Terkesiap, Habiba memutar kata sambil menyelipkan rambut ke belakang daun telinga. "Mm..." "Jangan gugup! Kamu bisa tarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan jika merasa seperti sedang ditodong senjata api."Habiba mencubit lengan Husein cukup keras, namun Husein tampak tenang seolah tak terpengaruh oleh cubitan itu."Tentu kamu masih ingat dengan perkataanku, bahwa ada Cindy di hidupmu. Dia tidak akan mungkin hidup diantara kita bukan?" ucap Habiba dengan senyum. Ia bahagia bisa berhubungan sedekat ini dengan Husein, namun juga sedikit canggung mengingat mereka kini bukanlah siapa- siapa."Apa kau tidak mau menjadi istriku meski Cindy menerimamu menjadi madunya?" tanya Husein."Tidak. Kamu sudah memiliki kehidupan lain yang harus dijaga.""Kau tau kalau aku tidak akan mungkin menceraikan Cindy begitu saja tanpa alasan." Husein menyesalkan keadaan yang sedang dia alami sekarang. Ibarat makan buah simalakama, maju mundur salah. "Jalani saja hubunganmu dengan Cindy," sahut
Habiba berpapasan dengan Husein di lantai dua. Ia membawa sekotak es krim cokelat kesukaan Qansha. Ternyata Husein hobi juga stok es krim di kulkas.“Dimana Qansha?” tanya Habiba saat berpapasan dengan Husein.Pria itu melenggang dengan santai. Diamatinya wajah Habiba yang penuh harapan. Kemudian, pundaknya mengedik ringan.“Bagaimana mungkin kamu tidak tahu Qansha dimana, dia di rumahmu. Kamu yang membawanya kemari.” Habiba mulai tegang.Senyuman Husein yang terkesan meledek pun muncul juga. “Cari saja kalau bisa. Aku bahkan akan memberimu hadiah jika kau berhasil menemukannya.Sial! Lelaki ini malah sengaja mengajak Habiba main petak umpet begini. Husein sedang berusaha mengerjai Habiba dengan cara ini.“Kamu sembunyikan dia dariku, hm?” tanya Habiba.Husein berjalan menuju ke sofa, kemudian duduk dengan santai di sana tanpa menanggapi pertanyaan Habiba. Ia menuangkan air dari teko kaca ke gelas lalu meneguknya santai.Oh ya ampun! Husein benar- benar mencari pasal dengan
"Luar biasa, kau berhasil menemukan Qansha," ucap Husein yang berdiri dengan lengan menyandar di bingkai pintu. Satu tangan memegangi buah pir dan mengunyahnya."Kamu tidak akan bisa mengalahkan Habiba." Wanita itu pe de sekali. Padahal ia tidak akan menemukan Qansha jika bocah itu tidak muncul di hadapannya. Ada papan berbentuk hiasan yang sebenarnya itu adalah pintu yang menghubungkan kamar dengan kamarnya Moty. Tidak ada yang tahu hal itu. Semua orang pasti akan terkecoh, mengira papan seukuran lemari besar itu adalah hiasan dinding, padahal itu pintu yang menghubungkan ke ruangan rahasia. "Kalau begitu jangan lupa dengan hadiahnya," ucap Habiba sambil tersenyum lebar.Husein mengayunkan alis tenang."Ayo, kemari sayang! Kita pulang ya!" ajak Habiba.Qansha menatap cemberut dengan alis bertaut. "Qansha, bawa kemari si Moty. Aku akan kasih makan." Cindy tiba- tiba muncul dan melempar senyum pada Qansha.Bocah itu langsung berlari mendekati Cindy dan menyerahkan kucing yang ada d
Habiba tersenyum senang. Ia mengejar Husein dan berterima kasih. Mereka menuju ke ruang tamu, dimana Cindy tengah memberi makan Moty, ditemani oleh Qansha. Anak itu tampak ceria sekali. Terus saja tertawa bahagia."Qansha, ayo kita pulang!" ajak Habiba.Qansha menggeleng. "Qansha tidak boleh di sini terus," bujuk Habiba."Qansha mau sama tante Cindy," polos Qansha enteng sekali.Cindy tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Qansha."Qansha tidak boleh mengganggu tante Cindy. Tante Cindy juga harus bekerja. Tidak mungkin menjaga Qansha terus. Lagi pula Qansha harus sekolah bukan?" tanya Habiba dengan lembut."Qansha tidak mau sekolah. Qansha takut diejek teman- teman tidak punya papa," sahut Qansha polos sekali.Cindy mengernyit. "Tidak punya papa?"Qansha mengangguk. "Qansha memang tidak punya papa. Qansha tidak pernah lihat ada papa di rumah seperti teman- teman yang lain. Mama bilang, papa tidak ada. Dan mama berhutang penjelasan kepada Qansha. Mama belum jelaskan semua ini.""Aku
"Kamu bersikap hangat pada Habiba, sama saja kamu membunuhku secara perlahan. Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu, tapi kamu lakukan ini padaku." Cindy makin sesenggukan.Husein tak menyangka jika sikapnya ternyata menyakiti Cindy separah ini. Dia pikir, sikapnya selama ini biasa saja, tapi ternyata efeknya terlalu buruk untuk perasaan Cindy.Apakah Husein sejahat itu? Dia tidak pernah berpikir bisa bersikap kejam pada wanita. Bahkan pada Habiba yang awalnya hanya sebagai anak pembantu, ia masih bisa menghargai. Demikian juga terhadap Agatha, Husein tidak bisa menghakimi dengan semena- mena mengingat Agatha adalah seorang wanita."Aku memang tidak pantas menjadi istrimu, tapi aku sudah menjadi istrimu sekarang. Apakah kamu tidak bisa menjalani saja semua ini?" Cindy sedih sekali.Dan ia terkejut saat merasakan tubuhnya dilingkari lengan kokoh, kemudian wajahnya membenam di dada bidang Husein.Rasanya seperti mimpi melihat Husein memeluknya begini.Tak ada sepatah kata yang keluar
“Sewaktu di rumah Om Husein kemarin, Om Husein membukakan pintu kamar Moty dan meminta Moty supaya keluar sampai ke area kolam renang. Om Husein mengijinkan Qansha mengikuti Moty sampai sana,” jelas Qansha.Seingat Habiba, Qansha waktu itu disembunyikan oleh Husein supaya Habiba tidak menemukan bungsunya itu. Tapi kenapa kemudian Husein malah seolah sengaja membuat Qansha ditemukan oleh habiba?Oh sial! Rupanya Husein sengaja melakukan hal itu supaya Habiba mendapat hadiah dari Husein. Hadiah konyol yang Habiba pun tidak terpikir akan mengatakannya waktu itu.“Jadi, Qansha disembunyikan oleh Om Husein di kamar Moty?” selidik Habiba. “Lalu Om Husein pula yang mengeluarkan Qansha dari sana?”Qansha mengangguk. Ia ingat dibawa oleh Husein ke kamar Moty. Tak lain sebuah ruangan di dalam bilik lain yang ada di kamar Husein.“Sekarang, tidurlah!” pnta Habiba.Qansha memejamkan mata.Namun, beberapa detik kemudian, Qansha kembali bersuara. “Mom.”“Tidurlah!”"Mommy berjanji akan menjel
Keantusiasan dan harapan Cindy membuat Husein makin tak tega. Ia menjadi suami paling berdosa dengan menolak ini. Bukankah semua pria akan menyukai pemberian seperti yang Cindy tawarkan? Lalu kenapa Husein masih saja menolaknya."Aku merasa seperti tidak normal. Aku tidak menginginkan apa pun saat ini. Nanti aku akan pikirkan dan cari solusi. Aku minta maaf." Husein mengusap singkat pundak Cindy kemudian berlalu pergi.Cindy terpaku sedih. Begitu cueknya Husein terhadapnya. Hanya sebatas mengelus pundak untuk menghiburnya. Apakah Husein pikir elusan singkat itu mampu menenangkan hati Cindy? Tidak. Sama sekali tidak. Justru Cindy makin sedih karena makin berharap.Sekalian saja Husein bersikap kasar dan memakinya, pasti ia tidak akan memiliki harapan setinggi ini.Cindy kemudian mengikuti Husein ke ruang makan. Mereka sarapan sosis berdua.Sunyi.Suara sendok beradu dengan piring mengisi kesunyian. Sesekali Cindy melirik Husein yang tampak serius memotong sosis. "Aku mau bertemu de
"Aku hanya akan menganggap kamulah yang menjadi penyebab jika sampai Husein memilih untuk mengejar wanita lain. Tidak akan ada asap jika tidak ada api." Cindy melenggang cepat dengan wajah tak bersahabat. Mungkin Cindy sudah memendam perasaannya itu sejak lama, dan kini terlampiaskan juga. "Habiba, cepatlah!" Husein di depan memanggil. Pria itu sudah berada di dalam lift, menyusul Cindy yang berdiri di sisi Husein.Habiba mempercepat langkah kaki hingga ikut masuk ke lift. Ia berdiri di posisi agak ke depan, tepatnya dekat pintu lift.Husein maju untuk dapat menekan tombol di sisi pintu yang sialnya tombol itu tepat berada di depan Habiba, pria itu memilih angka yang dituju.Habiba sontak memundurkan tubuh melihat Husein yang harus bergerak ke arahnya demi menyentuh tombol. Cindy menahan napas. Tak tahu kenapa, perasaannya selalu saja kacau setiap kali Husein dekat dengan Habiba.Husein juga tidak bermaksud ingin dekat- dekat dengan Habiba, tapi kondisi lah yang membuat jadi begini