"Ya sudah, Qansha pulang sama Pipi Irzan dulu ya?" pinta Habiba."Tidak. Qansha tidak mau pulang bersama dengan Pipi Irzan." Panggilan Qamsha kepada Irzan memang begitu, ia memanggil Irzan dengan sebutan Pipi."Lalu?""Qansha mau di sini bersama dengan mama.""Mama kerja. Mama tidak bisa menjagamu," tolak Habiba."Qansha sudah besar. Dan Qansha tidak perlu dijaga. Qansha bukan makanan yang perlu dijaga supaya tidak dicuri orang kan?" Qansha tersenyum dan menggemaskan sekali.Habiba ingat bahwa ia disuruh ke rooftop oleh Husein. Perintah itu mutlak dan tidak bisa dibantah. Sebenarnya ia ingin menolak kemauan Qansha, namun jika ia menolaknya, Qansha pasti akan kecewa. Kejadian pagi tadi belum sempuran terlupakan oleh Qansha, setidaknya Habiba tidak ingin menambah kekesalan bocah itu.Melihat Habiba yang kebingungan, Inez kemudian berkata, "Biba, biarkan Qansha bersamaku. Aku akan menemaninya di sini sampai kamu selesai bekerja."Habiba mengangkat alis. "Sungguh? Kamu mau membantuku me
Jika saja ia mengeluarkan kata- kata umpatan untuk menunjukkan rasa marah, bisa- bisa ia dikenai sanksi kode etik atau apalah karena memiliki etika yang buruk. Tapi jantungnya tadi benar- benar hampir copot gara- gara perbuatan mereka. Bahkan parahnya, ponsel mahal miliknya kini berendam di dalam kolam.Tak tahan dengan kekesalannya, akhirnya Habiba mengumpat juga menyebut salah satu nama binatang. "Nyamuk! Kelewatan kalian. Itu ponselku nyemplung ke air!" kesal Habiba.Mereka yang berkumpul malah hanya tertawa cengengesan saja. "Lupakan sejenak persoalan ponsel!" tegas Husein. Lalu ia menyingkirkan orang- orang yang berkerumun dengan cara mengibaskan tangan. Semuanya menyingkir, bergerak seperti ombak yang tersibak hingga Habiba bisa melihat di belakang sana ada beberapa orang dengan style rapi mengenakan stelan jas duduk di beberapa meja yang disediakan.Tak tahu mereka itu siapa, Habiba spontan membalas senyuman yang mereka lontarkan dengan sopan. Wajah- wajah dan penampilan mer
Kini, wajah yang tadinya membutuhkan pertolongan itu berubah menjadi ketakutan. Ia menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan.“Sebaiknya security menjaga rumah sakit ini dengan ketat supaya gelandangan seperti ini tidak bisa masuk!” ucap pria keturunan Jepang itu sambil melirik ke arah Qansha yang kotor dan bau. Penampilan Qansha yang tersiram air comberan bercampur lumpur berwarna hitam membuat semua orang beranggapan bahwa ia adalah gelandangan.Seharusnya Qansha tidak sampai ke sini. Seharusnya Inez menjaganya dan tidak membenarkan Qansha memasuki area itu. Kemana Inez? Apa yang terjadi pada Qansha hingga bocah itu menangis dan terluhat kesal begitu?Inez menyusul ke rooftop dan kebingungan mencari Qansha. Sejak menuju ke arah rooftop tadi, ia kehilangan Qansha. Dan akhirnya ia berhenti ketika melihat Qansha berada diantara Habiba dan Husein.Habiba menunduk sambil berjalan menuju ke arah Qansha, ia malu, juga sungkan pada Husein dan semua orang penting yang ada di
Habiba kembali menatap Qansha dengan tatapan tajam. "Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak bisa anteng dan diam? Kenapa kamu pecicilan sekali? Ada apa dengnmu? Apakah kamu tidak bisa patuh pada orang dewasa? Apa kamu tidak bisa mendengar apa yang diperintahkan tante Inez?" kesal Habiba membuat tangis Qansha semakin keras."Tante Inez melepas gandengannya di tangan Qansha. Lalu anak- anak itu menarik- narik rambut Qansha dari belakang. Qansha sudah panggil- panggil tante Inez tapi tante Inez terlalu serius bercerita dengan temannya sehingga tidak mendengar Qansha. Qansha menghindari mereka dengan cara menjauhi mereka. Tapi mereka mengejar Qansha. Mereka mengolok- olok Qansha hingga Qansha tanpa sadar sampai di rooftop." Qansha menceritakan kesedihannya. Koridor itu memang langsung menghubungkan ke rooftop saat ia melintasi pintu. "Jangan bohong! Kamu akan mama hukum dikurung di kamar mandi selama semalaman jika berbohong," kesal Habiba. "Qansha tidak berbohong." Tepat saat itu, dua
“Biar aku yang membujuknya, dia sedang tidak mau denganmu,” ucap Inez pada Habiba.Habiba keberatan untuk menganggukkan kepala, namun pada akhirnya ia mengangguk juga. Inez mendekati Qansha. “Qansha, tante sudah sangatlama mengenal mamamu, mamamu adalah sahabatnya tante. Qansha mau kan beli roti sama tante? Kita makandulu ya? Nanti kita akan bicarakan tentang ayahnya Qansa, tidak sekarang.”Tatapan Qansha penuh harapan pada Inez. “Benarkah Qansha akan tahu dimana ayahnya Qansha?”Inez melirik Habiba, agak bingung harus menajwab apa. tapi inilah tuntutan seorang anak yang mentalnya telah dijatuhkan oleh teman- temannya. “Mm… Nanti kita bicarakan. Yang penting Qansha ikut tante makan roti dulu ya. Roti durian. Okey?”Ada harapan berhasil membujuk Qansha. Tangis Qansha sudah berhenti.“Qansha maunya makan sosis,” sahut Qansha meski masih sesenggukan.“Baik. Kita makan sosis. Ayo!” ajak Inez sambil menjulurkan tangan ke arah Qansha.Manik mata Qansha menatap ke arah tangan
Husein mengulas senyum sinis. "Lalu apa maumu sekarang? Kau suruh aku mengemis pada Habiba dan menjatuhkan harga diriku dengan mempertanyakan siapa ayahnya Qansha, begitu?""Kau suruh aku memasang muka penuh harapan kepadanya? Tidak, Amir. Aku sudah sangat mengenal Habiba," sambung Husein."Habiba tidak pernah mencintaiku sejak dulu. Habiba selalu melihatku sebagai lelaki yang tidak ada apa- apanya di matanya. Dia membenciku." Husein berapi- api."Turunkan sedikit saja egomu itu, Husien,” ucap Amir antusias."Aku tidak peduli. Sekalipun Qansha benar anakku. Aku tidak peduli," tegas Husein datar."Kau yakin tidak peduli? Kau yakin tidak akan menyesal?""Tidak," tegas Husein makin jelas. "Kalau benar Qansha adalah anakku, Habiba tidak pernah menginginkan aku mengetahuinya. Dia sengaja sembunyikan ini dariku karena dia tidak sudi aku menjadi ayahnya. Jika dia bersedia aku mengakuinya, maka sudah sejak lama dia datang padaku dan mengatakan semua bukan?""Tapi ini tidak, dia malah sembunyi
"Apa istimewanya aku sampai Husein melakukannya untukku? Bukankah aku tidak ada apa-apanya di matanya?" lirih Habiba. Meski ia tak yakin dengan perkataan Amir, namun jantungnya mengatakan bahwa ia menyukai kalimat itu, terbukti detakannya sanhat kuat. Harapan kalau perkataan Amir benar, menumpuk dalam benaknya. Habiba masih bertanya- tanya kenapa Husein marah pada Sakha dan membakar bonekanya, kenapa Husein menceraikannya hanya karena masalah sepele itu? Apakah kenyataan itu bisa disangkal dengan sikap Husein yang mempertahankan rumah tangganya?"Husein marah padamu dan berusaha melenyapkan boneka- boneka mainan Sakha karena dia cemburu. Dia marah karena tahu bahwa boneka- boneka itu pemberian Irzan," sambung Amir.Habiba terkejut. Bagaimana Husein bisa tahu kalau bonek- boneka otu adalah pemberian Husein?"Husein melihat chat antara kau dan Irzan, kau tidak bisa mengelak lagi bahwa boneka itu benar pemberian Irzan," imbuh Amir."Hanya karena Irzan memberiku boneka, lantas Husein s
Habiba mengusap keringat di pelipisnya dengan punggung tangan. Hanya itu yang bisa ia lakukan. "Kembalilah pada Husein. Husein akan tetap mempertahankan egonya yang tidak akan pernah menunjukkan rasa cinta kepadamu sebelum kau terlihat jatuh cinta kepadanya. Menjadi pria yang ditolak sama saja menjatuhkan harga diri. Itulah yang ada di kepala Husein," kata Amir.Habiba membeku sejenak sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan Amir. Tidak ada lagi kata- kata yang ingin ia sampaikan kepada Amir. Semuanya sudah jelas. Dan sekarang hatinya malah jadi kacau. Menyesal sekali kenapa baru tahu sekarang kalau sebenarnya Husein menyayanginya. Kenapa ia tidak peka sejak lama? Padahal pengorbanan Husein tidak main- main.Habiba berjalan di koridor itu sambil memeluk lengannya sendiri. Ia masuk ke lift. Termenung sepanjang lift bergerak turun menatap piala di tangannya. Ini adalah piala pemberian Husein. Pria itu tetap berusaha menyenangkan hati Habiba di tengah kondisi hatinya yang tidak baik-