Berdiri di dekat meja membuat Habiba mencium berbagai aroma masakan, membuatnya merasa mual sekali. Ia membenci situasi itu. Kenapa mendadak indera penciumannya sangat tajam begini? Mencium sedikit aroma saja sudah langsung mual. Respon indera penciumannya begitu tajam. Untung saja ia berhasil mengendalikan rasa mual. Akan buruk situasinya jika ia mual disaat para majikan sedang menikmati makan.Habiba beringsut mundur, menjauh dari Husein. Ternyata berdekatan dengan pria itu membuat jantungnya tidak sehat. "Habiba ini orangnya rajin banget, Ma. Pinter lagi," celetuk Inez sambil melirik Habiba dengan senyum. "Di kampus, banyak yang kagum sama dia karena kecerdasannya. Itulah sebabnya yayasan kasih bea siswa buat dia. Sebab emang sejak awal masuk, dia punya kelebihan banyak. Nilainya juga bagus.""Waow, bagus itu." Amira ikut kagum. "Orang yang gigih itu biasanya calon pemegang kesuksesan.""Tuh dengerin, Biba. Mamaku aja bilang kamu itu calon orang sukses. Keren kan?" Inez benar-ben
Dokter menangani Habiba. Serangkaian pemeriksaan dan penanganan kusus diberikan dnegan tepat.Lima belas menit setelah ditangani oleh dokter, Habiba sudah mulai merasa nyaman. Entah apa yang disuntikkan oleh dokter hingga rasa sakit itu perlahan berkurang, lalu menghilang. Tersisa lemas saja.Bercak darah sudah dibersihkan.“Atas nama siapa, Nyonya?” tanya dokter dnegan sneyum.Nyonya? Habiba merasaketuaan disebut nyonya. Bukankah seharusnya Nona?“Habiba,” jawab habiba singkat.“Kondisi kandungan Nyonya sebenarnya kuat, hanya saja ada sejenis makanan dengan kandungan berbahaya yang Nyonya konsumsi, akibatnya jadi pendarahan begini. tapi ini tidak memberikan efek apa-apa pada kandungan Nyonya. Kandungannya sehat. Ini saya sudah berikan obat. Silakan diminum sesuai jadwal.” Dokter memberikan obat dalam kemasan plastik berwarna biru.Wajah habiba memucat. Pertahanan dalam dirinya tiba-tiba runtuh, seperti gunung es yang mendadak mencair. Amblas dan musnah. Habiba merasaka
"Aaaaaaaaa........" Jeritan hebat membuat hidup Habiba semakin terasa dramatis. Ternyata harapan untuk mendapat keajaiban itu tidak terkabul. Hidup Habiba mendadak terasa suram. Kalau dia hamil, bagaimana ia akan melanjutkan kuliahnya? Tentu ia akan lebih fokus pada kehamilan, lalu bersalin, bahkan mengurus anak. "Biba, hei ada apa? Aku mendengarmu berteriak?" Tomy berseru dari luar, disusul ketukan pintu. Ya ampun, tanpa sadar Habiba berteriak sekeras itu, tentu saja mengundang perhatian Tomy. Untung saja Fatona tidak terjaga, tidurnya pulas."Biba, ada apa?" Tomy makin kedengaran panik sambil menggedor pintu lebih kuat."Tidak ada apa-apa, Mas. Kk kecoa." Terpaksa harus berbohong meski kamus berbohong tidak ada dalam kehidupan Habiba. Semenjak mengenal Husein, ia memulai reputasi buruk dengan berakting menjadi seorang pembohong demi menutupi satu kasus. "Huwalah, kirain ada apa. Kamu memang sejak dulu takut kecoa. Ya sudah, buka pintunya. Biar aku usir kecoanya." Tomy masih s
“Mas, kok ngelamun?” Inez menyentuh lengan kakaknya.“Hm? Oh tidak. Aku.. aku haus.” Otak Husein ngebleng dan ia tidak tahu harus bicara apa.Inez mengambilkan jus tomat buatannya dan menyerahkannya kepada Husein. Glek glek…Husein meneguk jus. Otaknya sedikit lebih segar. Rupanya minuman pagi hari mampu menyegarkan pikiran.“Apakah Habiba tidak datang kemari saat pagi hari?” tanya Husein dengan gaya sok cuek, seakan hanya sebatas iseng bertanya saja tanpa ada kepentingan yang lebih mendalam. Padahal ia sedang ingin tahu banyak hal tentang Habiba. “Jadinya setiap pagi kau yang antar minum untukku ke kamar.”“Ya. Habiba kuliah dulu saat pagi. Jadi dia baru bisa kemari siang hari selepas pulang kampus, barengan sama aku. Malamnya kadang aku antar pulang.” Kening Inez kemudian mengernyit dalam mengingat saat mengantar Habiba tadi malam. “Oh ya, ada sesuatu yang aneh pada Habiba. Tadi malam pas aku mengantarnya pulang, dia kesakitan.”Fokus mata elang Husein langsung tertuju ke wajah adik
Habiba masih enggan mengambilnya. Entah kenapa ia tidak sudi memakai semua barang milik lelaki ini. Dan ia membeku di tempat saat handuk tersebut menyentuh wajahnya. Husein mengelapi pelipis, pipi, dan leher Habiba yang terbasuh keringat. Beberapa detik Habiba terdiam, sekujur tubuhnya kaku. Namun kemudian ia menampik tangan Husein. Merampas handuk dan mengelapnya sendiri."Aku ingin bicara sesuatu. Kuharap ini akan menjadi pembahasan dari hati ke hati. Gunakan hati untuk membahasnya, jangan gunakan emosi," ucap Husein dengan nada lembut.Dan Habiba pun heran, lelaki yang terkesan red flag itu bisa-bisanya bicara dengan nada lembut begitu. Tapi Habiba tidak terkecoh oleh kelembutan Husein. Rasa di hatinya tidak berubah. Tetap membeku."Apakah bayimu baik-baik saja?" tanya Husein.Pertanyaan itu membuat Habiba terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Otot di lehernya menegang, pun pelipisnya berkedut. "Jangan asal tuduh!" hardik Habiba marah disebut hamil. Sampai detik ini i
"Apa yang terjadi pada Habiba? Kamu menggendongnya tadi?" Amira menghampiri, memasuki kamar dan mengawasi kondisi Habiba yang akhir-akhir ini tampak memucat."Mm... Habiba sakit dan hampir pingsan, makanya aku gendong tadi." Husein menjelaskan dengan tenang. Pintar sekali menyembunyikan rahasia. Ekspresinya pun tidak terlihat gugup."Ya ampun, mukanya saja pucat begini. Kelihatan lemas sekali. Mendingan kamu tidak usah kerja dulu. Istirahat saja di rumah," ucap Inez cemas. Ia langsung meraih tangan Habiba dan menggenggam jemari temannya itu."Cepat panggil dokter!" titah Amira mendominasi. "Jangan sampai terjadi hal buruk pada Habiba di rumah ini."What? Panggil dokter? Kalau dokter datang untuk memeriksa Habiba, maka bukan mustahil dokter akan mengetahui kehamilan Habiba, bahkan mengabarkan masalah itu kepada semua orang. Ini gawat! Husein berpikir keras."Tidak perlu panggil dokter. Habiba mengaku sedang demam. Dia tidak enak badan. Ada banyak alergi sehingga ia tidak bisa sembarang
Habiba membelalak mendengar pertanyaan itu. Mendadak merasa gusar. Fara sudah pernah hamil, tentu dia mengetahui persis bagaimana perkembangan wanita yang sedang hamil muda. Namun kemudian Habiba berusaha menguasai diri. Berusaha menampilkan ketenangan. "Lagian sekarang kamu kelihatan agak gemukan," imbuh Fara. "Bukan maksud apa-apa. Siapa tahu kamu tidak tahu tanda-tanda kehamilan, jadi kamu tidak tahu dengan kondisimu sendiri. Makanya aku kasih tahu. Memangnya kapan terakhir kali kamu mens?""Mbak, kan Mbak tahu sendiri kalau aku ini masih gadis, masih perawan. Trus bagaimana bisa Mbak bertanya begitu? Ini pertanyaan yang jelas menyinggung aku." Habiba balik badan, meninggalkan Fara dengan panik. Huh, jika ia sering- sering dekat dengan Fara, maka rahasianya bisa saja terbongkar. Ini tidak boleh terjadi. Dan sial... Rasa mual itu kembali muncul saat aroma masakan Fara bertabur ke udara, kini tersedot oleh indera penciumannya. Habiba berlari menuju ke toilet umum yang berada tak
“Apa yang dia katakan? Peduli apa dengan lelaki yang sudah menghamilinya? Kenapa harus kita yang menghukum dia? Pikiran Habiba sudah konslet. Mungkin dia sudah gila.” Amira frustasi. “Inez, kau lihat kelakuan Habiba? Dia membawa aib yang mencoreng nama baik keluarganya. Papa tidak mau hal itu sampai terjadi pada keluarga kita. Kau jangan sampai membuat mama dan papa malu dengan pergaulan bebas. Jangan menganggap pergaulan bebas sebagai trend yang dianggap hal biasa. Itu sangat memalukan. Dosa!” Alka bicara dengan suara keras.Inez diam membisu. Masih berpikir keras tentang Habiba. Bagaimana mungkin Habiba bisa bergaul sebebas itu? bukankah dia gadis yang polos? Dia juga jarang bergaul dengan laki-laki, bahkan malah cenderung sering menjauh dari laki-laki. Lalu siapa lelaki yang sudah menghamilinya? Apakah Irzan? Yaitu lelaki yang sering bersama dengan Habiba? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mendapat jawaban.“Jangan coba- coba dekat dengan lelaki jika hanya unt