Husein ingin kembali menjadikan Habiba sebagai istrinya?Ini bukan permintaan yang pertama kalinya. Kemarin Husein sudah sempat mengatakan hal yang sama. Husein meraih tangan Habiba, menggenggamnya erat, mengangkat dagu Habiba lalu menatap mata wanita itu lekat. "Apa yang kau pikirkan? Cindy?" tanya Husein."Aku akan menjadi wanita paling jahat saat menyakiti wanita lain.""Utusanku denganmu masih belum selesai. Bahkan aku belum sempat dipanggil papa oleh Qansha."Habiba terdiam. Jika sudah membicarakan anak- anak, apa yang bisa ia katakan? Ia pun sangat ingin anak- anaknya hidup bersama dengan papa mereka. Tapi kenapa kondisinya begini? Ada Cindy yang menjadi benteng penghalang.Situasi ini sangat sulit."Jangan jadikan aku penjahat hingga menyakiti Cindy," lirih Habiba dengan mata berembun."Dan kau tetap menjadi penjahat untuk anak- anakmu, kau memisahkan ayah dari mereka."Ah, tepat sekali. Perkataan Husein benar."A aku harus menjemput peralatan medis untuk memeriksa dan mengo
Berdosa sekali di posisi ini, benak Habiba malah menertawakan Amira.Eh, tidak. Habiba sebenarnya tidak sedang menertawkaan Amira. Dia hanya sedang ingin tertawa karena tak kuat menahan kelucuan yang terjadi."Akan aku bantu," ucap Habiba mendekati Amira untuk segera membantu memapahnya ke kamar kecil yang ada di luar kamar, melewati dapur.Sialnya, Habiba menciuk aroma busuk yang bersumber dari bunyi beruntun.Buuuuth..Hei, dia berbunyi lagi. Menyebalkan sekali.Habiba membantu Amira jongkok, kemudian menunggu di luar. Setelah selesai membantu Amira, Habiba berlalu pergi membawa peralatannya. ***Habiba melempar tubuhnya ke kasur. Lelah sekali rasanya. Seharian bekerja tanpa henti. Ditambah lagi Amira yang rerus bertingkah hingga membuat Habiba pulang cukup larut.Sekarang, Habiba sudah bisa beristirahat, berusaha membuat tulang raganya rileks. Suara chat masuk bertubi- tubi mengejutkan Habiba. 'Selamat malam.''Jangan merasa lelah meski benar- benar lelah.''Sendal jangan lup
"Artinya Anda memang bukan ayahku," sambung Qansha dengan suara kesal. "Mana mungkin seorang ayah harus memberikan syarat pada anaknya saat anaknya meminta sesuatu. Anda seperti sedang berbisnis," celetuk Qansha.Habiba tertegun. Anak seusia Qansha yang biasanya kebanyakan lebih berpikir dangkal, tapi Qansha tidak. Bocah itu berbicara seperti orang dewasa.Habiba pun kesulitan memberikan penjelasan."Ya ampun, baiklah. Ini bukan tentang bisnis. Tapi ini tentang rasa cinta. Syarat untukmu juga tentang cinta," sahut Husein dengan nada bujukan. Qansha menelan dengan mata membulat."Syarat yang aku berikan yaitu supaya kau memanggilku papa. Aku adalah papamu," ucap Husein. "Kalau begitu ambil saja Moty untukmu." Qansha melepaskan Moty dan berlari masuk kamar.Habiba ingin mengejar, namun urung. Ia menatap layar ponsel dan melanjutkan pembicaraan, "Maaf. Qansha belum siap untuk memahami keadaan ini.""Kau harus bertanggung jawab atas keadaan ini. Qansha menolakku karena kau menjauhkan di
Habiba menghela napas. Pembicaraan mereka terhenti ketika terdengar suara teriakan. Suara Sakha.Habiba menghambur menuju ke sumber suara. Ia melihat Sakha terduduk di lantai sambil ngesot, kemudian menempelkan tubuhnya di dinding. Ia mengelus- elus kakinya sambil terus menjerit.Habiba menghambur memeluk tubuh Sakha. "Sakha, sayang! Ini mama. Ada apa, Nak?" Habiba mengelus rambut Sakha. Membenamkan wajah putranya ke dada. "Hu huuuu..." Sakha menangis menggerung sambil terus mengelus kakinya. Habiba menatap Husein seolah mempertanyakan apa yang telah terjadi.Mengerti maksud tatapan mata Habiba, Husein pun berkata dengan tenang, "Dia menjauh saat aku mau mendekati dan menyentuhnya. Dia menolakku lalu terjatuh."Fatona tiba- tiba muncul lalu meraih Sakha dan menggendongnya. Meski tubuh Sakha agak berat karena sudah hampir memasuki usia tujuh tahun, namun Fatona masih kuat menggendongnya. "Kau boleh menjenguk Sakha, tapi bukan untuk membuatnya trauma. Dia takut padamu, jangan d
Habiba memasuki salah satu kamar VIP di rumah sakit, yang fasilitasnya lengkap dan elit. Mulai dari AC, televisi, bed elit dan semua fasilitas di dalamnya sangat bagus. Pengguna di dalam kamar sangat nyaman dan merasa seperti di hotel. Inilah kamar dengan fasilitas komplit tempat Alka dirawat."Tuan Alka, permisi saya akan memeriksa Anda." Tidak ada sahutan dari Alka. Pria itu hanya diam menatap ke arah jendela saja. Tubuhnya masih tampak bugar meski ia dalam keadaan sakit.Habiba melakukan serangkaian pemeriksaan kepada Alka.Tatapan Habiba tertuju pada makanan yang masih utuh di meja."Anda belum menyentuh makan sama sekali?"Alka tetap diam.Habiba mengatur bed yang ditiduri Alka supaya posisinya berubah menjadi setengah duduk. Tak ada tanggapan sama sekali dari Alka meski tempat yang ia gunakan untuk berbaring itu diotak- atik oleh Habiba hingga kini ia di posisi setengah duduk. Habiba mengambil piring berisi makanan sehat itu dan menyendok sedikit. "Aku akan suapi Tuan." Hab
Sorot mata elang itu mengawasi ekspresi Cindy dengan serius. Ia mendapati mimik wajah sedih.Sepertinya ia telah sempurna menjadi suami yang jahat dengan situasi seperti ini.Cindy memalingkan wajah, sedikit miring dari hadapan Husein. Ia menyembunyikan air mata yang sudah menetes."Kau boleh kembali pada Habiba." Cindy terbata. Meski ia menyembunyikan kesedihannya, namun ternyata ia tidak berhasil melakukannya. "Dengan satu syarat," sambung Cindy.Husein diam tanpa bertanya."Sentuh aku!" imbuh Cindy. "Kita menjadi pasangan suami istri selayaknya pasangan lainnya, yang menghabiskan malam dengan bercinta. Di depan umum, tetap aku istrimu. Tidak ada Habiba. Hubunganmu dengannya adalah sebuah rahasia. Tolong jaga perasaanku di depan umum."Cindy kembali diam, menahan gejolak dalam dada. "Jika kau bisa adil memperlakukan aku dan Habiba, maka silakan saja kau kembali kepadanya. Aku mencintaimu, aku tetap bertahan. Aku ingin hidup bersama dengan orang yang aku cintai."Husein mendekat p
Meski mengomel, namun Amira tetap meraih uluran tangan Habiba.Sabar, Habiba. Demi kemanusiaan! Pikir Habiba menenangkan diri. Ia membantu Amira keluar dari mobil, mendudukkan ke kursi roda.Tepat saat hendak duduk, Amira tergelincir dan ambruk di atas kursi roda. Untungnya kursi itu sudah tepat menangkap bokongnya Amira.Meski sudah dalam kondisi duduk, namun sentakan kuat tadi cukup membuat Amira terkejut hingga jantungnya serasa mau copot.“Apa kau mau membunuhku?” Tatapan Amira tajam.Habiba tidak menjawab. Sebab ia tahu, jika menjawab, pasti hanya akan membuat kedongkolan makin menjadi. Ia mendorong kursi roda masuk ke rumah. Alka berjalan tertatih dibantu dengan kruk saat berjalan memasuki rumah.Habiba menuntun Amira ke ruangan tamu. Alka masuk dan mengedarkan pandangan pada seisi rumah yang bagus. Tergolong mewah. Meski tidak semewah rumah Alka yang dulu. "Aku mau beristirahat!" ucap Alka dingin."Baik, akan aku antar!" Habiba meninggalkan Amira dan mengantar Alka menuj
"Selamat pagi!" Husein mendatangi rumah Tomy. Di belakang rumah, tampak Tomy, pria berbadan tegap dengan kulit sawo matang yang parasnya dewasa tengah sibuk mengurus kolam ikan miliknya. Tomy tidak sendirian, ia bersama dengan Irzan. Mereka tengah memberi pakan ikan. Dan kegiatan itu terhenti saat mendengar suara bariton Husien, mereka pun menatap kaget pada kedatangan Husein.Sejurus pandangan mengamati serius pada sosok berpakaian rapi itu.Tomy melangkah mendekat pada Husein. "Ada apa? Langsung pada intinya saja. Kau kemari tentu karena hal penting. Tidak akan ada hal sepele yang membuat langkahmu sampai menginjak kemari kan?""Aku ingin menikah dengan Habiba," jawab Husein membuat Tomy dan Irzan terkejut.Bukankah Tomy yang minta langsung pada topiknya? Maka itulah yang Husein katakan. Dia berkata dengan sangat tenang, berwibawa, tegas, namun tetap sopan. “Kau tidak sedang bermimpi, jadi jangan katakan sesuatu seperti di dalam mimpi,” sahut Tomy kemudian berpaling. “Aku sudah