Habiba masih enggan mengambilnya. Entah kenapa ia tidak sudi memakai semua barang milik lelaki ini. Dan ia membeku di tempat saat handuk tersebut menyentuh wajahnya. Husein mengelapi pelipis, pipi, dan leher Habiba yang terbasuh keringat. Beberapa detik Habiba terdiam, sekujur tubuhnya kaku. Namun kemudian ia menampik tangan Husein. Merampas handuk dan mengelapnya sendiri."Aku ingin bicara sesuatu. Kuharap ini akan menjadi pembahasan dari hati ke hati. Gunakan hati untuk membahasnya, jangan gunakan emosi," ucap Husein dengan nada lembut.Dan Habiba pun heran, lelaki yang terkesan red flag itu bisa-bisanya bicara dengan nada lembut begitu. Tapi Habiba tidak terkecoh oleh kelembutan Husein. Rasa di hatinya tidak berubah. Tetap membeku."Apakah bayimu baik-baik saja?" tanya Husein.Pertanyaan itu membuat Habiba terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna. Otot di lehernya menegang, pun pelipisnya berkedut. "Jangan asal tuduh!" hardik Habiba marah disebut hamil. Sampai detik ini i
"Apa yang terjadi pada Habiba? Kamu menggendongnya tadi?" Amira menghampiri, memasuki kamar dan mengawasi kondisi Habiba yang akhir-akhir ini tampak memucat."Mm... Habiba sakit dan hampir pingsan, makanya aku gendong tadi." Husein menjelaskan dengan tenang. Pintar sekali menyembunyikan rahasia. Ekspresinya pun tidak terlihat gugup."Ya ampun, mukanya saja pucat begini. Kelihatan lemas sekali. Mendingan kamu tidak usah kerja dulu. Istirahat saja di rumah," ucap Inez cemas. Ia langsung meraih tangan Habiba dan menggenggam jemari temannya itu."Cepat panggil dokter!" titah Amira mendominasi. "Jangan sampai terjadi hal buruk pada Habiba di rumah ini."What? Panggil dokter? Kalau dokter datang untuk memeriksa Habiba, maka bukan mustahil dokter akan mengetahui kehamilan Habiba, bahkan mengabarkan masalah itu kepada semua orang. Ini gawat! Husein berpikir keras."Tidak perlu panggil dokter. Habiba mengaku sedang demam. Dia tidak enak badan. Ada banyak alergi sehingga ia tidak bisa sembarang
Habiba membelalak mendengar pertanyaan itu. Mendadak merasa gusar. Fara sudah pernah hamil, tentu dia mengetahui persis bagaimana perkembangan wanita yang sedang hamil muda. Namun kemudian Habiba berusaha menguasai diri. Berusaha menampilkan ketenangan. "Lagian sekarang kamu kelihatan agak gemukan," imbuh Fara. "Bukan maksud apa-apa. Siapa tahu kamu tidak tahu tanda-tanda kehamilan, jadi kamu tidak tahu dengan kondisimu sendiri. Makanya aku kasih tahu. Memangnya kapan terakhir kali kamu mens?""Mbak, kan Mbak tahu sendiri kalau aku ini masih gadis, masih perawan. Trus bagaimana bisa Mbak bertanya begitu? Ini pertanyaan yang jelas menyinggung aku." Habiba balik badan, meninggalkan Fara dengan panik. Huh, jika ia sering- sering dekat dengan Fara, maka rahasianya bisa saja terbongkar. Ini tidak boleh terjadi. Dan sial... Rasa mual itu kembali muncul saat aroma masakan Fara bertabur ke udara, kini tersedot oleh indera penciumannya. Habiba berlari menuju ke toilet umum yang berada tak
“Apa yang dia katakan? Peduli apa dengan lelaki yang sudah menghamilinya? Kenapa harus kita yang menghukum dia? Pikiran Habiba sudah konslet. Mungkin dia sudah gila.” Amira frustasi. “Inez, kau lihat kelakuan Habiba? Dia membawa aib yang mencoreng nama baik keluarganya. Papa tidak mau hal itu sampai terjadi pada keluarga kita. Kau jangan sampai membuat mama dan papa malu dengan pergaulan bebas. Jangan menganggap pergaulan bebas sebagai trend yang dianggap hal biasa. Itu sangat memalukan. Dosa!” Alka bicara dengan suara keras.Inez diam membisu. Masih berpikir keras tentang Habiba. Bagaimana mungkin Habiba bisa bergaul sebebas itu? bukankah dia gadis yang polos? Dia juga jarang bergaul dengan laki-laki, bahkan malah cenderung sering menjauh dari laki-laki. Lalu siapa lelaki yang sudah menghamilinya? Apakah Irzan? Yaitu lelaki yang sering bersama dengan Habiba? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mendapat jawaban.“Jangan coba- coba dekat dengan lelaki jika hanya unt
Habiba ingin mengatakan bahwa ia tidak mengenali orang itu, dengan mengarang cerita bahwa peristiwa itu terjadi di jalan dan dilakukan oleh orang tak dikenal. Tapi ini pasti masalahnya justru akan menjadi panjang, akan ada banyak kebohongan-kebohongan baru yang diberikan untuk menutupi kebohongan yang sudah ada. Fatona pasti akan bertanya, dimana tepat kejadian itu, ciri-ciri orangnya seperti apa, hari apa dan jam berapa, maka kemudian akan dilaporkan ke polisi dan polisi malah tidak menemukan fakta apa pun saat menelusuri kasus ini karena itu hanyalah kebohongan. "Husein? " Tomy menyebut nama itu, membuat Habiba kaget. "Apakah lelaki itu Husein? Anak majikan ibu?" Habiba makin kesulitan menutupi rahasianya. Bagaimana bisa Tomy menyebut nama itu? "Aku pernah menemukan kertas di depan rumah, di kertas itu tertulis tentang pemberian uang yang kemungkinan adalah uang tutup mulut," jelas Tomy. Beberapa waktu lalu, tepatnya saat menyapu halaman rumah, Tomy menemukan kertas yang bentu
“Tetapi putri saya tidak sehina yang Anda pikirkan.” Fatona melanjutkan.“Lelucon macam apa ini? Kau pikir aku akan percaya bahwa gadis yang tidur bersama dengan anakku itu adalah Habiba?” Alka murka.“Itulah kenyataannya.” Fatona tegas.“Satu lagi, atas dasar apa Habiba disebut sebagai wanita baik sedangkan dia mau menyerahkan dirinya kepada lelaki? Itu lebih hina dari apa pun, itulah yang namanya murahan," balas Alka.Fatona sakit sekali mendengar perkataan itu. Dihina miskin sudah biasa, tapi saat anaknya dihina sebagai gadis murahan, hatinya terasa ngilu.“Habiba terdidik sebagai anak baik. Dia tidak akan mengijinkan lelaki mana pun merenggut kehormatannya. Semua ini terjadi karena Tuan Muda Husein mabuk dan memperkosanya. Habiba adalah korban dan perlu dilindungi.” Fatona berusaha membela nama baik putrinya.“Kalau memang Habiba korban, kenapa dia selama ini diam saja? Dia selama ini terlihat tidak seperti korban? Bahkan, kepadamu pun, dia tidak mengatakan apa-apa ata
Mobil berbelok, memasuki halaman luas setelah melewati gerbang yang otomatis terbuka ketika terbaca oleh sensor.Husein langsung memasuki rumah. Diikuti oleh Amir.Kedua pria berparas tampan dengan postur yang sama tinggi itu selayaknya upin dan ipin yang kemana-mana selalu berdua.“Kenapa kau turun dari mobil melenggang saja? koperku mana? Bawa ke atas!” titah Husein menatap Amir yang melenggang santai.Amir nyengir kuda sambil tepuk jidat. “Oh ya ampun, aku selalu lupa statusku sebagai asisten pribadimu. Saat aku berjalan di muka bumi, rasanya aku seperti CEO dan kaulah aisstennya. Tuhan, hentikan pikiran ini!” Amir menyeletuk sambil berjalan keluar.Di lantai dua, Husein mendapati Inez yang sedang fokus pada laptop. Adiknya itu mengangkat wajah dan menatap kedatangan Husein. “Mas Hsuein sudah pulang?”“Hm.” Husein menghempaskan diri ke sofa samping Inez. Tubuhnya melorot setengah berbaring. Ia tampak kelelahan.“Mas, capek?”“Hm. Suruh Habiba mengantar susu ke kamarku!” titahnya de
“Memangnya apa lagi yang akan kamu lakukan pada Habiba? Sudahlah, jangan temui dia lagi. Dia sudah menerima keadaan ini dengan lapang dada, tanpa tuntutan apa pun. Jadi jangan usik dia, itu hanya akan menambah masalah baru.” Amira tegas.“Aku harus bicarakan masalah ini dengannya. Aku harus ikut bertanggung jawab atas anak yang dia kandung," sahut Husein. Semakin habiba menjauh, Husein semakin merasa takut kehilangan anaknya.“Uang yang kamu berikan kepadanya sudah cukup menunjukkan pertanggung jawabanmu. Lagi pula bayi itu tidak bernasab kepadamu, bayi itu mutlak menjadi anaknya Habiba. Maka pembicaraan mengenai Habiba putus sampai di sini. Paham?”“Tidak.” Husein berkata dengan tegas, mendominasi. Membuat Amira kalah telak. “Aku akan tetap menemui Habiba.”“Husein, apa kamu tidak dengar perintah papamu tadi? Dia mengatakan supaya tidak ada lagi pembicaraan mengenai Habiba. Kita punya nama besar, punya kehormatan, punya segalanya. Jangan sampai hancur karena hal memalukan