Habiba kembali fokus menatap jalan di depan. Ia menarik napas panjang untuk dapat menenangkan diri. Perasaannya sangat kacau saat Qansha terus- terusan menginginkan Husein, Habiba takut Qansha akan dekat dengan Husein. Ia takut Qansha akan lengket dengan ayahnya itu.Habiba menyentuh keningnya. Kepalanya pusing sekali.Tidak terdengar lagi suara nyaring Qansha yang biasanya seperti burung beo yang mengoceh terus. Bocah itu diam, sama sekali tidak bicara.Habiba melirik singkat ke arah Qansha yang duduk di sisinya. Bocah itu duduk dengan posisi pinggang agak berbelok memunggungi Habiba, wajahnya terus menatap ke arah luar.Habiba membiarkan saja keadaan itu hingga sampai di gedung tempat pertunjukan.Baru saja Habiba membuka pintu hendak turun dari mobil, Qansha sudah lebih dulu keluar dari mobil dan berlari pergi masuk ke gedung. Tidak ada salam pamitan dari bocah itu.“Qansha!” seru Habiba menganggil, namun Qansha mengabaikannya. Anak itu terus berlari tanpa peduli dengan pang
Habiba menggelengkan kepala. Ia memasukkan ponsel ke saku jas putihnya sambil berjalan keluar ruangan, ia melangkah di koridor panjang rumah sakit. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sekarang waktunya untuk beristirahat dan makan. Jas putih yang ia kenakan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Ia bahagia setiap kali mengenakannya.Sebelum menuju kantin, ia berniat untuk menjenguk Inez. Ia mendengar dari Ezra bahwa adiknya sang owner masuk rumah sakit ini dan sekarang berada dalam perawatan oleh Ezra.Habiba membuka pintu kamar tempat Inez dirawat. Ada Ezra yang sedang memeriksa Inez secara berkala.“Kondisimu sudah membaik. Kau sudah bisa pulang. Tapi ingat, jaga kesehatan. Jangan stres dan kondisikan supaya pikiran tetap tenang. Perbanyak waktu untuk beristirahat!” pesan Ezra. Inez hanya diam saja mendengarkan pesan dar dokter.Habiba tersenyum mendekati bed, menghampiri Inez. “Bagaimana kabarmu? Sudah baik?”Inez mengangkat alis. Sepersekian detik i
"Kali ini aku yang traktir," ucap Habiba.Mereka memesan makanan paling enak dan paling mahal di restoran itu. "Biba, aku sedih karena pernikahanku tanpa kehadiranmu. Tahukah kamu, orang yang paling aku harapkan untuk hadir di pernikahanku adalah kamu."Habiba tersenyum. "Tapi aku yakin pernikahanmu adalah pernikahan terindah.""Setelah ini aku bahkan tidak tahu akan tinggal dimana.""Apa kamu akan bercerai dari Emran?""Mas Husein memintaku untuk meninggalkan Emran, setelah apa yang dilakukan Emran, Mas Husein tidak akan tingg diam jika aku masih terus bersamanya. Lagi pula aku yakin Emran juga tidak akan mau bersamaku lagi.""Jangan pikirkan Emran. Justru seharusnya kamu tidak lagi berpikir untuk hidup bersama dengan Emran. Lelaki seperti dia memang tidak pantas untukmu," kesal Habiba menggebu- gebu. Ia paling benci dengan pengkhianatan. Apa lagi jika memgingat cintanya Inez terhadap Emran yang luar biasa, tapi ternyata Emran mendustainya."Rumah yang aku tempati sekarang adalah r
"Jangan sampai terlambat. Empat belas menit lagi!" Husein melihat jam di pergelangan tangannya."Apakah ini menyangkut pekerjaan?" tanya Habiba datar saja."Tentu.""Apakah ada pasien di sana?""Ikuti saja aturanku!" tegas Husein terlihat malas menanggapi.Huh, pria ini memang tidak menyanangkan."Habiba!"Suara panggilan yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang. Irzan berjalan menggandeng Qansha.Sejurus pandangan tertuju ke arah mereka. Habiba terkejut melihat Qansha yang bentuknya aneh, mukanya menghitam, bajunya kotor oleh lumpur. Penampilan bocah itu benar-benar kacau sekali.Langkah Qansha surut dan wajahnya berubah ketakutan saat melihat Habiba. Ia takut kena marah lagi. Irzan terus menggandeng dan menarik lengan Qansha, namun bocah itu menolak, membuat Irzan kewalahan.“Dia tidak mau pulang, dan aku membawanya ke sini,” jelas Irzan.“Ya Tuhan!” Habiba mengusap pelipis.Qansha kemudian berlari mendekati Husein dan menubruk paha pria itu, tangannya menggenggam t
"Ya sudah, Qansha pulang sama Pipi Irzan dulu ya?" pinta Habiba."Tidak. Qansha tidak mau pulang bersama dengan Pipi Irzan." Panggilan Qamsha kepada Irzan memang begitu, ia memanggil Irzan dengan sebutan Pipi."Lalu?""Qansha mau di sini bersama dengan mama.""Mama kerja. Mama tidak bisa menjagamu," tolak Habiba."Qansha sudah besar. Dan Qansha tidak perlu dijaga. Qansha bukan makanan yang perlu dijaga supaya tidak dicuri orang kan?" Qansha tersenyum dan menggemaskan sekali.Habiba ingat bahwa ia disuruh ke rooftop oleh Husein. Perintah itu mutlak dan tidak bisa dibantah. Sebenarnya ia ingin menolak kemauan Qansha, namun jika ia menolaknya, Qansha pasti akan kecewa. Kejadian pagi tadi belum sempuran terlupakan oleh Qansha, setidaknya Habiba tidak ingin menambah kekesalan bocah itu.Melihat Habiba yang kebingungan, Inez kemudian berkata, "Biba, biarkan Qansha bersamaku. Aku akan menemaninya di sini sampai kamu selesai bekerja."Habiba mengangkat alis. "Sungguh? Kamu mau membantuku me
Jika saja ia mengeluarkan kata- kata umpatan untuk menunjukkan rasa marah, bisa- bisa ia dikenai sanksi kode etik atau apalah karena memiliki etika yang buruk. Tapi jantungnya tadi benar- benar hampir copot gara- gara perbuatan mereka. Bahkan parahnya, ponsel mahal miliknya kini berendam di dalam kolam.Tak tahan dengan kekesalannya, akhirnya Habiba mengumpat juga menyebut salah satu nama binatang. "Nyamuk! Kelewatan kalian. Itu ponselku nyemplung ke air!" kesal Habiba.Mereka yang berkumpul malah hanya tertawa cengengesan saja. "Lupakan sejenak persoalan ponsel!" tegas Husein. Lalu ia menyingkirkan orang- orang yang berkerumun dengan cara mengibaskan tangan. Semuanya menyingkir, bergerak seperti ombak yang tersibak hingga Habiba bisa melihat di belakang sana ada beberapa orang dengan style rapi mengenakan stelan jas duduk di beberapa meja yang disediakan.Tak tahu mereka itu siapa, Habiba spontan membalas senyuman yang mereka lontarkan dengan sopan. Wajah- wajah dan penampilan mer
Kini, wajah yang tadinya membutuhkan pertolongan itu berubah menjadi ketakutan. Ia menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan.“Sebaiknya security menjaga rumah sakit ini dengan ketat supaya gelandangan seperti ini tidak bisa masuk!” ucap pria keturunan Jepang itu sambil melirik ke arah Qansha yang kotor dan bau. Penampilan Qansha yang tersiram air comberan bercampur lumpur berwarna hitam membuat semua orang beranggapan bahwa ia adalah gelandangan.Seharusnya Qansha tidak sampai ke sini. Seharusnya Inez menjaganya dan tidak membenarkan Qansha memasuki area itu. Kemana Inez? Apa yang terjadi pada Qansha hingga bocah itu menangis dan terluhat kesal begitu?Inez menyusul ke rooftop dan kebingungan mencari Qansha. Sejak menuju ke arah rooftop tadi, ia kehilangan Qansha. Dan akhirnya ia berhenti ketika melihat Qansha berada diantara Habiba dan Husein.Habiba menunduk sambil berjalan menuju ke arah Qansha, ia malu, juga sungkan pada Husein dan semua orang penting yang ada di
Habiba kembali menatap Qansha dengan tatapan tajam. "Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak bisa anteng dan diam? Kenapa kamu pecicilan sekali? Ada apa dengnmu? Apakah kamu tidak bisa patuh pada orang dewasa? Apa kamu tidak bisa mendengar apa yang diperintahkan tante Inez?" kesal Habiba membuat tangis Qansha semakin keras."Tante Inez melepas gandengannya di tangan Qansha. Lalu anak- anak itu menarik- narik rambut Qansha dari belakang. Qansha sudah panggil- panggil tante Inez tapi tante Inez terlalu serius bercerita dengan temannya sehingga tidak mendengar Qansha. Qansha menghindari mereka dengan cara menjauhi mereka. Tapi mereka mengejar Qansha. Mereka mengolok- olok Qansha hingga Qansha tanpa sadar sampai di rooftop." Qansha menceritakan kesedihannya. Koridor itu memang langsung menghubungkan ke rooftop saat ia melintasi pintu. "Jangan bohong! Kamu akan mama hukum dikurung di kamar mandi selama semalaman jika berbohong," kesal Habiba. "Qansha tidak berbohong." Tepat saat itu, dua
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu