Dokter menangani Habiba. Serangkaian pemeriksaan dan penanganan kusus diberikan dnegan tepat.Lima belas menit setelah ditangani oleh dokter, Habiba sudah mulai merasa nyaman. Entah apa yang disuntikkan oleh dokter hingga rasa sakit itu perlahan berkurang, lalu menghilang. Tersisa lemas saja.Bercak darah sudah dibersihkan.“Atas nama siapa, Nyonya?” tanya dokter dnegan sneyum.Nyonya? Habiba merasaketuaan disebut nyonya. Bukankah seharusnya Nona?“Habiba,” jawab habiba singkat.“Kondisi kandungan Nyonya sebenarnya kuat, hanya saja ada sejenis makanan dengan kandungan berbahaya yang Nyonya konsumsi, akibatnya jadi pendarahan begini. tapi ini tidak memberikan efek apa-apa pada kandungan Nyonya. Kandungannya sehat. Ini saya sudah berikan obat. Silakan diminum sesuai jadwal.” Dokter memberikan obat dalam kemasan plastik berwarna biru.Wajah habiba memucat. Pertahanan dalam dirinya tiba-tiba runtuh, seperti gunung es yang mendadak mencair. Amblas dan musnah. Habiba merasaka
"Aaaaaaaaa........" Jeritan hebat membuat hidup Habiba semakin terasa dramatis. Ternyata harapan untuk mendapat keajaiban itu tidak terkabul. Hidup Habiba mendadak terasa suram. Kalau dia hamil, bagaimana ia akan melanjutkan kuliahnya? Tentu ia akan lebih fokus pada kehamilan, lalu bersalin, bahkan mengurus anak. "Biba, hei ada apa? Aku mendengarmu berteriak?" Tomy berseru dari luar, disusul ketukan pintu. Ya ampun, tanpa sadar Habiba berteriak sekeras itu, tentu saja mengundang perhatian Tomy. Untung saja Fatona tidak terjaga, tidurnya pulas."Biba, ada apa?" Tomy makin kedengaran panik sambil menggedor pintu lebih kuat."Tidak ada apa-apa, Mas. Kk kecoa." Terpaksa harus berbohong meski kamus berbohong tidak ada dalam kehidupan Habiba. Semenjak mengenal Husein, ia memulai reputasi buruk dengan berakting menjadi seorang pembohong demi menutupi satu kasus. "Huwalah, kirain ada apa. Kamu memang sejak dulu takut kecoa. Ya sudah, buka pintunya. Biar aku usir kecoanya." Tomy masih s
“Mas, kok ngelamun?” Inez menyentuh lengan kakaknya.“Hm? Oh tidak. Aku.. aku haus.” Otak Husein ngebleng dan ia tidak tahu harus bicara apa.Inez mengambilkan jus tomat buatannya dan menyerahkannya kepada Husein. Glek glek…Husein meneguk jus. Otaknya sedikit lebih segar. Rupanya minuman pagi hari mampu menyegarkan pikiran.“Apakah Habiba tidak datang kemari saat pagi hari?” tanya Husein dengan gaya sok cuek, seakan hanya sebatas iseng bertanya saja tanpa ada kepentingan yang lebih mendalam. Padahal ia sedang ingin tahu banyak hal tentang Habiba. “Jadinya setiap pagi kau yang antar minum untukku ke kamar.”“Ya. Habiba kuliah dulu saat pagi. Jadi dia baru bisa kemari siang hari selepas pulang kampus, barengan sama aku. Malamnya kadang aku antar pulang.” Kening Inez kemudian mengernyit dalam mengingat saat mengantar Habiba tadi malam. “Oh ya, ada sesuatu yang aneh pada Habiba. Tadi malam pas aku mengantarnya pulang, dia kesakitan.”Fokus mata elang Husein langsung tertuju ke wajah adik
Habiba masih enggan mengambilnya. Entah kenapa ia tidak sudi memakai semua barang milik lelaki ini. Dan ia membeku di tempat saat handuk tersebut menyentuh wajahnya. Husein mengelapi pelipis, pipi, dan leher Habiba yang terbasuh keringat. Beberapa detik Habiba terdiam, sekujur tubuhnya kaku. Namun kemudian ia menampik tangan Husein. Merampas handuk dan mengelapnya sendiri."Aku ingin bicara sesuatu. Kuharap ini akan menjadi pembahasan dari hati ke hati. Gunakan hati untuk membahasnya, jangan gunakan emosi," ucap Husein dengan nada lembut.Dan Habiba pun heran, lelaki yang terkesan red flag itu bisa-bisanya bicara dengan nada lembut begitu. Tapi Habiba tidak terkecoh oleh kelembutan Husein. Rasa di hatinya tidak berubah. Tetap membeku."Apakah bayimu baik-baik saja?" tanya Husein.Pertanyaan itu membuat Habiba terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Otot di lehernya menegang, pun pelipisnya berkedut. "Jangan asal tuduh!" hardik Habiba marah disebut hamil. Sampai detik ini i
"Apa yang terjadi pada Habiba? Kamu menggendongnya tadi?" Amira menghampiri, memasuki kamar dan mengawasi kondisi Habiba yang akhir-akhir ini tampak memucat."Mm... Habiba sakit dan hampir pingsan, makanya aku gendong tadi." Husein menjelaskan dengan tenang. Pintar sekali menyembunyikan rahasia. Ekspresinya pun tidak terlihat gugup."Ya ampun, mukanya saja pucat begini. Kelihatan lemas sekali. Mendingan kamu tidak usah kerja dulu. Istirahat saja di rumah," ucap Inez cemas. Ia langsung meraih tangan Habiba dan menggenggam jemari temannya itu."Cepat panggil dokter!" titah Amira mendominasi. "Jangan sampai terjadi hal buruk pada Habiba di rumah ini."What? Panggil dokter? Kalau dokter datang untuk memeriksa Habiba, maka bukan mustahil dokter akan mengetahui kehamilan Habiba, bahkan mengabarkan masalah itu kepada semua orang. Ini gawat! Husein berpikir keras."Tidak perlu panggil dokter. Habiba mengaku sedang demam. Dia tidak enak badan. Ada banyak alergi sehingga ia tidak bisa sembarang
Habiba membelalak mendengar pertanyaan itu. Mendadak merasa gusar. Fara sudah pernah hamil, tentu dia mengetahui persis bagaimana perkembangan wanita yang sedang hamil muda. Namun kemudian Habiba berusaha menguasai diri. Berusaha menampilkan ketenangan. "Lagian sekarang kamu kelihatan agak gemukan," imbuh Fara. "Bukan maksud apa-apa. Siapa tahu kamu tidak tahu tanda-tanda kehamilan, jadi kamu tidak tahu dengan kondisimu sendiri. Makanya aku kasih tahu. Memangnya kapan terakhir kali kamu mens?""Mbak, kan Mbak tahu sendiri kalau aku ini masih gadis, masih perawan. Trus bagaimana bisa Mbak bertanya begitu? Ini pertanyaan yang jelas menyinggung aku." Habiba balik badan, meninggalkan Fara dengan panik. Huh, jika ia sering- sering dekat dengan Fara, maka rahasianya bisa saja terbongkar. Ini tidak boleh terjadi. Dan sial... Rasa mual itu kembali muncul saat aroma masakan Fara bertabur ke udara, kini tersedot oleh indera penciumannya. Habiba berlari menuju ke toilet umum yang berada tak
“Apa yang dia katakan? Peduli apa dengan lelaki yang sudah menghamilinya? Kenapa harus kita yang menghukum dia? Pikiran Habiba sudah konslet. Mungkin dia sudah gila.” Amira frustasi. “Inez, kau lihat kelakuan Habiba? Dia membawa aib yang mencoreng nama baik keluarganya. Papa tidak mau hal itu sampai terjadi pada keluarga kita. Kau jangan sampai membuat mama dan papa malu dengan pergaulan bebas. Jangan menganggap pergaulan bebas sebagai trend yang dianggap hal biasa. Itu sangat memalukan. Dosa!” Alka bicara dengan suara keras.Inez diam membisu. Masih berpikir keras tentang Habiba. Bagaimana mungkin Habiba bisa bergaul sebebas itu? bukankah dia gadis yang polos? Dia juga jarang bergaul dengan laki-laki, bahkan malah cenderung sering menjauh dari laki-laki. Lalu siapa lelaki yang sudah menghamilinya? Apakah Irzan? Yaitu lelaki yang sering bersama dengan Habiba? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mendapat jawaban.“Jangan coba- coba dekat dengan lelaki jika hanya unt
Habiba ingin mengatakan bahwa ia tidak mengenali orang itu, dengan mengarang cerita bahwa peristiwa itu terjadi di jalan dan dilakukan oleh orang tak dikenal. Tapi ini pasti masalahnya justru akan menjadi panjang, akan ada banyak kebohongan-kebohongan baru yang diberikan untuk menutupi kebohongan yang sudah ada. Fatona pasti akan bertanya, dimana tepat kejadian itu, ciri-ciri orangnya seperti apa, hari apa dan jam berapa, maka kemudian akan dilaporkan ke polisi dan polisi malah tidak menemukan fakta apa pun saat menelusuri kasus ini karena itu hanyalah kebohongan. "Husein? " Tomy menyebut nama itu, membuat Habiba kaget. "Apakah lelaki itu Husein? Anak majikan ibu?" Habiba makin kesulitan menutupi rahasianya. Bagaimana bisa Tomy menyebut nama itu? "Aku pernah menemukan kertas di depan rumah, di kertas itu tertulis tentang pemberian uang yang kemungkinan adalah uang tutup mulut," jelas Tomy. Beberapa waktu lalu, tepatnya saat menyapu halaman rumah, Tomy menemukan kertas yang bentu
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu