“Tetapi putri saya tidak sehina yang Anda pikirkan.” Fatona melanjutkan.“Lelucon macam apa ini? Kau pikir aku akan percaya bahwa gadis yang tidur bersama dengan anakku itu adalah Habiba?” Alka murka.“Itulah kenyataannya.” Fatona tegas.“Satu lagi, atas dasar apa Habiba disebut sebagai wanita baik sedangkan dia mau menyerahkan dirinya kepada lelaki? Itu lebih hina dari apa pun, itulah yang namanya murahan," balas Alka.Fatona sakit sekali mendengar perkataan itu. Dihina miskin sudah biasa, tapi saat anaknya dihina sebagai gadis murahan, hatinya terasa ngilu.“Habiba terdidik sebagai anak baik. Dia tidak akan mengijinkan lelaki mana pun merenggut kehormatannya. Semua ini terjadi karena Tuan Muda Husein mabuk dan memperkosanya. Habiba adalah korban dan perlu dilindungi.” Fatona berusaha membela nama baik putrinya.“Kalau memang Habiba korban, kenapa dia selama ini diam saja? Dia selama ini terlihat tidak seperti korban? Bahkan, kepadamu pun, dia tidak mengatakan apa-apa ata
Mobil berbelok, memasuki halaman luas setelah melewati gerbang yang otomatis terbuka ketika terbaca oleh sensor.Husein langsung memasuki rumah. Diikuti oleh Amir.Kedua pria berparas tampan dengan postur yang sama tinggi itu selayaknya upin dan ipin yang kemana-mana selalu berdua.“Kenapa kau turun dari mobil melenggang saja? koperku mana? Bawa ke atas!” titah Husein menatap Amir yang melenggang santai.Amir nyengir kuda sambil tepuk jidat. “Oh ya ampun, aku selalu lupa statusku sebagai asisten pribadimu. Saat aku berjalan di muka bumi, rasanya aku seperti CEO dan kaulah aisstennya. Tuhan, hentikan pikiran ini!” Amir menyeletuk sambil berjalan keluar.Di lantai dua, Husein mendapati Inez yang sedang fokus pada laptop. Adiknya itu mengangkat wajah dan menatap kedatangan Husein. “Mas Hsuein sudah pulang?”“Hm.” Husein menghempaskan diri ke sofa samping Inez. Tubuhnya melorot setengah berbaring. Ia tampak kelelahan.“Mas, capek?”“Hm. Suruh Habiba mengantar susu ke kamarku!” titahnya de
“Memangnya apa lagi yang akan kamu lakukan pada Habiba? Sudahlah, jangan temui dia lagi. Dia sudah menerima keadaan ini dengan lapang dada, tanpa tuntutan apa pun. Jadi jangan usik dia, itu hanya akan menambah masalah baru.” Amira tegas.“Aku harus bicarakan masalah ini dengannya. Aku harus ikut bertanggung jawab atas anak yang dia kandung," sahut Husein. Semakin habiba menjauh, Husein semakin merasa takut kehilangan anaknya.“Uang yang kamu berikan kepadanya sudah cukup menunjukkan pertanggung jawabanmu. Lagi pula bayi itu tidak bernasab kepadamu, bayi itu mutlak menjadi anaknya Habiba. Maka pembicaraan mengenai Habiba putus sampai di sini. Paham?”“Tidak.” Husein berkata dengan tegas, mendominasi. Membuat Amira kalah telak. “Aku akan tetap menemui Habiba.”“Husein, apa kamu tidak dengar perintah papamu tadi? Dia mengatakan supaya tidak ada lagi pembicaraan mengenai Habiba. Kita punya nama besar, punya kehormatan, punya segalanya. Jangan sampai hancur karena hal memalukan
"Ini uang untukmu. Pergilah berbelanja dengan ibu ke mall." Tomy menaruh uang ke meja. Memberikannya kepada Habiba.Gadis bermata bulat bak Barbie itu menatap ke arah uang, lalu kembali menatap kakaknya. "Ke mall?"Habiba tengah duduk di lantai tanpa alas, menghadap laptop yang menyala. Ia sedang belajar. "Iya. Pergilah ke mall belanja sama ibu. Terserah mau beli apa. Beli baju, bedak, parfum, sendal atau apa saja."Diberi kesenangan, Habiba malah bingung. Keningnya berkerut. "Mendingan uangnya untuk beli lauk.""Itu uang bonus. Sekali-kali kamu menyenangkan diri."Tomy malah memilih untuk menyenangkan hati adiknya ketimbang dirinya sendiri. Mulai dari uang kuliah, jajan di kampus, ongkos pulang pergi ke kampus, bahkan laptop untuk keperluan kuliah pun dibelikan oleh Tomy. Sekarang, uang bonus dari perusahan pun tidak digunakan untuk keperluan Tomy sendiri."Aku tahu bagaimana beratnya hidupmu belakangan ini. Kau perlu menyegarkan pikiran. Lakukan apa saja yang bisa membuat hatimu se
Alka melempar ponselnya ke sofa dengan keras sesaat setelah membaca hot news yang sedang trending melalui ponselnya itu. Husein tetap tenang. Dia duduk di sofa tak jauh dari posisi papanya. Dia sudah tahu berita apa yang membuat papanya seperti cacing kepanasan begitu.Mereka sedang berada di kantor saat ini. Alka sengaja mendatangi ruang kerjanya Husein.“Kau lihat berita itu! Mereka sedang membicarakan kita. CEO PT. Fanbe Farma terindikasi melakukan aksi keji, menghamili pembantu. Akhirnya yang kita takutkan terjadi juga.” Alka murka. “Inilah akibat ulahmu yang teledor dan bikin masalah.”“Aku akan panggil wartawan untuk klarifikasi,” sahut Husein tenang.“Tidak perlu. Itu hanya akan membuat gaduh saja. Semakin ditanggapi, berita bodoh ini malah makin besar, hanya akan menyampah.” Alka melambaikan tangan di depan wajahnya dengan kasar. “Siapa yang berani membocorkan masalah ini keluar? Apakah Fatona? Atau habiba? Halah, pasti mereka berdua itu.”Husein mengernyitka
“Meski kita sudah menyepakati ini, tapi saya tidak bisa menjamin Habiba akan menyetujui kesepakatan kita,” ucap Fatona lirih.“Menikahkan Husein dan habiba adalah satu permintaanmu, maka sudah seharusnya kau bisa mengatasinya,” tegas Alka mendominasi.Fatona tidak memberikan jawaban, namun tatapannya menunjukkan kalau ia setuju.Langkahnya gontai meninggalkan rumah megah itu. Helaan napas berat keluar dari mulut Amira. Ia mondar mandir sambil geleng kepala.“Tidak pernah terpikir dalam bayanganku akan memiliki menantu dari putri pembantuku sendiri. Ya ampun! Mimpi apa ini? Bisa- bisa aku menjadi gila. Apa yang akan aku katakan pada teman- temanku, geng sosialita, dan semua rekan-rekanku?” keluh Amira dengan wajah frustasi.“Ini semua karena ulahmu, Husein!” Alka menatap tajam pada putranya. Yang ditatap tetap tenang. “Ya sudahlah, sekarang kita hanya perlu menjaga nama baik Husein. Kita juga akan lihat seberapa jauh Fatona menyangkal pemberitaan itu.” Alka mulai berpikir k
“Lepaskan!” Habiba melirik singkat lengannya yang dipegang oleh Husein.“Kita bicara sebentar," bujuk Husein berusaha merendahkan dirinya. “Saya sudah bilang, kita tidak punya urusan lagi, Tuan. Saya ingin memulai hidup baru. Biarkan mental saya sehat dengan hidup tanpa bayang- bayang Anda! Apakah Anda masih belum mengerti dengan bahasa saya?” Habiba menunduk, sedih dan kesal. Kenapa harus kembali bertemu dengan pria ini.Kalau begini, kapan Habiba akan merasa tenang? Apakah Husein masih saja tidak mengerti bahwa mukanya itu membuat mental Habiba jadi runyam. Insiden di kamar itu selalu membayanginya, terlebih kasus keramat yang membuatnya harus melompat-lompat seperti pocong saat mengambil kaca mata yang tersangkut di AC. “Aku akan teriak. Meneriakkan bahwa Anda akan melecehkan saya. Dulu saya tidak sempat meneriakkannya kepada semua orang. Ini terlambat, tapi tepat untuk diteriakkan hari ini!” ancam Habiba setelah mengumpulkan nyali sebanyak mungkin. Menghadapi pria
"Biba, tidak bisa tidur ya?" Suara Tomy mengejutkan Habiba. Ketukan tapakan kaki yang memakai sendal lepes terdengar teratur memasuki ruangan dari arah luar rumah. Lelaki itu masuk dari pintu dapur yang menghubungkan dengan teras belakang rumah."Mas Tomy?" Habiba mengernyit menatap tubuh kekar kakaknya yang bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek. Tubuh berotot yang kulitnya kasar itu dibasuh keringat, wajah pun basah seperti baru saja cuci muka."Kenapa belum tidur? Kepikiran hari besok?" Tomy mengambil minum menggunakan gelas besar dan meneguknya sampai habis. Terlihat haus sekali.Habiba menatap Tomy tanpa menjawab. Pikirannya justru bertanya-tanya tentang apa yang dilakukan Tomy hingga mandi keringat malam-malam begini. Netranya mengawasi dada bidang yang dialiri buliran peluh, menetes- netes di lekukan tubuh."Jangan gelisah. Kamu tetap akan menjadi Habiba yang sekarang, semuanya tidak akan berubah. Hanya status saja yang berubah, tapi duniamu akan tetap sama." Tomy
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu