"Supaya Nyonya Amira bisa melihat kesuksesanmu. Dunia ini berputar seperti ban, kadang di atas dan kadang di bawah. Dan itulah yang terjadi pada kalian sekarang," jawab Amir dengan senyum simpul.Habiba menghela napas. "Amir, aku tidak butuh pengakuan apa pun dari Bu Amira atas keberhasilanku. Saat ini aku merasa sangat menyesal, Bu Amira jadi begini karena aku. Dan aku harus bertanggung jawab atas itu. Jika sampai terjadi sesuatu kepadanya, maka aku tidak akan memaafkan diriku sendiri."Amir mengedikkan pundak. "Kau lihat sendiri Nyonya Amira masih saja bertahan dengan keangkuhannya, menolak bantuanmu meski dia membutuhkan. Bagaimana mungkin kau bisa bertanggung jawab untuk hal ini di tengah kondisi Nyonya Amira yang bersikeras menolak bantuanmu? Kalaupun kau memberi bantuan uang sebagai wujud dari tanggung jawab, Nyonya Amira pasti menolaknya."Habiba menghela napas. "Apa yang sebenarnya telah terjadi pada Bu Amira? Kenapa keadaannya bisa begini?" Sekilas pandangan mata Habiba meng
Habiba kembali fokus menatap jalan di depan. Ia menarik napas panjang untuk dapat menenangkan diri. Perasaannya sangat kacau saat Qansha terus- terusan menginginkan Husein, Habiba takut Qansha akan dekat dengan Husein. Ia takut Qansha akan lengket dengan ayahnya itu.Habiba menyentuh keningnya. Kepalanya pusing sekali.Tidak terdengar lagi suara nyaring Qansha yang biasanya seperti burung beo yang mengoceh terus. Bocah itu diam, sama sekali tidak bicara.Habiba melirik singkat ke arah Qansha yang duduk di sisinya. Bocah itu duduk dengan posisi pinggang agak berbelok memunggungi Habiba, wajahnya terus menatap ke arah luar.Habiba membiarkan saja keadaan itu hingga sampai di gedung tempat pertunjukan.Baru saja Habiba membuka pintu hendak turun dari mobil, Qansha sudah lebih dulu keluar dari mobil dan berlari pergi masuk ke gedung. Tidak ada salam pamitan dari bocah itu.“Qansha!” seru Habiba menganggil, namun Qansha mengabaikannya. Anak itu terus berlari tanpa peduli dengan pang
Habiba menggelengkan kepala. Ia memasukkan ponsel ke saku jas putihnya sambil berjalan keluar ruangan, ia melangkah di koridor panjang rumah sakit. Ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan sekarang waktunya untuk beristirahat dan makan. Jas putih yang ia kenakan merupakan sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Ia bahagia setiap kali mengenakannya.Sebelum menuju kantin, ia berniat untuk menjenguk Inez. Ia mendengar dari Ezra bahwa adiknya sang owner masuk rumah sakit ini dan sekarang berada dalam perawatan oleh Ezra.Habiba membuka pintu kamar tempat Inez dirawat. Ada Ezra yang sedang memeriksa Inez secara berkala.“Kondisimu sudah membaik. Kau sudah bisa pulang. Tapi ingat, jaga kesehatan. Jangan stres dan kondisikan supaya pikiran tetap tenang. Perbanyak waktu untuk beristirahat!” pesan Ezra. Inez hanya diam saja mendengarkan pesan dar dokter.Habiba tersenyum mendekati bed, menghampiri Inez. “Bagaimana kabarmu? Sudah baik?”Inez mengangkat alis. Sepersekian detik i
"Kali ini aku yang traktir," ucap Habiba.Mereka memesan makanan paling enak dan paling mahal di restoran itu. "Biba, aku sedih karena pernikahanku tanpa kehadiranmu. Tahukah kamu, orang yang paling aku harapkan untuk hadir di pernikahanku adalah kamu."Habiba tersenyum. "Tapi aku yakin pernikahanmu adalah pernikahan terindah.""Setelah ini aku bahkan tidak tahu akan tinggal dimana.""Apa kamu akan bercerai dari Emran?""Mas Husein memintaku untuk meninggalkan Emran, setelah apa yang dilakukan Emran, Mas Husein tidak akan tingg diam jika aku masih terus bersamanya. Lagi pula aku yakin Emran juga tidak akan mau bersamaku lagi.""Jangan pikirkan Emran. Justru seharusnya kamu tidak lagi berpikir untuk hidup bersama dengan Emran. Lelaki seperti dia memang tidak pantas untukmu," kesal Habiba menggebu- gebu. Ia paling benci dengan pengkhianatan. Apa lagi jika memgingat cintanya Inez terhadap Emran yang luar biasa, tapi ternyata Emran mendustainya."Rumah yang aku tempati sekarang adalah r
"Jangan sampai terlambat. Empat belas menit lagi!" Husein melihat jam di pergelangan tangannya."Apakah ini menyangkut pekerjaan?" tanya Habiba datar saja."Tentu.""Apakah ada pasien di sana?""Ikuti saja aturanku!" tegas Husein terlihat malas menanggapi.Huh, pria ini memang tidak menyanangkan."Habiba!"Suara panggilan yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang. Irzan berjalan menggandeng Qansha.Sejurus pandangan tertuju ke arah mereka. Habiba terkejut melihat Qansha yang bentuknya aneh, mukanya menghitam, bajunya kotor oleh lumpur. Penampilan bocah itu benar-benar kacau sekali.Langkah Qansha surut dan wajahnya berubah ketakutan saat melihat Habiba. Ia takut kena marah lagi. Irzan terus menggandeng dan menarik lengan Qansha, namun bocah itu menolak, membuat Irzan kewalahan.“Dia tidak mau pulang, dan aku membawanya ke sini,” jelas Irzan.“Ya Tuhan!” Habiba mengusap pelipis.Qansha kemudian berlari mendekati Husein dan menubruk paha pria itu, tangannya menggenggam t
"Ya sudah, Qansha pulang sama Pipi Irzan dulu ya?" pinta Habiba."Tidak. Qansha tidak mau pulang bersama dengan Pipi Irzan." Panggilan Qamsha kepada Irzan memang begitu, ia memanggil Irzan dengan sebutan Pipi."Lalu?""Qansha mau di sini bersama dengan mama.""Mama kerja. Mama tidak bisa menjagamu," tolak Habiba."Qansha sudah besar. Dan Qansha tidak perlu dijaga. Qansha bukan makanan yang perlu dijaga supaya tidak dicuri orang kan?" Qansha tersenyum dan menggemaskan sekali.Habiba ingat bahwa ia disuruh ke rooftop oleh Husein. Perintah itu mutlak dan tidak bisa dibantah. Sebenarnya ia ingin menolak kemauan Qansha, namun jika ia menolaknya, Qansha pasti akan kecewa. Kejadian pagi tadi belum sempuran terlupakan oleh Qansha, setidaknya Habiba tidak ingin menambah kekesalan bocah itu.Melihat Habiba yang kebingungan, Inez kemudian berkata, "Biba, biarkan Qansha bersamaku. Aku akan menemaninya di sini sampai kamu selesai bekerja."Habiba mengangkat alis. "Sungguh? Kamu mau membantuku me
Jika saja ia mengeluarkan kata- kata umpatan untuk menunjukkan rasa marah, bisa- bisa ia dikenai sanksi kode etik atau apalah karena memiliki etika yang buruk. Tapi jantungnya tadi benar- benar hampir copot gara- gara perbuatan mereka. Bahkan parahnya, ponsel mahal miliknya kini berendam di dalam kolam.Tak tahan dengan kekesalannya, akhirnya Habiba mengumpat juga menyebut salah satu nama binatang. "Nyamuk! Kelewatan kalian. Itu ponselku nyemplung ke air!" kesal Habiba.Mereka yang berkumpul malah hanya tertawa cengengesan saja. "Lupakan sejenak persoalan ponsel!" tegas Husein. Lalu ia menyingkirkan orang- orang yang berkerumun dengan cara mengibaskan tangan. Semuanya menyingkir, bergerak seperti ombak yang tersibak hingga Habiba bisa melihat di belakang sana ada beberapa orang dengan style rapi mengenakan stelan jas duduk di beberapa meja yang disediakan.Tak tahu mereka itu siapa, Habiba spontan membalas senyuman yang mereka lontarkan dengan sopan. Wajah- wajah dan penampilan mer
Kini, wajah yang tadinya membutuhkan pertolongan itu berubah menjadi ketakutan. Ia menunduk dan menutup wajah dengan kedua telapak tangan.“Sebaiknya security menjaga rumah sakit ini dengan ketat supaya gelandangan seperti ini tidak bisa masuk!” ucap pria keturunan Jepang itu sambil melirik ke arah Qansha yang kotor dan bau. Penampilan Qansha yang tersiram air comberan bercampur lumpur berwarna hitam membuat semua orang beranggapan bahwa ia adalah gelandangan.Seharusnya Qansha tidak sampai ke sini. Seharusnya Inez menjaganya dan tidak membenarkan Qansha memasuki area itu. Kemana Inez? Apa yang terjadi pada Qansha hingga bocah itu menangis dan terluhat kesal begitu?Inez menyusul ke rooftop dan kebingungan mencari Qansha. Sejak menuju ke arah rooftop tadi, ia kehilangan Qansha. Dan akhirnya ia berhenti ketika melihat Qansha berada diantara Habiba dan Husein.Habiba menunduk sambil berjalan menuju ke arah Qansha, ia malu, juga sungkan pada Husein dan semua orang penting yang ada di