"Ada orang baik datang kemari dan memberikan uang itu. Katanya, kebetulan keluarganya juga dirawat di sini. Dia pasti kaya sekali dan berhati mulia. Tidak memikirkan dunia, akhirat saja yang dipikirkan. Bahkan menyedekahkan hartanya sebanyak itu pun dia rela karena kasian pada ibu." Tomy bicara panjang lebar. Sudut bibir tertarik mengenang momen pertemuannya dengan sosok yang katanya orang baik."Tapi siapa? Ini bukan uang sedikit, Mas.""Dia juga tidak mau menyebut namanya. Begitulah kalau orang baik, kebaikannya tidak perlu diumbar. Cukup tangan kanan yang tau, dan tangan kiri dilarang ikut campur."Habiba menelan saliva dengan sulit. Mulai cemas. "Mas, satu miliar. Uang yang kita butuhkan itu satu miliar. Apakah mungkin orang itu menyerahkan hartanya begitu saja pada orang tidak dikenal?" "Tidak perlu suudzon. Mas yakin Tuhan memang sedang membukakan pintu hati manusia dermawan yang hartanya sudah berlebih itu kepada kita. Jika untuk kesembuhan ibu, kenapa harus berpikir dua kali
Muka-muka bule yang duduk di ruangan luas itu kemudian berbicara menggunakan bahasa asing. Mereka duduk di sana membawa translator masing-masing.“Silakan dilanjutkan! Amir, wakili aku! Handle meeting!” titah Husein kemudian meninggalkan kursi. Amir mulai mengambil alih untuk memimpin rapat. Dia mengalihkan perhatian semua orang dengan mulai bicara.Habiba sudah duluan balik badan hendak pergi ketika Husein meraih pergelangan tangannya dan bergerak lebih cepat membawanya keluar ruangan. Husein membawa Habiba menjauh dari ruangan itu, lalu masuk ke ruangan lain. Entah ruangan apa. Yang jelas ruangan itu mewah dan diisi dengan barang-barang berkelas. Meja, kursi, lemari, rak, laptop, printer dan semuanya mahal. Namun Habiba tidak sempat melihat keadaan di sekitarnya. Fokusnya saat ini adalah mata elang Husein. Mata itu menatap intens ke arahnya.Habiba kini berdiri menyandar di dinding. lelaki itu di hadapannya dengan satu tangan menjadi pagar di dinding samping kupingnya.“Kenapa kau
“Ya, benar. Berdasarkan USG, saya melihat adanya janin di perutnya. Usia kandungan kurang lebih empat minggu.”“Hei, siapa yang menyuruhmu memeriksa perutnya? Kenapa kau membuka perutnya untuk USG? Bukankah bagian yang sakit adalah kening? Aku tidak menyuruhmu memeriksa bagian perut!” Husein panik sekali. Seharusnya tidak ada yang boleh tahu kalau Habiba hamil. Apa lagi orang di kantornya begini. dan sekarang Cindy pun mendengar hal itu. sebenarnya Cindy pun tidak peduli dengan situasi yang dialami Habiba, sebab dia juga tidak kenal siapa Habiba. Tapi Husein sendiri yang merasa panik jika sampai ada yang mendengar kabar itu.“Maaf Pak, saya melakukan pemeriksaan itu karena melihat gejala kehamilan pada gadis itu,” jelas dokter. “Saya melakukannya juga karena pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sehingga membutuhkan pemeriksaan fisik untuk mengetahui kondisinya apakah benar hamil atau tidak.”“Apa kaitannya?”“Sangat berkaitan. Ini berkaitan dengan obat yang akan sa
"Tapi ini akan membawa petaka bagiku. Akan muncul masalah dan merusak citra baikku. Apa lagi kalau sampai ketahuan papa, aku bisa kacau." Husein menghela napas. "Mengetahui aku minum saja, papa sudah mengamuk, apa lagi kalau tahu aku sampai membuat gadis asing hamil. Ini memperkeruh suasana.""Begini saja, aku akan pastikan kalau Habiba tidak akan buka mulut soal ini. Kalau bisa, dia diberhentikan saja kerja di rumahmu. Supaya dia tidak memiliki kaitan lagi dengan keluargamu. Semakin dia menjauh darimu, maka kau akan aman,” usul Amir."Bu Fatona itu bekerja di bawah aturan dan perintah mama. Aku tidak pernah memiliki urusan dengan semua asisten rumah tangga. Sebab mereka itu atas pilihan mama. Akan terlihat mencurigakan jika aku yang memecat mereka.""Baiklah. Itu akan kita pikirkan nanti. Yang jelas, aku akan pastikan Habiba tidak akan menyebut namamu,” ucap Amir."Semakin hari, kehamilan Habiba tentu akan semakin membesar dan itu akan menjadi perhatian semua orang, termasuk mama dan
“Tumben? Sendiri? Emran mana?” Inez yang kesehariannya selalu nempel terus dengan Emran, kini tampak sendirian.“Emran sedang sakit. Dia tidak masuk kuliah hari ini,” jawab Inez.“Kamu tidak ikutan sakit?” "He hee.. Dua sejoli bukan berarti yang satu sakit, maka yang lain ikutan sakit. Kamu ada- ada saja.""Kalian sangat serasi." Habiba sudah mulai bisa membaur dan memulai hidup baru setelah menata kembali perasaannya yang sempat hancur berkeping-keping.Mereka berjalan menuju pendopo, menunggu kelas dimulai. Masih ada lima belas menit lagi. Duduk di kursi ditemani semilir angin pagi yang asri, keduanya mengobrol. Sebenarnya Habiba tidak bersemangat untuk mengobrol begini dengan Inez, tapi ia harus bia menyingkirkan rasa kesal itu dan berdamai dengan situasi. Inez tidak bersalah.“Bagaimana kondisi ibumu?” Inez merapatkan duduk, merangkul pundak Habiba.Lagi-lagi Habiba mencium aroma parfum yang menusuk, lengan Inez terangkat hingga ketiak pun terbuka. Seketika aroma parf
Berdiri di dekat meja membuat Habiba mencium berbagai aroma masakan, membuatnya merasa mual sekali. Ia membenci situasi itu. Kenapa mendadak indera penciumannya sangat tajam begini? Mencium sedikit aroma saja sudah langsung mual. Respon indera penciumannya begitu tajam. Untung saja ia berhasil mengendalikan rasa mual. Akan buruk situasinya jika ia mual disaat para majikan sedang menikmati makan.Habiba beringsut mundur, menjauh dari Husein. Ternyata berdekatan dengan pria itu membuat jantungnya tidak sehat. "Habiba ini orangnya rajin banget, Ma. Pinter lagi," celetuk Inez sambil melirik Habiba dengan senyum. "Di kampus, banyak yang kagum sama dia karena kecerdasannya. Itulah sebabnya yayasan kasih bea siswa buat dia. Sebab emang sejak awal masuk, dia punya kelebihan banyak. Nilainya juga bagus.""Waow, bagus itu." Amira ikut kagum. "Orang yang gigih itu biasanya calon pemegang kesuksesan.""Tuh dengerin, Biba. Mamaku aja bilang kamu itu calon orang sukses. Keren kan?" Inez benar-ben
Dokter menangani Habiba. Serangkaian pemeriksaan dan penanganan kusus diberikan dnegan tepat.Lima belas menit setelah ditangani oleh dokter, Habiba sudah mulai merasa nyaman. Entah apa yang disuntikkan oleh dokter hingga rasa sakit itu perlahan berkurang, lalu menghilang. Tersisa lemas saja.Bercak darah sudah dibersihkan.“Atas nama siapa, Nyonya?” tanya dokter dnegan sneyum.Nyonya? Habiba merasaketuaan disebut nyonya. Bukankah seharusnya Nona?“Habiba,” jawab habiba singkat.“Kondisi kandungan Nyonya sebenarnya kuat, hanya saja ada sejenis makanan dengan kandungan berbahaya yang Nyonya konsumsi, akibatnya jadi pendarahan begini. tapi ini tidak memberikan efek apa-apa pada kandungan Nyonya. Kandungannya sehat. Ini saya sudah berikan obat. Silakan diminum sesuai jadwal.” Dokter memberikan obat dalam kemasan plastik berwarna biru.Wajah habiba memucat. Pertahanan dalam dirinya tiba-tiba runtuh, seperti gunung es yang mendadak mencair. Amblas dan musnah. Habiba merasaka
"Aaaaaaaaa........" Jeritan hebat membuat hidup Habiba semakin terasa dramatis. Ternyata harapan untuk mendapat keajaiban itu tidak terkabul. Hidup Habiba mendadak terasa suram. Kalau dia hamil, bagaimana ia akan melanjutkan kuliahnya? Tentu ia akan lebih fokus pada kehamilan, lalu bersalin, bahkan mengurus anak. "Biba, hei ada apa? Aku mendengarmu berteriak?" Tomy berseru dari luar, disusul ketukan pintu. Ya ampun, tanpa sadar Habiba berteriak sekeras itu, tentu saja mengundang perhatian Tomy. Untung saja Fatona tidak terjaga, tidurnya pulas."Biba, ada apa?" Tomy makin kedengaran panik sambil menggedor pintu lebih kuat."Tidak ada apa-apa, Mas. Kk kecoa." Terpaksa harus berbohong meski kamus berbohong tidak ada dalam kehidupan Habiba. Semenjak mengenal Husein, ia memulai reputasi buruk dengan berakting menjadi seorang pembohong demi menutupi satu kasus. "Huwalah, kirain ada apa. Kamu memang sejak dulu takut kecoa. Ya sudah, buka pintunya. Biar aku usir kecoanya." Tomy masih s