"Permisi, saya membawa susu hangat untuk Tuan Muda." Habiba membuka pintu kamar. Ini adalah pertama kali Habiba bekerja di rumah itu, menggantikan ibunya yang sakit sebagai asisten rumah tangga.Menurut informasi, Tuan Muda adalah sosok yang dingin dan arogan. Hal itu membuat Habiba merasa was- was.Pemandangan tak nyaman menyambutnya. Kamar luas nan mewah itu seperti kapal pecah. Barang- barang berserakan di lantai. Tuan muda tengah duduk selonjoran di lantai, menyandar di dinding. Dada bidang pria itu tanpa lapisan baju. Ternyata wajah tuan muda begitu maskulin. Hidung mancung dan rahang kokoh ditumbuhi bulu halus."Ini susunya, Tuan! Saya taruh susunya di meja ya?" Habiba meletakkan gelas sesaat setelah menyingkirkan buku- buku di atas meja supaya gelas mendapatkan tempat.Husein bangkit berdiri. Jalannya sempoyongan. Terhuyung ke sana sini tak tentu arah. Tatapan mata Husein tajam dan gelap. Membuat jantung Habiba seperti disengat saat bertukar pandang, sontak Habiba mengalihk
“Biba! Buruan keluar!” Suara Tomy, kakaknya Habiba memanggil dari luar sambil mengetuk pintu kamar mandi. Mungkin mau setor, setiap pagi selalu begitu. “Biba, cepetan! Makan sudah siap! Ayo makan!” seru Tomy lagi. Oh… ternyata Kakaknya tidak sedang ingin setor, melainkan mengajak makan. Setiap hari Tomy selalu memasak untuk anggota keluarga di rumah. Profesinya yang bekerja sebagai buruh di pabrik dengan upah harian tidak membuatnya terlihat jengah. Dia pekerja keras. Sebelum berangkat kerja, dia melakukan rutinitas keseharian di rumah. Memasak, mencuci baju dan beres- beres rumah. Dia sadar bahwa lelaki adalah tulang punggung keluarga setelah ayahnya tiada.Habiba keluar mengenakan kimono. Rambutnya basah. Melengos melewati dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia harus melewati dapur untuk sampai ke kamar saat keluar dari kamar mandi. Tomy langsung menarik kursi dan membimbing Fatona, wanita paruh baya yang baru saja keluar kamar. Wanita itu duduk di kursi sambil terbatuk. Sy
Tok tok…Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Husein.“Hm. Masuk!” gumam Husein.Sosok wanita berusia tiga puluh tahun masuk. Tak lain pembantu yang sudah dua tahun bekerja di sana. Selain Fatona, Fara membantu memasak di rumah itu. sedangkan Fatona bertugas membereskan rumah, menyapu, mengepel, mengurus kebutuhan Inez dan Husein. Semenjak Fatona sakit, Fara lah yang menggantikan pekerjaan Fatona saat pagi hari. Sebab Habiba hanya bisa menggantikan pekerjaan ibunya setelah pulang dari jam kuliah.“Permisi, Tuan Husein. Apakah saya sudah bisa membersihkan kamar? Nona Inez tadi menyuruh saya membereskan kamar Tuan,” ucap Fara dengan sungkan. Husein adalah sosok yang selalu jaga jarak dengan asisten rumah tangga, dia disegani.Dahi Husein mengernyit menatap kedatangan Fara, ibu satu anak itu. “Bu Fatona mana? Bukankah biasanya dia yang urus kamarku?” tanya Husein.“Maaf Tuan. Bu Fatona sudah beberapa hari terakhir ini tidak masuk kerja karena sakit. Sudah ijin sama nyonya besar.
“Dia itu hanya gadis biasa. Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.” “Bisa jadi dia gadis liar. Kau belum tahu siapa dia.” Pikiran Husein melayang-layang. Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.“Kau mengenal Bu Fatona kan? tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu. buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya. Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu. tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos. Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya. Artinya dia masih perawan. Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan. Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyel
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi. Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu? "Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil. "Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah. Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tam
Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k