“Biba! Buruan keluar!” Suara Tomy, kakaknya Habiba memanggil dari luar sambil mengetuk pintu kamar mandi.
Mungkin mau setor, setiap pagi selalu begitu.“Biba, cepetan! Makan sudah siap! Ayo makan!” seru Tomy lagi.Oh… ternyata Kakaknya tidak sedang ingin setor, melainkan mengajak makan.Setiap hari Tomy selalu memasak untuk anggota keluarga di rumah. Profesinya yang bekerja sebagai buruh di pabrik dengan upah harian tidak membuatnya terlihat jengah. Dia pekerja keras.Sebelum berangkat kerja, dia melakukan rutinitas keseharian di rumah. Memasak, mencuci baju dan beres- beres rumah. Dia sadar bahwa lelaki adalah tulang punggung keluarga setelah ayahnya tiada.Habiba keluar mengenakan kimono. Rambutnya basah. Melengos melewati dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia harus melewati dapur untuk sampai ke kamar saat keluar dari kamar mandi.Tomy langsung menarik kursi dan membimbing Fatona, wanita paruh baya yang baru saja keluar kamar.Wanita itu duduk di kursi sambil terbatuk. Syal di leher menandakan ia dalam kondisi tidak baik-baik saja. Di usianya yang senja, fisiknya tampak semakin rapuh. Tubuhnya kurus kering. Wajahnya memucat.Sebenarnya ia sudah cukup lama sakit, entah sakit apa. Ia tidak pernah periksa ke dokter.Keuangan menjadi kendala. Dari pada untuk berobat, lebih baik uang digunakan untuk biaya sekolah Habiba yang sampai detik ini masih duduk di bangku kuliah.Inilah pengorbanan seorang ibu, yang lebih rela anaknya bahagia dari pada memikirkan dirinya sendiri.Beberapa hari terakhir, kondisi kesehatannya menurun drastis, hingga ia memilih untuk istirahat di rumah meski tanpa mengabaikan tanggung jawabnya sebagai asisten rumah tangga. Dia meminta Habiba menggantikannya selagi ia sedang sakit.Fatona tersenyum menatap hasil masakah sulungnya.Ada telur dadar, sambal terasi, rebusan daun ubi dan satu ekor ikan goreng.“Syukurlah. Ini pasti enak sekali.” Fatona menatap Tomy dengan wajah gembira."Ayo dimakan, Bu!" Tomy mengambilkan nasi dan lauk untuk ibunya.Habiba menyusul duduk di salah satu kursi. Selera makannya hilang meski melihat menu makanan yang sedikit lebih enak dari biasanya.Tidak ada yang boleh tahu bahwa kesuciannya telah direnggut. Memalukan. Bila perlu peristiwa itu terkubur oleh waktu tanpa seorang pun tahu.Habiba malu, juga merasa jadi manusia paling menyedihkan jika sampai ketahuan.Dengan tanpa semangat, Habiba menyantap nasi meski dengan leher yang rasanya mencekik saat menelan."Biba, kok nasinya diaduk-aduk terus? Ayo makan, nanti kalau dingin pasti tidak enak," celetuk Tomy menyemangati. "Lauknya tidak enak ya?"Habiba menggeleng kecil."Kenapa mukamu pucat begitu? Matamu juga bengkak? Kamu sedang tidak sehat?" Fatona cemas."Oh eh, ini... Tidak apa-apa, Bu. Cuma kebanyakan tidur tadi malam." Habiba menepuk-nepuk mata dan wajahnya."Jangan-jangan kamu sakit. Tidak usah kuliah kalau sakit. Istirahat saja dulu di rumah. Kesehatan itu nomer satu." Tomy mengingatkan, penuh perhatian.Dialah malaikat penjaga Habiba. Dia mencari nafkah, membeli obat untuk ibunya, juga untuk biaya kuliah Habiba. Sedikit pun Tomy tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri, entah itu menabung untuk biaya pernikahannya kelak, atau apa pun itu."Aku baik-baik saja. Aku duluan." Habiba meneguk air mineral, melangkah pergi meninggalkan meja makan."Loh, tumben. Itu nasimu belum habis, kenapa ditinggal?" Tomy menatap piring yang masih menyisakan nasi.Habiba sampai lupa membawa piring kotor ke westafel dan mencucinya. Dia langsung meninggalkan piring bekas makan begitu saja.Langkah cepat membawa Habiba menginjak halaman rumah.***“Arrgkh…!” Husein mengerang merasakan kepalanya yang sakit. Berat sekali rasanya. Jam dinding sudah menunjuk angka enam. Sudah pagi. Ia baru saja terjaga dari tidur, tubuhnya pun masih terbungkus selimut. Bertelanjang dada.Apa yang terjadi dengannya? Akalnya seperti hilang, entah berapa lama. Tubuhnya pegal-pegal. Ia merentangkan tangan, menggeliat. Meregangkan otot.Beberapa detik ia terduduk untuk mengembalikan ingatan sambil menggelengkan kepala.Oh ya, ia ingat. Kemarin, setelah meeting di kantor, ia buru-buru ke rumah Bily karena ada ssuatu yang ingin dia bicarakan dengan sahabatnya itu. Namun ia justru dikejutkan dengan momen mencengangkan yang membuat dunianya terasa runtuh seketika. Ia justru memergoki Bily tengah bercumbu, oh bukan hanya bercumbu, namun melakukan perbuatan keji dengan Agatha, tak lain gadis yang sudah empat tahun mendampingi Husein sebagai kekasih.Seperti biasa, tanpa perlu permisi, Husein membuka pintu kamar Bily setelah memanggil-manggil namun tidak mendapat tanggapan. Rumah Bily sudah seperti rumah sendiri baginya, keluar masuk tanpa harus permisi.Di ranjang besar itu, Husein menyaksikan Bily menggerakkan badan di atas badan Agatha, keduanya tanpa busana.Semenjak itu, pecahlah pertengkaran hebat. Persahabatan mereka berakhir. Hubungan asmara antara Husein dan Agatha pun kandas.Husein melampiaskan emosi dengan meneguk minuman beralkohol, ia ditemani oleh Amir waktu itu. hanya saja, Amir tidak sampai mabuk. Setelah itu…. Bayangan wajah seorang gadis asing muncul. Tapi siapa dia?Ah, mungkin itu hanya mimpi.Husein kembali menggelengkan kepala. Rasanya masih berat. Ia menyibakkan selimut hendak turun dari ranjang. Namun ia dikejutkan oleh pemandangan baru.Hei, kenapa ia tidur tanpa celana? Maksudnya, hanya mengenakan celana dalam saja? Tak pernah sebelumnya ia tidur hanya mengenakan celana itu saja. Biasanya selalu mengenakan pakaian lengkap. Apa yang terjadi padanya? Apakah hubungan terlarang yang sempat dia nikmati malam tadi itu nyata?Ya, antara sadar dan tidak, ingatannya samar masih bisa menangkap momen kenikmatan itu. entahlah…Tak mau berpikir terlalu panjang, Husein segera mengenakan celana pendek yang teronggok di lantai. Kamarnya benar-benar seperti kapal pecah. Pakaiannya pun berserakan di lantai.Mendadak kepalanya pusing melihat kamarnya yang kacau seperti ini. Dia paling benci dengan sesuatu yang berserakan.Husein meraih ponsel dan menelepon Inez, adiknya.“Suruh pembantu membereskan kamarku!” pinta Husein via telepon.“Baik, Mas. Nanti aku suruh pembantu ke kamar Mas.” Suara lembut Inez menyahuti di seberang.Husein melempar ponsel kembali ke kasur.Tok tok…Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Husein.“Hm. Masuk!” gumam Husein.Sosok wanita berusia tiga puluh tahun masuk. Tak lain pembantu yang sudah dua tahun bekerja di sana. Selain Fatona, Fara membantu memasak di rumah itu. sedangkan Fatona bertugas membereskan rumah, menyapu, mengepel, mengurus kebutuhan Inez dan Husein. Semenjak Fatona sakit, Fara lah yang menggantikan pekerjaan Fatona saat pagi hari. Sebab Habiba hanya bisa menggantikan pekerjaan ibunya setelah pulang dari jam kuliah.“Permisi, Tuan Husein. Apakah saya sudah bisa membersihkan kamar? Nona Inez tadi menyuruh saya membereskan kamar Tuan,” ucap Fara dengan sungkan. Husein adalah sosok yang selalu jaga jarak dengan asisten rumah tangga, dia disegani.Dahi Husein mengernyit menatap kedatangan Fara, ibu satu anak itu. “Bu Fatona mana? Bukankah biasanya dia yang urus kamarku?” tanya Husein.“Maaf Tuan. Bu Fatona sudah beberapa hari terakhir ini tidak masuk kerja karena sakit. Sudah ijin sama nyonya besar.
“Dia itu hanya gadis biasa. Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.” “Bisa jadi dia gadis liar. Kau belum tahu siapa dia.” Pikiran Husein melayang-layang. Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.“Kau mengenal Bu Fatona kan? tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu. buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya. Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu. tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos. Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya. Artinya dia masih perawan. Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan. Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyel
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi. Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu? "Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil. "Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah. Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tam
Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k
Habiba hanya orang kecil. Dia tidak akan mungkin sanggup melawan seorang Husein yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. “Biba! Kamu sedang apa?”Habiba terkejut mendengar seruan dari arah belakang. Suara Fatona. Cepat-cepat Habiba memasukkan amplop ke balik jaketnya. Dia peluk benda itu di perut seolah sedang memeluk lengan sendiri karena merasa kedingingan. Habiba mengayunkan langkah mendekati ibunya, menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangan itu penuh takzim, tanpa melepaskan pelukan pada amplop di balik jaket dengan tangan lainnya.“Kok, termenung di sana? Ngapain?” tanya Fatona.Habiba mengulas senyum tipis. “Tuh, kamu kedinginan kan? Makanya lain kali cepat masuk rumah,” imbuh Fatona.“Ya, Bu.”“Bagaimana kuliahmu hari ini?”“Smeuanya baik, Bu.”“Terus, pekerjaanmu di rumah Bu Amira gimana? Tidak ada masalah kan?”“Tidak ada, Bu. Semuanya baik.” Habiba menatap wajah pucat ibunya, pipinya makin tirus. Kurus. Penyakit telah menggerogotinya hingga kondisinya terlihat me
Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu