Husein mengulas senyum sinis. "Lalu apa maumu sekarang? Kau suruh aku mengemis pada Habiba dan menjatuhkan harga diriku dengan mempertanyakan siapa ayahnya Qansha, begitu?""Kau suruh aku memasang muka penuh harapan kepadanya? Tidak, Amir. Aku sudah sangat mengenal Habiba," sambung Husein."Habiba tidak pernah mencintaiku sejak dulu. Habiba selalu melihatku sebagai lelaki yang tidak ada apa- apanya di matanya. Dia membenciku." Husein berapi- api."Turunkan sedikit saja egomu itu, Husien,” ucap Amir antusias."Aku tidak peduli. Sekalipun Qansha benar anakku. Aku tidak peduli," tegas Husein datar."Kau yakin tidak peduli? Kau yakin tidak akan menyesal?""Tidak," tegas Husein makin jelas. "Kalau benar Qansha adalah anakku, Habiba tidak pernah menginginkan aku mengetahuinya. Dia sengaja sembunyikan ini dariku karena dia tidak sudi aku menjadi ayahnya. Jika dia bersedia aku mengakuinya, maka sudah sejak lama dia datang padaku dan mengatakan semua bukan?""Tapi ini tidak, dia malah sembunyi
"Apa istimewanya aku sampai Husein melakukannya untukku? Bukankah aku tidak ada apa-apanya di matanya?" lirih Habiba. Meski ia tak yakin dengan perkataan Amir, namun jantungnya mengatakan bahwa ia menyukai kalimat itu, terbukti detakannya sanhat kuat. Harapan kalau perkataan Amir benar, menumpuk dalam benaknya. Habiba masih bertanya- tanya kenapa Husein marah pada Sakha dan membakar bonekanya, kenapa Husein menceraikannya hanya karena masalah sepele itu? Apakah kenyataan itu bisa disangkal dengan sikap Husein yang mempertahankan rumah tangganya?"Husein marah padamu dan berusaha melenyapkan boneka- boneka mainan Sakha karena dia cemburu. Dia marah karena tahu bahwa boneka- boneka itu pemberian Irzan," sambung Amir.Habiba terkejut. Bagaimana Husein bisa tahu kalau bonek- boneka otu adalah pemberian Husein?"Husein melihat chat antara kau dan Irzan, kau tidak bisa mengelak lagi bahwa boneka itu benar pemberian Irzan," imbuh Amir."Hanya karena Irzan memberiku boneka, lantas Husein s
Habiba mengusap keringat di pelipisnya dengan punggung tangan. Hanya itu yang bisa ia lakukan. "Kembalilah pada Husein. Husein akan tetap mempertahankan egonya yang tidak akan pernah menunjukkan rasa cinta kepadamu sebelum kau terlihat jatuh cinta kepadanya. Menjadi pria yang ditolak sama saja menjatuhkan harga diri. Itulah yang ada di kepala Husein," kata Amir.Habiba membeku sejenak sebelum akhirnya ia berlalu meninggalkan Amir. Tidak ada lagi kata- kata yang ingin ia sampaikan kepada Amir. Semuanya sudah jelas. Dan sekarang hatinya malah jadi kacau. Menyesal sekali kenapa baru tahu sekarang kalau sebenarnya Husein menyayanginya. Kenapa ia tidak peka sejak lama? Padahal pengorbanan Husein tidak main- main.Habiba berjalan di koridor itu sambil memeluk lengannya sendiri. Ia masuk ke lift. Termenung sepanjang lift bergerak turun menatap piala di tangannya. Ini adalah piala pemberian Husein. Pria itu tetap berusaha menyenangkan hati Habiba di tengah kondisi hatinya yang tidak baik-
Husein menatap Habiba tajam kemudian berkata, "Kau tidak rela berpisah dari anakmu, hm? Itulah yang aku rasakan. Kau sudah memisahkan aku dari anakku."Habiba terkejut. "Ini maksudmu apa?""Kau harus merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan." Husein melangkahkan kaki yang langsung dihadang oleh Habiba."Tidak. Jangan lakukan itu. Aku ibunya. Jangan ambil Qansha dariku. Plis." Habiba memohon. "Kau ibunya. Dan aku adalah ayahnya. Apa kau pikir aku tidak punya hak atas Qansha?"Habiba tergugu di tempat. Ya benar, Husein berhak atas Qansha."Kenapa kau sembunyikan kenyataan ini dariku? Kau ingin menguasai semuanya sendirian. Lalu kau menjalani hidupmu bersama dengan Irzan. Kulihat kemana- mana kau selalu bersamanya. Biarkan aku mengambil hakku selama empat tahun terakhir. Yaitu hidup bersama dengan Qansha." Husein berjalan meninggalkan Habiba dengan langkah lebar."Tidak, Husein. Kita bisa bicarakan ini baik- baik. Jangan ambil Qansha dariku!" Habiba mengejar, namun langkahnya ka
"Halo, kenalkan aku tante Cindy." Cindy membungkuk untuk menjajarkan pandangan pada Qansha. "Ayo, kemarilah! Ikut tante dulu ya." Cindy mengajak Qansha duduk di kursi santai lantai dua, dekat jendela kaca. Ia menyuguhkan makanan ringan pada bocah itu, lalu duduk di depan Qansha. Ia mengurai senyum.“Hai, jangan takut! Aku orang baik,” sebut Cindy dengan senyum ramah. Ia mengusap air mata di pipi Qansha.Merasakan kelembutan itu, Qansha pun menganggukkan kepala. Raut ketakutan mulai memudar.“Baiklah, anak pintar! Makanlah!” Cindy menyodorkan makanan ringan.Cindy patuh. Tangannya masuk ke toples kaca dan mengambil makanan, lalu menyantapnya di tengah lehernya yang masih menyisakan sesenggukan.“Kamu siapa?” tanya Cindy.“Qansha,” polos anak itu.Cindy tersenyum. “Maksudku, kamu siapa kenapa bisa dibawa Om Husein kemari?”Qansha tampak bingung mau jawab apa.“Apakah kamu mengenal Om Husein?” Cindy malah jadi seperti wartawan.Qansha menggeleng, namun kemudian mengangguk.Cindy
Sudut bibir Husein tertarik sedikit. Senyum meremehkan. "Omong kosong yang hanya kau pakai untuk merayuku supaya aku menyerahkan Qansha."Husein balik badan, kemudian berlalu pergi. Namun langkahnya langsung terhenti begitu lengan mungil Habiba melingkar ke perutnya dari arah belakang. "Kamu bisa membohongiku, bahwa kamu membenciku. Tapi kamu tidak bisa membohongi dirimu sendiri," lirih Habiba. Saat ini, ia tahu bahwa Husein sebenarnya juga mencintainya, tapi sifat angkuh itu terbentang tinggi membentengi. Maka dengan cara beginilah Habiba berharap hati Husein akan luluh. "Tanyakan pada dirimu sendiri, apakah benar kamu tidak peduli padaku?" sambung Husein. "Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku tidak pernah punya niat untuk mengkhianatimu sejak dulu. Bahkan sampai kini pun aku masih mencintaimu."Husein memaku, kata- kata Habiba berhasil menghipnotisnya. Entah kenapa sejak dulu ia selalu takluk pada wanita ini. Apa yang ditawarkan Habiba hingga Husein mudah terpengaruh? Dulu, seti
Terkesiap, Habiba memutar kata sambil menyelipkan rambut ke belakang daun telinga. "Mm..." "Jangan gugup! Kamu bisa tarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan jika merasa seperti sedang ditodong senjata api."Habiba mencubit lengan Husein cukup keras, namun Husein tampak tenang seolah tak terpengaruh oleh cubitan itu."Tentu kamu masih ingat dengan perkataanku, bahwa ada Cindy di hidupmu. Dia tidak akan mungkin hidup diantara kita bukan?" ucap Habiba dengan senyum. Ia bahagia bisa berhubungan sedekat ini dengan Husein, namun juga sedikit canggung mengingat mereka kini bukanlah siapa- siapa."Apa kau tidak mau menjadi istriku meski Cindy menerimamu menjadi madunya?" tanya Husein."Tidak. Kamu sudah memiliki kehidupan lain yang harus dijaga.""Kau tau kalau aku tidak akan mungkin menceraikan Cindy begitu saja tanpa alasan." Husein menyesalkan keadaan yang sedang dia alami sekarang. Ibarat makan buah simalakama, maju mundur salah. "Jalani saja hubunganmu dengan Cindy," sahut
Habiba berpapasan dengan Husein di lantai dua. Ia membawa sekotak es krim cokelat kesukaan Qansha. Ternyata Husein hobi juga stok es krim di kulkas.“Dimana Qansha?” tanya Habiba saat berpapasan dengan Husein.Pria itu melenggang dengan santai. Diamatinya wajah Habiba yang penuh harapan. Kemudian, pundaknya mengedik ringan.“Bagaimana mungkin kamu tidak tahu Qansha dimana, dia di rumahmu. Kamu yang membawanya kemari.” Habiba mulai tegang.Senyuman Husein yang terkesan meledek pun muncul juga. “Cari saja kalau bisa. Aku bahkan akan memberimu hadiah jika kau berhasil menemukannya.Sial! Lelaki ini malah sengaja mengajak Habiba main petak umpet begini. Husein sedang berusaha mengerjai Habiba dengan cara ini.“Kamu sembunyikan dia dariku, hm?” tanya Habiba.Husein berjalan menuju ke sofa, kemudian duduk dengan santai di sana tanpa menanggapi pertanyaan Habiba. Ia menuangkan air dari teko kaca ke gelas lalu meneguknya santai.Oh ya ampun! Husein benar- benar mencari pasal dengan