"Kamu bersikap hangat pada Habiba, sama saja kamu membunuhku secara perlahan. Kamu tahu kalau aku sangat mencintaimu, tapi kamu lakukan ini padaku." Cindy makin sesenggukan.Husein tak menyangka jika sikapnya ternyata menyakiti Cindy separah ini. Dia pikir, sikapnya selama ini biasa saja, tapi ternyata efeknya terlalu buruk untuk perasaan Cindy.Apakah Husein sejahat itu? Dia tidak pernah berpikir bisa bersikap kejam pada wanita. Bahkan pada Habiba yang awalnya hanya sebagai anak pembantu, ia masih bisa menghargai. Demikian juga terhadap Agatha, Husein tidak bisa menghakimi dengan semena- mena mengingat Agatha adalah seorang wanita."Aku memang tidak pantas menjadi istrimu, tapi aku sudah menjadi istrimu sekarang. Apakah kamu tidak bisa menjalani saja semua ini?" Cindy sedih sekali.Dan ia terkejut saat merasakan tubuhnya dilingkari lengan kokoh, kemudian wajahnya membenam di dada bidang Husein.Rasanya seperti mimpi melihat Husein memeluknya begini.Tak ada sepatah kata yang keluar
“Sewaktu di rumah Om Husein kemarin, Om Husein membukakan pintu kamar Moty dan meminta Moty supaya keluar sampai ke area kolam renang. Om Husein mengijinkan Qansha mengikuti Moty sampai sana,” jelas Qansha.Seingat Habiba, Qansha waktu itu disembunyikan oleh Husein supaya Habiba tidak menemukan bungsunya itu. Tapi kenapa kemudian Husein malah seolah sengaja membuat Qansha ditemukan oleh habiba?Oh sial! Rupanya Husein sengaja melakukan hal itu supaya Habiba mendapat hadiah dari Husein. Hadiah konyol yang Habiba pun tidak terpikir akan mengatakannya waktu itu.“Jadi, Qansha disembunyikan oleh Om Husein di kamar Moty?” selidik Habiba. “Lalu Om Husein pula yang mengeluarkan Qansha dari sana?”Qansha mengangguk. Ia ingat dibawa oleh Husein ke kamar Moty. Tak lain sebuah ruangan di dalam bilik lain yang ada di kamar Husein.“Sekarang, tidurlah!” pnta Habiba.Qansha memejamkan mata.Namun, beberapa detik kemudian, Qansha kembali bersuara. “Mom.”“Tidurlah!”"Mommy berjanji akan menjel
Keantusiasan dan harapan Cindy membuat Husein makin tak tega. Ia menjadi suami paling berdosa dengan menolak ini. Bukankah semua pria akan menyukai pemberian seperti yang Cindy tawarkan? Lalu kenapa Husein masih saja menolaknya."Aku merasa seperti tidak normal. Aku tidak menginginkan apa pun saat ini. Nanti aku akan pikirkan dan cari solusi. Aku minta maaf." Husein mengusap singkat pundak Cindy kemudian berlalu pergi.Cindy terpaku sedih. Begitu cueknya Husein terhadapnya. Hanya sebatas mengelus pundak untuk menghiburnya. Apakah Husein pikir elusan singkat itu mampu menenangkan hati Cindy? Tidak. Sama sekali tidak. Justru Cindy makin sedih karena makin berharap.Sekalian saja Husein bersikap kasar dan memakinya, pasti ia tidak akan memiliki harapan setinggi ini.Cindy kemudian mengikuti Husein ke ruang makan. Mereka sarapan sosis berdua.Sunyi.Suara sendok beradu dengan piring mengisi kesunyian. Sesekali Cindy melirik Husein yang tampak serius memotong sosis. "Aku mau bertemu de
"Aku hanya akan menganggap kamulah yang menjadi penyebab jika sampai Husein memilih untuk mengejar wanita lain. Tidak akan ada asap jika tidak ada api." Cindy melenggang cepat dengan wajah tak bersahabat. Mungkin Cindy sudah memendam perasaannya itu sejak lama, dan kini terlampiaskan juga. "Habiba, cepatlah!" Husein di depan memanggil. Pria itu sudah berada di dalam lift, menyusul Cindy yang berdiri di sisi Husein.Habiba mempercepat langkah kaki hingga ikut masuk ke lift. Ia berdiri di posisi agak ke depan, tepatnya dekat pintu lift.Husein maju untuk dapat menekan tombol di sisi pintu yang sialnya tombol itu tepat berada di depan Habiba, pria itu memilih angka yang dituju.Habiba sontak memundurkan tubuh melihat Husein yang harus bergerak ke arahnya demi menyentuh tombol. Cindy menahan napas. Tak tahu kenapa, perasaannya selalu saja kacau setiap kali Husein dekat dengan Habiba.Husein juga tidak bermaksud ingin dekat- dekat dengan Habiba, tapi kondisi lah yang membuat jadi begini
“Kau jangan lupa atur perawat supaya bisa mengatur makanan untuk Emran, tiga kali dalam sehari. Jangan sampai dia kelaparan dan mati,” titah Husein.“Sandi pintunya bagaimana?” tanya Habiba.“Nanti akan aku suruh dia scan sidik jari supaya bisa masuk melalui sidik jari.” Husein menoleh ke arah dalam ruangan. “Kemana Cindy? Kenapa lama sekali?”“Apakah aku perlu menjemputnya?”Tak lama kemudian, Cindy menyusul keluar.Tatapan Husein menelisik ke arah Cindy. “Lama sekali?”“Aku bicara sedikit pada adikku,” jawab Cindy.“Aku mau antar Habiba ke rumah mama,” pamit Husein yang diangguki dengan pasrah oleh Cindy. "Kalau kau mau tetap di sini untuk berbagi waktu dengan Emran, silakan saja. Aku tidak melarang.""Apa kau tidak mau mengantarku pulang dulu?" tanya Cindy."Kau bisa naik taksi. Arah yang kutuju berlawanan.” Husein melenggang pergi. Habiba merasa sungkan untuk beranjak, mengingat ia akan pergi bersama dengan suaminya Cindy."Aku ijin pergi ke rumah mertuamu. Ini murni untuk
"Kenapa?" tanya Habiba melihat Husein yang enggan membuka pintu."Kau yakin akan menemui mereka?" tanya Husein menoleh ke arah Habiba."Ya."Husein langsung menekan handle pintu. Ia terkejut melihat sosok wanita kurus kering yang terkapar di lantai. Kepalanya tergeletak di lantai, tangannya menjulur panjang, pecahan gelas berserak. Piring kotor menumpuk di satu tempat, ceceran nasi menambah kotor lantai. Bau apak menyeruak. Jendela tak pernah dibuka sehingga udara tak pernah berganti. Kamar tanpa Ac namun keadaannya selalu tertutup terus. Selimut terseret, suasana kamar benar- benar seperti kapal pecah. Wanita yang tergeletak itu tak lain adalah Amira. Rambutnya gimbal, acak- acakan, ikatnya sudah turun sampai ke ujung rambut namun tidak dibenarkan, bajunya lusuh, ia tampak semakin tua. Husein menghampiri dan langsung meraih tubuh Amira. Ia membantu tubuh kurus itu bangkit dan membawanya ke kasur lesehan. Husein terkesiap menatap wajah Amira yang kini hanya berjarak sejengkal saj
Habiba kali ini menajdi penonton. Ia cukup diam, membiarkan Husein yang bicara. Dan ia cukup salut akan ketegasan Husein yang memberikan pembelaan maksimal terhadapnya. Kenapa Habiba baru menyadari pembelaan Husein sekarang? Coba saja sejak dulu ia sadar bahwa Husein memprioritaskan dirinya, pasti Husein tidak akan menikah dengan Cindy.Ah, penyesalan datangnya selalu belakangan.“Seperti yang ditawarkan Habiba, bahwa dia akan memberikan perawatan kepadaku sampai sembuh, maka itu harus dia tepati. Dia harus mengobatiku dan merawatku, bertanggung jawab samapai aku benar- benar sembuh. Sakitku ini disebabkan olehnya,” ketus Amira. “Semua biaya adalah tanggung jawab Habiba.”Habiba lega. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk bertanggung jawab. Jika bukan karena ia menjadi penyebab amira menjadi sakit begini, ia pun tak akan mungkin sudi mengabdi pada wanita zalim ini.Sudah sangat kejam perlakuan Amira terhadapnya, sekarang pun masih bersikap angkuh terhadapnya.Apakah Amir
Husein ingin kembali menjadikan Habiba sebagai istrinya?Ini bukan permintaan yang pertama kalinya. Kemarin Husein sudah sempat mengatakan hal yang sama. Husein meraih tangan Habiba, menggenggamnya erat, mengangkat dagu Habiba lalu menatap mata wanita itu lekat. "Apa yang kau pikirkan? Cindy?" tanya Husein."Aku akan menjadi wanita paling jahat saat menyakiti wanita lain.""Utusanku denganmu masih belum selesai. Bahkan aku belum sempat dipanggil papa oleh Qansha."Habiba terdiam. Jika sudah membicarakan anak- anak, apa yang bisa ia katakan? Ia pun sangat ingin anak- anaknya hidup bersama dengan papa mereka. Tapi kenapa kondisinya begini? Ada Cindy yang menjadi benteng penghalang.Situasi ini sangat sulit."Jangan jadikan aku penjahat hingga menyakiti Cindy," lirih Habiba dengan mata berembun."Dan kau tetap menjadi penjahat untuk anak- anakmu, kau memisahkan ayah dari mereka."Ah, tepat sekali. Perkataan Husein benar."A aku harus menjemput peralatan medis untuk memeriksa dan mengo