Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san
"Ada orang baik datang kemari dan memberikan uang itu. Katanya, kebetulan keluarganya juga dirawat di sini. Dia pasti kaya sekali dan berhati mulia. Tidak memikirkan dunia, akhirat saja yang dipikirkan. Bahkan menyedekahkan hartanya sebanyak itu pun dia rela karena kasian pada ibu." Tomy bicara panjang lebar. Sudut bibir tertarik mengenang momen pertemuannya dengan sosok yang katanya orang baik."Tapi siapa? Ini bukan uang sedikit, Mas.""Dia juga tidak mau menyebut namanya. Begitulah kalau orang baik, kebaikannya tidak perlu diumbar. Cukup tangan kanan yang tau, dan tangan kiri dilarang ikut campur."Habiba menelan saliva dengan sulit. Mulai cemas. "Mas, satu miliar. Uang yang kita butuhkan itu satu miliar. Apakah mungkin orang itu menyerahkan hartanya begitu saja pada orang tidak dikenal?" "Tidak perlu suudzon. Mas yakin Tuhan memang sedang membukakan pintu hati manusia dermawan yang hartanya sudah berlebih itu kepada kita. Jika untuk kesembuhan ibu, kenapa harus berpikir dua kali
Muka-muka bule yang duduk di ruangan luas itu kemudian berbicara menggunakan bahasa asing. Mereka duduk di sana membawa translator masing-masing.“Silakan dilanjutkan! Amir, wakili aku! Handle meeting!” titah Husein kemudian meninggalkan kursi. Amir mulai mengambil alih untuk memimpin rapat. Dia mengalihkan perhatian semua orang dengan mulai bicara.Habiba sudah duluan balik badan hendak pergi ketika Husein meraih pergelangan tangannya dan bergerak lebih cepat membawanya keluar ruangan. Husein membawa Habiba menjauh dari ruangan itu, lalu masuk ke ruangan lain. Entah ruangan apa. Yang jelas ruangan itu mewah dan diisi dengan barang-barang berkelas. Meja, kursi, lemari, rak, laptop, printer dan semuanya mahal. Namun Habiba tidak sempat melihat keadaan di sekitarnya. Fokusnya saat ini adalah mata elang Husein. Mata itu menatap intens ke arahnya.Habiba kini berdiri menyandar di dinding. lelaki itu di hadapannya dengan satu tangan menjadi pagar di dinding samping kupingnya.“Kenapa kau
“Ya, benar. Berdasarkan USG, saya melihat adanya janin di perutnya. Usia kandungan kurang lebih empat minggu.”“Hei, siapa yang menyuruhmu memeriksa perutnya? Kenapa kau membuka perutnya untuk USG? Bukankah bagian yang sakit adalah kening? Aku tidak menyuruhmu memeriksa bagian perut!” Husein panik sekali. Seharusnya tidak ada yang boleh tahu kalau Habiba hamil. Apa lagi orang di kantornya begini. dan sekarang Cindy pun mendengar hal itu. sebenarnya Cindy pun tidak peduli dengan situasi yang dialami Habiba, sebab dia juga tidak kenal siapa Habiba. Tapi Husein sendiri yang merasa panik jika sampai ada yang mendengar kabar itu.“Maaf Pak, saya melakukan pemeriksaan itu karena melihat gejala kehamilan pada gadis itu,” jelas dokter. “Saya melakukannya juga karena pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sehingga membutuhkan pemeriksaan fisik untuk mengetahui kondisinya apakah benar hamil atau tidak.”“Apa kaitannya?”“Sangat berkaitan. Ini berkaitan dengan obat yang akan sa
"Tapi ini akan membawa petaka bagiku. Akan muncul masalah dan merusak citra baikku. Apa lagi kalau sampai ketahuan papa, aku bisa kacau." Husein menghela napas. "Mengetahui aku minum saja, papa sudah mengamuk, apa lagi kalau tahu aku sampai membuat gadis asing hamil. Ini memperkeruh suasana.""Begini saja, aku akan pastikan kalau Habiba tidak akan buka mulut soal ini. Kalau bisa, dia diberhentikan saja kerja di rumahmu. Supaya dia tidak memiliki kaitan lagi dengan keluargamu. Semakin dia menjauh darimu, maka kau akan aman,” usul Amir."Bu Fatona itu bekerja di bawah aturan dan perintah mama. Aku tidak pernah memiliki urusan dengan semua asisten rumah tangga. Sebab mereka itu atas pilihan mama. Akan terlihat mencurigakan jika aku yang memecat mereka.""Baiklah. Itu akan kita pikirkan nanti. Yang jelas, aku akan pastikan Habiba tidak akan menyebut namamu,” ucap Amir."Semakin hari, kehamilan Habiba tentu akan semakin membesar dan itu akan menjadi perhatian semua orang, termasuk mama dan
“Tumben? Sendiri? Emran mana?” Inez yang kesehariannya selalu nempel terus dengan Emran, kini tampak sendirian.“Emran sedang sakit. Dia tidak masuk kuliah hari ini,” jawab Inez.“Kamu tidak ikutan sakit?” "He hee.. Dua sejoli bukan berarti yang satu sakit, maka yang lain ikutan sakit. Kamu ada- ada saja.""Kalian sangat serasi." Habiba sudah mulai bisa membaur dan memulai hidup baru setelah menata kembali perasaannya yang sempat hancur berkeping-keping.Mereka berjalan menuju pendopo, menunggu kelas dimulai. Masih ada lima belas menit lagi. Duduk di kursi ditemani semilir angin pagi yang asri, keduanya mengobrol. Sebenarnya Habiba tidak bersemangat untuk mengobrol begini dengan Inez, tapi ia harus bia menyingkirkan rasa kesal itu dan berdamai dengan situasi. Inez tidak bersalah.“Bagaimana kondisi ibumu?” Inez merapatkan duduk, merangkul pundak Habiba.Lagi-lagi Habiba mencium aroma parfum yang menusuk, lengan Inez terangkat hingga ketiak pun terbuka. Seketika aroma parf
Berdiri di dekat meja membuat Habiba mencium berbagai aroma masakan, membuatnya merasa mual sekali. Ia membenci situasi itu. Kenapa mendadak indera penciumannya sangat tajam begini? Mencium sedikit aroma saja sudah langsung mual. Respon indera penciumannya begitu tajam. Untung saja ia berhasil mengendalikan rasa mual. Akan buruk situasinya jika ia mual disaat para majikan sedang menikmati makan.Habiba beringsut mundur, menjauh dari Husein. Ternyata berdekatan dengan pria itu membuat jantungnya tidak sehat. "Habiba ini orangnya rajin banget, Ma. Pinter lagi," celetuk Inez sambil melirik Habiba dengan senyum. "Di kampus, banyak yang kagum sama dia karena kecerdasannya. Itulah sebabnya yayasan kasih bea siswa buat dia. Sebab emang sejak awal masuk, dia punya kelebihan banyak. Nilainya juga bagus.""Waow, bagus itu." Amira ikut kagum. "Orang yang gigih itu biasanya calon pemegang kesuksesan.""Tuh dengerin, Biba. Mamaku aja bilang kamu itu calon orang sukses. Keren kan?" Inez benar-ben
Dokter menangani Habiba. Serangkaian pemeriksaan dan penanganan kusus diberikan dnegan tepat.Lima belas menit setelah ditangani oleh dokter, Habiba sudah mulai merasa nyaman. Entah apa yang disuntikkan oleh dokter hingga rasa sakit itu perlahan berkurang, lalu menghilang. Tersisa lemas saja.Bercak darah sudah dibersihkan.“Atas nama siapa, Nyonya?” tanya dokter dnegan sneyum.Nyonya? Habiba merasaketuaan disebut nyonya. Bukankah seharusnya Nona?“Habiba,” jawab habiba singkat.“Kondisi kandungan Nyonya sebenarnya kuat, hanya saja ada sejenis makanan dengan kandungan berbahaya yang Nyonya konsumsi, akibatnya jadi pendarahan begini. tapi ini tidak memberikan efek apa-apa pada kandungan Nyonya. Kandungannya sehat. Ini saya sudah berikan obat. Silakan diminum sesuai jadwal.” Dokter memberikan obat dalam kemasan plastik berwarna biru.Wajah habiba memucat. Pertahanan dalam dirinya tiba-tiba runtuh, seperti gunung es yang mendadak mencair. Amblas dan musnah. Habiba merasaka
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu