Tok tok…
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Husein.“Hm. Masuk!” gumam Husein.Sosok wanita berusia tiga puluh tahun masuk. Tak lain pembantu yang sudah dua tahun bekerja di sana.Selain Fatona, Fara membantu memasak di rumah itu. sedangkan Fatona bertugas membereskan rumah, menyapu, mengepel, mengurus kebutuhan Inez dan Husein.Semenjak Fatona sakit, Fara lah yang menggantikan pekerjaan Fatona saat pagi hari. Sebab Habiba hanya bisa menggantikan pekerjaan ibunya setelah pulang dari jam kuliah.“Permisi, Tuan Husein. Apakah saya sudah bisa membersihkan kamar? Nona Inez tadi menyuruh saya membereskan kamar Tuan,” ucap Fara dengan sungkan.Husein adalah sosok yang selalu jaga jarak dengan asisten rumah tangga, dia disegani.Dahi Husein mengernyit menatap kedatangan Fara, ibu satu anak itu.“Bu Fatona mana? Bukankah biasanya dia yang urus kamarku?” tanya Husein.“Maaf Tuan. Bu Fatona sudah beberapa hari terakhir ini tidak masuk kerja karena sakit. Sudah ijin sama nyonya besar. Sementara saya yang menggantikan saat pagi hari. Mulai siang sampai malam, tugas Bu fatona digantikan oleh putrinya. Tuan bisa minta tolong kepada putrinya Bu Fatona jika ada keperluan,” jelas Fara dengan kepala tertunduk.“Ya sudah. Bereskan saja sekarang!” Husein masih duduk di pinggir kasur. Raganya terasa lelah dan ia masih ingin duduk santai sebentar meluruskan punggung.Fara mulai mengutipi barang yang berserakan, menyusun ke tempat semula. Buku- buku yang berjatuhan di lantai dikembalikan ke susunannya. Gelas dan botol dikumpulkan. Baju kotor dikumpulkan.Lalu merapikan kasur. Matanya membelalak saat menarik selimut, niatnya ingin melipat selimut dan menaruh lipatan di ujung kasur, tapi malah pemandangan aneh yang dia saksikan saat ini.Bercak darah yang tidak sedikit mengotori sprei, juga bercak warna lain yang membuatnya mendadak teringat pada mantan suaminya dulu. Kepalanya berkelana.Husein tak kalah kaget saat mengikuti arah pandang Fara. Noda apa itu?“Tt tuan, kenapa ada darah?” Fara terlihat sanksi, juga gugup saat menanyakannya. Ia sadar bahwa itu bukan darah dari tubuh Husein yang terluka.Husein berusaha mengingat-ingat. Samar-samar bayangan gadis berwajah ayu itu menari di kepalanya, juga permainan yang membuatnya merasa puas.Apakah itu bukan mimpi? Separuh ingatannya masih bisa menangkap kejadian itu. namun separuh ingatannya entah hilang kemana.Kembali pandangan Husein tertuju pada noda yang mengotori sprei. Merah putih.Ah, jelas ini ada yang tidak beres.“Cepat kemas sprei ini dan ganti dengan yang baru! Jangan bengong!” titah Husein tegas.“Ba baik, tuan!” Fara buru- buru melepas sprei dengan gemetaran. Pikirannya melayang-layang mempertanyakan kasus sprei yang dinodai.Husein mulai panik. Berjalan hilir mudik. Berakhir menabrak tembok. Yang akhirnya tembok ditepuk dengan kesal. Tembok jadi korban, tapi malah disalahkan.Apakah benar Husein berhubungan dengan seorang gadis? Tapi siapa gadis yang dimaksud?“Fara!” panggil Husein membuat Fara yang tengah mengganti sprei itu menghentikan kegiatannya.“Ya, Tuan?”“Jangan sampai ada yang tahu masalah ini. Cukup kau saja yang mengetahuinya. Kalau sampai masalah ini bocor, kau lah yang pertama aku cari! Paham?”Fara mengangguk, takut atas ketegasan majikannya. Apa lagi tatapannya seperti elang, penuh dengan tekanan.“Cepat selesaikan pekerjaanmu!” titah Husein.“Ya, Tuan.” Perintah Husein yang mendominasi membuat Fara terbesa-gesa mengerjakan pekerjaannya.Husein masuk ke kamar mandi sesaat setelah menyambar handuk.***Langkah Husein tegas menginjak lantai kantor. Beberapa karyawan menunduk dan menganggukkan kepala ketika berpapasan dengannya.Husein Brata Raksa, sosok yang disegani karena kewibawaannya, yang kerap menerapkan kedisiplinan dan peraturan keras di perusahaan.Meski demikian, peraturan tidak menyimpang dari undang-undang dan kesepakatan yang telah ditentukan. Sudah bertahun- tahun ia memimpin perusahaan milik papanya.Selain perusahaan farmasi yang kini ia kelola, ia juga sedang fokus membangun sebuah rumah sakit besar miliknya, yang kemungkinan akan beroperasi dalam waktu dekat.Husein tidak langsung memasuki ruang kerjanya. Dia langsung menekan handle pintu ruangan Amir, asisten pribadinya.“Hei, kau mengejutkanku saja. Tumben, pagi-pagi sekali sudah berkunjung ke ruanganku?” Amir yang tengah berdiri menikmati kopi panas itu meletakkan gelas ke meja. Ia mengawasi ekspresi wajah sahabatnya yang kelihatan tegang. “Sepertinya serius sekali?”Husein mengusap wajahnya. Menunduk sebentar dengan mata terpejam untuk menenangkan diri. Kemudian kembali mengangkat wajah. “Amir, katakan padaku, apa sebenarnya yang telah terjadi kemarin?”“Hei, ada apa dengan kemarin?” Amir tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.“Common, berpikirlah dangan cepat. Kemarin kau bersamaku.”“Oh, maksudmu kejadian di kamarmu saat kita minum waktu itu?” tanya Amir.“Aku mabuk. Kesadaranku hilang. Aku mabuk. Dan… aku tidak ingat apa-apa. tapi aku yakin telah terjadi sesuatu.”Amir memutar mata. Ia kini paham kemana arah pembicaraan.“Kau bersamaku waktu itu. apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau mengajak wanita ke kamarku dan memberikan wanita itu kepadaku?” tebak Husein.Amir enggan bicara.“Amir, bicaralah! Jangan diam! Oh… atau jangan-jangan kau mengajak wanita ke kamarku untuk kau tiduri bersama-sama denganku. Kau memanfaatkan aku dan ingin bersenang-senang dengan model aneh.” Husein mulai menerka-nerka. Dia benar-benar tidak tahu apa yang telah terjadi.“Tidak, Husein. Kau jangan menduga yang tidak- tidak.”“Lalu apa? Apa yang telah terjadi?” Husein kesal sejak tadi tidak mendapatkan jawaban.“Seorang gadis asing datang ke kamarmu membawakan susu. Setelah itu, aku mendengar teriakannya.”“Lalu?”“Aku pergi.”“Kau mendengar teriakan gadis itu tapi kau malah pergi meninggalkan rumah, begitu?” Wajah Husein makin menegang.Amir terdiam. Dia pasti salah lagi.“Kenapa kau tidak berbuat sesuatu?” hardik Husein panik.“Kau memintaku mencegahmu, begitu?”“Tentu saja.”“Aku tidak berani berbuat apa-apa. Aku takut salah. Kau pasti marah jika aku mencegahmu saat itu.”Husein mengusap rambut kasar. “Ini fatal, Amir. Semua salahmu.”Nah kan, Amir juga yang salah. Jelas-jelas Husein yang meniduri seorang gadis, tapi tetap saja Amir yang salah.Amir hanya diam, menerima kemarahan sahabatnya. Husein sedang frustasi, maka wajar dia bersikap begitu.“Tapi siapa gadis asing itu? apakah asisten rumah tangga baru di rumahku? Kenapa dia mengantarkan susu untukku? Bukankah itu tugasnya Bu Fatona? Oh ya, aku baru ingat, Fara bilang kalau Bu fatona sedang sakit dan putrinya menggantikannya untuk sementara waktu. Itu artinya gadis itu adalah anaknya Bu fatona. Ya ampun!” Husein kembali mengusap wajah frustasi.Amir berpikir, ingin mencari solusi.“Apakah menurutmu gadis itu hanya memanfaatkan situasi?” tanya Husein menerka-nerka.“Maksudmu?” alis Amir terangkat.“Dia sengaja pasrah saat aku dekati karena dia ingin uang dariku. Dia bisa saja memerasku, atau bahkan ingin menjadi bagian dari keluargaku dengan dalih sudah aku sentuh. Bisa jadi dia mengancamku setelah ini.”“Dia itu hanya gadis biasa. Dia tidak punya nyali untuk melakukan hal itu.” “Bisa jadi dia gadis liar. Kau belum tahu siapa dia.” Pikiran Husein melayang-layang. Menerka-nerka sosok seperti apa gadis yang dia renggut kesuciannya itu.“Kau mengenal Bu Fatona kan? tentu kau lebih tahu jenis seperti apa putrinya itu. buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sifat Bu fatona pasti mengalir dalam diri putrinya. Jika Bu Fatona ini orang lempeng dan baik, maka anaknya juga tidak akan jauh dari seputaran itu. tapi kalau sebaliknya, maka kau harus berhati-hati.”Husein menggelengkan kepala, merasa pusing.“Menurutku, gadis itu adalah gadis polos. Kau sendiri yang bilang bahwa kau merenggut kesuciannya. Artinya dia masih perawan. Mana mungkin ada gadis liar yang masih perawan. Kemudian, aku mendengar pemberontakannya waktu itu, dia berteriak ingin pergi, artinya dia memang ingin melepaskan diri darimu, tapi tidak berdaya.”Husein mulai lega, meski gurat kecemasan itu masih menyel
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah besar bernuansa putih kuning. Paduan warna yang manis. Halamannya luas dikelilingi pagar tinggi. Habiba menatap rumah seperti ingin menelan mangsa. Di rumah itulah Husein menggagahinya. Jantungnya tiba-tiba berdetak sangat kencang. Apakah ia akan sanggup menjaga mental disaat bertemu dengan pria itu? "Biba, apa kau mau ikut denganku? Kenapa tidak turun?" tanya Emran menyadarkan lamunan Habiba."Oh i iya." Habiba gegas turun dari mobil. "Sayang, aku tidak bisa ikut turun. Kalau aku terlalu sering ke rumahmu, aku takut orang tuamu akan curiga dengan hubungan kita. Mereka belum mengijinkanmu berhubungan dekat dengan lelaki. Aku langsung pulang saja. See you!" Emran menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Inez. Dibalas dengan senyum dan lambaian tangan pula oleh Inez.Sejoli itu terlihat begitu dekat dan mesra."Ayo masuk!" ajak Inez pada Habiba.Mereka memasuki rumah. Kebetulan mereka berpapasan dengan Amira, ibunya Inez di ruang tam
Sambil membawa ember berisi air bekas pel dan tongkat pel, gegas Habiba membuka pintu hendak keluar. Deg! Jantungnya nyaris copot saat berpapasan dengan lelaki berpakaian rapi berdiri di ambang pintu. Tak lain Husein. Inilah yang sejak tadi ditakuti oleh Habiba, bertemu dengan Husein. Lelaki itu tampak tampan mengenakan kemeja putih dan dasi hitam, jas warna senada digantung di pundak. Satu kancing kemeja atas terbuka, menampilkan bulu halus di dada bidang yang gagah.Oh tidak. Habiba tidak mengatakan lelaki ini gagah. Untuk kali ini ia terpaksa harus mengkhianati pandangan matanya sendiri.Husein tidak sendiri, ada Amir di belakangnya. Amir sedikit kikuk saat melihat keberadaan Habiba. Dia adalah saksi kunci saat Habiba memasuki kamar Husein dan bahkan mendengar teriakan gadis itu. Namun ia malah kabur, membuatnya kini merasa seperti seorang terdakwa di persidangan.Tatapan Habiba dan Husein bertukar. Detik berikutnya manik mata Husein beralih ke ember dan pel yang ditenteng di t
Husein melenggang menuju ke ruang makan tanpa bertegur sapa atau berminat untuk mengatakan sesuatu kepada Habiba. Hanya lirikan singkat saja yang dia berikan untuk memastikan seperti apa eskpresi wajah gadis itu, yang ternyata marah dalam diam.Husein menyantap makan di meja makan seorang diri. Malam itu, anggota keluarga sudah makan semua. “Fara, mama kemana?” tanya Husein pada Para yang tengah sibuk menyusun piring bersih ke rak.“Nyonya katanya tadi mau arisan sama geng sosialitanya, Tuan.”“Sejak siang tadi?”“Iya, benar.”Husein mengangguk. Kebiasaan mamanya memang begitu jika sudah berkumpul dengan geng sosialitanya. Wanita itu akan disibukkan dengan segudang kegiatan yang tidak putus bersama teman-temannya. Berfoto rame- rame dengan berbagai pose, belanja ke mall, membeli perhiasan sama-sama ke toko perhiasan. Bahkan kalau sudah punya kegiatan jalan-jalan ke luar negeri bersama dengan gengnya itu, maka ia tidak ingat pulang.Berbeda dengan Alka, papanya Husein yang ter
Byur!Sisa kuah berwarna kemerahan yang sudah dicampur sambal itu tumpah ke kemeja Husein sesaat setelah kaki Habiba tersandung kaki Husein yang terayun maju. Ini adalah kesialan yang kedua kalinya bagi Husein setelah tadi tersiram air bekas pel. Tidak ada yang dilakukan Habiba setelah kuah itu tumpah mengenai kemeja Husein. Gadis itu diam saja. lidahnya berat mengucapkan maaf pada lelaki ini. Kepalanya mendunduk.“Argkh..! Menjijikkan!” Husein menatap kesal pada kemejanya, kemudian beralih menatap Habiba.Habiba melengos pergi membawa mangkuk dan menaruhnya ke westafel, dia menghilang saat berbelok ke ruangan lain.Entahlah, Habiba nekat melengos pergi meski dengan rasa takut yang membaur dengan kekesalan. Dia merasa kacau setiap kali berdekatan dengan Husein, sehingga dia memilih untuk kabur saja.Husein hanya bisa menghela napas. Menahan kekesalan tanpa mau melampiaskannya. Ingat, ia harus mengikuti alur. Jangan sampai membuat Habiba menjadi marah dan akhirnya membongkar kejadian k
Habiba hanya orang kecil. Dia tidak akan mungkin sanggup melawan seorang Husein yang memiliki banyak uang dan kekuasaan. “Biba! Kamu sedang apa?”Habiba terkejut mendengar seruan dari arah belakang. Suara Fatona. Cepat-cepat Habiba memasukkan amplop ke balik jaketnya. Dia peluk benda itu di perut seolah sedang memeluk lengan sendiri karena merasa kedingingan. Habiba mengayunkan langkah mendekati ibunya, menyalami tangan ibunya dan mencium punggung tangan itu penuh takzim, tanpa melepaskan pelukan pada amplop di balik jaket dengan tangan lainnya.“Kok, termenung di sana? Ngapain?” tanya Fatona.Habiba mengulas senyum tipis. “Tuh, kamu kedinginan kan? Makanya lain kali cepat masuk rumah,” imbuh Fatona.“Ya, Bu.”“Bagaimana kuliahmu hari ini?”“Smeuanya baik, Bu.”“Terus, pekerjaanmu di rumah Bu Amira gimana? Tidak ada masalah kan?”“Tidak ada, Bu. Semuanya baik.” Habiba menatap wajah pucat ibunya, pipinya makin tirus. Kurus. Penyakit telah menggerogotinya hingga kondisinya terlihat me
Husein mengangkat alis. Kemudian balik badan untuk duduk. Pertanggung jawaban apa maksud Habiba? Husein mikir panjang. Kepalanya mendadak seperti ditampar berkali-kali. Otak rasanya penuh dan sesak. Pagi-pagi disaat nyawanya belum sempurna terkumpul, ia sudah diserang dengan kalimat membingungkan.“Itu uang Anda, bukan?” Habiba menunjuk amplop.Husein ingat betul bahwa ia mengambil uang dari brankas dan menyerahkannya kepada Amir, memerintahkan supaya mengantarnya kepada Habiba sesuai rencana. Amplopnya masih sama seperti yang tadi malam. “Ambil uang itu!” ucap Habiba lagi dengan suara yang hampir tidak kedengaran karena tercekat. “Anda tidak bisa membayar saya. Jangan anggap Anda berbuat hal itu lalu memberi bayaran kepada saya. Anda keliru, saya tidak seburuk itu.”“Kamu salah paham, Biba. Itu bukan bayaran. Itu uang…”“Uang tutup mulut?” potong Habiba lemah. Padahal ia sudah mengumpulkan nyali dan kekuatan untuk dapat menghadapai Husein, tapi tetap saja di dalam san
"Ada orang baik datang kemari dan memberikan uang itu. Katanya, kebetulan keluarganya juga dirawat di sini. Dia pasti kaya sekali dan berhati mulia. Tidak memikirkan dunia, akhirat saja yang dipikirkan. Bahkan menyedekahkan hartanya sebanyak itu pun dia rela karena kasian pada ibu." Tomy bicara panjang lebar. Sudut bibir tertarik mengenang momen pertemuannya dengan sosok yang katanya orang baik."Tapi siapa? Ini bukan uang sedikit, Mas.""Dia juga tidak mau menyebut namanya. Begitulah kalau orang baik, kebaikannya tidak perlu diumbar. Cukup tangan kanan yang tau, dan tangan kiri dilarang ikut campur."Habiba menelan saliva dengan sulit. Mulai cemas. "Mas, satu miliar. Uang yang kita butuhkan itu satu miliar. Apakah mungkin orang itu menyerahkan hartanya begitu saja pada orang tidak dikenal?" "Tidak perlu suudzon. Mas yakin Tuhan memang sedang membukakan pintu hati manusia dermawan yang hartanya sudah berlebih itu kepada kita. Jika untuk kesembuhan ibu, kenapa harus berpikir dua kali