"Aku hanya akan menganggap kamulah yang menjadi penyebab jika sampai Husein memilih untuk mengejar wanita lain. Tidak akan ada asap jika tidak ada api." Cindy melenggang cepat dengan wajah tak bersahabat. Mungkin Cindy sudah memendam perasaannya itu sejak lama, dan kini terlampiaskan juga. "Habiba, cepatlah!" Husein di depan memanggil. Pria itu sudah berada di dalam lift, menyusul Cindy yang berdiri di sisi Husein.Habiba mempercepat langkah kaki hingga ikut masuk ke lift. Ia berdiri di posisi agak ke depan, tepatnya dekat pintu lift.Husein maju untuk dapat menekan tombol di sisi pintu yang sialnya tombol itu tepat berada di depan Habiba, pria itu memilih angka yang dituju.Habiba sontak memundurkan tubuh melihat Husein yang harus bergerak ke arahnya demi menyentuh tombol. Cindy menahan napas. Tak tahu kenapa, perasaannya selalu saja kacau setiap kali Husein dekat dengan Habiba.Husein juga tidak bermaksud ingin dekat- dekat dengan Habiba, tapi kondisi lah yang membuat jadi begini
“Kau jangan lupa atur perawat supaya bisa mengatur makanan untuk Emran, tiga kali dalam sehari. Jangan sampai dia kelaparan dan mati,” titah Husein.“Sandi pintunya bagaimana?” tanya Habiba.“Nanti akan aku suruh dia scan sidik jari supaya bisa masuk melalui sidik jari.” Husein menoleh ke arah dalam ruangan. “Kemana Cindy? Kenapa lama sekali?”“Apakah aku perlu menjemputnya?”Tak lama kemudian, Cindy menyusul keluar.Tatapan Husein menelisik ke arah Cindy. “Lama sekali?”“Aku bicara sedikit pada adikku,” jawab Cindy.“Aku mau antar Habiba ke rumah mama,” pamit Husein yang diangguki dengan pasrah oleh Cindy. "Kalau kau mau tetap di sini untuk berbagi waktu dengan Emran, silakan saja. Aku tidak melarang.""Apa kau tidak mau mengantarku pulang dulu?" tanya Cindy."Kau bisa naik taksi. Arah yang kutuju berlawanan.” Husein melenggang pergi. Habiba merasa sungkan untuk beranjak, mengingat ia akan pergi bersama dengan suaminya Cindy."Aku ijin pergi ke rumah mertuamu. Ini murni untuk
"Kenapa?" tanya Habiba melihat Husein yang enggan membuka pintu."Kau yakin akan menemui mereka?" tanya Husein menoleh ke arah Habiba."Ya."Husein langsung menekan handle pintu. Ia terkejut melihat sosok wanita kurus kering yang terkapar di lantai. Kepalanya tergeletak di lantai, tangannya menjulur panjang, pecahan gelas berserak. Piring kotor menumpuk di satu tempat, ceceran nasi menambah kotor lantai. Bau apak menyeruak. Jendela tak pernah dibuka sehingga udara tak pernah berganti. Kamar tanpa Ac namun keadaannya selalu tertutup terus. Selimut terseret, suasana kamar benar- benar seperti kapal pecah. Wanita yang tergeletak itu tak lain adalah Amira. Rambutnya gimbal, acak- acakan, ikatnya sudah turun sampai ke ujung rambut namun tidak dibenarkan, bajunya lusuh, ia tampak semakin tua. Husein menghampiri dan langsung meraih tubuh Amira. Ia membantu tubuh kurus itu bangkit dan membawanya ke kasur lesehan. Husein terkesiap menatap wajah Amira yang kini hanya berjarak sejengkal saj
Habiba kali ini menajdi penonton. Ia cukup diam, membiarkan Husein yang bicara. Dan ia cukup salut akan ketegasan Husein yang memberikan pembelaan maksimal terhadapnya. Kenapa Habiba baru menyadari pembelaan Husein sekarang? Coba saja sejak dulu ia sadar bahwa Husein memprioritaskan dirinya, pasti Husein tidak akan menikah dengan Cindy.Ah, penyesalan datangnya selalu belakangan.“Seperti yang ditawarkan Habiba, bahwa dia akan memberikan perawatan kepadaku sampai sembuh, maka itu harus dia tepati. Dia harus mengobatiku dan merawatku, bertanggung jawab samapai aku benar- benar sembuh. Sakitku ini disebabkan olehnya,” ketus Amira. “Semua biaya adalah tanggung jawab Habiba.”Habiba lega. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk bertanggung jawab. Jika bukan karena ia menjadi penyebab amira menjadi sakit begini, ia pun tak akan mungkin sudi mengabdi pada wanita zalim ini.Sudah sangat kejam perlakuan Amira terhadapnya, sekarang pun masih bersikap angkuh terhadapnya.Apakah Amir
Husein ingin kembali menjadikan Habiba sebagai istrinya?Ini bukan permintaan yang pertama kalinya. Kemarin Husein sudah sempat mengatakan hal yang sama. Husein meraih tangan Habiba, menggenggamnya erat, mengangkat dagu Habiba lalu menatap mata wanita itu lekat. "Apa yang kau pikirkan? Cindy?" tanya Husein."Aku akan menjadi wanita paling jahat saat menyakiti wanita lain.""Utusanku denganmu masih belum selesai. Bahkan aku belum sempat dipanggil papa oleh Qansha."Habiba terdiam. Jika sudah membicarakan anak- anak, apa yang bisa ia katakan? Ia pun sangat ingin anak- anaknya hidup bersama dengan papa mereka. Tapi kenapa kondisinya begini? Ada Cindy yang menjadi benteng penghalang.Situasi ini sangat sulit."Jangan jadikan aku penjahat hingga menyakiti Cindy," lirih Habiba dengan mata berembun."Dan kau tetap menjadi penjahat untuk anak- anakmu, kau memisahkan ayah dari mereka."Ah, tepat sekali. Perkataan Husein benar."A aku harus menjemput peralatan medis untuk memeriksa dan mengo
Berdosa sekali di posisi ini, benak Habiba malah menertawakan Amira.Eh, tidak. Habiba sebenarnya tidak sedang menertawkaan Amira. Dia hanya sedang ingin tertawa karena tak kuat menahan kelucuan yang terjadi."Akan aku bantu," ucap Habiba mendekati Amira untuk segera membantu memapahnya ke kamar kecil yang ada di luar kamar, melewati dapur.Sialnya, Habiba menciuk aroma busuk yang bersumber dari bunyi beruntun.Buuuuth..Hei, dia berbunyi lagi. Menyebalkan sekali.Habiba membantu Amira jongkok, kemudian menunggu di luar. Setelah selesai membantu Amira, Habiba berlalu pergi membawa peralatannya. ***Habiba melempar tubuhnya ke kasur. Lelah sekali rasanya. Seharian bekerja tanpa henti. Ditambah lagi Amira yang rerus bertingkah hingga membuat Habiba pulang cukup larut.Sekarang, Habiba sudah bisa beristirahat, berusaha membuat tulang raganya rileks. Suara chat masuk bertubi- tubi mengejutkan Habiba. 'Selamat malam.''Jangan merasa lelah meski benar- benar lelah.''Sendal jangan lup
"Artinya Anda memang bukan ayahku," sambung Qansha dengan suara kesal. "Mana mungkin seorang ayah harus memberikan syarat pada anaknya saat anaknya meminta sesuatu. Anda seperti sedang berbisnis," celetuk Qansha.Habiba tertegun. Anak seusia Qansha yang biasanya kebanyakan lebih berpikir dangkal, tapi Qansha tidak. Bocah itu berbicara seperti orang dewasa.Habiba pun kesulitan memberikan penjelasan."Ya ampun, baiklah. Ini bukan tentang bisnis. Tapi ini tentang rasa cinta. Syarat untukmu juga tentang cinta," sahut Husein dengan nada bujukan. Qansha menelan dengan mata membulat."Syarat yang aku berikan yaitu supaya kau memanggilku papa. Aku adalah papamu," ucap Husein. "Kalau begitu ambil saja Moty untukmu." Qansha melepaskan Moty dan berlari masuk kamar.Habiba ingin mengejar, namun urung. Ia menatap layar ponsel dan melanjutkan pembicaraan, "Maaf. Qansha belum siap untuk memahami keadaan ini.""Kau harus bertanggung jawab atas keadaan ini. Qansha menolakku karena kau menjauhkan di
Habiba menghela napas. Pembicaraan mereka terhenti ketika terdengar suara teriakan. Suara Sakha.Habiba menghambur menuju ke sumber suara. Ia melihat Sakha terduduk di lantai sambil ngesot, kemudian menempelkan tubuhnya di dinding. Ia mengelus- elus kakinya sambil terus menjerit.Habiba menghambur memeluk tubuh Sakha. "Sakha, sayang! Ini mama. Ada apa, Nak?" Habiba mengelus rambut Sakha. Membenamkan wajah putranya ke dada. "Hu huuuu..." Sakha menangis menggerung sambil terus mengelus kakinya. Habiba menatap Husein seolah mempertanyakan apa yang telah terjadi.Mengerti maksud tatapan mata Habiba, Husein pun berkata dengan tenang, "Dia menjauh saat aku mau mendekati dan menyentuhnya. Dia menolakku lalu terjatuh."Fatona tiba- tiba muncul lalu meraih Sakha dan menggendongnya. Meski tubuh Sakha agak berat karena sudah hampir memasuki usia tujuh tahun, namun Fatona masih kuat menggendongnya. "Kau boleh menjenguk Sakha, tapi bukan untuk membuatnya trauma. Dia takut padamu, jangan d