucapan Ayana menggantung setelah melihat ke arah pintu dan yang ia dapati memasuki ruangan bukanlah suaminya. Melainkan seorang perempuan dengan tubuh jenjang dan seksi berbalut pakaian yang sangat pas di tubuhnya. Hingga setiap lekuk tubuh itu tampak sangat jelas. Rambut hitam bergelombang yang tak terikat dan juga wajah ayu dengan polesan make up tebal.
"Oh, maaf. Sepertinya aku sudah mengganggu pekerjaanmu. Kupikir Zayn sedang berada di sini. Sebab itulah aku langsung masuk," ucap perempuan itu dengan santai dan duduk di sofa tanpa permisi.
Alis Ayana terangkat sebelah. Ia hanya heran kenapa perempuan itu begitu biasa saja. "Mbak mencari Zayn?" tanyanya dengan sopan. Sebisa mungkin ia bersikap biasa-biasa dan tersenyum manis.
Perempuan itu mengalihkan atensinya ke arah Ayana. "Iya. Lama sudah tak bertemu dengan Zayn. Dan sepertinya aku sudah benar-benar merindukannya," sahutnya dengan bangga dan penuh percaya diri. Lantas kembali memfokuskan diri pada gawai yang sempat ia abaikan.
Bibir tipis berpoles gincu merah muda itu terkatup sangat rapat. Gendrang dalam hatinya bertabuh hebat mendengar ucapan perempuan yang baru saja memasuki ruangan suaminya itu. Rasa bingung tak luput hinggap dalam benak atas sikap perempuan yang baru kali pertama ia temui. Pada perempuan itu ia tak sedikit pun melihat kecanggungan. Seperti perempuan itu sudah sangat terbiasa berada dalam ruangan berkaca itu.
"Siapa perempuan ini?" Mata Ayana menyipit menatap perempuan yang sudah duduk manis di sofa. "Sepertinya dia memang sering datang ke sini," pikirnya.
"Ambilkan minuman untukku!" perintah perempuan itu tanpa sedikit pun mengalihkan atensinya dari benda pipih yang tengah ia pegang. "Cuaca hari ini cukup terik dan membuatku haus."
"Hah?" Ayana sedikit kaget mendengar kalimat perintah yang dilontarkan perempuan itu. Ayana tak menemukan sopan santun sedikit pun tampak darinya.
"Apa suaraku kurang jelas?"
Ayana masih terdiam untuk mencerna apa yang terjadi.
"Kamu tidak dengar apa yang kukatakan? Aku baru saja memintamu untuk mengambil minum untukku."
Perempuan berjilbab itu kembali tersadar. Ia mengerjap beberapa kali. Menghilang rasa kagetnya. "Maaf, Mbak. Tapi, saya buk--"
Belum sempat Ayana melanjutkan kalimatnya, perempuan dengan rambut bergelombang itu lebih dulu memotong ucapan Ayana. “Kamu mau aku adukan pada Zayn karena tak mengindahkan perintahku?” Tatapannya tajam ke arah Ayana.
Bibir Ayana terkatup rapat. Berhasil dibungkam perempuan itu. Ia tak tahu harus berkata apa untuk menjawab lagi ucapan perempuan tak dikenal itu selain dengan mengikuti titahnya. Ia menghela napas panjang. “Baiklah. Mbak mau saya buatkan minuman apa?” ucapnya mengalah. Lagipula, tak ada gunanya juga mendebat manusia yang sepertinya tidak tahu bagaimana cara menghargai manusia lain.
"Buatkan saja teh manis hangat untukku," balas perempuan itu sambil membuang pandang dari Ayana. Lantas, kembali lagi fokus pada ponsel di tangannya.
Ayana hanya bisa menggelengkan kepala melihat sikap perempuan itu. Tampangnya memang rupawan dan elegan. Namun, hal itu sangat kontras dengan sikapnya. Benar-benar tidak mencerminkan kelembutan seorang perempuan.
“Tapi, saya akan menyelesaikan pekerjaan saya terlebih dulu. Nanggung jika harus saya tinggalkan meja yang sedikit berantakan ini. Setelahnya, baru saya akan membuatkan minuman untuk Mbak. Apakah Mbak bisa menunggu sebentar?” Ayana masih berbicara dengan lembut. Ia tak boleh membalas seseorang dengan hal yang sama buruknya. Jika demikian, apa bedanya ia dengan orang tersebut?
“Aku mau sekarang!” bentak perempuan itu dengan tatapan nyalang pada Ayana. Tatapan seakan siap menerkam Ayana.
Ayana yang memang dasarnya tak terbiasa atas bentakan pun terlonjak akhirnya. Tangannya bergetar dan berkeringat dingin. Air matanya menggenang di kelopak mata karena ketakutan. Astaga! Apa ini?
“Kamu tuli, ya? Apa lagi yang kamu tunggu?”
Dengan tungkai yang bergetar Ayana membawa tubuhnya ke arah pintu. Saat kaki membawanya melewati perempuan yang duduk dengan angkuh itu, tepat saat itu juga air dari matanya tumpah membasahi pipi. Ia melangkah bersama air mata dan rasa takut yang memeluk dirinya sangat erat. Jemari tangannya memilin ujung jilbab yang ia kenakan.
“Jangan menangis seperti ini, Ayana. Jangan!” kelakarnya dalam hati hanya untuk menguatkan diri.
Ayana berjalan dengan wajah tertunduk dalam. Pikirannya menerawang jauh. Hingga tanpa sadar ia menabrak vas bunga di dekat pintu ruangan dan menimbungkan suara bising. Ayana kaget bukan main.
Tatapan perempuan angkuh itu nyalang. Ia kembali murka melihat Ayana. “Hei! Kalau jalan lihat-lihat ke depan. Lihatlah! Akibat keteledoranmu itu sampai memecahkan benda kesayangan Zayn. Dasar karyawan tidak becus!” teriaknya dengan posisi yang sudah berdiri. Ia berkacak pinggang. Benar-benar angkuh.
Kepala Ayana semakin tertunduk. Runtuh sudah pertahanannya. Ia sudah tak bisa lagi membendung tangis akibat bentakan demi bentakan yang keluar dari bibir merah menyala itu. Telinganya sudah kepalang panas.
“Dasar karyawan cengeng! Baru dibentak begitu saja sudah menangis seperti anak kecil. Aku tidak tahu kenapa orang sepertimu bisa bekerja di tempat ini,” ucapnya meremehkan.
Sudah benar-benar tidak tahan akan suara pedas perempuan itu. Ayana kembali sepasang tungkai beralas flat shoes itu melangkah dengan niat keluar dari ruangan yang tiba-tiba seperti neraka. Namun, tak di sangka ia kembali menabrak sebuah benda keras. Oh, yang ditabraknya bukan sebuah benda. Melainkan seseorang yang tanpa ia sadari memasuki ruangan.
“Kubilang juga apa padamu. Kamu sekarang lagi-lagi menabrak orang lagi, ‘kan? Astaga! Kamu benar-benar tidak becus bekerja.”
Ayana memberanikan diri mengangkat kepala. Berniat untuk meminta maaf pada seseorang yang tak sengaja ditabraknya itu. Namun, saat wajahnya benar-benar terangkat. Yang ia temukan adalah wajah dengan pahatan sempurna milik Zayn.
“Sayang, are you okay?” tanya Zayn panik melihat wajah istrinya yang sudah basah. Ia kaget melihat perempuannya itu menangis sesenggukan. Diraihnya tubuh itu dan dipeluk dengan erat. Ia rasakan tubuh kecil Ayana bergetar hebat.
“Zayn,” panggil perempuan angkuh itu dengan nada manja. Tak peduli jika seseorang yang dipanggilnya itu tengah merengkuh perempuan lain di sana.
Zayn memandang perempuan itu dengan tatapan mematikan. Rahangnya mengeras. “Apa yang sudah kamu lakukan, Jessica?”
Ya perempuan bertubuh seksi dengan rambut bergelombang itu bernama Jessica. Adalah seorang perempuan yang dulu sempat dijodohkan dengan Zayn oleh ayah perempuan itu. Namun, perjodohan itu tentu saja langsung ditolak mentah-mentah oleh Zayn. Atas penolakan yang dilakukan Zayn itulah yang membuat perempuan yang kerap kali dipangga Jessi itu marah. Ia mengejar-ngejar Zayn tanpa menyerah. Hingga ia tahu kekurangan Zayn dan memilih pergi. Lantas, sekarang ia kembali lagi.
“Long time no see, boy,” ucap Jessica dengan suara manja yang dibuat-buat sambil melangkah mendekati Zayn.
“Kenapa kamu mau memeluk karyawanmu yang tidak becus bekerja itu, Zayn? Apa kamu tidak malu jika nanti dilihat oleh bawahanmu yang lain?” Tatapan Jessica meremehkan ke arah Ayana.
“Tutup mulutmu yang kotor itu, Jessi!” teriak Zayn dengan tangan yang menunjuk kasar Jessica. Kini ia sudah benar-benar murka. Apalagi mendengar dan melihat tatapan Jessica yang meremehkan sekaligus menghina istrinya.
“Kamu pikir kamu siapa datang tiba-tiba dan membuat istriku menangis seperti ini, hah?!”
Deg.
Detak jantung Jessica terhenti seketika. Bumi yang ia pijaki kini berhenti berputar. Kakinya terasa lemas mendengar ucapan Zayn. Namun, kepalanya perlahan menggeleng untuk menyangkal apa yang baru saja dikatakan Zayn itu. “Apa? Istri katamu? Kamu pasti sedang bercanda ‘kan, Zayn?”
Zayn tertawa sumbang. “Untung apa aku mencandai perempuan sepertimu, Jessi?”
Jessica tertawa keras. “Enough, Zayn! Kamu pikir aku akan dengan mudah mempercayai apa yang kamu ucapkan itu?” Lagi-lagi ia tertawa. “Tentu saja tidak. Aku tahu kamu berbicara seperti itu karena tidak ingin menemuiku lagi, ‘kan?”
Kini Zayn tersenyum sinis ke arah Jessica. “Oh, rupanya kamu memang butuh bukti, Jes.” Ia melangkah dengan posisi masih merangkul tubuh Ayana. Ia berjalan mendekati meja kerja yang belum sempat dibereskan sepenuhnya oleh Ayana. Diraihnya sebuah bingkai di atas meja yang berisikan sebuah foto pernikahan antara dirinya dan Ayana.
“Kamu bisa lihat ini ‘kan, Jessi?” tanya Zayn dengan senyum miringnya. “Kamu bisa perhatikan baik-baik. Siapa perempuan yang ada di dalam foto itu?”
Kali ini Jessica sudah tidak bisa lagi berkata-kata. Bibirnya terkatup rapat. Kepalanya kepalang buntu untuk menyanggah lagi.
“Bagaimana, Jessi? Apakah kamu masih berpikir kalau aku bercanda?” Zyan tertawa keras dan penuh kemenangan. “Atau kamu masih ingin melihat bukti yang lain?” Senyum mengejek Zayn terbit.
Jessica masih bergeming di tempat. Ia berdiri seperti patung. Entah pikiran jenis apa yang menari liar di dalam kepala.
“Cepat minta maaf pada istriku sekarang juga, Jessi!” teriak Zayn dengan amarahnya yang sudah mencapai ubun-ubun.
Kepala Jessica menggeleng dengan kuat. Ia sama sekali tidak berniat meminta maaf pada perempuan yang masih dalam rengkuhan Zayn itu. Dan ia lebih memilih meraih tas mewahnya dan melenggang pergi meninggalkan Zayn yang tengah diliputi oleh amarah itu.
“Jessica!” teriak Zayn dengan sekencang yang ia bisa. Ia benar-benar murka atas sikap Jessica. Wajahnya merah padam. Tangannya terkepal kuat hingga buku-buku jemarinya memutih.
“Zayn, sudahlah. Biarkan saja dia pergi,” ucap Ayana berusaha menenangkan suaminya. Ia urai pelukan itu dan dielusnya lengan Zayn.
Akan tetapi, Zayn yang memang masih diliputi amarah itu kembali meneriakkan nama perempuan yang sudah entah di mana. “Jessica!” pekiknya teramat keras. Hal itu membuat detak jantungnya berpacu hebat. Ia refleks menunduk. Tangan kanannya terangkat menyentub dada sebelah kirinya. Tidak! Lebih tepatnya meremat bagian yang terasa sangat menyakitkan itu.
Ayana yang lagi-lagi menangkap suara ringisan itu ikut membungkukkan badan untuk mensejajarkan diri dengan Zayn. Lalu, disentuhnya pundak lelaki itu. “Zayn, kamu kenapa?” tanyanya dengan sarat akan rasa khawatir. Apalagi melihat butir-butir keringat di kening Zayn yang sebesar biji jagung.
“Akh!” erang Zayn dengan tangan yang semakin kuat mencengkram dada.
Ayana mulai panik. Ia tak pernah melihat Zayn seperti saat ini. “Zayn, katakan padaku, Zayn. Apa yang terjadi denganmu?”
Bukannya menjawab. Zayn justru kini sibuk menepuk dadanya dengan brutal. Berharap rasa sakit dan sesak itu segera enyah dari tubuhnya. Ia tidak boleh kalah. Ayana tidak boleh secepat ini tahu apa yang sebenarnya terjadi akan dirinya.
“Hentikan, Zayn!” bentak Ayana seraya meraih tangan suaminya.
Zayn masih memberontak. Hingga ia benar-benar kehilangan tenaga. Tubuhnya luruh menyentuh lantai. Mulutnya terbuka untuk meraup udara sebanyak yang ia bisa.
“Astaga, Zayn,” kaget Ayana. Ia ikut meluruhkan tubuhnya menyentuh dinginnya lantai.
“Zayn,” panggilnya dengan suara lembut. Ayana menangkup pipi suaminya yang sedikit basah oleh air yang luruh dari kelopak mata sayu dan bercampur dengan keringat. Dilihatnya Zayn menggigit bibir bawahnya seakan menahan sakit.
“Da-daku sa-kit sekali, Na,” ucap Zayn akhirnya dengan suara terbata. Setelahnya, ia kembali mengerang kesakitan tanpa malu, tanpa ragu. Ia menyerah. Ia sudah tidak bisa lagi menahan rasa sakitnya di hadapan Ayana.
Dengan ragu-ragu Ayana menyentuh bagian tubuh Zayn yang sudah sejak tadi diremat oleh pemiliknya. Ia merasakan detakan yang sangat cepat dan tak beraturan. Ia menggigit bibir bawahnya melihat suaminya tampak sangat kesakitan. Lantas membawa tubuh kekar lelaki itu yang sudah dibasahi ke dalam dekapan. “Kamu kenapa, Zayn?” tanya Ayana dengan air mata yang sudah tidak terbendung. Pikiran-pikiran negatif mulai bergerilya di dalam kepala.
Dengan napas yang terasa tercekat Zayn mencoba menjawab. Kendati apa yang dilakukannya itu hanya menambah rasa sakit di dadanya. “Dadaku benar-benar sakit.”
Ayana tak boleh menangis. Ini bukanlah waktu yang tepat. Ia menyeka kasar air matanya. “Apa kamu menyimpan obat pereda sakit di sini?”
Hanya anggukan kepala yang bisa Zayn lakukan sebagai jawaban.
“Di mana? Di mana kamu meletakkan obatnya?”
“Di la-ci meja-ku,” balas Zayn dengan suara terbata dan nada lemah. Seperti berbisik.
“Tunggu sebentar. Biar kuambilkan dulu.” Ayana melepaskan dekapannya di tubuh Zayn.
Zayn berusaha menopang tubuhnya dengan tangan. Ia tak boleh roboh. Ia tak boleh kehilangan kesadaran.
Dengan gesit Ayana mencari sesuatu yang bisa menghilangkan rasa sakit Zayn. Ia mengacak-acak laci meja kerja suaminya. Hingga ia tertegun dalam sekejap melihat tabung kaca berisikan butiran-butiran kecil di sana.
“Ayana.”
Suara lemah itu menyadarkan Ayana. Ia menatap ke arah Zayn yang sudah pucat pasi. “Ini ‘kan obatnya?” tanya Ayana sambil mengangkat tabung kaca itu dan dibalas anggukan kecil oleh Zayn. Ia membawa benda tersebut beserta segelas air yang berada di atas meja.
Ayana dengan seksama menatap Zayn meraih dua butiran kecil itu dan memasukkan ke dalam mulut.
“Zayn, are you okay, right?” tanya Ayana dengan suara lirih.
Zayn tak menjawab. Ia hanya menatap dalam mata Ayana yang masih basah dan merah.
“Na, boleh aku minta sesuatu padamu?” tanya Zayn setelah merasakan rasa sakit itu sedikit mereda. Juga dengan napas yang perlahan normal.
Ayana mengangguk pelan.
“Don’t leave me. Stay with me. Temani aku dengan segala kekuranganku. Aku mohon,” pinta Zayn memelas. Ia kembali merasakan ketakutan akan kehilangan Ayana.
Perempuan itu menatap bingung suaminya. “Apa maksudmu bicara seperti itu, Zayn? Aku ini istrimu jika kamu lupa. Bagaimana bisa aku meninggalkanmu?”
Zayn kembali tertunduk. Tangannya kembali menyentuh dadanya yang berdetak sangat kuat. “Na, dadaku, Na. Sakit sekali,” rintihnya. Kali ini air mata sangat deras lolos dari kelopak matanya. Ia terlihat benar-benar menyedihkan.
Ayana meraih tubuh itu lagi. Mendekapnya seraya menenangkan. “Iya. Sabar, ya, Sayang. Di sini ada aku. Genggam tanganku dengan erat. Salurkan rasa sakitmu itu, Zayn,” ucapnya seraya memberikan Zayn tangannya. Ia juga tengah berusaha mati-matian untuk tidak menangis.
“Aku tidak kuat, Na. Ini benar-benar menyakitkan.” Zayn tanpa sadar menggenggam tangan Ayana kepalang kuat. Hingga perempuan itu harus merintih tertahan.
“Kamu kuat. Kamu bisa, Sayang.”
“Sebenarnya, apa yang terjadi denganmu, Zayn?” tanya Ayana dalam hati.
Matanya yang terlihat sembap, sedikit basah dan memerah. Tak lepas pandangannya yang iba menyorot wajah pucat seseorang yang tengah terbaring di atas tempat tidur—Zayn. Sesekali sepasang netranya menangkap kerutan yang sangat jelas di kening lelaki itu. Persis seperti saat Zayn menahan sakit di kantornya.Tangan perempuan dengan jilbab yang sedikit berantakan itu masih setia menggenggam tangan kekar yang kadang refleks menggenggamnya balik dengan sangat kuat, yang sangat ia yakini sebagai satu cara suaminya untuk menahan erangan. Ibu jarinya bermian mengelus punggung tangan Zayn. Dikecupnya lagi tangan itu cukup lama.“Lekas membaik, ya, Sayangku,” ucapnya seraya menatap lagi wajah mulai damai dalam pejam itu. Kendati rona pucat belum juga ingin berubah. “Jangan buat aku khawatir dan setakut ini lagi, Zayn.” Air matanya lagi-lagi lolos dari kelopak mata dan mendarat di pipi mulusnya. Ia tertunduk, menenggelamkan kepala pada lipatan t
“Mama,” panggil seseorang dengan jilbab instan yang membungkus mahkota. Ia masih tampak lesu. Raut wajahnya yang biasa tanpak ceria kini hanya tersirat kesenduan saja. Ia mengalungkan tangannya di lengan Mama yang tengah asyik bergelut dengan alat-alat di dapur di hadapannya. Lalu, ia sandarkan kepalanya di lengan Mama dan memejamkan mata. Di sana ia temukan ketenangan. Berada di dekat Mama seperti ia tengah berada di dekat ibu kandungnya.“Kamu kenapa, Ayana?” tanya Mama bingung melihat anak menantunya itu. Pasalnya, tak biasanya Ayana seperti saat ini. Dilepasnya pisau yang tengah ia gunakan untuk memotong bahan-bahan masakan. Lantas, beralih menoleh ke arah Ayana. Kendati ia tak bisa menangkap rupa wajah perempuan itu. Setelahnya ia berbalik menatap ke arah Bi Asih—asisten rumah tangga. “Bi, minta tolong lanjutkan dulu, ya,” ucapnya dan dibalas dengan anggukan patuh oleh Bi Asih.Mama membawa tubuh Ayana beranjak dari dapur
Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.“Semoga saja Zayn suk
Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga
Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan
Mama dan Papa berlari dari kamar mereka setelah mendengar suara gaduh. Keduanya berlari ke arah kamar Zayn dan Ayana. Mama mengetuk pintu dengan segera. “Zayn! Ayana! Ada apa, Nak?” tanya Mama dengan suara yang sedikit meninggi agar terdengar oleh pemilik kamar. Tak lupa dengan nada khawatir yang begitu kentara.Sedang di dalam sana, sang pemilik kamar saling melempar pandang. “Na, kamu buka pintu. Mama pasti berpikir terjadi sesuatu di sini,” ucap Zayn lebih dulu memutus pandangan dan beralih ke arah pintu.Ayana mengangguk paham. “Kamu balik saja ke tempat tidur. Nanti aku yang akan bereskan pecahan gelasnya.”Ayana membuka pintu kamar dan ditemukan mertuanya sudah berdiri dengan wajah ngantuk bercampur khawatir. Tak lama ia menangkap sosok Ezran yang juga mendekat.“Ada apa, Ayana?”“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Zayn nggak sengaja nyenggol gelas di atas meja,” jawab Ayana jujur.&ldqu
Sebuah kereta besi berwarna merah menyala telah terparkir rapi di parkiran sebuah pusat perbelanjaan. Seorang lelaki dengan setelan hoodie hitam pekat berpadu celana jins warna senada yang mengemudikan kendaraan roda empat tersebut keluar dari sana. Ia mengenakan kacamata hitam untuk menghalau sinar matahari yang perlahan semakin beranjak naik seiring jarum jam yang terus bergerak konstan. Ia membawa tungkainya mengayun dan memutari mobilnya untuk bisa mencapai pintu penumpang. Lantas, membukakan untuk seseorang yang masih duduk manis di sana. Senyumnya mengembang menghias pahatan wajah dengan rahang tegas itu.“Silakan turun, Tuan Putri,” ucap lelaki itu sambil mengulurkan tangan dengan tubuh sedikit membungkuk. Persis seperti seorang pangeran yang tengah memperlakukan istimewa sang putri raja. Sedang senyum yang terbit sejak tadi semakin tampak manis, menambah aura ketampanan wajah yang seringkali menjadi bahan pujian kaum hawa itu.Ayana—seseorang
Setelah empat hari terpenjara di rumah dan yang bisa Zayn lakukan hanya berdiam diri di kamar. Atau hanya sekedar menikmati udara sore yang segar di taman belakang. Hari ini, sesuai janjinya pada Ayana. Ia ingin membawa Ayana ke mana saja istrinya itu inginkan. Dan yang menjadi pilihan Ayana adalah mall.Sejak menjadi istri Zayn, Ayana memang sudah jarang sekali bepergian. Bukan sebab Zayn tak ingin membawanya. Namun, kesibukan masing-masinglah yang menyita waktu mereka. Dan hari ini, karena Zayn sudah merasa baik-baik saja. Ia berani mengiyakan."Sudah siap?" tanya Zayn yang sudah berdiri di dekat tempat tidur setelah izin keluar kamar sebentar sementara Ayana melakukan ritualnya di kamar mandi. Entah kenapa pagi ini ia kepikiran seksli terhadap Ezran hingga ia mencoba ke kamar adiknya itu. Namun, adiknya itu justru tak ada di kamarnya. Entah ke mana anak itu pergi pagi-pagi seperti ini. Padahal, jika diingat-ingat. Sekarang adalah hari libur.Ayana masih
Tubuh yang berbaring di atas tempat tidur itu bergerak. Lenguhan singkat pun tak urung lolos. Zayn yang hendak menggeliat lantas mengurungkan niatnya. Ia merasakan ada sesuatu yang menindih lepas. Di kening ia juga merasakan ada sesuatu yang menempel. Ia perlahan membuka kelopak mata yang entah sudah berapa jam terkatup. Sebab, terakhir yang Zayn ingat adalah ia tengah berlagak pada Ezran.Sepasang netra dengan iris hitam bersih sedikit memicing untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang tertangkap retiba.
"Segini cukup, nggak? Atau masih sesak?" tanya Ezran tanpa membocorkan ke arah Zayn. Tangannya fokus mengatur keluaran untuk membantu pernapasan lelaki yang bertaut enam tahun dengannya. Hal yang sering ia lakukan sejak lama saat kakaknya terserang sesak. "Cukup, Dek," balas Zayn dengan suara yang masih lemas. Bagaimana tidak? Setelah mengalami serangan yang begitu tiba-tiba. Ia juga mengalami sesak yang hebat hingga menguras tenaganya. Bersyukur saja ia tidak kehilangan kesadaran seperti sebel
Setelah melewati perdebatan panjang. Mau tidak mau Ayans harus mengalah. Apalagi, lelaki yang tengah duduk manis di pinggir tempat tidur dengan senyum penuh kemenangan itu sempat menyentilnya dengan hal yang berbau agama. Ia menatap Zayn sekilas dan menggelengkan kepala. Lantas mengembuskan napas dan bergumam, "Dasar keras kepala."Gadis itu kembali duduk di depan meja rias. Ia mulai memoles wajahnya dengan perlahan. Lantas, sesekali melirik Zayn dengan ekor mata.Ketika Ayana bangkit dan hendak bergerak menuju sebuah lemari untuk memilih hijab yang akan ia padukan dengan gamisnya. Langkahnya terhenti saat menangkap sosok Zayn sudah tak lagi tersenyum seperti sebelumnya. Ia lihat wajah yang tadinya ceria dan berwarna itu berubah tanpa rona. Begitu juga dengan peluh yang mulai bermunculan. Padahal, kondisi udara di dalam kamarnya sudah benar-benar stabil."Hai! Kenapa?" sapanya setelah berdiri di hadapan Zayn yang tengah menundukkan kepala dengan tangan yang ia g
Sejujurnya, menghabiskan waktu di rumah adalah hal membosankan bagi Nazlan Zayn Ahmad yang notabene seorang workholic.. Seperti yang kerap kali ia ucapkan ketika Mama mengingatkannya untuk tak terlalu memforsir diri, “Zayn hanya ingin mempergunakan waktu untuk hal-hal bermanfaat. Sayang, kalau waktu hanya disia-siakan begitu saja.”Beberapa kali lelaki yang hamper menginjak kepala tiga mengembuskan napas kasar di atas tempat tidur. Kalau saja Ayana tahu saat ini ia sudah merasa tubuhnya kembali normal dan sangat mendukung untuk ke kantor. Namun, Ayana sepertinya memang sudah memutuskan hal demikian sejak semalam. Sebenarnya, Zayn tahu betul alasan perempuannya itu bersikap tegas. Ya, murni karena mengingat kondisi Zayn yang sekarang lebih sering menurun. Salah sendiri terlahir menjadi orang cacat, pikirnya.Zayn meraba dada bagian kirinya. Menikmati detakan yang kali ini sangat beraturan. Andai saja detakan di dalam sana tetap stabil seperti ini. Barangkali
Ayana. Dengan langkah pasti dan wajah berseri bergerak menuju kamarnya di lantai dua untuk menyusul Zayn yang belum juga kunjung turun. Ia memutar knop pintu dan seketika aroma lavender kesukaan mereka menyeruak mengisi indera penciuman. Sejenak Ayana memejamkan mata untuk menikmati aroma menenangkan itu. Kendati, aroma yang benar-benar dan paling ia sukai adalah aroma mint dari tubuh Zayn.Tungkainya kembali bergerak maju memasuki kamar. Dan yang pertama ia temukan adalah suaminya yang sudah bersila di atas tempat tidur dengan laptop di pangkuan. Sepagi ini Zayn sudah berhasil membuatnya geram. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur dan berdiri sambil berkacak pinggang. “Zayn!” panggilnya penuh penekanan dan kemurkaan. Pasalnya, bukan sarapan yang didahulukan oleh lelaki itu. Namun, justru Zayn lebih memilih meraih benda lipatnya dan berkutat dengan pekerjaan. Seakan tak sadar dengan kondisi tubuhnya yang lemah.“Iya, Sayang, kenapa?” sahu
Suasana ruang makan terasa hening sepeninggal Ayana. Tak ada suara yang terdengar. Hanya terasa embusan angin pagi yang belum terkontaminasi polusi menyapa kulit. Dinginnya pun seolah berkonspirasi membuat atmosfer ruangan terasa lebih mencekam. Ya begitulah ketika dalam satu ruang terdapat Papa dan Ezran di sana. Suasana canggung selalu muncul tanpa diminta. Atau kadang-kadang sebuah tantangan kecil hingga kekerasan terjadi.Mama membocorkan Ezran yang duduk di seberang meja. Tatapannya tak b
Sementara menunggu Zayn menyelesaikan ritualnya di kamar mandi untuk membersihkan diri. Ayana memilih untuk segera turun menuju lantai dasar rumah kediaman keluarga Ahmad itu. Setelah menapakkan kaki di anak tangga terakhir, ia membawa tungkainya bergerak ke arah dapur. Sejak bangun tadi, ia sudah berniat untuk membuat sarapan pagi ini tanpa bantuan sang ibu mertua. Ya, meskipun nanti pasti akan ada campur tangan asisten rumah tangga mereka.Sesampai di tempat tujuannya. Ayana sudah mendapati Bi Risma—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—sedang membersihkan dapur. Ia melangkah mendekati wanita paruh baya itu. “Selamat pagi, Bi,” sapanya dengan hangat.“Selamat pagi, Non,” sahut Bi Risma dengan ramah dan senyum lebar yang membuat kerutan di wajah tuanya semakin nyata terlihat. “Ada apa, ya, Non, pagi-pagi sudah ke dapur?”“Mau masak dong, Bi. Mau bikin sarapan.”“Biar Bibi saja, Non.”