"Tapi ini akan membawa petaka bagiku. Akan muncul masalah dan merusak citra baikku. Apa lagi kalau sampai ketahuan papa, aku bisa kacau." Husein menghela napas. "Mengetahui aku minum saja, papa sudah mengamuk, apa lagi kalau tahu aku sampai membuat gadis asing hamil. Ini memperkeruh suasana.""Begini saja, aku akan pastikan kalau Habiba tidak akan buka mulut soal ini. Kalau bisa, dia diberhentikan saja kerja di rumahmu. Supaya dia tidak memiliki kaitan lagi dengan keluargamu. Semakin dia menjauh darimu, maka kau akan aman,” usul Amir."Bu Fatona itu bekerja di bawah aturan dan perintah mama. Aku tidak pernah memiliki urusan dengan semua asisten rumah tangga. Sebab mereka itu atas pilihan mama. Akan terlihat mencurigakan jika aku yang memecat mereka.""Baiklah. Itu akan kita pikirkan nanti. Yang jelas, aku akan pastikan Habiba tidak akan menyebut namamu,” ucap Amir."Semakin hari, kehamilan Habiba tentu akan semakin membesar dan itu akan menjadi perhatian semua orang, termasuk mama dan
“Tumben? Sendiri? Emran mana?” Inez yang kesehariannya selalu nempel terus dengan Emran, kini tampak sendirian.“Emran sedang sakit. Dia tidak masuk kuliah hari ini,” jawab Inez.“Kamu tidak ikutan sakit?” "He hee.. Dua sejoli bukan berarti yang satu sakit, maka yang lain ikutan sakit. Kamu ada- ada saja.""Kalian sangat serasi." Habiba sudah mulai bisa membaur dan memulai hidup baru setelah menata kembali perasaannya yang sempat hancur berkeping-keping.Mereka berjalan menuju pendopo, menunggu kelas dimulai. Masih ada lima belas menit lagi. Duduk di kursi ditemani semilir angin pagi yang asri, keduanya mengobrol. Sebenarnya Habiba tidak bersemangat untuk mengobrol begini dengan Inez, tapi ia harus bia menyingkirkan rasa kesal itu dan berdamai dengan situasi. Inez tidak bersalah.“Bagaimana kondisi ibumu?” Inez merapatkan duduk, merangkul pundak Habiba.Lagi-lagi Habiba mencium aroma parfum yang menusuk, lengan Inez terangkat hingga ketiak pun terbuka. Seketika aroma parf
Berdiri di dekat meja membuat Habiba mencium berbagai aroma masakan, membuatnya merasa mual sekali. Ia membenci situasi itu. Kenapa mendadak indera penciumannya sangat tajam begini? Mencium sedikit aroma saja sudah langsung mual. Respon indera penciumannya begitu tajam. Untung saja ia berhasil mengendalikan rasa mual. Akan buruk situasinya jika ia mual disaat para majikan sedang menikmati makan.Habiba beringsut mundur, menjauh dari Husein. Ternyata berdekatan dengan pria itu membuat jantungnya tidak sehat. "Habiba ini orangnya rajin banget, Ma. Pinter lagi," celetuk Inez sambil melirik Habiba dengan senyum. "Di kampus, banyak yang kagum sama dia karena kecerdasannya. Itulah sebabnya yayasan kasih bea siswa buat dia. Sebab emang sejak awal masuk, dia punya kelebihan banyak. Nilainya juga bagus.""Waow, bagus itu." Amira ikut kagum. "Orang yang gigih itu biasanya calon pemegang kesuksesan.""Tuh dengerin, Biba. Mamaku aja bilang kamu itu calon orang sukses. Keren kan?" Inez benar-ben
Dokter menangani Habiba. Serangkaian pemeriksaan dan penanganan kusus diberikan dnegan tepat.Lima belas menit setelah ditangani oleh dokter, Habiba sudah mulai merasa nyaman. Entah apa yang disuntikkan oleh dokter hingga rasa sakit itu perlahan berkurang, lalu menghilang. Tersisa lemas saja.Bercak darah sudah dibersihkan.“Atas nama siapa, Nyonya?” tanya dokter dnegan sneyum.Nyonya? Habiba merasaketuaan disebut nyonya. Bukankah seharusnya Nona?“Habiba,” jawab habiba singkat.“Kondisi kandungan Nyonya sebenarnya kuat, hanya saja ada sejenis makanan dengan kandungan berbahaya yang Nyonya konsumsi, akibatnya jadi pendarahan begini. tapi ini tidak memberikan efek apa-apa pada kandungan Nyonya. Kandungannya sehat. Ini saya sudah berikan obat. Silakan diminum sesuai jadwal.” Dokter memberikan obat dalam kemasan plastik berwarna biru.Wajah habiba memucat. Pertahanan dalam dirinya tiba-tiba runtuh, seperti gunung es yang mendadak mencair. Amblas dan musnah. Habiba merasaka
"Aaaaaaaaa........" Jeritan hebat membuat hidup Habiba semakin terasa dramatis. Ternyata harapan untuk mendapat keajaiban itu tidak terkabul. Hidup Habiba mendadak terasa suram. Kalau dia hamil, bagaimana ia akan melanjutkan kuliahnya? Tentu ia akan lebih fokus pada kehamilan, lalu bersalin, bahkan mengurus anak. "Biba, hei ada apa? Aku mendengarmu berteriak?" Tomy berseru dari luar, disusul ketukan pintu. Ya ampun, tanpa sadar Habiba berteriak sekeras itu, tentu saja mengundang perhatian Tomy. Untung saja Fatona tidak terjaga, tidurnya pulas."Biba, ada apa?" Tomy makin kedengaran panik sambil menggedor pintu lebih kuat."Tidak ada apa-apa, Mas. Kk kecoa." Terpaksa harus berbohong meski kamus berbohong tidak ada dalam kehidupan Habiba. Semenjak mengenal Husein, ia memulai reputasi buruk dengan berakting menjadi seorang pembohong demi menutupi satu kasus. "Huwalah, kirain ada apa. Kamu memang sejak dulu takut kecoa. Ya sudah, buka pintunya. Biar aku usir kecoanya." Tomy masih s
“Mas, kok ngelamun?” Inez menyentuh lengan kakaknya.“Hm? Oh tidak. Aku.. aku haus.” Otak Husein ngebleng dan ia tidak tahu harus bicara apa.Inez mengambilkan jus tomat buatannya dan menyerahkannya kepada Husein. Glek glek…Husein meneguk jus. Otaknya sedikit lebih segar. Rupanya minuman pagi hari mampu menyegarkan pikiran.“Apakah Habiba tidak datang kemari saat pagi hari?” tanya Husein dengan gaya sok cuek, seakan hanya sebatas iseng bertanya saja tanpa ada kepentingan yang lebih mendalam. Padahal ia sedang ingin tahu banyak hal tentang Habiba. “Jadinya setiap pagi kau yang antar minum untukku ke kamar.”“Ya. Habiba kuliah dulu saat pagi. Jadi dia baru bisa kemari siang hari selepas pulang kampus, barengan sama aku. Malamnya kadang aku antar pulang.” Kening Inez kemudian mengernyit dalam mengingat saat mengantar Habiba tadi malam. “Oh ya, ada sesuatu yang aneh pada Habiba. Tadi malam pas aku mengantarnya pulang, dia kesakitan.”Fokus mata elang Husein langsung tertuju ke wajah adik
Habiba masih enggan mengambilnya. Entah kenapa ia tidak sudi memakai semua barang milik lelaki ini. Dan ia membeku di tempat saat handuk tersebut menyentuh wajahnya. Husein mengelapi pelipis, pipi, dan leher Habiba yang terbasuh keringat. Beberapa detik Habiba terdiam, sekujur tubuhnya kaku. Namun kemudian ia menampik tangan Husein. Merampas handuk dan mengelapnya sendiri."Aku ingin bicara sesuatu. Kuharap ini akan menjadi pembahasan dari hati ke hati. Gunakan hati untuk membahasnya, jangan gunakan emosi," ucap Husein dengan nada lembut.Dan Habiba pun heran, lelaki yang terkesan red flag itu bisa-bisanya bicara dengan nada lembut begitu. Tapi Habiba tidak terkecoh oleh kelembutan Husein. Rasa di hatinya tidak berubah. Tetap membeku."Apakah bayimu baik-baik saja?" tanya Husein.Pertanyaan itu membuat Habiba terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Otot di lehernya menegang, pun pelipisnya berkedut. "Jangan asal tuduh!" hardik Habiba marah disebut hamil. Sampai detik ini i
"Apa yang terjadi pada Habiba? Kamu menggendongnya tadi?" Amira menghampiri, memasuki kamar dan mengawasi kondisi Habiba yang akhir-akhir ini tampak memucat."Mm... Habiba sakit dan hampir pingsan, makanya aku gendong tadi." Husein menjelaskan dengan tenang. Pintar sekali menyembunyikan rahasia. Ekspresinya pun tidak terlihat gugup."Ya ampun, mukanya saja pucat begini. Kelihatan lemas sekali. Mendingan kamu tidak usah kerja dulu. Istirahat saja di rumah," ucap Inez cemas. Ia langsung meraih tangan Habiba dan menggenggam jemari temannya itu."Cepat panggil dokter!" titah Amira mendominasi. "Jangan sampai terjadi hal buruk pada Habiba di rumah ini."What? Panggil dokter? Kalau dokter datang untuk memeriksa Habiba, maka bukan mustahil dokter akan mengetahui kehamilan Habiba, bahkan mengabarkan masalah itu kepada semua orang. Ini gawat! Husein berpikir keras."Tidak perlu panggil dokter. Habiba mengaku sedang demam. Dia tidak enak badan. Ada banyak alergi sehingga ia tidak bisa sembarang