“Bagaimana bulan madunya, Na?” tanya Mama tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya. Ia masih berfokus dengan bahan-bahan dapur yang tengah dieksekusi dan akan disulap menjadi makan malam nanti bersama seisi rumah.
Ayana yang sedang membantu Bi Asih—asisten rumah tangga keluarga Ahmad—mencuci piring menatap ke arah ibu mertuanya. “Alhamdulillah, Ma. Lancar, aman, dan terkendali,” jawabnya sambil tertawa kecil.“Syukurlah, Sayang. Meskipun kalian bulan madunya telat. Tapi, Mama senang akhirnya kalian bisa meluangkan waktu untuk honeymoon.”Ya. Setelah usia pernikahan empat bulan-lah Ayana dan Zayn memilih untuk pergi berbulan madu. Sebenarnya, bukan tidak ingin. Hanya saja pekerjaan Zayn dan juga Ayana yang sedang fokus menyelesaikan skripsinya-lah yang membuat pasangan pengantin baru itu harus menunda dulu untuk bepergian. Mereka tidak ingin kehilangan fokus dalam menyelesaikan tugas masing-masing.“Tidak apa-apa, Ma. Lagipula Ayana dan Zayn yang memilih untuk tidak honeymoon dulu kemarin-kemarin. Karena, ingin fokus dengan pekerjaan masing-masing.”Tiba-tiba Mama teringat akan kondisi tubuh Zayn. Karena, dua hari sebelum keberangkatan Zayn dan Ayana berbulan madu. Tanpa sepengetahuan Ayana, ia menemukan anak sulungnya itu mengerang kesakitan. Ia tentu sangat tahu apa yang terjadi. Ia ketakukan lagi.“Selama di sana apa kalian baik-baik saja, Na?”“Iya, Ma. Hanya saja kemarin hari ke tiga Zayn sempat mengeluh dadanya sakit. Katanya asam lambungnya naik.”Mama terdiam. Ia tahu pasti Zayn lagi-lagi membohongi Ayana. Ia sudah tidak tahu lagi bagaimana caranya bicara dengan Zayn agar anaknya itu bisa jujur pada istrinya. Ada hal yang sangat ia takutkan jika Zayn terus menunda memberitahu Ayana. Adalah Ayana yang tak bisa terima dibohongi selama ini. Kendati ia yang paham alasan atas Zayn. Namun, yang tidak bisa ia benarkan adalah Zayn yang belum terbuka pada Ayana. Empat bulan usia pernikahan mereka bahkan tak menyadarkan Zayn. Mama hanya berpikir dampak negatif yang terbayang-bayang di benaknya. Padahal, itu hanyalah sebuah praduga yang kebenarannya masih dipertanyakan.“Na, Mama mau bicara denganmu.”“Boleh, Ma.”Mama membawa anak menantunya itu menuju meja makan di dapur. Sebuah tempat yang disediakan untuk makan para asisten rumah tangga, sopir, dan beberapa pekerja lainnya. Ia tak langsung angkat bicara. Namun, tatapannya intens menatap Ayana yang duduk di kursi sebelahnya. Tangannya menyentuh tangan Ayana yang belum kering.“Ada apa, Ma?” Ayana merasa takut-takut. Tatapan Mama begitu serius memandangnya. Apakah ada hal buruk yang sedang terjadi?“Kamu sayang ‘kan pada Zayn?”“Mama kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Kalau Ayana tidak sayang pada Zayn, tidak mungkin Ayana mau menikah dengannya.”“Jika ada sesuatu yang terjadi pada Zayn, apa kamu akan selalu mendampingi dia, Na?”Untuk pertanyaan kali ini. Ayana tak langsung menjawab. Justeru pertanyaan itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain yang berseliweran di benak Ayana. Ada apa ini? Apa yang terjadi pada Zayn?“Na, itu hanya seandainya saja kan, Sayang.” Mama berusaha menenangkan. Seperti janjinya pada si sulung. Ia tidak akan membongkar rahasia yang sudah ditutup rapat oleh anaknya. Bukan berarti itu pertanda ia mendukung penuh keputusan Zayn. Namun, ia hanya tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga anaknya.“Ma, apa ada sesuatu yang terjadi pada Zayn? Apa ada yang Ayana tidak tahu tentang Zayn?”Seperti biasa dan seperti sebelum-sebelumnya. Mama tak menjawab langsung pertanyaan itu. Ia hanya menghela napas panjang. “Ya, mungkin nanti akan ada sesuatu yang terjadi. Siapa yang tahu, Nak?”Rasanya ingin sekali Ayana marah. Apa pertanyaannya itu terlalu susah untuk dijawab? Namun, ia tak punya daya apapun untuk memaksa Mama menjawab. Untuk kemudian ia hanya bisa menghela napas pasrah. “Ayana tidak akan pernah meninggalkan Zayn, Ma. Apapun yang terjadi. Karena, Zayn adalah bagian dari diri Ayana,” ucapnya setelah beberapa saat terdiam. Ia tidak berbohong. Kalimat yang terucap dari bibir ranumnya itu benar-benar tercipta dari hati. Baginya, Zayn adalah sebagian dirinya. Jika Zayn tidak ada, dia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi dengan hidupnya.Mendengar kalimat Ayana membuat hati wanita itu terasa menghangat. Setidaknya, kalimat yang diucapkan menantunya itu membuatnya sedikit lega. "Na, Mama hanya bisa berdo'a yang terbaik untuk kalian. Atas apapun yang akan terjadi di depan nanti semoga tidak akan membuat kalian berubah dan saling meninggalkan." Mama menyentuh lengan Ayana dan mengelusnya pelan.°°°°°Ruang makan keluarga Ahmad itu terasa hangat. Kendati seisi ruangan tak ada yang membuka suara. Namun, tetap saja. Sebuah kebersamaan adalah hal yang sangat diidamkan siapa saja.Akan tetapi, hal berbeda dirasakan oleh Zayn. Tidak ikut sertanya sang adik lelaki—Ezran—membuat kehangatan itu tetap saja tak utuh. Meski tidak adanya lelaki yang bertaut enam tahun dengannya itu adalah sudah menjadi hal biasa. Dalam satu pekan lamanya keberadaan Ezran di sana hanya bisa dihitung dengan jari. Padahal, Zayn selalu berharap semakin hari akan ada perubahan baik. Namun, katakan saja harapan hanya sebatas harapan. Buktinya, keadaan tetap sama."Kamu kenapa?" Ayana menyentuh punggung tangan Zayn yang hanya bergerak mengaduk-aduk makanan di piring tidak karuan. Ia melihat lelaki yang sudah menjadi suaminya empat bulan lalu itu seperti kehilangan selera makan. Yang tak luput dari tangkapan indera penglihatannya juga adalah wajah Zayn yang terlihat pucat. Bukan kali ini saja. Namun, sejak dua minggu terakhir ia kerapkali melihat pahatan sempurna itu tampak tanpa rona. Tubuh tegap itupun seakan perlahan kehilangan bobot.Zayn mengangkat wajah dan menoleh ke samping, mendapati perempuan cantik yang masih setia menyentuh punggung tangannya. Bibir yang tak mampu menyembunyikan kepucatannya itu terangkat menciptakan sebentuk garis lengkung yang tipis. Sebuah isyarat bahwa ia baik-baik saja. Meskipun, hal itu tentu saja kontras dengan apa yang dirasakannya.“Makanannya dimakan, Zayn. Jangan hanya diaduk begitu saja," ucap Ayana dengan sangat lembut.“Aku sudah kenyang,” balasnya dengan senyum yang belum kunjung tanggal.Ayana mengernyit. Kerutan tersusun rapi dan jelas di kening. Baginya jawaban Zayn adalah sebuah keanehan. Kendati ia yang tidak melihat Zayn secara langsung, bukan berarti ia tidak memperhatikan lelaki itu. Dan sejak tadi yang bisa ia ketahui adalah nasi itu masuk ke mulut suaminya hanya beberapa sendok saja. Lantas, Zayn mengatakan bahwa ia sudah kenyang. Bukankah itu aneh?“Kamu lanjut makan saja, Na. Aku ke kamar duluan, ya.”“Aku temani,” sahut Ayana dengan cepat dan nada suara lebih tinggi dari biasanya. Hal itu berhasil mengundang perhatian Papa dan Mama yang sejak tadi fokus dengan makanan di hadapan mereka.“Ada apa?” Papa menatap bergantian pasangan suami istri yang duduk bersebelahan di samping kirinya itu. Ia merasa pasti ada suatu perbincangan yang sebelumnya sudah terjadi. Akan tetapi, nyatanya bukan hal itu yang membuat atensinya kini tersita. Seperti halnya Ayana, Papa juga lebih memperhatikan raut wajah si sulung yang terlihat tanpa rona. Sebagai seseorang yang sudah membersamai Zayn sejak kecil, tentu membuat Papa tahu betul apa yang kini terjadi pada putranya.Pasangan suami istri yang baru menginjak usia pernikahan empat bulan itu serentak menatap ke arah Imran yang sudah meletakkan sendok dan garpu di atas piring.“Tidak apa-apa, Pa.” Suara lemah Zayn terdengar menjawab pertanyaan ayahnya. Senyumnya yang belum luntur dan tatapannya yang sayu mengarah kemudian ke arah Mama. Ia mendapati raut wajah khawatir yang tak mampu terelakkan. “Zayn ke kamar duluan, ya, Ma, Pa.”“Habiskan makananmu, Sayang. Jangan membantah.” Meskipun terdengar pelan. Namun, kalimat itu mengandung sebuah ultimatum yang tak boleh dilanggar oleh Ayana. Zayn mengelus lembut pundak Ayana yang hanya terdiam menatapnya aneh.Tanpa menunggu persetujuan siapapun lelaki itu bangkit dan berlalu dengan langkah pelan. Dengan sekuat tenaga ia berusaha baik-baik saja. Padahal, ribuan belati kini tengah mengkoyak habis-habisan dan tanpa ampun jantungnya. Namun, ada seseorang yang masih ia jaga agar tidak tahu tentang sebuah keadaan yang masih ia rahasiakan dengan sangat apik. Siapa lagi jika bukan Nazura Ayana Albirru? Seorang perempuan yang ia persunting empat bulan lalu. Alasan lelaki itu belum juga angkat bicara tentang keadaannya hanya sebuah alasan klasik. Hanya takut jika Ayana tahu yang sebenarnya, maka perempuan itu akan meninggalkannya begitu saja. Padahal, itu hanya sebuah praduga semata.Menaiki anak tangga yang biasanya terasa singkat kini justru terasa sangat melelahkan. Hingga pasokan oksigen terasa semakin menipis. Berulangkali Zayn meraup udara sebanyak-banyaknya melalui mulut. Namun, yang ia dapatkan hanya sedikit saja. Hal itu benar-benar menyakitkan. Terlebih rasa sakit yang sudah coba ia tahan sejak di ruang makan tadi sudah tak mampu lagi terelakkan. Tangannya refleks meremat kuat dada sebelah kiri dengan erangan yang ia coba tahan agar tak lolos dari bibir pucatnya.Tubuh yang sedikit demi sedikit kehilangan bobot itu limbung. Namun, sepertinya Dewi Fortuna tengah berpihak padanya hingga tubuh itu tak berhasil menyentuh lantai. Karena, tangan seseorang berhasil menahannya dari belakang.“Kakak. Kakak masih bisa dengar Ezran?”Suara yang sarat dengan kepanikan itu masih terdengar jelas. Hanya saja matanya yang sayu sudah tak dapat melihat dengan jelas. Semua memburam. “Bantu Kakak ke ruang kerja,” lirihnya dengan pelan dan nyaris tak terdengar.Beruntungnya Ezran yang sudah terlampau sering mendapati kakaknya seperti itu seketika paham. Tak perlu lagi ia bertanya tentang apapun pada Zayn. Karena, seminggu sebelum akad pernikahan Zayn dan Ayana, ia sudah mendapatkan titah dari si sulung itu memindahkan beberapa alat penting yang membantunya saat rasa sakit menyerang ke ruang kerja. Ruangan yang tentu saja Ayana sangat jarang memasukinya. Apalagi menjelajah setiap incinya. Ayana hanya akan masuk jika mengantarkan sesuatu untuk Zayn atau hanya sekedar mengingatkan suaminya untuk istirahat.Tanpa menunggu lagi Ezran menuntun tubuh Zayn yang lemah menuju ruang kerja. Di sana ia membaringkan tubuh sang kakak di atas sofa. Lantas, ia yang begitu panik bergegas menuju belakang lemari untuk mengambil sebuah tabung oksigen portable yang biasa ia gunakan untuk membantu memperlancar pernapasan Zayn. Terlampau biasa menjadi tenaga medis dadakan saat Zayn anfal membuatnya tak merasa kesulitan sama sekali untuk memasangkan nassal canula di hidung Zayn.“Bagaimana?”Zayn hanya mengangguk sebagai isyarat sudah merasa baik. Hanya saja rasa sakit yang menghujam dadanya masih sangat terasa. Apalagi yang ia butuhkan selain benda kecil ajaib dan paling mujarab di dalam tabung kaca yang ia simpan di laci meja kerja.“Obat Kakak di mana?”“Laci,” balasnya singkat.Dengan sigap Ezran berlari menuju meja kerja Zayn. diacaknya laci meja hingga menemukan sebuah botol transparan yang sudah tidak asing lagi baginya. Lantas, bergegas kembali dengan tak lupa membawa air putih dalam gelas yang terletak di atas meja.“Ezran bantu, Kak.”“Terima kasih, Zran,” ucap Zayn setelah menelan beberapa butiran kecil yang pahit itu dengan bantuan air.“Sampai kapan—”Ucapan Ezran terputus saat tangan kanan Zayn terangkat ke udara. Ia tahu ke mana arah kalimat adiknya itu. Ia menatap lekat Ezran dengan tatapannya yang masih sayu. “Kakak saja masih belum tahu sampai kapan Kakak bertahan menyembunyikan hal ini, Zran. Jadi, Kakak mohon jangan tanyakan hal yang sama lagi,” pintanya dengan nada memelas. Zayn tak berbohong. Ia bahkan sudah mengajak otaknya untuk berpikir keras akan hal itu. Namun, lagi-lagi sebuah ketakukan akan ditinggalkan Ayana membuatnya tak mampu lagi berbuat selain masih setia menyimpan rahasianya.Ezran hanya bisa mengembuskan napas pasrah. Biar bagaimana pun ia tentu saja tak mempunyai hal untuk memaksa Zayn. Ia yakin bahwa Zayn pasti mempunyai alasan yang kuat hingga melakukan hal itu. “Ehm, baiklah.”“Zran,” panggil Zayn tanpa membuka mata.“Kenapa, Kak?”“Jangan sampai kejadian ini diketahui Ayana, ya. Kakak belum siap.”Ezran tak menjawab. Lagipula, jika pun ia ingin mendebat dengan apa yang ada di otaknya saat ini, tetap saja tak akan berpengaruh terhadap keputusan Zayn. Dan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan hanya mengiyakan saja. Meskipun jelas saja ia memikirkan bagaimana Ayana. Bagaimana jika nanti kakak iparnya itu mengetahui semuanya. Ia bisa pastikan Ayana akan terpukul hebat.°°°°°“Pa, Ma, Ayana ke kamar susul Zayn, ya,” ucap Ayana berpamitan pada kedua mertuanya setelah menyelesaikan ritual makan malamnya. Sebenarnya, sudah sejak tadi ia ingin menyusul Zayn. Namun, mengingat titah Zayn yang tentu saja tidak bisa dibantah. Mau tidak mau ia harus menghabiskan sisa makanannya di atas piring.Setelah mendapatkan anggukan persetujuan, perempuan yang baru saja menginjak usia dua puluh satu tahun itu beranjak dari kursi. Sepasang tungkainya bergerak ke depan selangkah demi selangkah, menaiki deretan anak tangga yang menghubungkan ke kamarnya di lantai dua kediaman keluarga bermarga Ahmad.Tangannya menyentuh knop pintu kayu berwarna cokelat tua itu. Ia perlahan memasuki kamar yang biasa ia gunakan untuk melepas penat, begitu juga dengan Zayn. Di sana tak didapatinya lelaki yang ia niatkan susul tadi. Kepalanya menoleh ke segala penjuru kamar. Nihil. Tak ada satu pun manusia yang ditemukan.Langkah kakinya mengayun ke arah balkon kamar. Berharap bisa menemukan suaminya di sana. Hal yang sama didapat. Di balkon kamar yang biasanya ia dan Zayn gunakan untuk menikmati pemandangan malam juga tak ditemukannya si suami. Lantas, ia berbalik dan berniat mencari ke luar.Namun, gerakan kaki Ayana terhenti seketika saat suara terdengar. Tak luput juga ia terlonjak.“Kamu mencariku?”Kening Ayana mengkerut melihat Zayn yang berdiri di ambang pintu dengan bersilang tangan di depan dada, senyum manis menghias wajahnya yang sudah tak sepucat sebelumnya. “Dari mana?” tanyanya dengan nada kesal. Bibirnya yang ranum dimajukan ke depan.“Ruang kerja,” balas Zayn dengan begitu santainya. Ia melangkah mendekati Ayana. “Jangan seperti itu. Jelek,” lanjutnya sebelum melanjutkan langkah menuju tempat tidur. Menghiraukan Ayana yang masih setia dengan wajah cemberutnya. Bukan maksud Zayn untuk tidak peduli. Hanya saja tubuhnya yang semakin hari sering berulah itu meronta-ronta untuk diistirahatkan.“Kemarilah!” titahnya dari tempat tidur di mana tubuhnya sudah bersandar sempurna saat melihat Ayana membalik badan. Tangannya melambai pelan.Masih dengan rasa kesal yang entah dari mana datangnya Ayana beranjak dari tempat berdirinya menuju tempat tidur. Ia mendaratkan tubuhnya dan berbaring di samping Zayn. Kemudian, menatap lekat wajah Zayn. “Zayn,” panggilnya dengan nada serius.Zayn sedikit menundukkan kepala untuk kemudian ia bisa menatap Ayana yang juga tengah memandang ke arahnya. "Kenapa, Sayang?" Tangannya dengan lihai membelai lembut rambut perempuan itu."Apa kamu tidak sedang menyembunyikan apapun dariku?"Pertanyaan itu membuat Zayn sukses terdiam. Gerakan tangannya sudah berhenti. Ia membuang pandang ke depan. Lalu, detik selanjutnya ia tersenyum. Kendati senyum yang ia munculkan kini tentu hanya karena sebuah keterpaksaan belaka. Sebagai satu cara untuk meyakinkan bahwa tidak ada apapun yang terjadi. "Memangnya aku terlihat seperti menyembunyikan sesuatu, Na? Tidak, 'kan?"Untuk satu waktu memang Ayana tak pernah menangkap ada rahasia dalam diri suaminya. Namun, untuk sikap yang kadang aneh membuatnya mencurigai. Bagaimana tidak? Ia seringkali mendapati Zayn lebih banyak diam. Dan tak hanya itu, lelaki yang sudah mempersuntingnya empat bulan lalu itu kerapkali terlihat tanpa rona. Wajah pucat dan kadang rintihan pelan yang lolos dari bibir."Kamu sakit, 'kan?"Raut yang sudah terlihat biasa saja itu kembali menegang. Kali ini pertanyaan Ayana seperti tengah menyudutkannya. Lantas, apa yang harus Zayn lakukan kini? Untuk bercerita pun ia belum siap. Untuk sebuah praduga yang kerap muncul itu membuat keberaniannya menguap."Zayn."Bersamaan dengan panggilan itu. Sentuhan lembut dan terasa dingin menyentuh kulit tangan Zayn. Ia menunduk dan mendapati tangan mulus Ayana bertengger di sana."Jika apa yang kutanyakan tadi memang benar. Kamu sakit apa, Sayang?" Suara itu lembut seiring senyum tipis yang ikut menyungging di bibir.Zayn masih terdiam sambil menatap wajah teduh Ayana. Apakah sudah saatnya?Ayana meletakkan kepalanya di pangkuan Zayn. Ia tatap wajah tampan itu dengan leluasa. Menunggu jawaban yang akan dilontarkan lelaki kesayangannya.Kepala Zayn menggeleng pelan. Untuk kemudian ia memaksa kedua sudut bibirnya terangkat dan membentuk lengkungan yang indah. "Aku baik-baik saja, Na." Tangannya yang kosong menyisir rambut wanitanya.Barangkali untuk ke sekian kalinya Ayana harus mencoba untuk lagi-lagi terpaksa percaya. Kendati hati dan otaknya memberontak akan hal itu. Zayn tidak sedang baik-baik saja, pikirnya."Zayn," panggil Ayana menghentikan gerakan tangan Zayn. Ia genggam erat tangan itu. "Kalau kemudian ada sesuatu yang terjadi padamu. Percayalah! Aku akan menjadi orang pertama yang akan merengkuhmu," ucapnya sungguh-sungguh.Zayn hanya bisa terdiam mendengar ucapan Ayana. Ia tak tahu harus merespons dengan cara apa."Aku mencintaimu melebihi rasa cinta yang kamu tahu. Untuk apapun yang terjadi nanti di depan, kamu cukup mempercayaiku bahwa itu bukanlah alasan untuk kita saling meninggalkan."Kali ini Zayn benar-benar tersentuh mendengar Ayana. Ia tersenyum tipis."Tapi, kumohon jangan sembunyikan apapun dariku."Untuk permohonan Ayana ini membuat bibir Zayn kembali membentuk garis lurus. Ia sudah melakukan hal yang tak seharusnya ia lakukan. Mencoba menyimpan rahasia dan melibatkan keluarganya. Zayn merasa bersalah. Ia menunduk. Matanya bertemu dengan iris hitam bersih kesukaannya."Jika masih ada hal yang kamu sembunyikan dariku. Ceritakan, Zayn. Aku tidak akan marah."Helaan napas panjang keluar dari mulut Zayn. "Kita istirahat saja, ya, Sayang," ucapnya mengalihkan topik pembicaraan. Kepalanya sudah kepalang buntu untuk berpikir akan bagaimana.Ayana tak akan pernah bisa memaksa Zayn. Tidak akan pernah. Dan jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah mengikuti saja suaminya. Ia mengangguk pasrah.Seorang perempuan dengan balutan gamis hijau tosca yang dipadukan jilbab berwarna abu itu menyapu setiap jengkal ruangan CEO dengan pandangan setelah ditinggal oleh suaminya. Ia memperhatikan dengan begitu seksama setiap benda yang ada di ruangan yang baru kali pertama ini didatanginya. Sepasang bola matanya terhenti pada sebuah bingkai kecil di sudut meja kerja yang ada dalam ruangan dengan desain dominan kaca itu.Tubuhnya yang sempat mendarat di sofa berwarna cokelat tua bangkit. Ia beranjak dan menggerakkan sepasang tungkainya mendekati meja. Tangannya meraih bingkai tersebut. Menatap dengan begitu lekat foto yang terpasang di sana. Ia tersenyum geli melihatnya. Kamu terlihat begitu polos, Ayana, pikirnya. Lantas terkekeh kecil.Ya. Perempuan berjilbab itu adalah Ayana. Ia memutuskan dan memantapkan hati untuk menutup mahkota indahnya sebelum berangkat berbulan madu. Hal itu tentu saja sangat didukung penuh oleh suaminya."Astaga, Zayn," ucapnya sediki
Matanya yang terlihat sembap, sedikit basah dan memerah. Tak lepas pandangannya yang iba menyorot wajah pucat seseorang yang tengah terbaring di atas tempat tidur—Zayn. Sesekali sepasang netranya menangkap kerutan yang sangat jelas di kening lelaki itu. Persis seperti saat Zayn menahan sakit di kantornya.Tangan perempuan dengan jilbab yang sedikit berantakan itu masih setia menggenggam tangan kekar yang kadang refleks menggenggamnya balik dengan sangat kuat, yang sangat ia yakini sebagai satu cara suaminya untuk menahan erangan. Ibu jarinya bermian mengelus punggung tangan Zayn. Dikecupnya lagi tangan itu cukup lama.“Lekas membaik, ya, Sayangku,” ucapnya seraya menatap lagi wajah mulai damai dalam pejam itu. Kendati rona pucat belum juga ingin berubah. “Jangan buat aku khawatir dan setakut ini lagi, Zayn.” Air matanya lagi-lagi lolos dari kelopak mata dan mendarat di pipi mulusnya. Ia tertunduk, menenggelamkan kepala pada lipatan t
“Mama,” panggil seseorang dengan jilbab instan yang membungkus mahkota. Ia masih tampak lesu. Raut wajahnya yang biasa tanpak ceria kini hanya tersirat kesenduan saja. Ia mengalungkan tangannya di lengan Mama yang tengah asyik bergelut dengan alat-alat di dapur di hadapannya. Lalu, ia sandarkan kepalanya di lengan Mama dan memejamkan mata. Di sana ia temukan ketenangan. Berada di dekat Mama seperti ia tengah berada di dekat ibu kandungnya.“Kamu kenapa, Ayana?” tanya Mama bingung melihat anak menantunya itu. Pasalnya, tak biasanya Ayana seperti saat ini. Dilepasnya pisau yang tengah ia gunakan untuk memotong bahan-bahan masakan. Lantas, beralih menoleh ke arah Ayana. Kendati ia tak bisa menangkap rupa wajah perempuan itu. Setelahnya ia berbalik menatap ke arah Bi Asih—asisten rumah tangga. “Bi, minta tolong lanjutkan dulu, ya,” ucapnya dan dibalas dengan anggukan patuh oleh Bi Asih.Mama membawa tubuh Ayana beranjak dari dapur
Terhitung sudah lima hari sejak kejadian di mana Zayn anfal di kantor tepat di hadapan Ayana. Dan hari ini, rumah kediaman keluarga Ahmad itu tampak sepi. Hanya ada Ayana dan Zayn di sana. Sedang anggota keluarga lainnya tengah melakukan perjalanan untuk menghadiri acara keluarga besar mereka. Harusnya mereka juga ikut. Namun, mengingat kondisi Zayn yang belum membaik membuat mereka harus diam dulu di rumah.Tiga puluh menit Ayana habiskan bergelut sendiri di dapur. Sebenarnya bisa saja ia meminta tolong pada asisten rumah tangganya untuk membuatkan makanan untuk dirinya dan Zayn. Namun, ia berpikir kalau kasihan juga Bi Asih jika harus mengerjakan semuanya sendiri. Lantas, ia memutuskan untuk memasak dengan kemampuan seadanya.Perempuan dengan pakaian sederhana itu menatap masakan yang sudah siap di tangannya. Dengan hati girang ia melangkahkan kaki sambil tersenyum lebar menuju kamar. Di mana di sana sudah ada Zayn yang menunggunya.“Semoga saja Zayn suk
Tatapan Ayana lurus ke depan menghadap televisi yang menyala. Namun, tatapannya tampak kosong. Siaran yang ada di televisi tersebut sama sekali tak bisa dicerna dengan baik oleh otaknya.Setelah lima belas menit meninggalkan Zayn sendiri di kamar rupanya sudah mampu mengubah perasaannya yang kacau. Barangkali sikapnya tadi benar-benar mengganggu aktivitas Zayn. Ia menutup wajahnya yang kacau dengan kedua tangan.”Ingat! Kamu harus lebih bersabar menghadapi Zayn.”Lagi-lagi kalimat Mama terngiang di ceruk telinga. Membuat Ayana berpikir, apakah ia memang belum memiliki rasa sabar untuk menghadapi Zayn? Atau memang ia selama ini terlalu sering terbawa perasaan hingga seringkali merasa tersinggung, merasa tersakiti akan sikap Zayn padanya?Pikirannya benar-benar kacau kali ini. Ia menoleh ke lantai dua. Mendapati pintu kamarnya tak terbuka sama sekali. Apakah Zayn memang tidak berniat untuk menyusulnya? Atau—Oh, tidak! Jangan-janga
Ayana menatap suaminya yang terdiam. Ia yakin pasti ada sesuatu yang mengganjal di pikiran lelaki itu. Lalu, ia membelai lembut wajah Zayn. “Kenapa? Ada yang dipikirkan lagi, hmm?”Tentu saja Zayn tak mengiyakan pertanyaan istrinya. “Aku cuma mikirin bagaimana kalau kamu buatkan bekal untukku saat ke kantor. Ya biar aku tidak lagi makan di luar. Dan masakanmu pasti jauh lebih higienis.”Ayana tertawa lebar membuat Zayn tersenyum bahagia. “Are you kidding me, Zayn?”“Tidak, Sayang.”“Memangnya kamu yakin masakanku enak?”“Enak banget, Sayang. Tidak jauh beda dengan masakan Mama.”“Iya kan resepnya juga dari Mama, Zayn.”Zayn tertawa.“Ya sudah mulai besok aku akan membuat bekal untukmu.”“Ba—”“No! I mean bukan besok. Tapi, nanti kalau kondisimu benar-benar membaik. Baru kamu aku
Ayana menatap sendu wajah pucat Zayn yang terlelap dan damai dalam tidurnya. Dengan tangan kosong ia menyisir rambut hitam yang terlihat sudah mulai memanjang dengan lembut. Pahatan wajah dengan pipi yang semakin tirus itu ditatapnya begitu lekat. Lalu, tangannya sebelah tangannya bermain di wajah lelaki itu. “Cepat sembuh, ya, Sayang,” bisiknya dan mengecup singkat kening Zayn.Tanpa Ayana sadari. Air dari matanya luruh begitu saja mengingat kondisi suaminya. “Melihat lelapmu yang damai seperti ini benar-benar membuatku tak menyangka sedikit pun bahwa kamu selama ini menanggung sakit seberat itu, Zayn.” Ia menatap dada Zayn yang nain turun dengan konstan. Tangannya yang tadi membelai wajah Zayn turun menuku dada kiri suaminya. “Selalu baik-baik saja seperti ini, ya. Jangan membuatnya lelah dan terus menerus merasakan sakit yang berlebihan. Kasihani tuanmu sedikit saja,” ucapnya berbicara dengan organ tubuh Zayn yang baru beberapa hari lalu
Sepasang netra dengan iris hitam bersih itu masih setia menatap wajah damai seorang perempuan yang terlelap dalam pelukannya. Setelah berhasil menghentikan isak tangis istrinya, Zayn juga berhasil membujuk Ayana untuk lebih dulu tidur. Ia kasihan melihat perempuan itu menangis hampir setiap hari karena dirinya. Dielusnya kepala Ayana dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang. Tak lupa ia menyingkirkan surai hitam yang jatuh menutupi wajah Ayana.“Aku mencintaimu, Na. Jangan pernah meninggalkanku, ya.” Zayn mencium kening Ayana cukup lama. Ia bisa menikmati aroma lavender yang sudah menjadi ciri khas perempuan itu. Aroma yang selalu membuat Zayn rindu dan candu. Juga membuatnya merasa tenang. Setelah itu, ia kembali menatap paras ayu Ayana dalam jarak dekat dan dengan penerangan lampu tidur. Kendati demikian, Zayn masih bisa melihat kecantikan yang terpancar dari perempuan itu. Senyumnya mengembang.“Aku berjanji akan selalu menjagamu, Na. apapun yan