Share

Bab 7

Saat Emma pulang ke rumah, Gaby telah menyiapkan semeja penuh hidangan untuk menyambutnya. Vin dan Vir juga langsung mendekat dengan patuh saat melihatnya pulang.

"Untuk merayakan hari pertama Kak Emma bekerja, Nenek Gaby sudah masak banyak makanan enak. Kami juga ikut membantu, lho!" Mata Vir memicing membentuk bulan sabit dan terlihat lesung pipi yang samar-samar di pipinya. Penampilannya ini benar-benar menggemaskan.

"Hari pertama bekerja, kamu pasti sudah lelah. Ayo cepat cuci tangan dan makan dulu," ucap Gaby sambil tersenyum ramah.

Emma yang memang sudah merasa tidak nyaman sedari tadi, kini jadi canggung saat melihat pemandangan ini. Namun, dia tetap tersenyum agar tidak merusak suasana dan mengangguk, "Oke."

Dalam suasana yang harmonis, keempat orang itu mulai makan di depan meja makan.

"Kak Emma, apa ada dokter lajang yang tampan dan kaya di rumah sakit?" tanya Vir yang sangat tertarik dengan pertanyaan ini.

"Kalau ada, aku dan Vir akan jadi pembantumu," timpal Vin yang ikut menghasut.

"Kamu tahunya cuma peduli sama masalah beginian." Emma menepuk kepala Vin, lalu berkata, "Mulai besok, kalian berdua mulai les sampai waktunya masuk sekolah."

Mendengar hal ini, kedua anak itu tampak mengerucutkan bibirnya dengan sedih.

"Memecahkan sandi yang paling sulit saja aku bisa. Kak Emma, apa kamu yakin guru les bisa mengajariku?" tanya Vir dengan serius.

"Iya, Kak Emma. Kita ini bukan orang kaya, nggak usah habisin uang seperti itu lagi," timpal Vir.

Emma terdiam. Sekali lagi, dia kalah berdebat dengan kedua anak ini.

"Kak Emma, aku serius bertanya. Apa kepulanganmu kali ini adalah untuk mencari Papa kami?" tanya Vir lagi.

"Sudah kubilang, kalian nggak punya Ayah."

Meski saat itu Emma adalah suami istri dengannya, Emma masih belum pernah bertemu dengan pria itu sekali pun. Apalagi, saat itu pria itu sudah koma tiga tahun dan sekarang ini sudah lewat enam tahun lagi. Mungkin saja dia sudah ....

"Kalau nggak ada Papa, memangnya kami ini lahir dari batu?" tanya Vir yang tak kuasa menahan tawa. "Vin, kalau begitu aku ini monyet jantan dan kamu monyet betina!"

Mendengar hal itu, Emma dan Gaby tertawa bersamaan. Kedua anak ini memang pembawa kebahagiaan bagi mereka berdua.

Setelah selesai makan, kedua anak ini langsung mandi, belajar, lalu bermain lego. Sementara itu, Emma mengurung dirinya di ruang kerja. Hari ini adalah hari pertama dia bekerja di Rumah Sakit Advant. Dia bahkan tidak tahu di mana letak ruang arsip departemen kandungan, tapi malah sudah dipecat!

"Nak, kamu harus tunggu Mama. Mama pasti akan menemukanmu!" gumam Emma.

"Mama ... Mama ...." Seolah-olah memiliki kontak batin, Ashton juga terus memanggil ibunya. Dalam mimpinya muncul sosok Emma.

"Ashton?" Russel terus menjaga di sampingnya semalaman. Saat mendengar Ashton mengigau pada keesokan paginya, dia pun membangunkan Ashton dengan suara pelan.

Setelah mendengar suara itu, Ashton membuka matanya perlahan-lahan. Melihat Russel yang berdiri di hadapannya, Ashton tak kuasa melirik ke belakang Russel. Ternyata semua itu cuma mimpi, ibunya tidak ada di sini.

"Sudah bangun?" Karena takut memprovokasinya, Russel berbicara dengan suara lembut.

"Ya." Saat Ashton tertidur, Robert telah menyuntikkan obat padanya, sehingga kini kepribadian keduanya telah menghilang.

Ashton duduk dengan perlahan. Saat melihat lengan Russel yang terluka, dia merasa bersalah. "Maaf, Papa."

Russel melirik lukanya sekilas, lalu buru-buru membalas, "Cuma luka kecil kok, nggak apa-apa."

Ashton masih merasa sangat bersalah. Dia menundukkan kepala dan terdiam sangat lama.

"Papa juga salah semalam, nggak seharusnya Papa marah sama kamu."

"Nggak, Ashton yang nakal," balas Ashton.

"Yang sudah berlalu jangan diungkit lagi. Kamu lapar nggak?" Sikap Russel seperti seorang ayah yang lembut. "Mau makan apa? Biar Papa masakkin."

"Aku nggak lapar." Ashton menatap Russel, lalu bertanya, "Aku boleh tidur sebentar lagi nggak?"

Di dalam mimpinya tadi, Emma memeluknya dengan sangat lembut. Ashton sangat mendambakan perasaan itu. Dia ingin mencoba, apakah mimpi itu masih bisa berlanjut jika dia tertidur kembali.

"Oke, kamu tidur saja dulu. Papa akan masak enak. Kalau sudah selesai nanti, Papa bangunin kamu."

"Oke, Papa."

Di sisi lain, Emma tidak tidur semalaman. Dalam pikirannya terus terngiang-ngiang tentang Cheria dan putranya. Jika ingin menemukan putranya, Emma hanya bisa mencari petunjuk dari Cheria atau Rumah Sakit Advant.

Namun, mencari Cheria bagaikan mencari jarum di tumpukan Jerami. Vila di tepi kota tempat tinggalnya saat hamil dulu telah dibongkar dan direnovasi. Jadi, Emma tidak bisa lagi menemukan Cheria.

Cara satu-satunya adalah mencari dari Rumah Sakit Advant. Sebelum menemukan petunjuknya, Emma tidak akan pergi begitu saja! Oleh karena itu, Emma membuat keputusan yang bahkan membuat dirinya sendiri muak. Dia harus mencari pria itu.

Keesokan paginya, Emma berangkat pagi-pagi. Mendengar suara Emma yang telah berangkat pagi-pagi, Vin bangun dari tidurnya dan membangunkan Vir.

"Vir! Vir!"

"Kenapa?" Vir membuka matanya dengan enggan. Saat ini dia benar-benar sangat mengantuk.

"Kak Emma sudah berangkat pagi-pagi. Sepertinya bukan berangkat kerja. Ayo kita ikuti dan lihat ke mana dia pergi?"

"Aku nggak ikutan, mau tidur ...," ujar Vir dengan malas, kemudian dia memejamkan mata dan melanjutkan tidurnya.

"Dasar pemalas!" Setelah berkata demikian, Vin melihat ke luar jendela dan menyadari bahwa Emma telah berjalan menjauh. Dia buru-buru mengenakan pakaiannya dan mengejar Emma.

Sejak Emma ingin pulang ke dalam negeri waktu itu, Vin telah merasa aneh. Pasti ada sesuatu yang sedang disembunyikannya. Oleh karena itu, Vin bertekad untuk menyelidikinya!

Emma memanggil sebuah taksi dan Vin mengikuti di belakangnya. Setibanya di tempat tujuan, Vin benar-benar terkejut.

"Mewah sekali vilanya." Kawasan vila ini tampak seperti tempat tinggal konglomerat di drama-drama. Lalu, kenapa Emma datang ke sini? Apa ayah mereka tinggal di sini?

Emma tiba di luar vila Keluarga Herlambang, lalu menarik napas dan mengingatkan dirinya sendiri, "Demi bisa menemukan putraku, aku harus bersabar. Jangan banyak perhitungan dengan pria berengsek itu. Harus bersabar!"

Setelah melakukan persiapan mental, Emma pun menekan bel pintu. Orang yang membukakan pintu adalah Yani.

"Halo, apakah di sini rumah Pak Russel?" Bagaimanapun, Emma datang untuk meminta bantuan. Oleh karena itu, sikapnya harus lebih hormat.

"Ya, dengan siapa ini?"

"Namaku Emma, dokter di Rumah Sakit Advant. Sebelumnya Pak Russel datang ke rumah sakit kami untuk melakukan pemeriksaan dan aku adalah dokter penanggungjawabnya. Hari ini aku mau antarkan laporannya." Jika tidak berkata demikian, Emma mungkin tidak akan diperbolehkan masuk.

"Oh ternyata Bu Emma? Ayo masuk." Mendengar bahwa orang ini adalah dokter di Rumah Sakit Advant, Yani langsung mempersilakannya masuk.

"Tuan Russel, Dokter Emma dari Rumah Sakit Advant datang untuk mengantarkan laporan hasil kesehatan," lapor Yani kepada Russel yang sedang memasak untuk Ashton.

Mendengar hal itu, Russel langsung keluar dari dapur. Saat ini, dia sedang mengenakan pakaian kasual dan celemek.

Emma agak kaget melihatnya. Ternyata pria ini bisa masak sendiri?

"Siapa suruh kamu mengizinkannya masuk?" Sekarang ini, Russel bahkan ingin sekali menguliti Emma.

"Dokter Emma yang bilang mau mengantarkan laporan, jadi aku ...." Yani buru-buru mengaku salah.

"Keluar!" teriak Russel kepada Emma dengan kejam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status