“Dia itu hanya gadis biasa. Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.”
“Bisa jadi dia gadis liar. Kau belum tahu siapa dia.” Pikiran Husein melayang-layang. Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.“Kau mengenal Bu Fatona kan? tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu. buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya. Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu. tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos. Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya. Artinya dia masih perawan. Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan. Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyelimuti wajahnya.“Tenanglah, dia hanya gadis biasa.” Amir berusaha menenangkan.“Apa karena dia hanya gadis biasa lantas aku akan di posisi aman, begitu? Lalu apa kata orang jika dia sampai buka mulut, semua orang tahu bahwa aku memperk*sanya? Mau ditarok mana muka seorang CEO yang telah merenggut kesucian putri asisten rumah tangganya sendiri? Ini merusak nama baikku. Ini buruk sekali.” Husein menghempas duduk ke kursi.“Dia harus tutup mulut.”***Di kampus, Habiba yang biasanya fokus mengikuti pelajaran, kini terlihat tidak bersemangat. Pikirannya melayang entah kemana. Bayangan Husein yang menyentak terus menari di kepalanya. Tanpa sadar pena di tangannya mencoret- coret buku yang terbuka di meja.Ia bahkan tidak mendengar penjelasan dosen di depan. "Pst! Biba!" Inez yang duduk tepat di sisi Habiba pun menyenggol lengan Habiba. "Ditanyain dosen tuh."Tersadar, Habiba kaget dan menatap sang dosen yang mata elangnya sudah menyorotnya sejak tadi bahkan dengan alis terangkat."Prodi itu apa menurutmu?" Inez berusaha menyelamatkan Habiba dengan membisikkan kalimat sama yang ditanyakan dosen barusan. Tentu saja ia sambil menutup mulutnya dengan berpura-pura mengangkat tangan ke depan mulut supaya pergerakan mulutnya tidak ketahuan sang dosen. "Dosen sedang buang waktu dengan berbasa basi soal program studi.""Oh mmm.... Prodi atau singkatan dari Program Studi itu merupakan kesatuan rencana belajar yang digunakan sebagai pedoman jalannya pendidikan akademik yang penyelenggaraannya berdasarkan suatu kurikulum. Itu menurut saya." Habiba menjelaskan meski sedikit canggung dan akalnya belum terkumpul."Good! Cerdas." Dosen memuji. Huh, lega. Habiba selamat dari amukan dosen kalau saja ia sampai salah menjawab apa lagi dianggap melamun. Untung saja ada Inez yang membantunya. Namun sekali pun Habiba tidak mengucapkan kata terima kasih untuk Inez. Sejak awal masuk kelas, ia membungkam.Kelas usai. Seluruh mahasiswa keluar. Tanpa terkecuali Habiba yang langsung meninggalkan meja setelah mengemas bukunya. Membuat Inez heran, kenapa Habiba sama sekali tidak bertegur sapa dengannya sejak tadi? Inez berlari mengejar Habiba di koridor."Biba! Tunggu!" Inez menjajari langkah Habiba.Hanya lirikan singkat yang dilakukan Habiba, tanpa jawaban."Ada yang berbeda denganmu hari ini. Ada apa?"Habiba menggeleng."Kamu marah padaku? Apa aku ada salah?" tanya Inez bingung. Mereka adalah teman dekat sejak masuk kuliah. Mereka selalu cocok dalam segala hal. "Aku tidak apa-apa. Semuanya normal." Habiba datar saja. Status Inez yang merupakan adiknya Husein, membuat hati Habiba mendadak merasa benci pada gadis itu. Entah kenapa perasaan itu muncul begitu saja. Seolah semua yang memiliki ikatan darah dengan Husein adalah biad*b."Tapi sejak tadi kamu diamin aku. Kamu cuekin aku. Kamu sama sekali tidak mau ngomong. Setiap kali aku ajakin ngomong, kamu hanya menjawab seperlunya. Ada apa, Biba? Kamu ada masalah?" tanya Inez bertubi-tubi. Cemas."Stop!" hardik Habiba membuat Inez terkejut. "Jangan dekati aku!" Tatapan Habiba menyorot tajam. Inez terdiam dibentak begitu. Tidak berani bicara lagi. Kemarahan Habiba ini adalah pertama kalinya. Mereka berteman sanhat dekat tanpa pernah ada masalah. Kalaupun ada masalah, Habiba tidak permah semarah ini. Wajahnya tampak sangat frustasi dan emosi. Habiba balik badan, meninggalkan Inez begitu saja. Entah berapa lama ia akan menanggung beban itu. Sampai kapan ia bisa melupakan peristiwa memuakkan itu. Tapi ia meyakini harus bisa, harus kuat. Habiba duduk di kursi pinggir jalan menunggu ojek. Biasanya kang ojek pada nongkrong di perempatan jalan. Tapi ini kosong. Suara klakson dari mobil yang berhenti di depan mengejutkannya. Tampak olehnya Inez duduk di samping kemudi mobil. Gadis itu menganggukkan kepala. Sosok lelaki di bagian kemudi, tak lain Emran, kekasihnya yang setia mengantar dan menjemput Inez. Mereka sudah cukup lama menjalin hubungan. Seisi kampus menjuluki mereka sebagai sejoli sejati."Ayo, masuk! Ikut aku aja!" ajak Inez dengan senyum, seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Merasa bersalah, Habiba pun bangkit dan masuk ke mobil itu. Duduk di kursi belakang. "Beb, aku pindah duduk di samping Habiba, ya?" Inez pindah duduk ke kursi belakang sebelum mendapat persetujuan dari Emran. Pria itu hanya mengangkat alis saja. Membiarkan sang kekasih pindah duduk.Mobil kembali melesat."Kita antar Habiba pulang dulu atau ini langsung ke rumahmu?" tanya Emran pada Inez. "Langsung ke rumahku saja. Habiba kan bekerja di rumah, menggantikan ibunya. Ya kan, Biba?" Inez tersenyum menatap Habiba.Kepala Habiba mengangguk. Tidak ada alasan menolak bekerja di rumah Inez. Menggantikan ibunya sudah menjadi tanggung jawabnya. Apa yang harus ia katakan kepada ibunya jika ia menolak pekerjaan itu? Ini murni demi tanggung jawab pada ibu. Biarlah peristiwa kemarin dikubur dalam-dalam tanpa seorang pun tahu."Biba, kamu kalau ada masalah, bicaralah denganku. Aku siap membantumu," ungkap Inez dengan lembut.Habiba mengulum senyum. Senyum getir yang berhasil menyembunyikan nestapa. Bahkan hampir sempurna menyembunyikan kesedihan di wajahnya."Maafkan aku, Nez. Aku tadi khilaf. Aku sedang galau. Soalnya ibu sakit dan aku kepikiran," jelas Habiba berusaha memberikan pengertian.“Oh, tidak apa- apa. Aku mengerti. Lupakan!” Inez tersenyum.Betapa Habiba menyesal sudah menghardik Inez tadi. Lihatlah, Inez tetap tersenyum untuknya. Jiwa persahabatannya memang kental. Dia adalah satu-satunya orang yang memahami Habiba. Bagaimana mungkin Habiba sanggup membenci Inez. Kesalahan sepenuhnya ada pada Husein, kakaknya Inez. Maka tidak sepatutnya Habiba menumpukkan kesalahan itu pada Inez hanya karena Inez adalah adiknya Husein. Mereka adalah orang yang berbeda, pikiran pun berbeda.Sekarang yang ada di pikiran Habiba hanya satu, bagaimana ia akan menyikapi ketika bertemu dengan Husein nanti?Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi. Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu? "Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil. "Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah. Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tam
Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k
Habiba hanya orang kecil. Dia tidak akan mungkin sanggup melawan seorang Husein yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. “Biba! Kamu sedang apa?”Habiba terkejut mendengar seruan dari arah belakang. Suara Fatona. Cepat-cepat Habiba memasukkan amplop ke balik jaketnya. Dia peluk benda itu di perut seolah sedang memeluk lengan sendiri karena merasa kedingingan. Habiba mengayunkan langkah mendekati ibunya, menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangan itu penuh takzim, tanpa melepaskan pelukan pada amplop di balik jaket dengan tangan lainnya.“Kok, termenung di sana? Ngapain?” tanya Fatona.Habiba mengulas senyum tipis. “Tuh, kamu kedinginan kan? Makanya lain kali cepat masuk rumah,” imbuh Fatona.“Ya, Bu.”“Bagaimana kuliahmu hari ini?”“Smeuanya baik, Bu.”“Terus, pekerjaanmu di rumah Bu Amira gimana? Tidak ada masalah kan?”“Tidak ada, Bu. Semuanya baik.” Habiba menatap wajah pucat ibunya, pipinya makin tirus. Kurus. Penyakit telah menggerogotinya hingga kondisinya terlihat me
Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san
"Ada orang baik datang kemari dan memberikan uang itu. Katanya, kebetulan keluarganya juga dirawat di sini. Dia pasti kaya sekali dan berhati mulia. Tidak memikirkan dunia, akhirat saja yang dipikirkan. Bahkan menyedekahkan hartanya sebanyak itu pun dia rela karena kasian pada ibu." Tomy bicara panjang lebar. Sudut bibir tertarik mengenang momen pertemuannya dengan sosok yang katanya orang baik."Tapi siapa? Ini bukan uang sedikit, Mas.""Dia juga tidak mau menyebut namanya. Begitulah kalau orang baik, kebaikannya tidak perlu diumbar. Cukup tangan kanan yang tau, dan tangan kiri dilarang ikut campur."Habiba menelan saliva dengan sulit. Mulai cemas. "Mas, satu miliar. Uang yang kita butuhkan itu satu miliar. Apakah mungkin orang itu menyerahkan hartanya begitu saja pada orang tidak dikenal?" "Tidak perlu suudzon. Mas yakin Tuhan memang sedang membukakan pintu hati manusia dermawan yang hartanya sudah berlebih itu kepada kita. Jika untuk kesembuhan ibu, kenapa harus berpikir dua kali
Muka-muka bule yang duduk di ruangan luas itu kemudian berbicara menggunakan bahasa asing. Mereka duduk di sana membawa translator masing-masing.“Silakan dilanjutkan! Amir, wakili aku! Handle meeting!” titah Husein kemudian meninggalkan kursi. Amir mulai mengambil alih untuk memimpin rapat. Dia mengalihkan perhatian semua orang dengan mulai bicara.Habiba sudah duluan balik badan hendak pergi ketika Husein meraih pergelangan tangannya dan bergerak lebih cepat membawanya keluar ruangan. Husein membawa Habiba menjauh dari ruangan itu, lalu masuk ke ruangan lain. Entah ruangan apa. Yang jelas ruangan itu mewah dan diisi dengan barang-barang berkelas. Meja, kursi, lemari, rak, laptop, printer dan semuanya mahal. Namun Habiba tidak sempat melihat keadaan di sekitarnya. Fokusnya saat ini adalah mata elang Husein. Mata itu menatap intens ke arahnya.Habiba kini berdiri menyandar di dinding. lelaki itu di hadapannya dengan satu tangan menjadi pagar di dinding samping kupingnya.“Kenapa kau