"Sejak kapan kamu genitin suami orang? Hah?!" bentak Mas Bram seraya mencengkeram erat kedua pundakku. Baru saja ia pulang kerja dan langsung masuk kamar marah-marah .
“Mas, ada apa?” tanyaku bingung. Kuletakkan Kia di atas kasur.
"Halah! Dasar gatal! Pake pura-pura nggak ngerti segala!” Mas Bram melotot. Dadanya naik turun. Urat di wajahnya menonjol. Tuduhannya barusan, sama persis dengan yang ibu mertua katakan tadi pagi. Oh, apakah ini ada hubungannya dengan Mbak Lastri?
“Tenang dulu, Mas. Kasih aku waktu buat ngomong,” lirihku.
“Mau nyangkal apa lagi? Mas Rudi sudah cerita semuanya! Banyak sekali yang ia ceritakan. Sampai-sampai, Mas bahkan sangat jijik mendengarnya dan foto-foto itu ...." Mas Bram menggantungkan kalimatnya. Ia merahup wajah kasar.
“Foto?” tanyaku semakin tidak mengerti.
“Iya! Kamu sangat murahan, Inamah!" hina Mas Bram tanpa ampun. Tatapan matanya menghakimi. Memandangku seolah sampah yang menjijikkan.
‘Ya Allah! Fitnah apa yang Mas Rudi sampaikan pada suamiku hingga ia mencelaku sekasar itu? Arggh! Muak dengan semuanya!’ batinku.
Mendebat Mas Bram yang sedang emosi rasanya hanya akan sia-sia saja. Aku berdiri, bangkit dari posisi duduk. Kuraih gawai dari saku gamis yang kukenakan. Ada banyak bukti yang kusimpan terkait Mbak Lastri. Kulihat Mas Bram membuang muka. Tangan kanannya mengepal kuat.
"Mas," panggilku takut-takut. Sedikit ragu aku mendekat. Kusodorkan gawaiku padanya. "Ba-baca ini dulu, Mas," ujarku lagi.
Mas Bram menoleh. Ia menarik segaris senyuman ke samping kiri. Digeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa melihat isi dalam layar yang menyala. Diraihnya cepat gawai milikku, lalu ....
Brakkk!!
Mataku membulat. Baterai dan cassing tercecer sempurna. Gawaiku hancur berkeping-keping. Dibanting dan diinjak oleh Mas Bram. Satu-satunya bukti yang aku miliki ada di situ. Ya Allah ....
"Jangan tunjukkan apa pun! Mas sudah jijik melihat foto-foto kamu di gawai Rudi tadi!" desisnya.
Aku merunduk cepat. Memunguti kepingan ponsel yang berserak. Tanpa terasa kedua pipiku sudah basah. Aku menangis dengan bibir yang menutup rapat.
'Fitnah besar apa yang akan kuhadapi, Ya Allah Seandainya aku jujur sejak awal. Seandainya aku tidak mudah percaya pada orang lain. Seandainya pula rasa kasihan bisa kukendalikan. Mungkin, aku tidak akan semenyedihkan ini. Mas Bram termakan fitnah hingga menyebutku murahan. Lalu, foto-foto yang ia ucapkan tadi? Maksudnya apa? Aku sama sekali tidak mengerti foto mana yang Mas Bram maksud. Apakah ini sengaja direncanakan oleh Mbak Lastri dan Mas Rudi? Tujuan mereka apa sebenarnya? Kenapa harus aku dan keluargaku? Jika mereka menghindari karena perkara hutang, harusnya cukup menjauh dan tidak perlu memfitnahku, tapi sepertinya ini menyangkut hal lain. Ternyata, terlalu baik pada orang lain bisa menjadi boomerang bagi diri sendiri.'
Batinku bergejolak hebat. Darahku mendidih merasakan semua yang terjadi.
***
Malam telah tiba. Kulihat jam yang menggantung di ruang tamu. Sudah hampir pukul sebelas malam. Kujatuhkan pandangan ke arah sofa. Di sana Mas Bram sedang terlelap tidur. Sama sekali tidak menemuiku sejak pertengkaran tadi.
Apa yang harus kulakukan? Gawaiku sama sekali tak berfungsi. Memang susah jika menghadapi orang yang berwatak keras. Mas Bram jika marah tak bisa diajak kompromi. Bahkan, ia tidak sampai berpikir jernih.Sementara Mas Bram tertidur pulas. Aku berjalan mengendap meraih gawainya yang tergeletak di atas meja. Ya, aku yakin Mas Bram pasti menyimpan nomor Mas Rudi.
Tidk ada cara lain selain menemui pasangan tanpa akhlak itu. Mas Rudi dan Mbak Lastri. Aku harus meminta penjelasan atas apa yang mereka lakukan. Kalau perlu kulabrak langsung ke rumahnya. Geram sekali hati ini.
***
Keesokan harinya. Aku sedang menyiapkan sarapan untuk Mas Bram. Sementara suamiku itu sedang duduk sambil menekuri gawai di genggaman tangan. Semoga ia tidak curiga apa pun. Semalam sudah kucatat nomor Mas Rudi dan Mbak Lastri. Sengaja tidak langsung kuhubungi dua orang itu. Tidak ingin saja jika Mas Bram semakin buruk sangka padaku.
"Nanti aku mau ke rumah Ibu," celetuk Mas Bram tiba-tiba.
"Jam berapa, Mas?" tanyaku selembut mungkin.
"Pulang kerja!" tandasnya.
Kuputar otakku dengan cepat. Berpikir.
"Iya, hati-hati," timpalku kemudian. Sudah kuputuskan. Akan kubereskan satu-satu. Selama Mas Bram kerja, ada peluang untukku menemui Ibu.
"Aku pergi dulu,” pamitnya.
"Kenapa buru-buru, Mas? Sarapannya?" Aku mendekat. Mengantarkan sebuah piring berisi roti panggang.
"Nggak usah," tepis Mas Bram.
Suamiku itu bangkit dari duduk. Ia tanpa sedikitpun menoleh padaku. Dingin. Seperti itulah jika sudah marah. Aku bahkan tidak dianggap ada.
Usai kepergian Mas Bram dari rumah dan mumpung Kia masih tidur. Aku berjalan cepat menuju telpon rumah di ruang keluarga.
Kukeluarkan selembar kertas berisi catatan nomor Mbak Lastri dan Mas Rudi. Kupencet dengan segera. Menekan tombol-tombol angka. Tidak lama kemudian panggilan terhubung.
"Halo, siapa ini?" tanya Mbak Lastri dari seberang panggilan.
"Inamah, Mbak. Inget?" tanyaku sedikit membentak.
"Oh, kenapa lagi? Ada urusan apa?" sahutnya enteng.
Ih. Geram sekali rasanya! Sebegitu entengnya ia bicara. Lupa apa sama hutang yang ia bawa. Belum lagi sudah memfitnahku pada Mas Bram dan Ibu.
"Enak ya, udah ditulung malah mentung! Lupa kamu selama ini, Mbak! Hah?!" teriakku. Emosi sudah meledak. Ingin sekali kuberkata kasar mendengar suaranya, tapi masih berusaha kutahan-tahan.
"Ya ya ya, jadi, kamu minta aku balas budi? Gitu?" jawabnya seakan meledekku.
"Di mana kamu tinggal? Aku ada perlu! Jangan sembunyi kau!" Aku mendesis.
"Oh, mau apa? Mau genitin suamiku? Ke sini aja. Noh, aku pindah juga masih satu daerah sama kamu. Di kontrakan Bu Yuyun. Tahu, 'kan? Gang belakang," ujarnya santai.
Sudah kukekepal tanganku. Emosi memuncak di ubun-ubun. Dia ... sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan menuduhku akan menggeniti suaminya? Wah, benar-benar tetangga gak ada akhlak!
"Datang saja ke sini kalau masih punya nyali. Toh, nama kamu sudah tercemar sampai ujung gang!” teriaknya.
Brakk!
Kubanting gagang telpon dengan kasar.
Ada, ya, orang seperti ini? Ya Allah. Dia pikir apa? Aku bakal diam saja? Membiarkan ia menginjak harga diriku? Memfitnahku sesuka hatinya? Oh, tidak semudah itu mantan tetangga!
‘Datang saja ke sini kalau masih punya nyali. Toh, nama kamu sudah tercemar sampai ujung gang.’Masih terngiang ucapan Mbak Lastri dalam panggilan tadi. Teganya mencemarkan namaku. Ah, entahlah, fitnahan apa yang telah ia buat. Kupikir ia perempuan yang tidak tahu diri saja. Menghindari hutang dengan memilih berpindah rumah, tapi dugaanku salah. Rupanya ia dan Mas Rudi cukup licik juga. “Ya Allah, ampuni segala dosa dan khilafku,” lirihku menahan sesak di dada. Kepalaku pusing. Memikirkan masalah yang datang bertubi-tubi. Tentang Ibu yang meminta jatah kontrakan. Tentang ulah Mbak Lastri dan suaminya yang tidak tahu diri. Juga tentang Mas Bram yang ... ah, aku tidak sanggup melanjutkannya.Andai Mas Bram berdiri di sisiku. Percaya dengan apa yang kukatakan. Tentu hal seperih ini tidak akan terlalu menyiksa. Karena sebesar-besarnya masalah akan menjadi ringan saat ada belahan hati yang turut menopang. Akan tetapi, Mas Bram tidak mau mendengarkan kata-kataku. Maka, jalan satu-satunya
Menghadapi orang licik tidak bisa serampangan. Salah-salah malah jadi boomerang. Apalagi orang seperti Mbak Lastri. Kalau saja santet dibolehkan. Tentu hal itu akan menjadi pilihan terbaik. Membunuh tanpa menyentuh. Amazing bukan? Ya, sekali lagi. Kalau saja hal itu diperbolehkan, tapi agama yang kuanut melarang untuk berbuat demikian. Jangan sampai lah, hidup di dunia sudah susah. Di akhirat jadi semakin menderita. Detak jam dinding rumah bergerak seirama dengan jantungku. Kutuntaskan dulu pekerjaan rumah. Masalah Ibu mertua yang meminta jatah kontrakan. Biar nanti Mas Bram yang selesaikan. Satu-satunya target saat ini adalah mengembalikan keharmonisan rumah tanggaku. Membuat suamiku kembali percaya dan mengorek informasi darinya. Sungguh, aku penasaran sekali. Foto apa yang ia maksud kemarin. Sampai hati ia menyebutku murahan.*** Jualanku jadi terbengkalai. Gara-gara gawai yang rusak, aku jadi tudak bisa promosi lagi. Mumpung belum terlalu siang aku akan pergi saja menuju konte
Kubuat akun kloninganku semenarik mungkin. Jika bukan demi menjerat si Lastri. Aku tidak akan pernah bersusah payah seperti ini. Ia pikir aku perempuan lemah? Diam saja melihat semua perbuatannya. Tidak segampang itu, Mbak.Orang licik tidak bisa dilawan dengan otot. Kudu mikir pake otak. Kalau kuturuti hawa nafsu. Emosi menjadi saat bertemu dengan Mbak Lastri. Bisa-bisa aku yang kena getah sendiri. Dan ia semakin ngelunjak tak tahu diri.Kulihat lagi laman profil utama milik Mbak Lastri. Menscroll isi di dalamnya. Aku tersenyum miris. Statusnya julid sekali padaku. Menghina dan mencaci maki. Pantas saja akunku diblokirnya. Agar ia bebas bercuap-cuap di sosial media tanpa sepengetahuanku.Kuketik sebaris pesan untuk Mbak Lastri. Kebetulan mesenggernya berwarna hijau. Artinya ia sedang on saat ini. [Makasih udah dikonfirm. Salam kenal ya.]Send.Tidak lama kulihat pesanku sudah terbaca dan ada keterangan mengetik di sana. Mbak Lastri merespon pesanku.[Sama-sama. Salam kenal juga.]Sa
Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak. Sejak Mas Bram bilang ada Mbak Lastri dan Mas Rudi di rumah Ibu. Perasaanku jadi kembali tak menentu. Dugaanku pada wanita tak tahu diri itu terus saja buruk. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Kulihat Mas Bram sudah terpejam. Ia lelap sekali. Maklum, kami usai memadu kasih. Kutunaikan kewajibanku sebagai istri dengan baik. Demi merekatkan kembali hubungan yang telah renggang. Masalah rumah tangga tak melulu hadirnya pelakor sebagai orang ke tiga. Contohnya saat ini. Pihak lain yang ternyata membuat retak rumah tanggaku adalah tetangga sendiri yang sama sekali tak pernah kusangka sebelumnya. *** Malam beranjak semakin matang. Perlahan aku bergerak menuruni ranjang. Kuraih gawai milik Mas Bram di atas nakas. Barusan, layar benda pipihnya berkedip-kedip. Aku penasaran. Siapa gerangan yang menghubungi malam-malam begini. Mataku bergerak menyusuri layar yang menyala. Banyak sekali pesan yang masuk dan belum sempat dibuka. Kebanyakan
Segumpal daging itu bernama hati. Kita tidak pernah tahu apa saja isi di dalamnya. Sebab, tak jarang tampilan banyak yang menipu. Dari luar tampak baik. Namun, isi di dalamnya ....Sungguh berbanding terbalik.*** Untuk yang ke sekian kalinya. Hari baru tiba di Kota kelahiranku. Surabaya. Pagi ini, kota yang terkenal dengan julukan Kota Pahlawan itu, disambut mesra oleh rintik hujan yang cukup padat. Bunyi tetesannya yang terdengar nyaring. Beradu dengan atap seng di belakang rumahku. Aku masih bergelung di bawah selimut yang sama. Bersama Mas Bram, suamiku. Meski sudah pukul tujuh pagi, tapi kami masih diam di atas pembaringan. Udara yang dingin sebab mentari tak kunjung memancarkan sinarnya. Semakin membuat kami berdua malas untuk pergi ke mana-mana. Usai shalat subuh tadi, Mas Bram bilang ingin kembali terpejam. Katanya, ia akan masuk kerja pukul sepuluh siang. Ada rapat internal di perus
Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau menempel sempurna di dindingnya. Tanpa halaman, tanpa pula pagar pembatas jalan. Aku tersenyum miris. Bukan menilai bentuk bangunannya. Melainkan, menilai betapa penghuninya sangat tak tahu diri. "Eh, Mbak Inamah. Mau ke mana?" tanya seseorang yang tak lain adalah Mbak Leli. Kebetulan ia sedang melihatku mengamati rumah Bu Yuyun. Kontrakan yang ditempati Mbak Lastri. "Ini, mau ke rumah Mbak Lastri. Udah lama nggak ketemu," ujarku sambil tersenyum.Melihat Mbak Leli, aku sedikit deg-degan. Teringat dengan mimpi waktu itu. Ya, betapa horornya ia di dalam mimpi. Menyeretku dan menuduh tanpa barang bukti. Meski hal itu hanyalah sebuah mimpi. Rupanya mampu mempengaruhi isi kepalaku. Hingga dalam keadaan sadar pun. Ada sedikit rasa ketakutan. "Oh, Mbak Lastri, ya? Tadi sih ketemu pas lagi belanja sayur," ucap Mbak Leli. "Oh, begitu." Aku tersenyum. "Berarti se
"Hueeeeeek! Huueeeek!" Mbak Lastri terus saja muntah. Mukanya memerah. Hidungnya pun berair. Wajah dan rambut sama-sama kusut. Puas!"Kurang ajar sekali kamu! Hueeeeeeek!" teriaknya sambil terus muntah-muntah. "Keluar dari rumahku! Sekarang!" ia histeris dengan telunjuk jari mengarah pada daun pintu. Mengusirku. Dih! Enak aja! Urusan masih belum selesai."Apa? Mbak bilang aku kurang ajar? Ngaca, dong!" sengitku. "Kalau kamu nggak keterlaluan, aku juga nggak bakalan begini!" Kutarik napas pelan. Tak tega sebenarnya memperlakukan Mbak Lastri seperti itu. Sudut hati menjerit bahwa ini salah. Tapi, aku sudah terlanjur kalap. Emosi melihat sikap dan ucapannya. Ia sama sekali tak mau mengakui kesalahan. Bahkan, tak juga mau bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Aku tersulut. Gemuruh dalam dadaku membuncah. "Salah apa aku sama kamu, Mbak! Hah?! Tega benar
Kuklik cepat foto-foto tersebut. Kupicingkan mata melihat detail pesan chat di dalamnya. Huft! Syukurlah. Kuembus napas lega saat melihat bahwa nomor dan fotoku di blur oleh Mbak Lastri.Jika ia ingin mencemarkan namaku. Kenapa tanggung sekali? Kenapa harus diblur segala? Sebenarnya apa motif ia melakukan ini semua? [Gimana jadinya kalau ada tetangga yang genitin suami kita?]Tulisnya. Dih! Amit-amit. Iseng, kucoba menulis komen di statusnya. Belum juga kutulis. Tapi, begitu melihat komentar yang berjibun. Ku urungkan niatku. [Wah, gila banget. Jangan di blur dong. Ayo viralkan!][Harus digaruk ulat bulu seperti itu][Buang ke tempat sampah! Bumi hanguskan orang seperti itu!]Skip!Banyak sekali komentar netizen. Begitu pedas, serta sangat mudah menghakimi tanpa tahu kebenarannya yang pasti.Belum juga tombol kem
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be