Habiba ingin mengatakan bahwa ia tidak mengenali orang itu, dengan mengarang cerita bahwa peristiwa itu terjadi di jalan dan dilakukan oleh orang tak dikenal. Tapi ini pasti masalahnya justru akan menjadi panjang, akan ada banyak kebohongan-kebohongan baru yang diberikan untuk menutupi kebohongan yang sudah ada. Fatona pasti akan bertanya, dimana tepat kejadian itu, ciri-ciri orangnya seperti apa, hari apa dan jam berapa, maka kemudian akan dilaporkan ke polisi dan polisi malah tidak menemukan fakta apa pun saat menelusuri kasus ini karena itu hanyalah kebohongan. "Husein? " Tomy menyebut nama itu, membuat Habiba kaget. "Apakah lelaki itu Husein? Anak majikan ibu?" Habiba makin kesulitan menutupi rahasianya. Bagaimana bisa Tomy menyebut nama itu? "Aku pernah menemukan kertas di depan rumah, di kertas itu tertulis tentang pemberian uang yang kemungkinan adalah uang tutup mulut," jelas Tomy. Beberapa waktu lalu, tepatnya saat menyapu halaman rumah, Tomy menemukan kertas yang bentu
“Tetapi putri saya tidak sehina yang Anda pikirkan.” Fatona melanjutkan.“Lelucon macam apa ini? Kau pikir aku akan percaya bahwa gadis yang tidur bersama dengan anakku itu adalah Habiba?” Alka murka.“Itulah kenyataannya.” Fatona tegas.“Satu lagi, atas dasar apa Habiba disebut sebagai wanita baik sedangkan dia mau menyerahkan dirinya kepada lelaki? Itu lebih hina dari apa pun, itulah yang namanya murahan," balas Alka.Fatona sakit sekali mendengar perkataan itu. Dihina miskin sudah biasa, tapi saat anaknya dihina sebagai gadis murahan, hatinya terasa ngilu.“Habiba terdidik sebagai anak baik. Dia tidak akan mengijinkan lelaki mana pun merenggut kehormatannya. Semua ini terjadi karena Tuan Muda Husein mabuk dan memperkosanya. Habiba adalah korban dan perlu dilindungi.” Fatona berusaha membela nama baik putrinya.“Kalau memang Habiba korban, kenapa dia selama ini diam saja? Dia selama ini terlihat tidak seperti korban? Bahkan, kepadamu pun, dia tidak mengatakan apa-apa ata
Mobil berbelok, memasuki halaman luas setelah melewati gerbang yang otomatis terbuka ketika terbaca oleh sensor.Husein langsung memasuki rumah. Diikuti oleh Amir.Kedua pria berparas tampan dengan postur yang sama tinggi itu selayaknya upin dan ipin yang kemana-mana selalu berdua.“Kenapa kau turun dari mobil melenggang saja? koperku mana? Bawa ke atas!” titah Husein menatap Amir yang melenggang santai.Amir nyengir kuda sambil tepuk jidat. “Oh ya ampun, aku selalu lupa statusku sebagai asisten pribadimu. Saat aku berjalan di muka bumi, rasanya aku seperti CEO dan kaulah aisstennya. Tuhan, hentikan pikiran ini!” Amir menyeletuk sambil berjalan keluar.Di lantai dua, Husein mendapati Inez yang sedang fokus pada laptop. Adiknya itu mengangkat wajah dan menatap kedatangan Husein. “Mas Hsuein sudah pulang?”“Hm.” Husein menghempaskan diri ke sofa samping Inez. Tubuhnya melorot setengah berbaring. Ia tampak kelelahan.“Mas, capek?”“Hm. Suruh Habiba mengantar susu ke kamarku!” titahnya de
“Memangnya apa lagi yang akan kamu lakukan pada Habiba? Sudahlah, jangan temui dia lagi. Dia sudah menerima keadaan ini dengan lapang dada, tanpa tuntutan apa pun. Jadi jangan usik dia, itu hanya akan menambah masalah baru.” Amira tegas.“Aku harus bicarakan masalah ini dengannya. Aku harus ikut bertanggung jawab atas anak yang dia kandung," sahut Husein. Semakin habiba menjauh, Husein semakin merasa takut kehilangan anaknya.“Uang yang kamu berikan kepadanya sudah cukup menunjukkan pertanggung jawabanmu. Lagi pula bayi itu tidak bernasab kepadamu, bayi itu mutlak menjadi anaknya Habiba. Maka pembicaraan mengenai Habiba putus sampai di sini. Paham?”“Tidak.” Husein berkata dengan tegas, mendominasi. Membuat Amira kalah telak. “Aku akan tetap menemui Habiba.”“Husein, apa kamu tidak dengar perintah papamu tadi? Dia mengatakan supaya tidak ada lagi pembicaraan mengenai Habiba. Kita punya nama besar, punya kehormatan, punya segalanya. Jangan sampai hancur karena hal memalukan
"Ini uang untukmu. Pergilah berbelanja dengan ibu ke mall." Tomy menaruh uang ke meja. Memberikannya kepada Habiba.Gadis bermata bulat bak Barbie itu menatap ke arah uang, lalu kembali menatap kakaknya. "Ke mall?"Habiba tengah duduk di lantai tanpa alas, menghadap laptop yang menyala. Ia sedang belajar. "Iya. Pergilah ke mall belanja sama ibu. Terserah mau beli apa. Beli baju, bedak, parfum, sendal atau apa saja."Diberi kesenangan, Habiba malah bingung. Keningnya berkerut. "Mendingan uangnya untuk beli lauk.""Itu uang bonus. Sekali-kali kamu menyenangkan diri."Tomy malah memilih untuk menyenangkan hati adiknya ketimbang dirinya sendiri. Mulai dari uang kuliah, jajan di kampus, ongkos pulang pergi ke kampus, bahkan laptop untuk keperluan kuliah pun dibelikan oleh Tomy. Sekarang, uang bonus dari perusahan pun tidak digunakan untuk keperluan Tomy sendiri."Aku tahu bagaimana beratnya hidupmu belakangan ini. Kau perlu menyegarkan pikiran. Lakukan apa saja yang bisa membuat hatimu se
Alka melempar ponselnya ke sofa dengan keras sesaat setelah membaca hot news yang sedang trending melalui ponselnya itu. Husein tetap tenang. Dia duduk di sofa tak jauh dari posisi papanya. Dia sudah tahu berita apa yang membuat papanya seperti cacing kepanasan begitu.Mereka sedang berada di kantor saat ini. Alka sengaja mendatangi ruang kerjanya Husein.“Kau lihat berita itu! Mereka sedang membicarakan kita. CEO PT. Fanbe Farma terindikasi melakukan aksi keji, menghamili pembantu. Akhirnya yang kita takutkan terjadi juga.” Alka murka. “Inilah akibat ulahmu yang teledor dan bikin masalah.”“Aku akan panggil wartawan untuk klarifikasi,” sahut Husein tenang.“Tidak perlu. Itu hanya akan membuat gaduh saja. Semakin ditanggapi, berita bodoh ini malah makin besar, hanya akan menyampah.” Alka melambaikan tangan di depan wajahnya dengan kasar. “Siapa yang berani membocorkan masalah ini keluar? Apakah Fatona? Atau habiba? Halah, pasti mereka berdua itu.”Husein mengernyitka
“Meski kita sudah menyepakati ini, tapi saya tidak bisa menjamin Habiba akan menyetujui kesepakatan kita,” ucap Fatona lirih.“Menikahkan Husein dan habiba adalah satu permintaanmu, maka sudah seharusnya kau bisa mengatasinya,” tegas Alka mendominasi.Fatona tidak memberikan jawaban, namun tatapannya menunjukkan kalau ia setuju.Langkahnya gontai meninggalkan rumah megah itu. Helaan napas berat keluar dari mulut Amira. Ia mondar mandir sambil geleng kepala.“Tidak pernah terpikir dalam bayanganku akan memiliki menantu dari putri pembantuku sendiri. Ya ampun! Mimpi apa ini? Bisa- bisa aku menjadi gila. Apa yang akan aku katakan pada teman- temanku, geng sosialita, dan semua rekan-rekanku?” keluh Amira dengan wajah frustasi.“Ini semua karena ulahmu, Husein!” Alka menatap tajam pada putranya. Yang ditatap tetap tenang. “Ya sudahlah, sekarang kita hanya perlu menjaga nama baik Husein. Kita juga akan lihat seberapa jauh Fatona menyangkal pemberitaan itu.” Alka mulai berpikir k
“Lepaskan!” Habiba melirik singkat lengannya yang dipegang oleh Husein.“Kita bicara sebentar," bujuk Husein berusaha merendahkan dirinya. “Saya sudah bilang, kita tidak punya urusan lagi, Tuan. Saya ingin memulai hidup baru. Biarkan mental saya sehat dengan hidup tanpa bayang- bayang Anda! Apakah Anda masih belum mengerti dengan bahasa saya?” Habiba menunduk, sedih dan kesal. Kenapa harus kembali bertemu dengan pria ini.Kalau begini, kapan Habiba akan merasa tenang? Apakah Husein masih saja tidak mengerti bahwa mukanya itu membuat mental Habiba jadi runyam. Insiden di kamar itu selalu membayanginya, terlebih kasus keramat yang membuatnya harus melompat-lompat seperti pocong saat mengambil kaca mata yang tersangkut di AC. “Aku akan teriak. Meneriakkan bahwa Anda akan melecehkan saya. Dulu saya tidak sempat meneriakkannya kepada semua orang. Ini terlambat, tapi tepat untuk diteriakkan hari ini!” ancam Habiba setelah mengumpulkan nyali sebanyak mungkin. Menghadapi pria