Kubuat akun kloninganku semenarik mungkin. Jika bukan demi menjerat si Lastri. Aku tidak akan pernah bersusah payah seperti ini. Ia pikir aku perempuan lemah? Diam saja melihat semua perbuatannya. Tidak segampang itu, Mbak.
Orang licik tidak bisa dilawan dengan otot. Kudu mikir pake otak. Kalau kuturuti hawa nafsu. Emosi menjadi saat bertemu dengan Mbak Lastri. Bisa-bisa aku yang kena getah sendiri. Dan ia semakin ngelunjak tak tahu diri.
Kulihat lagi laman profil utama milik Mbak Lastri. Menscroll isi di dalamnya. Aku tersenyum miris. Statusnya julid sekali padaku. Menghina dan mencaci maki. Pantas saja akunku diblokirnya. Agar ia bebas bercuap-cuap di sosial media tanpa sepengetahuanku.
Kuketik sebaris pesan untuk Mbak Lastri. Kebetulan mesenggernya berwarna hijau. Artinya ia sedang on saat ini.
[Makasih udah dikonfirm. Salam kenal ya.]
Send.
Tidak lama kulihat pesanku sudah terbaca dan ada keterangan mengetik di sana. Mbak Lastri merespon pesanku.
[Sama-sama. Salam kenal juga.]
Satu balasan kuterima. Aku tersenyum, celah mulai terbuka dengan sendirinya. Good.
[Saya Ryan. Mbak namanya siapa? Boleh kenalan?]
Kuembus napas pelan sambil mengatur deguban dalam dada. Rasanya seperti aneh saja. Terlalu agresif mengajak kenalan lebih dulu. Ya, meski ini demi penyelidikan. Tetap saja. Aku deg-degan. Takut ketahuan atau Mbak Lastri tak lagi merespon.
Ting!
Satu pesan masuk. Kubuka cepat. Rupanya dari mesengger. Mbak Lastri membalas lagi.
[Boleh. Panggil aja aku Lastri. Btw, kamu orang mana?]
Dih! Gayung bersambut. Ia meresponku dengan baik. Oke, kita lanjutkan sandiwara ini.
[Orang mana aja boleh. Usia brapa nih? Udah nikah?] balasku tak kalah cepat.
[Enaknya udah nikah apa belum ya? Coba lihat sendiri. Menurut kamu, gimana?]
Aku terbelalak. Kedua mataku membulat sempurna. Bukan membaca pesan yang dikirim Mbak Lastri. Akan tetapi, ia melampirkan sesuatu yang tak pernah terbayang olehku.
Begitu percaya dirinya ia mengirim foto selfie. Baru juga berteman dengan akunku. Dih, gini ngatain aku genit. Lha, sendirinya?
Boleh kusebut ia gampangan?
Kuabaikan pesan barusan. Biarkan Mbak Lastri penasaran dengan akun yang kugunakan tadi. Ternyata ada manfaatnya juga punya akun kloningan. Sering ku update dulunya. Setelah ini, mantan tetangga itu akan kepo dengan foto-fotoku.
Biarkan saja. Biar ia tertarik. Nanti saat sudah tiba waktunya. Akan banyak kejutan yang kuberikan untuk Mbak Lastri.
Kututup segera aplikasi mesenggerku. Putri kecilku sudah terlelap tidur. Sementara ia terpejam. Aku harus mengerjakan tugas rumah yang lain.
***
Setiap masalah pasti ada akar rumit yang harus dipecahkan. Dan dalam masalah ini, Mbak Lastri adalah biang kerok yang sudah melibatkan banyak orang. Termasuk Mas Bram, suamiku.
Sudah kupikirkan matang-matang. Aku akan memberikan pelayanan yang terbaik untuk suamiku hari ini. Sebagai permintaan maafku. Atas hal yang ia nilai buruk dari omongan mantan tetangga.
Kia masih terjaga dalam gendongan. Kutatap binar matanya. Wajah mungil gadis kecilku itu membuat hati terenyuh. Betapa indah ciptaan sang pencipta. Aku bahagia setiap kali melihatnya. Kukecup kening dan pipi anakku. Kubisikkan doa untuknya. Semoga ia tidak bernasib sama sepertiku. Berharap agar Allah berikan jodoh yang terbaik. Terutama dalam agama dan akhlaknya.
Tidak sepertiku. Yang harus terpaksa menikah karena perjanjian kedua Bapak kami. Ya, aku dan Mas Bram menikah bukan atas dasar cinta. Melainkan paksaan. Itulah sebab, tak banyak yang kuketahui dari suamiku. Andai boleh memilih, saat tahu Mas Bram orang yang bertemperamen tinggi. Tentu aku akan mundur teratur sebelum ikatan terjalin. Karena setiap kali marah, suamiku akan dengan mudah melayangkan tangannya.
Aku tersentak saat mendengar deru mesin mobil suamiku. Mas Bram sudah pulang. Ia terlambat sekali. Biasanya paling telat jam enam. Tapi, ini sudah hampir jam delapan.
Cepat aku berjalan menuju daun pintu. Membuka untuknya.
"Assalamualaikum," ucap Mas Bram sambil nyelonong masuk. Tidak sedikit pun menatap ke arahku. Bahkan, Kia juga dilewatinya begitu saja.
"Mas!" panggilku sambil mensejajari langkahnya.
"Iya?"
Kuraih punggung tangan Mas Bram kemudian menciumnya takzim.
"Salim dulu," kataku lalu melepasnya kembali.
"Oh, iya. Lupa. Mas buru-buru," ucapnya salah tingkah. Ia lalu berjalan masuk ke dalam. Meninggalkanku.
Sikapnya aneh sekali. Entah perasaanku saja atau memang benar adanya. Punggung tangannya tadi tanpa sengaja kuendus bau wangi. Seperti bau parfum, tapi ....
Ah, sudahlah. Suamiku bukan orang seperti itu.
***
Usai makan malam, kuhampiri suamiku yang sedang duduk termenung di depan televisi. Ia mudah marah, tapi juga mudah lupa. Kulihat sejak makan malam tadi sikapnya kembali normal. Tidak mengungkit masalah kemarin.
Kia sudah kutidurkan di keranjang bayinya. Kini, ada waktu untukku bisa berdua saja bersama Mas Bram. Banyak yang ingin kukorek darinya. Hanya saja, aku harus kembali mendapat kepercayaan lebih dulu.
"Mas," panggilku lirih.
Mas Bram menoleh. Ia menatap ke arahku. Satu senyuman terulas di bibirnya. "Iya, kenapa?" tanyanya.
Aku mendekat. Duduk tepat di sampingnya. Kusandarkan kepala di pundak Mas Bram.
"Mas sudah ke rumah Ibu," ucapnya tiba-tiba. Baru saja aku ingin bercerita. Ia sudah membuka suara lebih dulu. "Di sana juga ada Mbak Lastri dan suaminya."
Deg!
Kenapa lagi ini? Baru juga aku ingin mencairkan suasana. Kenapa harus membahas dua manusia itu.
Jangan-jangan mereka hendak mengompori lagi? Memfitnahku lagi?
"Ibu mengundang mereka ke rumah. Dan Mas Dengar, sepertinya mereka akan balik ngontrak di sebelah."
Napasku tercekat mendengar kalimat Mas Bram barusan. Benarkah ini? Mereka bakal balik ngontrak di sebelah rumahku? Wah, masuk kabar buruk atau kabar baik, ya?
"Oh. Bagus dong, Mas," timpalku cepat sambil senyum-senyum.
"Kenapa emang? Kamu seneng ada Mas Rudi lagi di sini?" Sengit Mas Bram bertanya. Ia terbakar cemburu seketika. Aku paham sekali.
"Enggak. Bukan itu," sanggahku.
"Lha, kenapa?"
Aku diam. Tak menjawab sepatah kata pun pertanyaan Mas Bram.
Biarkan saja dua orang itu balik ke sini. Tikus sudah siap masuk kandang. Tak perlu dipancing atau pun diundang.
Banyak pertanyaan berkecamuk dalam benak. Sejak Mas Bram bilang ada Mbak Lastri dan Mas Rudi di rumah Ibu. Perasaanku jadi kembali tak menentu. Dugaanku pada wanita tak tahu diri itu terus saja buruk. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Kulihat Mas Bram sudah terpejam. Ia lelap sekali. Maklum, kami usai memadu kasih. Kutunaikan kewajibanku sebagai istri dengan baik. Demi merekatkan kembali hubungan yang telah renggang. Masalah rumah tangga tak melulu hadirnya pelakor sebagai orang ke tiga. Contohnya saat ini. Pihak lain yang ternyata membuat retak rumah tanggaku adalah tetangga sendiri yang sama sekali tak pernah kusangka sebelumnya. *** Malam beranjak semakin matang. Perlahan aku bergerak menuruni ranjang. Kuraih gawai milik Mas Bram di atas nakas. Barusan, layar benda pipihnya berkedip-kedip. Aku penasaran. Siapa gerangan yang menghubungi malam-malam begini. Mataku bergerak menyusuri layar yang menyala. Banyak sekali pesan yang masuk dan belum sempat dibuka. Kebanyakan
Segumpal daging itu bernama hati. Kita tidak pernah tahu apa saja isi di dalamnya. Sebab, tak jarang tampilan banyak yang menipu. Dari luar tampak baik. Namun, isi di dalamnya ....Sungguh berbanding terbalik.*** Untuk yang ke sekian kalinya. Hari baru tiba di Kota kelahiranku. Surabaya. Pagi ini, kota yang terkenal dengan julukan Kota Pahlawan itu, disambut mesra oleh rintik hujan yang cukup padat. Bunyi tetesannya yang terdengar nyaring. Beradu dengan atap seng di belakang rumahku. Aku masih bergelung di bawah selimut yang sama. Bersama Mas Bram, suamiku. Meski sudah pukul tujuh pagi, tapi kami masih diam di atas pembaringan. Udara yang dingin sebab mentari tak kunjung memancarkan sinarnya. Semakin membuat kami berdua malas untuk pergi ke mana-mana. Usai shalat subuh tadi, Mas Bram bilang ingin kembali terpejam. Katanya, ia akan masuk kerja pukul sepuluh siang. Ada rapat internal di perus
Rumah sederhana dengan cat berwarna hijau menempel sempurna di dindingnya. Tanpa halaman, tanpa pula pagar pembatas jalan. Aku tersenyum miris. Bukan menilai bentuk bangunannya. Melainkan, menilai betapa penghuninya sangat tak tahu diri. "Eh, Mbak Inamah. Mau ke mana?" tanya seseorang yang tak lain adalah Mbak Leli. Kebetulan ia sedang melihatku mengamati rumah Bu Yuyun. Kontrakan yang ditempati Mbak Lastri. "Ini, mau ke rumah Mbak Lastri. Udah lama nggak ketemu," ujarku sambil tersenyum.Melihat Mbak Leli, aku sedikit deg-degan. Teringat dengan mimpi waktu itu. Ya, betapa horornya ia di dalam mimpi. Menyeretku dan menuduh tanpa barang bukti. Meski hal itu hanyalah sebuah mimpi. Rupanya mampu mempengaruhi isi kepalaku. Hingga dalam keadaan sadar pun. Ada sedikit rasa ketakutan. "Oh, Mbak Lastri, ya? Tadi sih ketemu pas lagi belanja sayur," ucap Mbak Leli. "Oh, begitu." Aku tersenyum. "Berarti se
"Hueeeeeek! Huueeeek!" Mbak Lastri terus saja muntah. Mukanya memerah. Hidungnya pun berair. Wajah dan rambut sama-sama kusut. Puas!"Kurang ajar sekali kamu! Hueeeeeeek!" teriaknya sambil terus muntah-muntah. "Keluar dari rumahku! Sekarang!" ia histeris dengan telunjuk jari mengarah pada daun pintu. Mengusirku. Dih! Enak aja! Urusan masih belum selesai."Apa? Mbak bilang aku kurang ajar? Ngaca, dong!" sengitku. "Kalau kamu nggak keterlaluan, aku juga nggak bakalan begini!" Kutarik napas pelan. Tak tega sebenarnya memperlakukan Mbak Lastri seperti itu. Sudut hati menjerit bahwa ini salah. Tapi, aku sudah terlanjur kalap. Emosi melihat sikap dan ucapannya. Ia sama sekali tak mau mengakui kesalahan. Bahkan, tak juga mau bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Aku tersulut. Gemuruh dalam dadaku membuncah. "Salah apa aku sama kamu, Mbak! Hah?! Tega benar
Kuklik cepat foto-foto tersebut. Kupicingkan mata melihat detail pesan chat di dalamnya. Huft! Syukurlah. Kuembus napas lega saat melihat bahwa nomor dan fotoku di blur oleh Mbak Lastri.Jika ia ingin mencemarkan namaku. Kenapa tanggung sekali? Kenapa harus diblur segala? Sebenarnya apa motif ia melakukan ini semua? [Gimana jadinya kalau ada tetangga yang genitin suami kita?]Tulisnya. Dih! Amit-amit. Iseng, kucoba menulis komen di statusnya. Belum juga kutulis. Tapi, begitu melihat komentar yang berjibun. Ku urungkan niatku. [Wah, gila banget. Jangan di blur dong. Ayo viralkan!][Harus digaruk ulat bulu seperti itu][Buang ke tempat sampah! Bumi hanguskan orang seperti itu!]Skip!Banyak sekali komentar netizen. Begitu pedas, serta sangat mudah menghakimi tanpa tahu kebenarannya yang pasti.Belum juga tombol kem
Kita Flashback dulu ya ❤Menembus ruang dan waktu. Tujuh tahun silam. Di sebuah kota yang terkenal dengan pesisir pantainya. Tuban. Seorang perempuan berambut hitam lurus sepunggung. Ia tengah berdiri menghadap ke arah matahari terbenam. Senja sudah merangkak naik, namun ia memilih tetap diam. Menunggu seseorang. Lastri Atmadja. Gadis berusia dua puluh satu tahun. Berparas ayu dengan kulit sawo matang ciri khas gadis pribumi. Badannya ramping. Ia memakai setelan rok berwarna hitam dan atasan baju motif bunga-bunga lily. Sesekali ia melihat ke sekeliling. Sejauh mata melempar pandang. Tak juga ditemuinya batang hidung Bram. Lelaki yang telah membuatnya jatuh hati. Gelisah menunggu. Ia lalu mengecek gawai miliknya. Gawai butut dengan karet gelang yang mengikat. Satu pesan masuk membuat gawai tersebut bergetar. Lastri tersenyum. Rupanya sang kekasih hati membalas pesannya. [Tunggu aku, Sayang. Sebentar lagi tiba.]Lastri mendesah. Rupanya ia harus kembali bersabar untuk menunggu.Bu
"Masih lama, Mas?" tanya Lastri pada Bram ketika di perjalanan."Masih, Dek." Bram menggenggam lembut jemari tangan Lastri. Mereka sedang berada di dalam transportasi umum. Bus. Perjalanan dari Kota Tuban ke Kota Surabaya tak sampai memakan waktu setengah hari. Namun terasa begitu lama bagi Lastri yang tak pernah bepergian jauh. "Tidurlah dulu, nanti kalau sudah tiba aku bangunkan."Disandarkannya kepala Lastri di pundak kanan Bram. Seketika saja gadis itu terpejam. Menyelami dunia mimpi selama di perjalanan. *** Tepat pukul tiga sore. Bus yang ditumpangi Bram dan Lastri tiba di terminal Purabaya Bungurasih. Bram mengusap pelan kepala Lastri, membangunkan. Lastri mengerjap. Diamatinya para penumpang yang menurunkan aneka barang dari bagasi. Bersiap untuk turun. "Sudah sampai, Mas?" tanyanya terkejut. Saking lelapnya ia sampai tak menyadari pergerakan bus yang berhenti. "Iya."Gegas Lastri dan Bram menyiapkan diri. Mereka lantas ber
"Ada apa ribut-ribut?"Semua menoleh ke arah satu suara. Ani, ibu Bram. Perempuan berusia empat puluh tiga tahun itu datang menengahi. Suara ribut dari teras rumah membuatnya terusik. "Lho, udah pulang? Kok nggak masuk ke dalam?" tanya Ani. "Bapak ngapain di sini? Ayo masuk," tambahnya. "Bapak mau ke luar ada urusan! Jaga itu anak kamu! Bisa-bisanya ia bawa anak orang ke rumah. Dasar perempuan gampangan. Mana kampungan lagi!" Handoko mendesis. "Bapak!" Bram setengah membentak. Sampai hati Bapaknya menghina Lastri sedemikian buruk. "Apa? Faktanya begitu? Mau --""Sudah! Jangan mendebat! Ayo masuk, Bram! Ajak gadis itu ke dalam," Ani memotong kalimat Handoko. Ia lalu berjalan ke arah Lastri. Meraih jemari gadis itu. Dirasakannya telapak tangan Lastri yang dingin. Gadis itu sudah pasti gugup. "Sudah, jangan didengarkan," ucap Ani lembut, menenangkan. "Terserah kalian saja!" Handoko berlalu. Ia menuju garasi mobil rumah. Mengeluarkan mobil
Waktu bergulir kian cepat. Jejak-jejak masa lalu tinggallah serpihan yang tak perlu diingat. Aku bahagia dengan kehidupanku. Menikmati peran menjadi seorang istri, ibu dan juga menantu.Lima belas tahun lebih berselang. Usiaku sudah melewati kepala empat bahkan hampir lima. Hidupku begitu bahagia. Tinggal di bawah atap yang dinaungi dengan iman dan taqwa. Masih di kediaman Abah Yai. Hati dan jiwaku seakan tertahan. Enggan untuk pergi dari sini. Bude Ningsih tutup usia dua tahun yang lalu. Beliau tak mengalami sakit. Tepat saat sedang salat Magrib berjamaah. Tiba-tiba saja sudah tak sadarkan diri. Ketika dibawa ke rumah sakit. Ternyata beliau sudah tak ada.Mas Fatih menepati janjinya. Hatiku sakit, saat tahu bahwa kedai warung milikku bukan mengalami kebakaran secara sendirinya. Melainkan ada dalang di balik itu. Suami Mbak Daya, namanya Mas Hilal, entah dendam apa yang ia miliki. Entah motif apa yang membuat ia tega membakar kedaiku. Pada
Mas Fatih menuntunku berjalan dengan hati-hati. Perhatian dan perlakuannya selalu membuatku nyaman. Kami sudah tiba di tempat praktik dokter kandungan. Seperti rencana awal, hendak melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin anak kami. "Duduk di sini dulu ya, Dek," ucapnya.Aku mengangguk. Mas Fatih berjalan menuju tempat pendaftaran. Sambil menunggu, kuedarkan pandangan ke sekeliling. Ada pula pasangan suami istri yang mengantri sama sepertiku. Seorang perempuan berkerudung lebar tersenyum ramah. Kulihat perutnya sedikit membuncit, mungkin tengah hamil. "Mau periksa ya, Mbak?" tanya perempuan yang sedari tadi kuperhatikan. Ia duduk tepat di sebelahku. "Iya, Mbak. Mbak periksa juga, ya?" tanyaku balik.Perempuan itu mengangguk. "Sudah berapa bulan?" Aku bertanya lagi. Sebuah senyum kecut kulihat. Perempuan itu menggeleng. Seperti ada kepedihan yang tersirat di wajahnya. Ya Allah,
"Rumah ini milik bersama, Nduk. Jangan merasa sungkan. Ummi sama Abah hanya ingin yang terbaik buat kamu dan calon cucu kami." Aku terharu mendengar ucapan Ummi. Tak ada yang kurang. Semua begitu menghargai dan menyayangiku. Namun, hati ini masih berat jika harus tinggal seterusnya di sini. "Terima kasih banyak Ummi.""Sama-sama, Nduk. Sudah sekarang istirahat saja, ya. Ummi mau nemenin Abah dulu.""Nggih, Ummi."Mertuaku itu berlalu meninggalkan kamar. Tinggal aku di sini bersama Kia dan Bude Ningsih. *** Mencoba bicara dari hati ke hati. Aku paham sekali bagaimana watak Bude Ningsih. Beliau orangnya nggak enakan. Lebih sering merendahkan diri. "Bude," panggilku."Iya, Nduk?""Semisal kita benar jadi tinggal di sini bagaimana?" "Horeee! Asiiiik! Tinggal di sini seterusnya, Mi?" Pertanyaan kulempar pada Bude Ni
Dalam hidup, kita tidak pernah bisa membuat semua orang menjadi suka. Sedikit banyak, akan ada saja orang-orang yang membenci. Entah itu sebuah penyakit hati berupa iri dengki, atau Allah memang tengah menguji kesabaran hambanya. *** Pagi telah kembali tiba. Di sebuah klinik dokter spesialis kandungan. Inamah dan Fatih menunggu dengan harap-harap cemas hasil pemeriksaan. Beruntung karena klinik yang Fatih kunjungi buka selama 24 jam. Inamah langsung cepat ditangani. Tanpa menunggu-nunggu lagi. Satu hal yang lagi-lagi patut disyukuri. Karena kecekatan Inamah selama ini. Fatih tak perlu dipusingkan dengan noda pakaian yang membekas darah di belakang gamis Inamah. Karena Inamah selalu menyimpan stok ganti di bangku belakang. "Jadi, bagaimana, Dok?" tanya Fatih dengan raut cemas. Begitupun dengan Inamah, ia tengah berbaring di atas brankar pasien. Pasca menjalani pemeriksaan usg. "Sudah saya cek. Usia kehamilan memasuki tujuh
Malam beranjak semakin matang. Udara yang dingin, perlahan menerobos masuk lewat celah lubang angin. Sesekali dengung bunyi binatang malam masih terdengar. Meski bersahutan dengan riuh dedaunan yang tergesek angin. Kamar yang sedang ditempati Kia berada di sisi sebelah kiri. Di mana, halaman sampingnya ditumbuhi dua pohon mangga yang berdaun lebat. Jika Kia dan Bude Ningsih sudah terlelap dalam tidurnya, serta terbuai dalam mimpi mereka masing-masing. Hal tersebut tidak berlaku untuk Inamah. Pertanyaan Kia yang terus terngiang di telinga, membuat Inamah sedikit banyak kepikiran. Bram, masa lalunya yang bahkan kini keberadaannya sudah tak ada lagi di dunia, justru menghantui isi kepala. Inamah bangun dari posisi berbaring. Ia duduk lalu sedikit memundurkan posisinya, berganti menyender ke dinding. Ia sedang berpikir, bagaimana mencari cara agar bisa menjelaskan pada putrinya kelak. Sebuah penghianatan, haruskah ia ulas pada gadis yang bahkan usianya saja
Semilir angin malam yang sejuk membelai lembut wajah Inamah. Ia duduk di teras rumah. Seorang diri dengan kepala yang bersandar di dinding. Sesekali dilihatnya gawai, memastikan bahwa jam sembilan malam belumlah datang. Ia menunggu, kabar dari suami bahwa Kia masih hidup membuatnya teramat bahagia. Hingga ia lupa diri. Menyiapkan aneka makanan kesukaan sang putri sejak sore tadi. "Nunggunya di dalam saja, Nduk." Inamah menoleh. Di dekat pintu, dilihatnya Bu Nyai mendekat. Setibanya di samping Inamah. Bu Nyai menyentuh pelan pundak kanannya. "Di sini dingin," ujar Bu Nyai lagi. Kedua matanya menatap hangat. Tahu bahwa menantunya itu sedang tak sabar, tapi mengingat kondisinya yang sedang hamil muda juga pingsan berulang kali sejak pagi. Membuat Bu Nyai lebih khawatir akan kesehatan Inamah. "Nggih, Ummi."Merasa tak enak. Inamah lantas menurut. Ia bangkit dari duduk. Mengikuti ajakan Bu Nyai, yang kini menggirin
Lebih cepat. Ingin segera sampai. Berpacu bersama sang waktu. Diselingi sudut-sudut hati yang menjerit. Doa tak lupa sentiasa terselip. Sebentar saja, tak ingin sampai kedatangannya terlambat dan berakhir dengan sia-sia. Fatih menghela napas berat berkali-kali. Pikirannya bercabang menjadi dua. Di satu sisi, ada Inamah yang terpaksa ia tinggalkan dalam keadaan pingsan. Di sisi lain, ada Kia dan juga Bude Ningsih. Yang saat ini, entah bagaimana keadaan dua orang itu. Pasca kecelakaan bus yang ditumpangi saat rekreasi."Hallo, saya minta tolong segera kirimkan alamat rumah sakitnya."Fatih menghubungi salah seorang guru Kia. Percuma jika menunggu respon, ia ingin segera tahu kabar putrinya itu secara langsung. Meski bukan anak kandungnya, Fatih begitu tulus menyayangi seperti anak sendiri. "Di rumah sakit umum Bakti Husada Batu Malang, Pak. Saya kirimkan alamat lokasinya di pesan, ya.""Iya. Saya tunggu dengan seg
Hatiku resah. Ada yang tak nyaman di dalam sini. Bagaimana bisa aku tergerak untuk mengizinkan seseorang menempati 'rumah kami'. Karena meski jarang ditempati, tapi jika sudah menyangkut tentang hak milik. Rasanya aku tak bisa. Sudah masuk ranah privasi. "Dek." Panggilan Mas Fatih kembali membuyarkan lamunanku. Seulas senyum tersungging di bibir. Ia mendekat lalu mengusap puncak kepala. Matanya melebar, lalu jemari tangannya mencolek hidungku gemas. "Mas bercanda, Sayang. Khalid sudah punya rumah sendiri kok. Tak mungkin juga Mas membagi tempat tinggal kita dengan yang lain," ujarnya. "Hem? Apa?" Aku membelalak. "Beneran, Dek. Khalid sudah punya tempat tinggal sendiri. Mas hanya menggoda Adek saja." "Ihh! Mas Fafih!"Aku menepuk lengannya dengan tangan kanan. Bukannya mengelak, ia malah mendekat. "Sebelah sini aja," ujarnya sambil menunjuk pipi kanan. "Masa iya di pipi?""Kalau di pipi
"Yang ini bagus nggak, Mas?" Kutunjukkan gawaiku pada Mas Fatih. Ia menoleh sekilas lalu menggeleng pelan. Kami sedang tiduran di atas ranjang dengan selimut tebal yang membungkus hingga sebatas perut. Kebetulan ini hari minggu. Mas Fatih sedang libur. Sementara Kia, sejak jumat pagi ia bersama Bude Ningsih. Ada acara rekreasi dari sekolahnya. Berhubung aku sedang hamil muda, jadi Bude yang menemani.Kusandarkan kepala di lengan kiri suamiku itu. Kedua mataku terbelalak setelah menggeser layar gawai. Di dalam layar tampak pakaian bayi berwarna putih polos dengan bulat-bulat kecil berwarna biru sebagai motifnya. Pasti kali ini Mas Fatih setuju. Mengingat, motifnya yang sedikit, tak sebanyak yang pertama tadi.Kuakui, saat ini aku berada dalam fase demam belanja online. Entah apa sebabnya. Mungkin, efek kehamilan yang kedua ini.Berbeda dengan kehamilanku yang dulu waktu mengandung Kia. Kali ini, entah kenapa aku lebih senang be