Share

Bab 4

Di saat para polisi itu tidak tahu harus bagaimana memutuskan, tiba-tiba masuk sebuah panggilan. "Tuan Muda telepon, katanya orang ini bukan pedagang manusia. Segera lepaskan dia!"

Setelah membebaskan Emma, kedua polisi wanita di hadapannya saling memandang, lalu menghela napas. "Orang kaya memang keras kepala. Pertengkaran pasangan saja harus sampai melibatkan polisi."

Setelah keluar dari kantor polisi, Emma merasa sangat sial. Pada hari pertama kembali ke tanah air, dia malah harus berurusan dengan kantor polisi. Semua ini gara-gara anak itu! Emma baru saja hendak menelepon Vin ketika ponselnya berdering. Ternyata, Vir yang menelepon.

"Halo, Kak Emma, gimana keadaanmu? Kenapa belum kembali? Makan malam sudah siap," tanya Vir.

"Vin sudah pulang belum?" tanya Emma langsung.

"Bukannya Vin pergi ke rumah sakit untuk cari Kak Emma?" Vir merasa tidak berdaya. Setelah kembali ke rumah dan merapikan barang-barang, Gaby menyuruh mereka berdua tidur siang.

Vin tidak bisa tidur dan ingin pergi ke rumah sakit untuk mencari tahu, sedangkan Vir merasa mengantuk dan menolak ajakan tersebut. Setelah bangun tidur, Vir baru menyadari bahwa Vin sudah menghilang.

"Jadi, Vin belum pulang?" Mendengar hal ini, Emma merasa cemas. Polisi hanya sibuk menangkap pedagang anak, lalu bagaimana dengan keselamatan anak itu?

"Sudah pulang, sudah pulang!" Vir baru saja hendak berbicara ketika Vin membuka pintu dan masuk, "Kak Emma, jangan khawatir. Vin sudah kembali!" Emma merasa lega, sekaligus emosi. Dasar anak nakal!

Vir yang telah memutuskan telepon, berkata dengan tatapan cemas sekaligus senang, "Vin, Kak Emma sudah tahu tentang kamu diam-diam pergi ke rumah sakit."

"Kok bisa?" Vin terkejut setelah mendengar hal itu. Dia melihat kembali jam tangan ponselnya, seharusnya lokasinya sudah diblokir.

"Yang jelas Kak Emma sudah tahu dan dia kedengarannya marah sekali. Hati-hati ya," kata Vir dengan tampang seolah-olah khawatir akan terlibat masalah, "Kalau dia potong uang sakumu, jangan coba-coba minta dariku. Aku juga nggak punya uang."

Vin mencibir sekilas. Anak ini cuma peduli dengan uang dan tidak peduli pada kakaknya!

"Vin, apa yang kamu temukan setelah pergi ke rumah sakit Kak Emma? Ketemu pria tampan dan kaya yang cocok jadi ayah?" Setelah memastikan Vin tidak akan menuntut uang sakunya, Vir mendekat dengan penuh harapan.

"Jangan tanya, aku bahkan nggak sempat masuk ke rumah sakit," ujar Vin dengan kecewa, "Entah ada masalah apa yang terjadi, rumah sakit itu tertutup rapat. Jangankan aku, mungkin seekor lalat pun nggak akan bisa masuk."

"Wow, sampai seheboh itu? Kalau tahu begini, aku seharusnya nggak tidur siang dan pergi denganmu!" Sebelum selesai mengobrol, mereka mendengar suara di pintu masuk.

Vir buru-buru memperingatkan, "Kak Emma sudah pulang. Hati-hati ya."

Begitu Emma masuk, dia melihat kedua anak kecil itu telah duduk manis di meja makan, sedangkan Gaby menaruh kembali makanan yang telah dipanaskan di atas meja.

"Phoebe sudah pulang? Ayo cepat makan," ucap Gaby sambil tersenyum.

"Ya," balas Emma dengan dingin sambil memelotot ke arah Vin dengan kejam. Vin langsung menunduk untuk mengakui kesalahannya, "Aku bersalah, Kak Emma."

"Phoebe, jangan salahkan anak kecil. Semua salahku," timpal Gaby langsung. "Ini gara-gara aku tidur terlalu lelap, sampai nggak tahu anak ini keluar."

Usia Gaby sudah tua. Terlebih lagi, dia sangat kelelahan belakangan ini. Mna mungkin Emma akan menyalahkannya?

"Bukan salah Bi Gaby." Melihat tampang Gaby yang menyalahkan dirinya sendiri, Emma berkata, "Lupakan saja masalah ini. Jangan ada yang ungkit lagi. Kamu!"

Emma memperingatkan Vin dengan galak, "Kalau berani berkeliaran lagi lain kali, akan kuhajar kamu!"

"Aku mengerti, Kak Emma. Nggak berani lagi lain kali!" ucap Vin sambil mengulurkan tangannya untuk bersumpah.

Kemudian, kedua orang dewasa dan dua anak-anak itu makan dalam suasana harmonis. Meski rumah itu kecil, suasana di dalamnya sangat hangat. Sementara itu di villa besar yang sepi, Ashton sama sekali tidak memiliki selera makan meskipun meja dipenuhi dengan berbagai hidangan mewah.

"Kenapa Ashton? Kamu nggak enak badan?" tanya Russel melihat Ashton tidak menyentuh makanannya sama sekali.

Ashton menggelengkan kepala sambil mengatupkan bibirnya. Kemudian, dia memberanikan diri untuk menatap Russel dan berkata, "Bukan, aku nggak mau makan ini lagi. Aku ingin makan makanan yang kusuka."

Russel mengerti perasaannya, tapi ....

"Ashton, kondisi tubuhmu sangat Istimewa, nggak bisa makan sembarangan. Setelah kamu sembuh nanti, Papa akan masakkin apa pun yang kamu inginkan."

Ashton kembali menunduk dan menggigit bibir sambil menggosok kedua tangannya. Dia bukan ingin makan pangsit itu, melainkan ingin merasakan makan bersama Emma.

"Sudah, jangan ngambek lagi. Ayo cepat makan. Setelah makan nanti, Papa bawa keluar untuk main," ucap Russel sambil mengambilkan lauk ke piring Ashton.

"Papa, aku mau Mama." Ashton memandang Russel dengan kedua matanya yang penuh harapan. Dia tahu apa yang akan dikatakan Russel selanjutnya, sehingga dia menyela, "Bukan Marion, tapi Mama asliku. Boleh nggak Bibi tadi siang itu jadi mamaku?"

Ashton ternyata masih belum melupakan wanita itu!

"Pertama-tama, Ashton harus patuh." Russel tidak mungkin menanggapinya dengan kasar, sehingga dia terpaksa membujuk Ashton, "Makan yang patuh, Papa akan pertimbangkan."

"Benaran?" Mendengar hal ini, mata Ashton sontak berbinar penuh harapan.

"Tentu saja," jawab Russel dengan tenang.

Setelah melihat Ashton menghabiskan makanannya, Russel menemaninya untuk belajar sejenak. Setelah Ashton tertidur, Russel menelepon Weston, "Aku mau informasi lengkap wanita tadi siang."

....

Hari ini adalah hari pertama Emma bekerja secara resmi. Setelah mengenakan jas putih, dia baru saja bersiap untuk memulai pemeriksaan ketika Edric memanggil Emma ke kantornya.

"Pak Edric cari aku?" tanya Emma.

"Ya," jawab Edric sambil tersenyum. "Reputasi Emma benar-benar terkenal ya. Pak Russel sampai memintamu yang menangani pemeriksaan kesehatannya."

Pak Russel? Emma mengetahui bahwa Rumah Sakit Advant ini memang selalu disponsori oleh Hushborne International. Jadi, orang yang dimaksud Edric adalah Russel?

"Pak Russel ini investor utama rumah sakit kita. Emma, kamu harus melayaninya dengan baik."

"Aku mengerti." Emma tidak yakin apakah ini kabar baik atau buruk, tetapi karena ini adalah tugas yang diberikan oleh Edric, dia terpaksa melakukannya sesuai perintah.

"Dokter Emma, Pak Russel sudah di ruang pemeriksaan," ucap seorang perawat begitu melihat Emma keluar dari lift.

Secepat ini dia sudah datang?

Emma membereskan pakaiannya, lalu melangkah masuk ke ruang pemeriksaan. Begitu memasuki ruangan, dia melihat seorang pria yang duduk di sofa. Pria itu mengenakan jas hitam.

Kedua kakinya disilangkan dengan sangat natural. Dari sudut pandangnya, Emma kebetulan bisa melihat wajahnya.

Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, dan yang paling memikat adalah kedua matanya yang tampak dalam. Cahaya pagi yang menyinari wajahnya, semakin menonjolkan ketampanan pria itu dan memberikan efek visual yang luar biasa.

"Halo, Pak Russel. Aku adalah dokter penanggungjawab untuk pemeriksaanmu, namaku Emma."

Mendengar hal itu, Russel mendongak untuk menatapnya. Penampilan wanita ini terlihat lebih menarik dibandingkan saat melihatnya dari CCTV. Dari wajahnya, sama sekali tidak terlihat bahwa wanita ini sangat licik.

Pandangan Russel membuat Emma merasa tidak nyaman. Namun berhubung Russel adalah tamu kehormatan di rumah sakit ini, Emma juga tidak berani banyak berkomentar. "Kalau Pak Russel sudah siap, gimana kalau kita mulai saja?"

"Oke," jawab Russel sambil berdiri. Dia merasa penasaran apa yang ingin dilakukan wanita ini.

"Kita lakukan pemeriksaan rutin dulu ya." Emma mengambil stetoskop dan berkata padanya, "Buka baju dan berbaringlah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status