Kini, wajah yang tadinya membutuhkan pertolongan itu berubah menjadi ketakutan. Ia menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan.“Sebaiknya security menjaga rumah sakit ini dengan ketat supaya gelandangan seperti ini tidak bisa masuk!” ucap pria keturunan Jepang itu sambil melirik ke arah Qansha yang kotor dan bau. Penampilan Qansha yang tersiram air comberan bercampur lumpur berwarna hitam membuat semua orang beranggapan bahwa ia adalah gelandangan.Seharusnya Qansha tidak sampai ke sini. Seharusnya Inez menjaganya dan tidak membenarkan Qansha memasuki area itu. Kemana Inez? Apa yang terjadi pada Qansha hingga bocah itu menangis dan terluhat kesal begitu?Inez menyusul ke rooftop dan kebingungan mencari Qansha. Sejak menuju ke arah rooftop tadi, ia kehilangan Qansha. Dan akhirnya ia berhenti ketika melihat Qansha berada diantara Habiba dan Husein.Habiba menunduk sambil berjalan menuju ke arah Qansha, ia malu, juga sungkan pada Husein dan semua orang penting yang ada di
Habiba kembali menatap Qansha dengan tatapan tajam. "Sebenarnya apa maumu? Kenapa kamu tidak bisa anteng dan diam? Kenapa kamu pecicilan sekali? Ada apa dengnmu? Apakah kamu tidak bisa patuh pada orang dewasa? Apa kamu tidak bisa mendengar apa yang diperintahkan tante Inez?" kesal Habiba membuat tangis Qansha semakin keras."Tante Inez melepas gandengannya di tangan Qansha. Lalu anak- anak itu menarik- narik rambut Qansha dari belakang. Qansha sudah panggil- panggil tante Inez tapi tante Inez terlalu serius bercerita dengan temannya sehingga tidak mendengar Qansha. Qansha menghindari mereka dengan cara menjauhi mereka. Tapi mereka mengejar Qansha. Mereka mengolok- olok Qansha hingga Qansha tanpa sadar sampai di rooftop." Qansha menceritakan kesedihannya. Koridor itu memang langsung menghubungkan ke rooftop saat ia melintasi pintu. "Jangan bohong! Kamu akan mama hukum dikurung di kamar mandi selama semalaman jika berbohong," kesal Habiba. "Qansha tidak berbohong." Tepat saat itu, dua
“Biar aku yang membujuknya, dia sedang tidak mau denganmu,” ucap Inez pada Habiba.Habiba keberatan untuk menganggukkan kepala, namun pada akhirnya ia mengangguk juga. Inez mendekati Qansha. “Qansha, tante sudah sangatlama mengenal mamamu, mamamu adalah sahabatnya tante. Qansha mau kan beli roti sama tante? Kita makandulu ya? Nanti kita akan bicarakan tentang ayahnya Qansa, tidak sekarang.”Tatapan Qansha penuh harapan pada Inez. “Benarkah Qansha akan tahu dimana ayahnya Qansha?”Inez melirik Habiba, agak bingung harus menajwab apa. tapi inilah tuntutan seorang anak yang mentalnya telah dijatuhkan oleh teman- temannya. “Mm… Nanti kita bicarakan. Yang penting Qansha ikut tante makan roti dulu ya. Roti durian. Okey?”Ada harapan berhasil membujuk Qansha. Tangis Qansha sudah berhenti.“Qansha maunya makan sosis,” sahut Qansha meski masih sesenggukan.“Baik. Kita makan sosis. Ayo!” ajak Inez sambil menjulurkan tangan ke arah Qansha.Manik mata Qansha menatap ke arah tangan
Husein mengulas senyum sinis. "Lalu apa maumu sekarang? Kau suruh aku mengemis pada Habiba dan menjatuhkan harga diriku dengan mempertanyakan siapa ayahnya Qansha, begitu?""Kau suruh aku memasang muka penuh harapan kepadanya? Tidak, Amir. Aku sudah sangat mengenal Habiba," sambung Husein."Habiba tidak pernah mencintaiku sejak dulu. Habiba selalu melihatku sebagai lelaki yang tidak ada apa- apanya di matanya. Dia membenciku." Husein berapi- api."Turunkan sedikit saja egomu itu, Husien,” ucap Amir antusias."Aku tidak peduli. Sekalipun Qansha benar anakku. Aku tidak peduli," tegas Husein datar."Kau yakin tidak peduli? Kau yakin tidak akan menyesal?""Tidak," tegas Husein makin jelas. "Kalau benar Qansha adalah anakku, Habiba tidak pernah menginginkan aku mengetahuinya. Dia sengaja sembunyikan ini dariku karena dia tidak sudi aku menjadi ayahnya. Jika dia bersedia aku mengakuinya, maka sudah sejak lama dia datang padaku dan mengatakan semua bukan?""Tapi ini tidak, dia malah sembunyi
"Apa istimewanya aku sampai Husein melakukannya untukku? Bukankah aku tidak ada apa-apanya di matanya?" lirih Habiba. Meski ia tak yakin dengan perkataan Amir, namun jantungnya mengatakan bahwa ia menyukai kalimat itu, terbukti detakannya sanhat kuat. Harapan kalau perkataan Amir benar, menumpuk dalam benaknya. Habiba masih bertanya- tanya kenapa Husein marah pada Sakha dan membakar bonekanya, kenapa Husein menceraikannya hanya karena masalah sepele itu? Apakah kenyataan itu bisa disangkal dengan sikap Husein yang mempertahankan rumah tangganya?"Husein marah padamu dan berusaha melenyapkan boneka- boneka mainan Sakha karena dia cemburu. Dia marah karena tahu bahwa boneka- boneka itu pemberian Irzan," sambung Amir.Habiba terkejut. Bagaimana Husein bisa tahu kalau bonek- boneka otu adalah pemberian Husein?"Husein melihat chat antara kau dan Irzan, kau tidak bisa mengelak lagi bahwa boneka itu benar pemberian Irzan," imbuh Amir."Hanya karena Irzan memberiku boneka, lantas Husein s
Habiba mengusap keringat di pelipisnya dengan punggung tangan. Hanya itu yang bisa ia lakukan. "Kembalilah pada Husein. Husein akan tetap mempertahankan egonya yang tidak akan pernah menunjukkan rasa cinta kepadamu sebelum kau terlihat jatuh cinta kepadanya. Menjadi pria yang ditolak sama saja menjatuhkan harga diri. Itulah yang ada di kepala Husein," kata Amir.Habiba membeku sejenak sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan Amir. Tidak ada lagi kata- kata yang ingin ia sampaikan kepada Amir. Semuanya sudah jelas. Dan sekarang hatinya malah jadi kacau. Menyesal sekali kenapa baru tahu sekarang kalau sebenarnya Husein menyayanginya. Kenapa ia tidak peka sejak lama? Padahal pengorbanan Husein tidak main- main.Habiba berjalan di koridor itu sambil memeluk lengannya sendiri. Ia masuk ke lift. Termenung sepanjang lift bergerak turun menatap piala di tangannya. Ini adalah piala pemberian Husein. Pria itu tetap berusaha menyenangkan hati Habiba di tengah kondisi hatinya yang tidak baik-
Husein menatap Habiba tajam kemudian berkata, "Kau tidak rela berpisah dari anakmu, hm? Itulah yang aku rasakan. Kau sudah memisahkan aku dari anakku."Habiba terkejut. "Ini maksudmu apa?""Kau harus merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan." Husein melangkahkan kaki yang langsung dihadang oleh Habiba."Tidak. Jangan lakukan itu. Aku ibunya. Jangan ambil Qansha dariku. Plis." Habiba memohon. "Kau ibunya. Dan aku adalah ayahnya. Apa kau pikir aku tidak punya hak atas Qansha?"Habiba tergugu di tempat. Ya benar, Husein berhak atas Qansha."Kenapa kau sembunyikan kenyataan ini dariku? Kau ingin menguasai semuanya sendirian. Lalu kau menjalani hidupmu bersama dengan Irzan. Kulihat kemana- mana kau selalu bersamanya. Biarkan aku mengambil hakku selama empat tahun terakhir. Yaitu hidup bersama dengan Qansha." Husein berjalan meninggalkan Habiba dengan langkah lebar."Tidak, Husein. Kita bisa bicarakan ini baik- baik. Jangan ambil Qansha dariku!" Habiba mengejar, namun langkahnya ka
"Halo, kenalkan aku tante Cindy." Cindy membungkuk untuk menjajarkan pandangan pada Qansha. "Ayo, kemarilah! Ikut tante dulu ya." Cindy mengajak Qansha duduk di kursi santai lantai dua, dekat jendela kaca. Ia menyuguhkan makanan ringan pada bocah itu, lalu duduk di depan Qansha. Ia mengurai senyum.“Hai, jangan takut! Aku orang baik,” sebut Cindy dengan senyum ramah. Ia mengusap air mata di pipi Qansha.Merasakan kelembutan itu, Qansha pun menganggukkan kepala. Raut ketakutan mulai memudar.“Baiklah, anak pintar! Makanlah!” Cindy menyodorkan makanan ringan.Cindy patuh. Tangannya masuk ke toples kaca dan mengambil makanan, lalu menyantapnya di tengah lehernya yang masih menyisakan sesenggukan.“Kamu siapa?” tanya Cindy.“Qansha,” polos anak itu.Cindy tersenyum. “Maksudku, kamu siapa kenapa bisa dibawa Om Husein kemari?”Qansha tampak bingung mau jawab apa.“Apakah kamu mengenal Om Husein?” Cindy malah jadi seperti wartawan.Qansha menggeleng, namun kemudian mengangguk.Cindy