Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi.
Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu?"Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil."Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah.Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tamu."Halo, anak mama! Sudah pulang?" Amira tersenyum melihat kepulangan bungsunya."Hai, Ma. Huh, hari yang melelahkan." Inez tetap tersenyum meski mengeluh lelah. Ia baru saja bertemu dengan pujaan hati, jadi walau pun melelahkan, semuanya tetap terasa indah."Eh, ini Habiba kan? Anaknya Bu Fatona?" Amira tersenyum menatap kecantikan Habiba.Sambutan itu diangguki oleh Habiba. Andai saja tidak ada insiden memuakkan itu, Habiba pasti sudah menyambut senyuman Amira dengan hangat dan keceriaan yang nyata, tapi ia tidak bisa melakukan itu karena batinnya menangis sekarang."Cantik ya. Pasti mirip Fatona pas mudanya." Amira mengelus singkat pundak Habiba. "Ibu kamu itu rajin sekali, jujur, sopan dan selalu bertanggung jawab pada pekerjaannya. Sampai-sampai beliau meminta anaknya untuk menggantikan tanggung jawabnya selagi dia sakit. Katanya saya sudah menggaji di muka, makanya dia wajib mengerjakan tanggung jawabnya. Ibumu sudah lama bekerja sama saya."Habiba hanya mendengarkan saja. Dia tidak mood untuk bicara. Kejadian yang menimpanya kemarin membuat segala dalam dirinya mendadak berubah drastis. Dia tidak ingin ngapa-ngapain, bicara pun malas."Kamu teman kuliahnya Inez kan?" tanya Amira pada Habiba lagi."Ya, Bu.""Bagus. Kalian bisa pergi dan pulang ke kampus sama-sama. Kalau perlu kamu nginep saja di sini. Biar besok pagi bisa berangkat ke kampus sama-sama.""Tidak usah, Bu. Saya harus pulang. Kasian ibu saya tidur sedirian di rumah. Biasanya saya yang nemenin.""Ya sudah, tidak apa-apa. Sekarang masuklah. Semangat kerja ya!" Amira lau beralih menatap Inez. "Mama pergi dulu ya. Mau arisan.""Oke, Mam. Dadaaaah." Inez mencium pipi mamanya. Membiarkan Amira berlalu meninggalkan rumah.Senyum Inez mengembang menatap Habiba. "Aku ke atas dulu ya."Habiba mengangguki. Sekarang, ia mengedarkan pandangan ke ruangan luas tempatnya berdiri. Rumah yang rasanya seperti neraka."Biba, ayo ke belakang!"Suara itu mengejutkan Habiba. Ia menoleh ke arah Fara yang berdiri di pintu.Habiba mengikuti Fara, wanita yang belum dia kenal. Sebab saat pertama masuk kerja kemarin, wanita itu tidak ada di rumah ini. Dia sedang cuti."Biba, kalau ada pertanyaan mengenai pekerjaan, kamu bisa tanya ke aku. Oh ya kamu sudah tau kan tugasmu di sini apa saja? Bu Fatona pasti sudah memberitahukanmu."Habiba mengangguk. "Aku sudah tahu semua. Ibu sudah menjelaskannya kepadaku. Tapi nanti kalau ada yang aku tidak ketahui, pasti aku akan tanyakan ke Mbak Fara."Fara mengangguk. "Ya sudah, mulai kerja gih. Kamu bisa susun pakaian yang diantar dari laundry ke lemari pemiliknya masing-masing. Setelah itu pel lantai ya. Baju yang harus disusun ada di sana!" Fara menunjuk sebuah ruangan tak jauh dari dapur. Ruangan yang terhubung langsung dengan pintu samping ke arah teras. Tukang laundry biasanya mengantar baju dan menaruhnya di sana melalui pintu samping."Kamu harus bisa bedakan mana pakaian milik Non Inez, pakaian milik Tuan Husein, juga punya Nyonya besar dan Tuan besar. Keliatan kok bedanya dari model dan ukuran bajunya. Jangan sampai ketuker ya. Non Inez dan Nyonya Amira sih fine aja kalau kerjaan kita tidak beres, tapi Tuan Husein dan Tuan Alka tuh suka sadis kalau kerjaan kita ada yang salah."Mendengar penjelasan Fara, Habiba hanya diam dan melenggang menuju ke ruangan yang ditunjuk.Setumpuk baju yang sudah dilipat rapi dengan aroma wangi itu menumpuk di keranjang. Baju paling atas adalah milik Husein. Dan Habiba sangat mengenalnya, yaitu baju yang kemarin teronggok di lantai.Habiba sangat ingin mengepal baju itu dengan tangannya. Tapi ia berusaha menahan emosi. Harus bisa menahan gejolak ini.Habiba mengangkat keranjang menuju ke lantai atas.Semakin kaki menapaki tangga mendekati kamar, emosi dalam jiwanya semakin mendidih. Dadanya sesak dan panas.Habiba terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan di kamar Inez dan Amira.Terakhir, Habiba ke kamar Husein. Ia termenung sebentar di depan pintu. Enggan masuk.Apakah lelaki pemilik kamar itu ada di dalam? Bagaimana saat ia bertemu dengan tuan muda? Kulit tubuhnya meremang hebat. Sekelebat bayangan adegan panas itu kembali membayang di kepalanya.Matanya berembun. Sekuat tenaga ia menahan air mata supaya tidak berguguran. Jangan sampai menangis. Ia harus kuat. Baiklah, ia harus profesional. Anggap kejadian kemarin tidak ada. Habiba akan tetap menjalankan tanggung jawabnya demi sang ibu tanpa harus memproklamirkan ke seisi bumi tentang peristiwa buruk yang menimpanya. Rasanya tidak sudi peristiwa memalukan itu diketahui siapa pun.Habiba masuk ke kamar tanpa mengetuk pintu. Sengaja tanpa ketuk pintu, ia sudah memiliki jawaban jika Husein menanyainya kenapa tidak ketuk pintu.Netranya mengedar ke seisi kamar. Kosong. Tidak ada siapa- siapa di sana. Setidaknya ia merasa lega untuk saat ini. Terbebas dari pertemuan dengan pria itu.Tanpa membuang waktu, Habiba langsung menyusun pakaian ke lemari.Setelah selesai menyusun baju, kembali pupil mata mengedar pada seisi kamar. Helaan napas keluar dari mulutnya setiap kali menatap ranjang. Ranjang yang meninggalkan sejarah buruk dalam ingatannya.Habiba lalu membersihkan kamar mandi, menyikat lantai dengan gerakan kasar.Setelah itu, ia merapikan kamar, menyapu dan mengepel.Singkat saja, ia sudah menganggap pekerjaannya itu selesai.Sungguh pekerjaan yang menyita waktu. Dan inilah yang selama ini dikerjakan oleh ibunya. Pasti sangat melelahkan. Sekarang Habiba baru bisa merasakan bagaimana sulitnya mencari uang.Dia harus secepatnya menyelesaikan pekerjaannya di kamar itu, jangan sampai bertemu Husein.Tiba- tiba ia mendengar suara derap langkah kaki dari arah luar mendekat ke arah pintu. Bisa dipastikan itu adalah suara sepatu berjenis pantofel.Siapa itu?Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k
Habiba hanya orang kecil. Dia tidak akan mungkin sanggup melawan seorang Husein yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. “Biba! Kamu sedang apa?”Habiba terkejut mendengar seruan dari arah belakang. Suara Fatona. Cepat-cepat Habiba memasukkan amplop ke balik jaketnya. Dia peluk benda itu di perut seolah sedang memeluk lengan sendiri karena merasa kedingingan. Habiba mengayunkan langkah mendekati ibunya, menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangan itu penuh takzim, tanpa melepaskan pelukan pada amplop di balik jaket dengan tangan lainnya.“Kok, termenung di sana? Ngapain?” tanya Fatona.Habiba mengulas senyum tipis. “Tuh, kamu kedinginan kan? Makanya lain kali cepat masuk rumah,” imbuh Fatona.“Ya, Bu.”“Bagaimana kuliahmu hari ini?”“Smeuanya baik, Bu.”“Terus, pekerjaanmu di rumah Bu Amira gimana? Tidak ada masalah kan?”“Tidak ada, Bu. Semuanya baik.” Habiba menatap wajah pucat ibunya, pipinya makin tirus. Kurus. Penyakit telah menggerogotinya hingga kondisinya terlihat me
Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san
"Ada orang baik datang kemari dan memberikan uang itu. Katanya, kebetulan keluarganya juga dirawat di sini. Dia pasti kaya sekali dan berhati mulia. Tidak memikirkan dunia, akhirat saja yang dipikirkan. Bahkan menyedekahkan hartanya sebanyak itu pun dia rela karena kasian pada ibu." Tomy bicara panjang lebar. Sudut bibir tertarik mengenang momen pertemuannya dengan sosok yang katanya orang baik."Tapi siapa? Ini bukan uang sedikit, Mas.""Dia juga tidak mau menyebut namanya. Begitulah kalau orang baik, kebaikannya tidak perlu diumbar. Cukup tangan kanan yang tau, dan tangan kiri dilarang ikut campur."Habiba menelan saliva dengan sulit. Mulai cemas. "Mas, satu miliar. Uang yang kita butuhkan itu satu miliar. Apakah mungkin orang itu menyerahkan hartanya begitu saja pada orang tidak dikenal?" "Tidak perlu suudzon. Mas yakin Tuhan memang sedang membukakan pintu hati manusia dermawan yang hartanya sudah berlebih itu kepada kita. Jika untuk kesembuhan ibu, kenapa harus berpikir dua kali
Muka-muka bule yang duduk di ruangan luas itu kemudian berbicara menggunakan bahasa asing. Mereka duduk di sana membawa translator masing-masing.“Silakan dilanjutkan! Amir, wakili aku! Handle meeting!” titah Husein kemudian meninggalkan kursi. Amir mulai mengambil alih untuk memimpin rapat. Dia mengalihkan perhatian semua orang dengan mulai bicara.Habiba sudah duluan balik badan hendak pergi ketika Husein meraih pergelangan tangannya dan bergerak lebih cepat membawanya keluar ruangan. Husein membawa Habiba menjauh dari ruangan itu, lalu masuk ke ruangan lain. Entah ruangan apa. Yang jelas ruangan itu mewah dan diisi dengan barang-barang berkelas. Meja, kursi, lemari, rak, laptop, printer dan semuanya mahal. Namun Habiba tidak sempat melihat keadaan di sekitarnya. Fokusnya saat ini adalah mata elang Husein. Mata itu menatap intens ke arahnya.Habiba kini berdiri menyandar di dinding. lelaki itu di hadapannya dengan satu tangan menjadi pagar di dinding samping kupingnya.“Kenapa kau
“Ya, benar. Berdasarkan USG, saya melihat adanya janin di perutnya. Usia kandungan kurang lebih empat minggu.”“Hei, siapa yang menyuruhmu memeriksa perutnya? Kenapa kau membuka perutnya untuk USG? Bukankah bagian yang sakit adalah kening? Aku tidak menyuruhmu memeriksa bagian perut!” Husein panik sekali. Seharusnya tidak ada yang boleh tahu kalau Habiba hamil. Apa lagi orang di kantornya begini. dan sekarang Cindy pun mendengar hal itu. sebenarnya Cindy pun tidak peduli dengan situasi yang dialami Habiba, sebab dia juga tidak kenal siapa Habiba. Tapi Husein sendiri yang merasa panik jika sampai ada yang mendengar kabar itu.“Maaf Pak, saya melakukan pemeriksaan itu karena melihat gejala kehamilan pada gadis itu,” jelas dokter. “Saya melakukannya juga karena pasien dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sehingga membutuhkan pemeriksaan fisik untuk mengetahui kondisinya apakah benar hamil atau tidak.”“Apa kaitannya?”“Sangat berkaitan. Ini berkaitan dengan obat yang akan sa