Share

Bab 6

Prang!

Di saat Emma hendak bersiap-siap untuk pulang kerja, dia kehilangan fokus dan gelas di tangannya terjatuh hingga pecah berkeping-keping.

Sejak Russel pergi, entah mengapa Emma merasa gelisah seolah-olah ada kontak batin dengan anaknya. Perasaannya gusar seperti saat anaknya mengalami bahaya.

Apakah Vin dan Vir dalam masalah? Baru saja dia hendak menelepon Gaby, tiba-tiba seorang perawat mengetuk pintu dan masuk. "Bu Emma, Pak Edric menyuruhmu ke ruangannya."

"Oke." Emma terpaksa menyimpan ponselnya, lalu membersihkan pecahan kaca di lantai dengan secepatnya. Setelah itu, dia bergegas ke ruangan Edric.

"Pak Edric mencariku?"

"Haeh ...." Edric mengerutkan alisnya dengan cemas, "Emma, aku sudah berpesan padamu sebelumnya harus layani Pak Russel dengan baik. Kenapa kamu malah menyinggungnya?"

Menyinggungnya? Pria itu malah menuduhnya duluan? Padahal pria itu yang menelepon polisi dan mengganggunya!

"Aku nggak cari masalah dengannya, dia yang sengaja mempersulitku ...."

"Nggak ada gunanya kamu bicara seperti itu padaku," sela Edric. "Tadi Pak Russel telepon suruh pihak rumah sakit untuk memecatmu. Kalau Bos sudah angkat bicara, aku juga nggak bisa melindungimu lagi."

Memecatnya?! Perkataan ini membuat Emma tercengang. Pria itu malah menyuruh rumah sakit untuk memecatnya? Orang ini benar-benar berhati picik!

Sebenarnya, alasan Russel menelepon secara langsung adalah karena dia merasa kesal terhadap sikap Ashton. Setelah dimarahi oleh Russel, Ashton malah semakin membangkang. Dia mulai membanting semua barang dan berteriak menginginkan wanita itu menjadi ibunya.

Suasana hatinya benar-benar kacau dan menggila. Untung saja, Robert datang tepat waktu dan menyuntikkan obat penenang padanya.

Setelah menelepon Edric, Russel kembali ke kamar Ashton. Kebetulan saat itu, Robert baru saja keluar dan mengisyaratkannya untuk jangan berisik. Russel melirik sekilas dari celah pintu dan melihat Ashton telah tertidur pulas. Setelah itu, dia menutup pintu perlahan-lahan dan masuk ke ruang kerja.

"Apa kamu perlu sampai semarah itu pada seorang anak kecil berusia 6 tahun?"

Keluarga Herlambang dan Ganesha adalah sahabat lama. Russel dan Robert juga tumbuh dewasa bersama. Setelah mengenalnya bertahun-tahun, baru kali ini Robert melihat Russel semarah itu.

Menghadapi hal ini, Russel hanya terdiam dan menyalakan sebatang rokok.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Melihat sikap Ashton tadi, Robert juga terkejut sejenak. "Bukannya setahun ini sudah baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba kambuh lagi?"

"Tanyakan saja pada adikmu!"

Penyakit yang diidap oleh Ashton sebagian besar adalah karena Marion. Russel sendiri juga tidak mengerti apa yang telah dilakukan Marion untuk memprovokasi Ashton hingga membuat anak itu begitu menolaknya?

"Aku nggak bisa tanyakan itu. Gadis itu nggak pernah mau dengar nasihatku." Setelah berkata demikian, sikap Robert berubah menjadi serius.

"Omong-omong, penyakit Ashton bisa kambuh kali ini menandakan bahwa kondisinya sudah semakin parah. Kalau dibiarkan begini terus, kepribadian keduanya akan matang perlahan-lahan dan akhirnya jadi kepribadian ganda. Kalau sudah begitu, dia benar-benar akan hancur."

"Lalu mau bagaimana menyembuhkannya?" Mendengar perkataan Robert, Russel juga mulai gugup. Meski merasa kesal, Russel tetap mengkhawatirkan anaknya.

"Pasti ada penyebab yang membuatnya kambuh. Awal kemunculan kepribadian kedua Ashton adalah karena dia sangat menolak Marion sebagai ibunya. Tapi selama beberapa tahun ini sudah mulai stabil setelah dikendalikan dengan obat."

"Saat ketemu Marion sebelumnya juga dia nggak sampai kambuh. Kenapa hari ini bisa jadi separah ini?"

Robert benar-benar tidak mengerti. "Kamu benar-benar harus tanyakan pada Marion dan analisis apa yang dikatakan atau dilakukannya sampai memprovokasi Ashton?"

"Penyebabnya kali ini bukan karena dia," jawab Russel dengan nada dingin.

"Hah?" Robert semakin kebingungan. "Tadi kamu bilang karena adikku, sekarang kamu bilang bukan. Bukannya itu bertentangan sekali?"

Ashton memang bisa kambuh karena bertemu dengan Marion hari ini, tetapi pemicu sebenarnya adalah wanita bernama Emma itu. Setelah bertemu dengannya, Ashton seolah-olah diguna-guna dan terus menginginkan Emma menjadi ibunya.

"Ashton ketemu sama seorang wanita asing dan tiba-tiba ingin dia menjadi ibunya?" Mendengar ucapan Rusel, Robert benar-benar tidak menyangka.

Setelah itu, dia mulai menganalisis, "Mungkin dalam hati Ashton, Marion bukan sosok ibu yang diinginkannya,, sedangkan wanita itu cocok dengan kriterianya sebagai ibu, makanya ...."

"Jangan analisis ini denganku. Aku cuma mau tanya, apa penyakit Ashton bisa disembuhkan?" tanya Russel.

"Penyakit hati harus diobati dengan hati. Cara terbaik sekarang ini adalah memenuhi keinginannya."

"Memenuhi keinginannya?" Russel mengerutkan alisnya. "Mau gimana memenuhi keinginannya? Suruh wanita itu jadi ibu Ashton?"

"Tentu saja nggak bisa!" Robert juga hanya keceplosan tadi.

Dia langsung menyergah setelah mendengar ucapan Russel, "Russel, kamu nggak boleh berkhianat sama Marion. Aku tahu kalian nggak terikat dengan perasaan. Tapi, dia sudah menyukaimu sejak kecil. Saat kamu koma selama tiga tahun, dia yang merawatmu dan bahkan ...."

"Kamu nggak diperlukan lagi di sini!" sela Russel dengan tidak sabaran. Kemudian, dia keluar dari ruang kerja dan masuk ke kamar Ashton.

"Benar-benar pengkhianat," gerutu Robert pada Russel, lalu berbalik dan meninggalkan vila.

Begitu keluar dari vila, sebuah Maserati menghalangi mobilnya. Marion turun dari mobil dan naik ke mobil Robert. "Gimana keadaan Russel sekarang? Masih marah padaku?" tanya Marion. Setelah diusir, dia terus menunggu di mobilnya.

"Pantas saja Ashton nggak suka padamu. Penyakitnya baru kambuh, kamu bukannya menanyakan anak itu, tapi malah nanya tentang Russel," sindir Robert sambil menyalakan mesin mobil.

"Ada psikolog sepertimu di sini, Ashton akan baik-baik saja."

Robert mengangkat alisnya dan bertanya, "Ke mana? Kuantar pulang?"

"Nggak mau pulang, nanti diomeli Ayah dan Ibu lagi. Aku ke tempatmu saja."

"Oke." Setelah itu, Robert mengemudikan mobil menuju vila pribadinya. Di tengah perjalanan, dia teringat ucapan Russel dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya, "Marion, sekarang cuma ada kita berdua, jadi tolong jujur padaku. Apa Ashton benar-benar anakmu dan Russel?"

Mendengar pertanyaan ini, ekspresi Marion berubah menjadi tegang. Namun, dia segera membenahi ekspresinya kembali. "Tentu saja dia anakku dan Russel."

"Lalu kenapa kamu nggak beri tahu aku waktu kamu hamil dan melahirkan dulu?" tanya Robert.

"Kamu minggat dari rumah karena bertengkar sama Ayah dan kabur ke luar negeri selama beberapa tahun. Aku saja sudah nggak menganggapmu sebagai kakakku. Kenapa aku harus beri tahu kamu waktu melahirkan?" jawab Marion dengan kesal.

"Oke, ini salahku."

Meski Robert tidak terlalu percaya, saat itu Marion memang tidak terlalu sering muncul di layar kaca. Jadi, para wartawan juga menebak bahwa dia cuti melahirkan selama setahun itu.

Sepertinya memang Robert yang terlalu khawatir berlebihan.

"Terakhir, aku cuma mau bilang," Robert tidak bisa menahan diri untuk berkata, "Marion, penilaianku benar-benar berubah padamu. Bahkan saat Russel belum pasti bisa siuman, kamu masih rela melahirkan anak untuknya. Benar-benar luar biasa!"

"Kamu banyak bicara sekali?" Marion memperingatkan dengan nada tidak senang, "Kalau kamu masih terus mengomel, aku akan turun dari mobil!"

"Oke, oke, aku nggak bicara lagi. Aku tutup mulut," ucap Robert akhirnya mengalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status