“Biba! Buruan keluar!” Suara Tomy, kakaknya Habiba memanggil dari luar sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Mungkin mau setor, setiap pagi selalu begitu.“Biba, cepetan! Makan sudah siap! Ayo makan!” seru Tomy lagi.Oh… ternyata Kakaknya tidak sedang ingin setor, melainkan mengajak makan.Setiap hari Tomy selalu memasak untuk anggota keluarga di rumah. Profesinya yang bekerja sebagai buruh di pabrik dengan upah harian tidak membuatnya terlihat jengah. Dia pekerja keras.Sebelum berangkat kerja, dia melakukan rutinitas keseharian di rumah. Memasak, mencuci baju dan beres- beres rumah. Dia sadar bahwa lelaki adalah tulang punggung keluarga setelah ayahnya tiada.Habiba keluar mengenakan kimono. Rambutnya basah. Melengos melewati dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia harus melewati dapur untuk sampai ke kamar saat keluar dari kamar mandi.Tomy langsung menarik kursi dan membimbing Fatona, wanita paruh baya yang baru saja keluar kamar.Wanita itu duduk di kursi sambil terbatuk. Syal di leher menandakan ia dalam kondisi tidak baik-baik saja. Di usianya yang senja, fisiknya tampak semakin rapuh. Tubuhnya kurus kering. Wajahnya memucat.Sebenarnya ia sudah cukup lama sakit, entah sakit apa. Ia tidak pernah periksa ke dokter.Keuangan menjadi kendala. Dari pada untuk berobat, lebih baik uang digunakan untuk biaya sekolah Habiba yang sampai detik ini masih duduk di bangku kuliah.Inilah pengorbanan seorang ibu, yang lebih rela anaknya bahagia dari pada memikirkan dirinya sendiri.Beberapa hari terakhir, kondisi kesehatannya menurun drastis, hingga ia memilih untuk istirahat di rumah meski tanpa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai asisten rumah tangga. Dia meminta Habiba menggantikannya selagi ia sedang sakit.Fatona tersenyum menatap hasil masakah sulungnya.Ada telur dadar, sambal terasi, rebusan daun ubi dan satu ekor ikan goreng.“Syukurlah. Ini pasti enak sekali.” Fatona menatap Tomy dengan wajah gembira."Ayo dimakan, Bu!" Tomy mengambilkan nasi dan lauk untuk ibunya.Habiba menyusul duduk di salah satu kursi. Selera makannya hilang meski melihat menu makanan yang sedikit lebih enak dari biasanya.Tidak ada yang boleh tahu bahwa kesuciannya telah direnggut. Memalukan. Bila perlu peristiwa itu terkubur oleh waktu tanpa seorang pun tahu.Habiba malu, juga merasa jadi manusia paling menyedihkan jika sampai ketahuan.Dengan tanpa semangat, Habiba menyantap nasi meski dengan leher yang rasanya mencekik saat menelan."Biba, kok nasinya diaduk-aduk terus? Ayo makan, nanti kalau dingin pasti tidak enak," celetuk Tomy menyemangati. "Lauknya tidak enak ya?"Habiba menggeleng kecil."Kenapa mukamu pucat begitu? Matamu juga bengkak? Kamu sedang tidak sehat?" Fatona cemas."Oh eh, ini... Tidak apa-apa, Bu. Cuma kebanyakan tidur tadi malam." Habiba menepuk-nepuk mata dan wajahnya."Jangan-jangan kamu sakit. Tidak usah kuliah kalau sakit. Istirahat saja dulu di rumah. Kesehatan itu nomer satu." Tomy mengingatkan, penuh perhatian.Dialah malaikat penjaga Habiba. Dia mencari nafkah, membeli obat untuk ibunya, juga untuk biaya kuliah Habiba. Sedikit pun Tomy tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, entah itu menabung untuk biaya pernikahannya kelak, atau apa pun itu."Aku baik-baik saja. Aku duluan." Habiba meneguk air mineral, melangkah pergi meninggalkan meja makan."Loh, tumben. Itu nasimu belum habis, kenapa ditinggal?" Tomy menatap piring yang masih menyisakan nasi.Habiba sampai lupa membawa piring kotor ke westafel dan mencucinya. Dia langsung meninggalkan piring bekas makan begitu saja.Langkah cepat membawa Habiba menginjak halaman rumah.***“Arrgkh…!” Husein mengerang merasakan kepalanya yang sakit. Berat sekali rasanya. Jam dinding sudah menunjuk angka enam. Sudah pagi. Ia baru saja terjaga dari tidur, tubuhnya pun masih terbungkus selimut. Bertelanjang dada.Apa yang terjadi dengannya? Akalnya seperti hilang, entah berapa lama. Tubuhnya pegal-pegal. Ia merentangkan tangan, menggeliat. Meregangkan otot.Beberapa detik ia terduduk untuk mengembalikan ingatan sambil menggelengkan kepala.Oh ya, ia ingat. Kemarin, setelah meeting di kantor, ia buru-buru ke rumah Bily karena ada ssuatu yang ingin dia bicarakan dengan sahabatnya itu. Namun ia justru dikejutkan dengan momen mencengangkan yang membuat dunianya terasa runtuh seketika. Ia justru memergoki Bily tengah bercumbu, oh bukan hanya bercumbu, namun melakukan perbuatan keji dengan Agatha, tak lain gadis yang sudah empat tahun mendampingi Husein sebagai kekasih.Seperti biasa, tanpa perlu permisi, Husein membuka pintu kamar Bily setelah memanggil-manggil namun tidak mendapat tanggapan. Rumah Bily sudah seperti rumah sendiri baginya, keluar masuk tanpa harus permisi.Di ranjang besar itu, Husein menyaksikan Bily menggerakkan badan di atas badan Agatha, keduanya tanpa busana.Semenjak itu, pecahlah pertengkaran hebat. Persahabatan mereka berakhir. Hubungan asmara antara Husein dan Agatha pun kandas.Husein melampiaskan emosi dengan meneguk minuman beralkohol, ia ditemani oleh Amir waktu itu. hanya saja, Amir tidak sampai mabuk. Setelah itu…. Bayangan wajah seorang gadis asing muncul. Tapi siapa dia?Ah, mungkin itu hanya mimpi.Husein kembali menggelengkan kepala. Rasanya masih berat. Ia menyibakkan selimut hendak turun dari ranjang. Namun ia dikejutkan oleh pemandangan baru.Hei, kenapa ia tidur tanpa celana? Maksudnya, hanya mengenakan celana dalam saja? Tak pernah sebelumnya ia tidur hanya mengenakan celana itu saja. Biasanya selalu mengenakan pakaian lengkap. Apa yang terjadi padanya? Apakah hubungan terlarang yang sempat dia nikmati malam tadi itu nyata?Ya, antara sadar dan tidak, ingatannya samar masih bisa menangkap momen kenikmatan itu. entahlah…Tak mau berpikir terlalu panjang, Husein segera mengenakan celana pendek yang teronggok di lantai. Kamarnya benar-benar seperti kapal pecah. Pakaiannya pun berserakan di lantai.Mendadak kepalanya pusing melihat kamarnya yang kacau seperti ini. Dia paling benci dengan sesuatu yang berserakan.Husein meraih ponsel dan menelepon Inez, adiknya.“Suruh pembantu membereskan kamarku!” pinta Husein via telepon.“Baik, Mas. Nanti aku suruh pembantu ke kamar Mas.” Suara lembut Inez menyahuti di seberang.Husein melempar ponsel kembali ke kasur.Tok tok…Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Husein.“Hm. Masuk!” gumam Husein.Sosok wanita berusia tiga puluh tahun masuk. Tak lain pembantu yang sudah dua tahun bekerja di sana. Selain Fatona, Fara membantu memasak di rumah itu. sedangkan Fatona bertugas membereskan rumah, menyapu, mengepel, mengurus kebutuhan Inez dan Husein. Semenjak Fatona sakit, Fara lah yang menggantikan pekerjaan Fatona saat pagi hari. Sebab Habiba hanya bisa menggantikan pekerjaan ibunya setelah pulang dari jam kuliah.“Permisi, Tuan Husein. Apakah saya sudah bisa membersihkan kamar? Nona Inez tadi menyuruh saya membereskan kamar Tuan,” ucap Fara dengan sungkan. Husein adalah sosok yang selalu jaga jarak dengan asisten rumah tangga, dia disegani.Dahi Husein mengernyit menatap kedatangan Fara, ibu satu anak itu. “Bu Fatona mana? Bukankah biasanya dia yang urus kamarku?” tanya Husein.“Maaf Tuan. Bu Fatona sudah beberapa hari terakhir ini tidak masuk kerja karena sakit. Sudah ijin sama nyonya besar.
“Dia itu hanya gadis biasa. Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.” “Bisa jadi dia gadis liar. Kau belum tahu siapa dia.” Pikiran Husein melayang-layang. Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.“Kau mengenal Bu Fatona kan? tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu. buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya. Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu. tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos. Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya. Artinya dia masih perawan. Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan. Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyel
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi. Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu? "Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil. "Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah. Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tam
Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k
Habiba hanya orang kecil. Dia tidak akan mungkin sanggup melawan seorang Husein yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. “Biba! Kamu sedang apa?”Habiba terkejut mendengar seruan dari arah belakang. Suara Fatona. Cepat-cepat Habiba memasukkan amplop ke balik jaketnya. Dia peluk benda itu di perut seolah sedang memeluk lengan sendiri karena merasa kedingingan. Habiba mengayunkan langkah mendekati ibunya, menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangan itu penuh takzim, tanpa melepaskan pelukan pada amplop di balik jaket dengan tangan lainnya.“Kok, termenung di sana? Ngapain?” tanya Fatona.Habiba mengulas senyum tipis. “Tuh, kamu kedinginan kan? Makanya lain kali cepat masuk rumah,” imbuh Fatona.“Ya, Bu.”“Bagaimana kuliahmu hari ini?”“Smeuanya baik, Bu.”“Terus, pekerjaanmu di rumah Bu Amira gimana? Tidak ada masalah kan?”“Tidak ada, Bu. Semuanya baik.” Habiba menatap wajah pucat ibunya, pipinya makin tirus. Kurus. Penyakit telah menggerogotinya hingga kondisinya terlihat me
Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san