Vin buru-buru duduk di lantai dan mulai menangis sekuat-kuatnya. Tangisannya begitu mendadak dan keras sehingga membuat Marion terkejut dan kebingungan. Mendengar tangisan Vin, Russel langsung berlari ke atas tanpa melepas sepatu atau mengganti pakaiannya."Papa, dia benar-benar ibu tiri! Dia baru saja memukulku!" Vin menangis tersedu-sedu sambil menunjuk Marion. Air mata dan ingusnya bercampur menjadi satu saat dia mengadu."Apa yang terjadi?" tanya Russel dengan nada tegas menegur Marion, "Apa yang kukatakan padamu sebelum pergi tadi?""Aku nggak mukul dia! Kapan aku mukul dia?""Kamu menarik pakaianku dan mencekoki obat ke mulutku. Itu bukan pukul namanya? Papa, aku benar-benar ketakutan tadi. Aku juga terjatuh, sakit sekali ...." Tangisan Vin semakin keras dan sedih.Ashton biasanya tidak pernah menangis sampai sehisteris ini. Ledakan emosi yang mendadak ini membuat Russel merasa sangat cemas. "Nggak apa-apa, Ashton. Papa di sini." Russel segera memeluk Vin erat-erat dan menenangka
Keesokan paginya, Vin bangun dengan perasaan senang dari ranjang besar milik Ashton. Rasanya nyaman sekali!"Ashton, bangun dulu untuk minum obat." Kemarin Ashton tidak minum obat sama sekali, sehingga Russel khawatir penyakitnya akan kambuh."Papa, sebenarnya aku sakit apa?" tanya Vin dengan penasaran. Di usia semuda ini, penyakit apa yang bisa diderita Ashton?"Cuma masuk angin sedikit, minum obat saja sudah cukup." Berhubung Ashton sudah kehilangan ingatannya, Russel tidak ingin mengungkit lebih jauh."Papa, menurutmu aku kelihatan seperti orang sakit? Aku sekarang kuat sekali, bahkan bisa mengalahkan sapi dengan tangan kosong!" Vin bahkan sengaja menunjukkan ototnya, "Aku sudah sembuh, nggak perlu minum obat lagi, Papa."Memang sejak kehilangan ingatan, Ashton terasa seperti orang yang berbeda. Kepribadiannya menjadi lebih ceria dan lebih banyak bicara. Apa mungkin dia benar-benar sudah sembuh? Apa mungkin Ashton tidak akan kambuh selama Marion tidak ada?"Baiklah." Sebenarnya, men
Setelah Emma tiba di Hotel Adore, hatinya masih penuh keraguan. Russel sudah mengatakan bahwa dia akan memecatnya, apa Pak Edric berani memberinya kesempatan lagi?Setelah melihat riwayat panggilan, Emma memang melihat ada panggilan dari telepon kantor. Dia benar-benar ingin menelepon balik untuk memastikan. Namun setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk tidak melakukannya.Mana mungkin anak itu berbohong? Emma merasa dirinya memang tidak seharusnya diam-diam menelepon untuk memastikan hal ini di belakang Vin.Kamar nomor 8808?Kamar itu adalah suite presiden di lantai teratas. Orang yang bisa tinggal di sini pasti sangat kaya atau berkuasa. Memang masuk akal jika orang yang punya status setinggi itu tidak ingin mengunjungi rumah sakit dan lebih memilih untuk meminta kunjungan dokter secara rahasia.Emma berjalan ke depan pintu. Baru saja dia hendak mengetuknya, pintu itu tiba-tiba terbuka. Apakah pintu ini sengaja dibuka untuknya? 'Cukup perhatian juga,' pikirnya.Emma melangkah
"Aku ... nggak bisa ...." Hati Emma juga sangat kacau saat ini."Begini saja kamu nggak bisa?" Russel tampak sangat merendahkannya. "Nggak punya pacar? Bukannya trik kamu untuk naik status biasanya jago sekali?"Dalam hati, Emma mengumpat, 'Pria berengsek. Kenapa mulutnya jahat sekali?!'"Dasar berengsek!" Emosi Emma telah meledak saat ini."Bukannya waktu itu kamu ke rumahku untuk memohon supaya aku memaafkanmu? Ayo teriak sekarang, semakin kuat semakin bagus!" Setelah berkata demikian, Russel menambah kekuatan pada cengkeramannya."Ah! Sakit ....""Ya, teriak seperti itu.""Sakit sekali ... dasar berengsek!"Emma merasa dirinya benar-benar telah bertemu dengan psikopat. Namun, suara teriakan Emma terdengar sangat nyata bagi Marion yang berdiri di luar pintu.Ternyata ada wanita di dalam sana? Kamar Russel ada wanita lain? Mana mungkin? Jangan-jangan, dia mengakhiri hubungan mereka bukan karena Ashton, melainkan karena ada wanita lain?!"Ah ...." Emma merasa pinggangnya sudah hampir p
Wajah Russel memucat, keringat terus bercucuran, napasnya memburu. Dia terlihat sangat tidak nyaman. Apakah ini karena amarahnya berkecamuk? Sepertinya itu terlalu berlebihan."Ka ... kamu sakit?" tanya Emma yang terkejut. Dia mendekat dan ingin memeriksa secara naluriah. Namun, begitu hendak menyentuh Russel, pria itu sontak membentak, "Minggir!"Russel terlihat seperti orang sakit, tetapi masih begitu galak. Emma sampai merinding dibuatnya. Emma berkata lagi, "Aku dokter. Aku bisa membantumu. Beri tahu aku bagian mana yang sakit.""Aku suruh kamu pergi!" bentak Russel dengan suara makin kuat. Dia seperti ingin memakan Emma hidup-hidup.Sikap Russel benar-benar tidak ramah dan tidak tahu diri. Untuk apa Emma meladeni pria semacam ini?Emma berdiri, lalu berjalan pergi. Begitu melangkah keluar, dia tiba-tiba mengurungkan niatnya lagi. Dia adalah seorang dokter. Bagaimana bisa dia mengabaikan seseorang yang terlihat sekarat?Emma kembali lagi. Tubuh Russel makin tidak nyaman sekarang. D
"Nggak kok. Mamamu orangnya memang emosional. Ini bukan salahmu," sahut Robert sambil menggendong Vin.Meskipun ibu Ashton ini terlihat aneh, Vin menyukai Robert. Dia bertanya, "Aku sangat menyukai Paman. Apa aku boleh tidur bersamamu malam ini?""Tentu saja boleh!" Robert merasa sangat senang. Dia berkata, "Aku memang ingin membawamu ke rumahku dan mengajakmu tidur bersama, tapi kamu terus menolakku."'Hah? Ashton sesombong itu? Gimana bisa dia nggak menyukai paman yang begitu baik hati?' batin Vin. Kemudian, dia berujar, "Paman, kamu juga kaya sekali, sama seperti Papa."Vila ini sungguh mewah. Vin benar-benar terkejut dengan semua yang dilihatnya. Bagaimana bisa semua kerabat Ashton sekaya ini?"Dasar kamu ini. Setelah hilang ingatan, sikapmu jadi berubah 180 derajat!" ucap Robert."Kalau begitu, Paman lebih suka aku yang dulu atau yang sekarang?" tanya Vin."Tentu saja yang sekarang. Sekarang kamu terlihat ceria, dulu kamu angkuh dan pendiam," timpal Robert.'Sebenarnya apa masalah
Di kamar hotel, Russel sudah merasa jauh lebih baik, tetapi wajahnya masih pucat. Melihat ini, Emma bertanya, "Kamu sudah baikan, 'kan?"Russel mendongak menatapnya, lalu berkata dengan tatapan penuh peringatan, "Jangan beri tahu siapa pun tentang masalah tadi. Kalau nggak, aku bisa menghabisimu."Semua orang tahu bahwa Russel pernah koma selama 3 tahun, tetapi tidak ada yang tahu tentang gejala sisa ini.Kini, posisi Russel tinggi sehingga punya banyak musuh. Penyakit semacam ini adalah kelemahannya, jadi tidak boleh ada yang tahu.Biasanya penyakit ini kambuh saat Russel berada di rumah. Dokter pribadinya akan menanganinya. Namun, kali ini malah kambuh saat dia di luar."Kamu ini benar-benar nggak tahu terima kasih ya. Tenang saja, aku dokter profesional. Aku pasti menjaga rahasiamu. Tapi, tolong izinkan aku bekerja kembali di Rumah Sakit Advant," ucap Emma."Boleh saja, tapi aku juga punya syarat. Mulai hari ini, kamu akan menjadi calon istriku," ujar Russel dengan nada memerintah.
"Tenang saja, aku pasti akan menepati janjiku. Besok kamu sudah bisa kembali bekerja di Rumah Sakit Advant. Selain itu, nggak akan ada yang berani mengganggumu." Usai berbicara, Russel pun membuka pintu untuk Emma dan mengusirnya tanpa sungkan sedikit pun. "Pergi sana.""Oke, selamat malam," ucap Emma. Setelah Emma pergi, Russel menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Kenapa penyakitnya tiba-tiba kambuh tadi? Jika tidak ada Emma, dia mungkin sudah mati.Russel sudah lelah. Dia berbaring di ranjang, lalu memejamkan mata dan tidur. Di sisi lain, Vin justru tidak bisa tidur.Tidak peduli Marion adalah ibu kandungnya atau bukan, Vin bertekad akan mengeluarkan wanita ini dari permainan. Dia harus membantu Emma naik takhta! Ya, dia harus menyusun rencana sebaik mungkin.Keesokan pagi, Russel mengemudikan mobil ke rumah Robert untuk menjemput Ashton. Begitu melihat mobil Russel, Marion langsung berlari turun untuk menyambutnya."Russel, selamat pagi," sapa Marion."Mana Ashton?" tan