“Dia itu hanya gadis biasa. Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.”
“Bisa jadi dia gadis liar. Kau belum tahu siapa dia.” Pikiran Husein melayang-layang. Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.“Kau mengenal Bu Fatona kan? tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu. buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya. Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu. tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos. Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya. Artinya dia masih perawan. Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan. Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyelimuti wajahnya.“Tenanglah, dia hanya gadis biasa.” Amir berusaha menenangkan.“Apa karena dia hanya gadis biasa lantas aku akan di posisi aman, begitu? Lalu apa kata orang jika dia sampai buka mulut, semua orang tahu bahwa aku memperk*sanya? Mau ditarok mana muka seorang CEO yang telah merenggut kesucian putri asisten rumah tangganya sendiri? Ini merusak nama baikku. Ini buruk sekali.” Husein menghempas duduk ke kursi.“Dia harus tutup mulut.”***Di kampus, Habiba yang biasanya fokus mengikuti pelajaran, kini terlihat tidak bersemangat. Pikirannya melayang entah kemana. Bayangan Husein yang menyentak terus menari di kepalanya. Tanpa sadar pena di tangannya mencoret- coret buku yang terbuka di meja.Ia bahkan tidak mendengar penjelasan dosen di depan. "Pst! Biba!" Inez yang duduk tepat di sisi Habiba pun menyenggol lengan Habiba. "Ditanyain dosen tuh."Tersadar, Habiba kaget dan menatap sang dosen yang mata elangnya sudah menyorotnya sejak tadi bahkan dengan alis terangkat."Prodi itu apa menurutmu?" Inez berusaha menyelamatkan Habiba dengan membisikkan kalimat sama yang ditanyakan dosen barusan. Tentu saja ia sambil menutup mulutnya dengan berpura-pura mengangkat tangan ke depan mulut supaya pergerakan mulutnya tidak ketahuan sang dosen. "Dosen sedang buang waktu dengan berbasa basi soal program studi.""Oh mmm.... Prodi atau singkatan dari Program Studi itu merupakan kesatuan rencana belajar yang digunakan sebagai pedoman jalannya pendidikan akademik yang penyelenggaraannya berdasarkan suatu kurikulum. Itu menurut saya." Habiba menjelaskan meski sedikit canggung dan akalnya belum terkumpul."Good! Cerdas." Dosen memuji. Huh, lega. Habiba selamat dari amukan dosen kalau saja ia sampai salah menjawab apa lagi dianggap melamun. Untung saja ada Inez yang membantunya. Namun sekali pun Habiba tidak mengucapkan kata terima kasih untuk Inez. Sejak awal masuk kelas, ia membungkam.Kelas usai. Seluruh mahasiswa keluar. Tanpa terkecuali Habiba yang langsung meninggalkan meja setelah mengemas bukunya. Membuat Inez heran, kenapa Habiba sama sekali tidak bertegur sapa dengannya sejak tadi? Inez berlari mengejar Habiba di koridor."Biba! Tunggu!" Inez menjajari langkah Habiba.Hanya lirikan singkat yang dilakukan Habiba, tanpa jawaban."Ada yang berbeda denganmu hari ini. Ada apa?"Habiba menggeleng."Kamu marah padaku? Apa aku ada salah?" tanya Inez bingung. Mereka adalah teman dekat sejak masuk kuliah. Mereka selalu cocok dalam segala hal. "Aku tidak apa-apa. Semuanya normal." Habiba datar saja. Status Inez yang merupakan adiknya Husein, membuat hati Habiba mendadak merasa benci pada gadis itu. Entah kenapa perasaan itu muncul begitu saja. Seolah semua yang memiliki ikatan darah dengan Husein adalah biad*b."Tapi sejak tadi kamu diamin aku. Kamu cuekin aku. Kamu sama sekali tidak mau ngomong. Setiap kali aku ajakin ngomong, kamu hanya menjawab seperlunya. Ada apa, Biba? Kamu ada masalah?" tanya Inez bertubi-tubi. Cemas."Stop!" hardik Habiba membuat Inez terkejut. "Jangan dekati aku!" Tatapan Habiba menyorot tajam. Inez terdiam dibentak begitu. Tidak berani bicara lagi. Kemarahan Habiba ini adalah pertama kalinya. Mereka berteman sanhat dekat tanpa pernah ada masalah. Kalaupun ada masalah, Habiba tidak permah semarah ini. Wajahnya tampak sangat frustasi dan emosi. Habiba balik badan, meninggalkan Inez begitu saja. Entah berapa lama ia akan menanggung beban itu. Sampai kapan ia bisa melupakan peristiwa memuakkan itu. Tapi ia meyakini harus bisa, harus kuat. Habiba duduk di kursi pinggir jalan menunggu ojek. Biasanya kang ojek pada nongkrong di perempatan jalan. Tapi ini kosong. Suara klakson dari mobil yang berhenti di depan mengejutkannya. Tampak olehnya Inez duduk di samping kemudi mobil. Gadis itu menganggukkan kepala. Sosok lelaki di bagian kemudi, tak lain Emran, kekasihnya yang setia mengantar dan menjemput Inez. Mereka sudah cukup lama menjalin hubungan. Seisi kampus menjuluki mereka sebagai sejoli sejati."Ayo, masuk! Ikut aku aja!" ajak Inez dengan senyum, seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Merasa bersalah, Habiba pun bangkit dan masuk ke mobil itu. Duduk di kursi belakang. "Beb, aku pindah duduk di samping Habiba, ya?" Inez pindah duduk ke kursi belakang sebelum mendapat persetujuan dari Emran. Pria itu hanya mengangkat alis saja. Membiarkan sang kekasih pindah duduk.Mobil kembali melesat."Kita antar Habiba pulang dulu atau ini langsung ke rumahmu?" tanya Emran pada Inez. "Langsung ke rumahku saja. Habiba kan bekerja di rumah, menggantikan ibunya. Ya kan, Biba?" Inez tersenyum menatap Habiba.Kepala Habiba mengangguk. Tidak ada alasan menolak bekerja di rumah Inez. Menggantikan ibunya sudah menjadi tanggung jawabnya. Apa yang harus ia katakan kepada ibunya jika ia menolak pekerjaan itu? Ini murni demi tanggung jawab pada ibu. Biarlah peristiwa kemarin dikubur dalam-dalam tanpa seorang pun tahu."Biba, kamu kalau ada masalah, bicaralah denganku. Aku siap membantumu," ungkap Inez dengan lembut.Habiba mengulum senyum. Senyum getir yang berhasil menyembunyikan nestapa. Bahkan hampir sempurna menyembunyikan kesedihan di wajahnya."Maafkan aku, Nez. Aku tadi khilaf. Aku sedang galau. Soalnya ibu sakit dan aku kepikiran," jelas Habiba berusaha memberikan pengertian.“Oh, tidak apa- apa. Aku mengerti. Lupakan!” Inez tersenyum.Betapa Habiba menyesal sudah menghardik Inez tadi. Lihatlah, Inez tetap tersenyum untuknya. Jiwa persahabatannya memang kental. Dia adalah satu-satunya orang yang memahami Habiba. Bagaimana mungkin Habiba sanggup membenci Inez. Kesalahan sepenuhnya ada pada Husein, kakaknya Inez. Maka tidak sepatutnya Habiba menumpukkan kesalahan itu pada Inez hanya karena Inez adalah adiknya Husein. Mereka adalah orang yang berbeda, pikiran pun berbeda.Sekarang yang ada di pikiran Habiba hanya satu, bagaimana ia akan menyikapi ketika bertemu dengan Husein nanti?Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi. Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu? "Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil. "Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah. Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tam
Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k
Habiba hanya orang kecil. Dia tidak akan mungkin sanggup melawan seorang Husein yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. “Biba! Kamu sedang apa?”Habiba terkejut mendengar seruan dari arah belakang. Suara Fatona. Cepat-cepat Habiba memasukkan amplop ke balik jaketnya. Dia peluk benda itu di perut seolah sedang memeluk lengan sendiri karena merasa kedingingan. Habiba mengayunkan langkah mendekati ibunya, menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangan itu penuh takzim, tanpa melepaskan pelukan pada amplop di balik jaket dengan tangan lainnya.“Kok, termenung di sana? Ngapain?” tanya Fatona.Habiba mengulas senyum tipis. “Tuh, kamu kedinginan kan? Makanya lain kali cepat masuk rumah,” imbuh Fatona.“Ya, Bu.”“Bagaimana kuliahmu hari ini?”“Smeuanya baik, Bu.”“Terus, pekerjaanmu di rumah Bu Amira gimana? Tidak ada masalah kan?”“Tidak ada, Bu. Semuanya baik.” Habiba menatap wajah pucat ibunya, pipinya makin tirus. Kurus. Penyakit telah menggerogotinya hingga kondisinya terlihat me
Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san
"Ada orang baik datang kemari dan memberikan uang itu. Katanya, kebetulan keluarganya juga dirawat di sini. Dia pasti kaya sekali dan berhati mulia. Tidak memikirkan dunia, akhirat saja yang dipikirkan. Bahkan menyedekahkan hartanya sebanyak itu pun dia rela karena kasian pada ibu." Tomy bicara panjang lebar. Sudut bibir tertarik mengenang momen pertemuannya dengan sosok yang katanya orang baik."Tapi siapa? Ini bukan uang sedikit, Mas.""Dia juga tidak mau menyebut namanya. Begitulah kalau orang baik, kebaikannya tidak perlu diumbar. Cukup tangan kanan yang tau, dan tangan kiri dilarang ikut campur."Habiba menelan saliva dengan sulit. Mulai cemas. "Mas, satu miliar. Uang yang kita butuhkan itu satu miliar. Apakah mungkin orang itu menyerahkan hartanya begitu saja pada orang tidak dikenal?" "Tidak perlu suudzon. Mas yakin Tuhan memang sedang membukakan pintu hati manusia dermawan yang hartanya sudah berlebih itu kepada kita. Jika untuk kesembuhan ibu, kenapa harus berpikir dua kali
Muka-muka bule yang duduk di ruangan luas itu kemudian berbicara menggunakan bahasa asing. Mereka duduk di sana membawa translator masing-masing.“Silakan dilanjutkan! Amir, wakili aku! Handle meeting!” titah Husein kemudian meninggalkan kursi. Amir mulai mengambil alih untuk memimpin rapat. Dia mengalihkan perhatian semua orang dengan mulai bicara.Habiba sudah duluan balik badan hendak pergi ketika Husein meraih pergelangan tangannya dan bergerak lebih cepat membawanya keluar ruangan. Husein membawa Habiba menjauh dari ruangan itu, lalu masuk ke ruangan lain. Entah ruangan apa. Yang jelas ruangan itu mewah dan diisi dengan barang-barang berkelas. Meja, kursi, lemari, rak, laptop, printer dan semuanya mahal. Namun Habiba tidak sempat melihat keadaan di sekitarnya. Fokusnya saat ini adalah mata elang Husein. Mata itu menatap intens ke arahnya.Habiba kini berdiri menyandar di dinding. lelaki itu di hadapannya dengan satu tangan menjadi pagar di dinding samping kupingnya.“Kenapa kau
Husein menyentil ujung dagu Habiba. "Aku mencintaimu.""Jangan terus- terusan ucapkan kalimat itu, aku bisa terharu. Lihatlah air hidungku meleleh jadinya." Husein mengernyit. "Air mata, sayang. Kenapa jadi air hidung?""He hee...""Aku boleh menciummu?" bisik Husein."Jangan nakal. Ini di tempat umum, bukan di kamar.""Ini masih terlalu pagi, belum ada yang bangun." Husein mengecup singkat bibir Habiba."Cie cieeee....."Husein dan Habiba serentak menoleh ke sumber suara. Ada Qasam dan Qansha yang berdiri di ambang pintu. "Papa cium mama nih yeee..." Qasam terkekeh.Habiba membelalak kaget. Bukan kaget karena Qasam meledeknya, tapi kaget karena Qasam menggendong Wafa. Sedangkan Qansha memegangi kaki Wafa yang masih mengenakan piyama tidur lengkap dengan pampers tebal yang isinya sudah sangat berat dengan air kecil."Ya ampun. Qasam, jangan gendong Wafa. Nanti bisa jatuh. Kamu belum saatnya menggendong dia, Nak." Habiba menghambur dan mengambil alih tubuh Wafa dari gendongan Qasam.
Habiba tak bisa tidur. Malam itu sampai jam lima pagi, ia terjaga. Pikirannya menerawang pada kejadian yang baru saja dia saksikan. Ia berharap tidak akan terjadi apa pun pada Husein, dan tentu saja pada Amir juga. Jika sampai drama penahanan terjadi lagi pada Husein, Habiba tak tahu lagi harus berbuat apa. “Habiba!” Habiba terkejut mendengar suara yang memanggilnya. Suara Tomy.Habiba yang tengah duduk di kasur itu pun menghambur keluar kamar.“Mas Tomy!” Habiba menghampiri Timy yang berdiri di tengah- tengah ruang tamu. “Ada apa pagi buta begini Mas Tomy ke sini?”“Aku mendengar Irzan meninggal, kena tembak. Husein sedang mengurus masalah ini di kantor polisi. Maksudnya, kena tembak kenapa?” Tomy bingung.“Mas Tomy dapat kabar dari siapa?” “Dari polisi yang meneleponku dan menanyakan beberapa hal terkait Irzan, aku dianggap sebagai teman dekat yang mungkin mengetahui sesuatu tentang Irzan. Katanya, Husein yang melaporkan kematiannya. Aku ke sini karena ingin tahu hal ini. Ak
"Tidak!" Habiba menjerit keras sekali. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tangisnya pecah. Bruk. Tubuh yang tertembak itu terjatuh dan ambruk ke tanah. Tembakan tepat mengenai sasaran. Habiba ambruk menjatuhkan lutut ke tanah sambil sesenggukan."Mama!" Qasam berlari mendekat pada Habiba. Cepat Habiba membuka wajah dan memeluk Qasam erat. "Papamu, Nak!""Itu papa, Ma!" Qasam menunjuk Husein. “Jangan lihat!” Habiba memaksa wajah Qasam supaya menatap ke arahnya, jangan melihat Husein.“Ayo kita mendekat pada papa, Ma!” rengek Qasam.Pelan, kepala Habiba menoleh ke arah Husein meski ia tak sanggup bila harus menyaksikan suaminya terkapar bersimbah darah. Loh, kok Husein masih berdiri tegap? Pria itu dalam keadaan baik- baik saja. Dan saat Habiba menoleh pada Irzan, justru ia melihat tubuh Irzan tergeletak di tanah bersimbah darah. Dari punggung pria itu mengeluarkan darah segar. Senjata api di tangannya terlepas.Habiba menutup mata Qasam dengan telapak tangannya. Qas
"Lepaskan dia!" seru Husein."Ya, tentu aku akan melepaskan anakmu ini. Asalkan kau bersedia mati di tanganku. Tak peduli setelah itu aku akan masuk penjara, yang jelas kau harus mati. Aku dendam padamu. Aku muak padamu. Biarkan semua orang mengataiku kejam, yang penting aku puas. Ha ha haaa..."Setan apa yang merasukinya. Loh itu kan lirik lagu. Kok Husein malah nyanyi? Entah kenapa lagu itu main templok saja di otaknya. Irzan yang dulu terlihat kalem, kini berubah seperti kerasukan setan hanya karena keinginannya untuk bisa hidup bersama dengan orang yang dia cintai tidak terwujud. Otaknya seperti sudah geser satu ons. Jika disebut sebagai orang baik, jelas Irzan dulu adalah orang baik. Dia selalu melakukan hal- hal baik pada semua orang. Tapi saat dia merasa patah hati, dia berubah menjadi sosok yang berbeda. yang isi di hatinya hanyalah merasa tersakiti. Harapannya dipatahkan berkali- kali."Kau sudah gila. Apa kau pikir Habiba akan bersedia menikah dan hidup bersamamu setel
"Setiap melakukan kesalahan, kau selalu bersembunyi. Begini cara seorang pengecut, hm?" Husein melangkah maju.Irzan melangkah mundur. "Setelah kau berusaha melecehkan istriku, maka aku tidak akan mengampunimu. Kau sudah menginjak- injak marwahku." Husein mencengkeram lengan Irzan, namun dengan gesit Irzan menangkisnya. Segera Irzan melayangkan tinju, namun dengan cepat Husein mengelak, matanya dengan mudah menangkap gerakan lawan hingga tendangan Irzan hanya mengenai udara.Irzan kembali melayangkan serangan tinju namun kalah cepat dengan gerakan tangan Husein yang dengan cepat menangkap lengan Irzan dan memelintirnya ke belakang. "Aku tidak bisa melupakan Habiba," ucap Irzan dengan suara terbata menahan sakit di tangan yang dipelintir."Itu karena obsesimu yang terlalu tinggi. Kau telah merusak moralmu sendiri dengan hal ini. Jika kau menjalani kehidupan lain, tanpa harus terus- terusan mengenang Habiba, tentu kau tidak akan terus kepikiran dia.""Sudah sejak lama aku mengharapkan
"Paman itu siapa, Pa?" tanya Qansha menatap Panjul dengan tatapan heran."Namanya Paman Panjul," jawab Husein."Jelek sekali namanya," ceplos Qansha sekenanya, membuat semua orang tertawa."Jelek- jelek tapi orangnya tampan," sahut Panjul berusaha menyikapi dengan manis."Iya tampan. Cocok sama tante Inez." Qasam menyahuti.Muka Inez mendadak memerah. Malu."Mm.. rasanya aku tidak nyaman di sini. Bagaimana kalau aku ajak adikmu ke meja lain?" tanya Panjul meminta ijin pada Husein."Oh, bukankah gerak- gerik kalian justru akan terpantau olehku saat kalian bersamaku? kalau kau membawa adikku pergi, apa kau menjamin bahwa kau bisa menjaganya?”“Aku jamin, aku yang membawanya, tentu aku bertanggung jawab atas dia,” jawab Panjul meyakinkan.Padahal Husein hanya berseloroh saja, namun Panjul menanggapi dengan serius. Husein tertawa kemudian mengangguk. “Baiklah, bawalah adikku bersamamu. Tapi kau akan berhadapan denganku jika kau macam- macam padanya," tegas Husein. "Ya, aku tahu siapa
Setelah itu, ustaz Adi Hifayah mendapatkan kesempatan untuk memberikan tausiah.“Sebuah kehormatan besar saya bisa berada di sini. Dan di sini saya selaku penceramah, pembimbing, dan orang tua bagi Shaka El Qasam, ingin menyampaikan sedikit hal tentang besarnya peranan anak laki- laki bagi keluarga. Dia akan bertanggung jawab merawat orang tua ketika orang tuanya sudah berumur. Menanggung nafkah orang tuanya ketika orang tua sudah berusia lanjut. Dia juga menjadi pelindung bagi istri, adik perempuan dan kakaknya.”“Laki- laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena itu Tuhan melebihkan kondisi fisik lelaki dari wanita. Dan di sini, ada banyak anak laki- laki yang akan menjadi generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin negeri ini, demikian juga Qasa yang akan menjadi calon penerus negeri ini. jadilah sosok yang bertaqwa, beriman dan tangguh.”Ustaz Adi menelan saliva. “Baiklah, mari kita berdoa, tundukkan kepala. Semoga Nak Qasam menjadi anak yang berbakti dan bermanfaat
Tak disangka, Qasam yang dulu terlihat penakut, pendiam dan tak banyak tingkah, kini terlihat gagah berani melangkah maju tanpa rasa gentar. Di hadapan banyak orang, di hadapan para gurunya, serta di hadapan teman- temannya yang sering membuly nya sebagai anak aneh, ia tampak penuh percaya diri."Qasam, kau tahu kenapa mama dan papamu bangga terhadapmu?" tanya Irfan Sadim sambil memegang pundak Qasam yang sudah berdiri di sisinya."Karena aku anak yang pintar," jawab Qasam lantang, menggunakan mikrofon yang diberikan oleh Irfan Sadim."Benar. Dan satu lagi, kau pemberani."Qasam tersenyum bangga."Dulu, ketika Om Irfan masih seusiamu, Om punya cita- cita sebagai pemain sepak bola. Om berasal dari keluarga sederhana yang untuk makan pun sulit, bagaimana Om bisa menjadi pesepak bola?""Om bermimpi, terus bermimpi. Om mengumpulkan uang jajan yang sedikit demi sedikit. Tak Lain uang logam. Rela tidak jajan demi mengumpulkan uang untuk membeli sepatu bila. Dan akhirnya, siapa sangka uang
"Kalau begitu Qasam sudah bisa dibawa ke acara itu?" tanya Qasam penuh percaya diri."Tentu sudah bisa. Kita semua sudah siap, bukan?" jawab Husein."Kalau Qansha bagaimana, Pa? Sudah cantik?" Qansha memutar badannya. Memperlihatkan pakaian mengembang warna kuning yang dia kenakan. Rambutnya diikat satu. Make up di wajahnya minimalis. Sendal putih hak tinggi melapisi kakinya. "Beautiful. Perfect!" Husein tersenyum menatap putrinya. "Yeey!" Qansha menjingkrak. "Yang ini bagaimana? Apakah sudah kelihatan cantik?" Habiba mengayunkan Wafa di gendongannya."Seperti mamanya," sahut Husein sekenanya. Habiba pura- pura sebal melihat tingkah suaminya. Berakhir dengan hidung yang dijepit oleh Husein.Fara berdiri di pintu menatap keluarga yang sudah siap dengan pakaian serba bagus. Ia gigit jari. Kepingin ikutan."Mbak Fara, jaga rumah ya!" pesan Habiba."Iya." Fara mengangguk pasrah. Membayangkan pesta besar, isi kepalanya mendadak ambyar. "Ya sudah, kita berangkat sekarang! Let's go!" Hu