Apa jadinya ketika niat baik untuk membantu orang lain justru menjadi boomerang bagi diri sendiri? Ah, iya. Seringnya kebaikan itu ternyata justru disalah artikan. Ini tentang kisahku, Aina Mardhiyah. Orang-orang biasa memanggilku dengan panggilan Inamah, perempuan biasa yang berusaha untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Semua bermula saat Mbak Lastri, tetangga samping rumahku meminjam uang untuk keperluan hidupnya. Namun lama kelamaan, ia justru memanfaatkan keadaan. Tak hanya itu, ia justru memutar balikkan fakta, menebar fitnah seakan aku telah menggoda suaminya. Hingga suami dan mertuaku, membenci bahkan tak mengakui kebenaran berita yang kubawa.
Lihat lebih banyak“Mbak, saya mau minta tolong pinjam uang. Lagi butuh banget buat beli beras. Saya janji, begitu ada uang pasti langsung saya kembalikan,” ujar Mbak Lastri.
Dia adalah tetangga samping rumah. Sudah setahun lebih mengontrak di sana, kontrakan milik mertuaku.
“Mas Rudi lagi nggak kerja, sudah seminggu kena PHK. Keuangan kami lagi krisis banget Mbak Inamah, tolong bantu kami kali ini,” papar Mbak Lastri lagi. Ia merapatkan duduknya. Tampak raut penuh harap yang terlihat di wajah perempuan itu.
“Berapa, Mbak?” tanyaku.
“Seratus ribu saja, Mbak. Buat beli beras sama susunya Hasan,” jawabnya seraya menggaruk punggung tangan.
Aku menghela napas pelan. Kulihat Hasan yang sedang bermain mobil-mobilan tidak jauh dari tempatku duduk. Tidak tega rasanya membayangkan anak usia empat tahun itu menangis kelaparan. Pandanganku lantas beralih pada Kia, putri kecilku yang ada dalam gendongan. Ah, semakin tidak tega rasanya.
“Iya Mbak aku ada. Tunggu sebentar ya,” ucapku menyanggupi. Kutinggalkan Mbak Lastri untuk mengambil uang di rumah. Ia pasti benar-benar butuh hingga berani meminjam uang padaku.
Kubuka laci di ruang tamu. Aku selalu mempunyai uang simpanan sendiri dari hasil menjual gamis secara offline maupun online. Tidak banyak untung yang kudapat, tapi meski begitu aku tetap menjalaninya karena senang bisa menghasilkan uang sendiri. Ya, meskipun gaji suami selalu mencukupi.
“Ini, Mbak.” Kuserahkan dua lembar uang kertas senilai dua ratus ribu begitu kembali menemui Mbak Lastri.
“Banyak banget, Mbak," ucapnya sungkan.
“Udah nggak papa. Pakai aja dulu. Ini uang Inamah sendiri kok. Jadi nggak usah dipikirkan kapan harus dibalikin.” Kuyakinkan Mbak Lastri. Kedua matanya berembun. Sebagai seorang istri dan ibu, aku turut sedih melihat keadaannya. Setidaknya dengan uang yang ada ini, ia bisa bertahan selama beberapa hari. Sampai Mas Rudi, suaminya itu mendapat pekerjaan.
***
Beberapa bulan kemudian ….
Hari menjelang magrib saat aku mendapat panggilan dari Mbak Lastri. Hati ini ragu ingin mengangkat telepon darinya. Sebab, setelah memberinya pinjaman pada hari itu, entah perasaanku saja atau tidak, Mbak Lastri seolah memanfaatkanku. Hutang yang awalnya hanya ratusan ribu, kini semakin membesar. Ada sekitar empat juta lebih. Berulang kali Mbak Lastri meminta bantuanku dengan alasan yang sama.
Sampai akhirnya sudah lebih dari setengah tahun aku berhenti memberinya pinjaman uang, kupikir sekarang keadaannya sudah membaik karena Mas Rudi kini telah bekerja. Itu pun dibantu oleh Mas Bram, suamiku.
Empat juta rupiah bukan nominal yang sedikit. Berulang kali kucoba mengingatkan, tapi selalu saja tidak bisa menemui Mbak Lastri. Terlebih akhir-akhir ini ia jarang ada di rumah. Kucoba untuk memberanikan diri menghubungi nomer Watsapnya saja. Bagaimana pun erkara hutang harus diselesaikan. Lagi pula itu adalah uangku dan aku berhak untuk menagihnya bukan? Terlebih ini sudah lewat dari bulan yang ia janjikan.
[Assalamualaikum, Mbak. Gimana kabarnya? Lama nggak ketemu. Saya mau ada perlu, nih.]
Kukirim satu pesan untuknya. Tidak lama, balasan dari Mbak Lastri kuterima.[Iya, ada apa?] tulisnya.
[Saya mau nagih hutang, Mbak. Karena sedang butuh hehe.] Balasku lagi.
Lama.Kulihat hanya ada centang dua berwarna biru. Artinya Mbak Lastri sudah membaca pesanku, tapi sampai beberapa menit berselang tidak juga ada jawaban.
[Mbak, saya beneran butuh.] Kukirim satu pesan lagi. Kulihat ada keterangan mengetik di bawah foto profilnya. Sebentar lagi ia pasti membalas.
[Oh, jadi kamu udah miskin sampai nagih begini? Nggak bisa apa lihat orang bahagia sebentar? Bakal aku bayar kok. Kalem. Tenang aja. Lagian, baru juga tadi pagi dapet uang arisan. Sekarang udah ditagih-tagih. Nggak seneng ya lihat tetangga seneng?!]
Degh!
Astagfirullah.
Dadaku berdenyut nyeri. Sakit sekali. Tidak menyangka dengan balasan dari Mbak Lastri. Meski dalam tulisan, tetap saja rasanya sakit membaca kata-kata itu. Kuketik beberapa baris pesan untuknya.
[Bukan begitu, Mbak. Maaf, tapi memang saya lagi butuh. Uang yang mbak pinjam itu modal untuk jualan saya.]
Send. Semoga Mbak Lastri tidak salah paham lagi. Aku bahkan baru tahu kalau ia dapat uang arisan.
Selama ini aku tidak pernah bercerita kepada Mas Bram terkait uang-uang yang dipinjam Mbak Lastri. Karena kupikir uang yang kupinjamkan berasal dari hasil jualanku. Jadi, akan aman-aman saja tanpa perlu meminta izin lebih dulu. Biarlah hal itu menjadi urusan pribadiku.
***
Malam beranjak semakin larut. Aku terbangun saat mendengar suara gaduh dari arah depan. Kuturuni ranjang dan bergerak cepat menuju daun pintu. Sempat kulihat jam yang terpasang di dinding kamar tadi. Hampir tengah malam.
Kusibak tirai jendela. Mataku terbelalak melihat apa yang terjadi di halaman depan. Sebuah mobil pick up berhenti tepat di depan rumah Mbak Lastri.
"Ada apa, ya, Dek?" suara dari belakang mengejutkanku. Mas Bram. Rupanya ia juga terbangun sama sepertiku.
"Ngagetin aja!" seruku. Mas Bram mendekat. Ia ikut mengintip di jendela.
"Mbak Lastri sama Mas Rudi mau pindah rumah? Kok malem-malem begini? Kenapa?" tanya Mas Bram.
Kuangkat kedua bahu, "Entahlah, Mas," jawabku.
Kami hanya mengintip lewat jendela. Ingin melihat ke luar rasanya tidak enak karena sudah benar-benar larut malam. Melihat barang-barang yang diangkut ke atas mobil, jelas sekali bahwa mereka sedang pindah rumah.
"Kok, pindahan malam-malam begini? Mereka kenapa, sih? Apa ada masalah sama kita?" tanya Mas Bram lagi. Membuatku jadi berpikir.
‘Apakah karena hutang yang kutagih? Tapi, apa sampai segitunya harus pindah rumah? Itu 'kan uangku. Wajar dong jika aku menagih. Aku juga tidak berkata kasar. Bahkan menghubunginya dengan cara baik-baik. Justru Mbak Lastri yang tidak menggubris. Pesanku saja belum dibalas sampai sekarang,’ batinku bergejolak.
"Sudahlah, Dek. Kita lihat saja besok. Toh, pasti Mas Rudi nganterin kunci ke rumah Ibu. Nanti di kantor coba aku tanyain,” usul Mas Bram. Membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk. menurut saja dengan ucapan Mas Bram. Kami kembali masuk ke kamar. Melanjutkan tidur dan menyelami dunia mimpi. Aku mendadak ketakutan sendiri. Kalau Mbak Lastri pindah. Lantas, apa kabar dengan hutang-hutangnya selama ini?
***
Pagi hari saat Mas Bram sudah berangkat kerja dan aku sedang sibuk merapikan rumah. Kudengar suara pintu diketuk dengan keras. Aku bergegas cepat membukanya karena khawatir Kia terbangun mendengar suara gaduh.
"Ibu?" tanyaku saat pintu sudah terbuka.
Plak!Satu tamparan mendarat sempurna di pipi sebelah kananku. Tidak menyangka aku ditampar ibu mertua.
"Kamu pakai baju tertutup begini ternyata genit juga sama suami orang!" bentak Ibu mertua sambil menunjuk-nunjuk mukaku. Wajah Ibu memerah padam.
"Maksud, Ibu apa?" tanyaku tak mengerti.
"Halah! Itu si Lastri bilang kalau kamu genitin suaminya. Makanya dia pindah rumah juga. Kamu tahu nggak, sih? Karena mereka pindah. Otomatis pendapatan Ibu nggak ada! Kamu sengaja? Hah?!" Ibu mertua melotot. Wajahnya memerah tampak sedang emosi.
"Ini fitnah, Bu," kataku membela diri. Dadaku sesak menerima tuduhan dari Ibu. Apalah ini, menuduhku genit pada suami Mbak Lastri? Ya Allah, ataukah ini sengaja Mbak Lastri yang mengomporinya?
"Fitnah apanya? Wong, Rudi juga mengakuinya!" sanggah Ibu.
‘Hah? Mas Rudi? Ya Allah ...!’
Belum sempat aku mengelak atas tuduhan Ibu. Terdengar suara Kia menangis dari dalam kamar.
"Dengar, ya! Ibu nggak mau tahu! Mulai bulan depan kamu harus gantikan penghasilan Ibu yang hilang!"
Brakk!
Suara pintu dibanting seiring langkah kaki Ibu meninggalkan rumahku. Beliau bahkan tidak menengok Kia, cucunya sendiri. Kuusap pipi yang memanas bekas tamparan Ibu. Jantungku berdegup kencang. Terbayang wajah Mbak Lastri dan Mas Rudi. Jika ini hanya menyangkut hutang piutang mungkin aku tidak akan terlalu geram menghadapi Mbak Lastri. Akan tetapi, ini menyangkut nama baikku yang semakin buruk di mata Ibu mertua. Apalagi Mas Rudi juga ikut-ikutan memfitnahku.
Begitu sampai di kamar, kutenangkan Kia lalu bergegas cepat mengambil gawai dari atas nakas. Tidak sabar ingin menghubungi nomor Mbak Lastri dan meminta penjelasannya. Aku tidak tahu mana yang benar dan yang salah. Ibu mertua ataukah Mbak Lastri dan Mas Rudi.
Sambil menyusui Kia, kuhubungi nomor Mbak Lastri. Berkali-kali kupanggil, tapi tidak ada keterangan berdering saat panggilan. Hanya tulisan memanggil saja terus menerus. Sampai gawai panas pun tidak kunjung berubah.
[MBAK SAYA ADA PERLU!]
Sengaja kuketik dengan capslock jebol. Biarkan saja. Geram sekali rasanya.
Kuamati Watsapp Mbak Lastri. Hanya centang satu dan baru kusadari bahwa tidak ada foto profil yang terpasang seperti biasanya. Oh, apakah nomorku diblokir olehnya?Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen