Share

Bab 5

Ternyata wanita ini memang terus terang sekali.

"Memangnya pemeriksaan fisik harus lepas baju ya?" tanya Russel tanpa bergerak sama sekali. Dia juga tidak terlihat berniat untuk melepas pakaiannya.

"Nggak wajib. Hanya saja, kalau dilepas akan mempermudah pemeriksaan. Kalau Pak Russel nggak mau lepas pakaian juga nggak masalah," jawab Emma. Siapa suruh orang ini adalah bosnya?

Saat Emma mencoba menempelkan stetoskop ke dada Russel, tangannya tiba-tiba dipegang dengan kuat hingga terasa nyeri. "Apa yang kamu lakukan?" Emma menatapnya dengan marah. Apa pria ini mencoba untuk melecehkannya?

"Seharusnya aku yang tanya pertanyaan itu padamu." Russel menatap Emma dengan penuh kemarahan. Melihat Emma berpura-pura tidak bersalah membuatnya semakin marah. Dia merasa Emma telah menipu anaknya dan kini berpura-pura polos di hadapannya.

Emma merasa bingung. Dari semua pasien yang pernah dia tangani, Russel adalah yang paling sulit dihadapi. "Kalau Pak Russel adalah orang yang begitu konservatif, kusarankan Bapak cari dokter pria lain," kata Emma.

Kenapa harus menunjuknya untuk melakukan pemeriksaan jika tidak mau ada kontak fisik sama sekali?

"Kamu masih saja pura-pura?" Russel semakin marah dan tatapannya semakin dingin. "Setelah masuk kantor polisi, kamu masih nggak menyesal? Apa harus sampai dipenjara dulu?"

Apa? Jadi, orang yang menelepon polisi adalah pria ini?

Emma menurunkan stetoskopnya dan menatap Russel dengan dingin. "Apa maksud Pak Russel? Aku baru saja pulang ke negara ini. Aku benar-benar nggak tahu apa yang telah kuperbuat sampai membuat Pak Russel maraha?"

Untuk apa seorang presdir sok berlagak jadi warga yang peduli? Emma merasa sulit untuk percaya bahwa tindakan Russel ini bukan untuk menargetkan dirinya dengan sengaja.

"Kamu nggak tahu apa yang kamu perbuat?" Russel mendengus dingin. "Kalau masih nggak menyesal, seharusnya aku nggak membebaskanmu secepat itu dari kantor polisi!"

"Kamu ini benar-benar aneh!" Emma benar-benar marah sekarang. Sepertinya otak pria ini bermasalah.

"Aku cuma makan dengan putraku, apa hubungannya denganmu? Kamu bahkan lapor polisi dan sengaja mengusikku di rumah sakit. Kalau diteruskan begini, orang yang lapor polisi itu seharusnya aku!"

"Putramu?" Mendengar perkataan ini, emosi Russel langsung memuncak. "Kamu berani bilang itu putramu?"

"Itu memang putraku, kenapa aku nggak berani bilang begitu?" Emma juga naik pitam. "Kalau Pak Russel benar-benar suka sama anak-anak, kamu bisa nikah dan suruh istrimu untuk melahirkan. Memalukan sekali kamu mengincar anak orang lain!"

"Coba ulangi lagi perkataanmu tadi!" Di bawah tatapan Russel yang kelam dan penuh aura membunuh, Emma disudutkan hingga ke dinding. Dalam jarak sedekat itu, dia merasa sangat terintimidasi.

Emma merasa terancam dan bingung, menganggap pria ini mungkin mengalami gangguan mental seperti skizofrenia atau delusi. "Aku bilang, dia anakku!" Meskipun merasakan ancaman yang kuat, Emma tidak akan mengalah.

Satu detik, dua detik ....

Suasana sangat tegang hingga napas kedua orang itu tercekat untuk sejenak. Russel mendekatinya dengan tubuh yang kekar dan tampak seperti ingin menelan dirinya. Seiring dengan suasana yang semakin bersitegang, Emma harus mengaku bahwa hatinya mulai panik. Pada saat ini ....

Sebuah dering telepon memecah ketegangan. Russel mengerutkan kening saat menerima telepon tersebut. "Pak Russel, gawat. Tuan Muda kambuh lagi!"

Russel langsung merasa gugup. Ashton sudah setahun tidak pernah kambuh dan Russel selalu merawatnya dengan teliti. Kenapa hal ini bisa terjadi?

"Aku akan buat perhitungan denganmu lain kali!" Setelah berkata demikian, Russel berbalik dan bergegas pergi.

Emma menghela napas panjang karena merasa lega saat pria itu akhirnya pergi. "Dasar gila," gumamnya.

Russel bergegas pulang ke vila dan memarkirkan mobilnya di halaman. Tampak seorang wanita yang mengenakan gaun cerah dengan rambut bergelombang serta sepatu hak tinggi berlari mendekatinya. Wanita ini adalah Marion. Wajahnya tampak cemas dan ketakutan. Dengan suara lirih, dia memanggil, "Russel ...."

Russel sama sekali tidak menggubrisnya. Dia langsung melewati Marion dan berlari menuju ruang tamu. Saat ini, kondisi ruang tamu telah berantakan dan seluruh lantai dipenuhi pecahan barang.

Ashton memeluk dirinya sambil meringkuk di sofa. Saat melihat Russel masuk, Ashton memandangnya dengan tatapan marah. Sikapnya jauh berbeda dengan dirinya yang biasa patuh dan manis.

"Ashton." Russel melangkah maju dan hendak menggendongnya. Namun, Ashton malah mendorongnya dengan kuat sambil berteriak, "Jangan sentuh aku! Jangan sentuh aku!"

Saat penyakitnya kambuh, kepribadian Ashton yang kedua akan muncul. Dia akan menjadi sangat pembangkang dan mudah marah. Sering kali, dia juga melukai dirinya sendiri. Biasanya Russel selalu membujuknya dengan hati-hati dan mengalah padanya jika penyakitnya sedang kambuh.

"Oke, aku nggak akan sentuh kamu." Russel bergerak mundur beberapa langkah, lalu bertanya pada kepala pelayan, "Ada apa sebenarnya?"

"Tuan, itu ...." Yani menatap Marion dengan ketakutan, lalu berkata, "Nyonya baru pulang. Saat itu cuma ada Nyonya dan Tuan Muda di ruang tamu. Kami juga nggak tahu apa yang terjadi. Setelah beberapa menit, jadi begini ...."

"Aku nggak buat apa pun!" jelas Marion. "Aku juga nggak tahu kenapa Ashton bisa jadi gini?"

"Bukannya aku menyuruhmu jangan pulang dulu?" Russel berbicara dengan nada menyalahkan. Sekujur tubuh Marion gemetaran karena ketakutan.

Dengan suara yang hendak menangis, dia berkata, "Aku cumaa beli camilan kesukaan Ashton, jadi ingin buru-buru pulang untuk mengantarkannya. Lalu ...."

"Keluar!" perintah Russel kepada Marion. Saat ini, Marion benar-benar kesal dan tidak rela. Namun karena Russel sudah berkata demikian, dia terpaksa keluar dari tempat itu.

"Tunggu dulu!"

Mendengar ucapan ini, mata Marion kembali berbinar. Apa Russel hendak menyuruhnya tinggal?

"Telepon kakakmu, suruh dia datang sekarang juga!"

Kakak laki-laki Marion adalah seorang psikolog terkenal dan dokter pribadi Ashton. Saat Ashton sakit, Robert yang datang mengobatinya setiap hari. Hampir setahun belakangan ini, kondisi Ashton telah mulai stabil, sehingga Robert juga jadi jarang datang.

"Oke," jawab Marion dengan enggan. Kemudian, dia keluar dari ruang tamu untuk menelepon Robert.

"Ashton, dia sudah pergi. Anak baik, ayo minum obatnya." Russel baru mengambil obat dari tangan Yani. Namun, Ashton langsung bereaksi keras merebut obat itu dan membuangnya ke lantai. Setelah itu, dia mendorong Russel dengan kuat.

"Kamu pembohong!" Ashton mulai histeris. "Kamu bilang, kalau aku patuh, kamu akan suruh Bibi itu jadi mamaku! Tapi kamu malah suruh wanita itu pulang! Sudah kubilang berulang kali, dia bukan mamaku! Bukan!"

Saat Ashton mendorong Russel tadi, tangan Russel kebetulan tergores pecahan beling hingga meneteskan darah.

"Tuan!" Melihat Russel yang terluka, para pelayan langsung terkejut. Ditambah lagi dengan ekspresinya yang dingin, jelas sekali Russel sudah kehilangan kesabaran kali ini.

"Kamu nggak bisa milih Mama sendiri! Aku nggak peduli seberapa sukanya kamu sama wanita itu, dia bukan mamamu. Suka atau nggak, mamamu itu Marion. Kamu dengar itu?!" bentak Russel yang tidak bisa menahan amarahnya lagi.

"Aku nggak mau!" Tubuh Ashton gemetaran. Dia memelototi Russel dan berteriak, "Aku mau pilih mamaku sendiri! Aku nggak akan mengakui Marion seumur hidup!"

"Ashton!" Russel mengangkat tangannya tiba-tiba, sedangkan Ashton juga tidak mau mengalah. Dia mendongak untuk menantang Russel. "Mau pukul aku sampai mati pun, aku nggak akan mengakuinya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status