Ternyata wanita ini memang terus terang sekali."Memangnya pemeriksaan fisik harus lepas baju ya?" tanya Russel tanpa bergerak sama sekali. Dia juga tidak terlihat berniat untuk melepas pakaiannya."Nggak wajib. Hanya saja, kalau dilepas akan mempermudah pemeriksaan. Kalau Pak Russel nggak mau lepas pakaian juga nggak masalah," jawab Emma. Siapa suruh orang ini adalah bosnya?Saat Emma mencoba menempelkan stetoskop ke dada Russel, tangannya tiba-tiba dipegang dengan kuat hingga terasa nyeri. "Apa yang kamu lakukan?" Emma menatapnya dengan marah. Apa pria ini mencoba untuk melecehkannya?"Seharusnya aku yang tanya pertanyaan itu padamu." Russel menatap Emma dengan penuh kemarahan. Melihat Emma berpura-pura tidak bersalah membuatnya semakin marah. Dia merasa Emma telah menipu anaknya dan kini berpura-pura polos di hadapannya.Emma merasa bingung. Dari semua pasien yang pernah dia tangani, Russel adalah yang paling sulit dihadapi. "Kalau Pak Russel adalah orang yang begitu konservatif, ku
Prang!Di saat Emma hendak bersiap-siap untuk pulang kerja, dia kehilangan fokus dan gelas di tangannya terjatuh hingga pecah berkeping-keping.Sejak Russel pergi, entah mengapa Emma merasa gelisah seolah-olah ada kontak batin dengan anaknya. Perasaannya gusar seperti saat anaknya mengalami bahaya.Apakah Vin dan Vir dalam masalah? Baru saja dia hendak menelepon Gaby, tiba-tiba seorang perawat mengetuk pintu dan masuk. "Bu Emma, Pak Edric menyuruhmu ke ruangannya.""Oke." Emma terpaksa menyimpan ponselnya, lalu membersihkan pecahan kaca di lantai dengan secepatnya. Setelah itu, dia bergegas ke ruangan Edric."Pak Edric mencariku?""Haeh ...." Edric mengerutkan alisnya dengan cemas, "Emma, aku sudah berpesan padamu sebelumnya harus layani Pak Russel dengan baik. Kenapa kamu malah menyinggungnya?"Menyinggungnya? Pria itu malah menuduhnya duluan? Padahal pria itu yang menelepon polisi dan mengganggunya!"Aku nggak cari masalah dengannya, dia yang sengaja mempersulitku ....""Nggak ada gu
Saat Emma pulang ke rumah, Gaby telah menyiapkan semeja penuh hidangan untuk menyambutnya. Vin dan Vir juga langsung mendekat dengan patuh saat melihatnya pulang."Untuk merayakan hari pertama Kak Emma bekerja, Nenek Gaby sudah masak banyak makanan enak. Kami juga ikut membantu, lho!" Mata Vir memicing membentuk bulan sabit dan terlihat lesung pipi yang samar-samar di pipinya. Penampilannya ini benar-benar menggemaskan."Hari pertama bekerja, kamu pasti sudah lelah. Ayo cepat cuci tangan dan makan dulu," ucap Gaby sambil tersenyum ramah.Emma yang memang sudah merasa tidak nyaman sedari tadi, kini jadi canggung saat melihat pemandangan ini. Namun, dia tetap tersenyum agar tidak merusak suasana dan mengangguk, "Oke."Dalam suasana yang harmonis, keempat orang itu mulai makan di depan meja makan."Kak Emma, apa ada dokter lajang yang tampan dan kaya di rumah sakit?" tanya Vir yang sangat tertarik dengan pertanyaan ini."Kalau ada, aku dan Vir akan jadi pembantumu," timpal Vin yang ikut m
Menghadapi sikap Russel, Emma benar-benar marah. Dasar maling teriak maling!"Pak Russel, aku nggak tahu ada kesalahpahaman apa di antara kita, tapi bukankah kamu sudah keterlaluan membuatku dipecat?" Emma berusaha menahan emosinya dan bicara dengan tenang.Russel melirik ke lantai atas sejenak karena takut Ashton akan mendengar suara wanita ini. Dia bergegas maju untuk mencengkeram tangan Emma dan menariknya keluar dengan kasar."Wanita keji yang pura-pura polos setelah melakukan kejahatan sepertimu nggak pantas jadi dokter. Cepat keluar!" Mengingat sikap Ashton yang agresif semalam, ingin sekali rasanya Russel mencekik wanita ini."Pak Russel, izinkan aku bertanya, perbuatan jahat apa yang kulakukan?" Awalnya Emma ingin meminta maaf dengan baik dan memohonnya untuk membiarkan Emma kembali ke Rumah Sakit Advant. Tak disangka, mulut pria ini benar-benar busuk."Nggak usah pura-pura polos lagi, nggak mempan bagiku!" Pada saat ini, Russel telah menarik Emma ke pintu depan. Baru saja dia
Ashton menghilang?Russel segera berlari ke kamarnya dan melihat bahwa sprei tempat tidur telah diikat dan menjulur sampai ke bawah. Apakah setelah melihat Emma, dia bahkan rela melompat keluar dari jendela lantai dua hanya untuk mengikutinya?"Cari!" Russel memerintahkan, "Kerahkan semua orang untuk mencarinya!"Sekarang Emma baru saja pergi, Ashton juga pasti belum jauh.Sementara itu, Vin yang terus bersembunyi di semak-semak, hanya menjulurkan kepalanya setelah mendengar bahwa keadaan sudah tenang. Dia menyadari bahwa orang-orang di depannya sudah tidak ada. Di mana Kak Emma? Di mana pria tampan yang kaya itu?Vin tidak punya pilihan selain keluar dari semak-semak. Baru saja dia bersiap untuk menelepon Emma, tiba-tiba terdengar suara kaget dari belakangnya, "Tuan Russel, Tuan Ashton sudah ditemukan!"Belum sempat Vin bereaksi, banyak sekali pelayan yang berpakaian serupa berlari ke arahnya. Vin kebingungan, apa yang terjadi? Apakah yang mereka sebut Tuan Ashton itu dirinya? Sejak k
Setelah naik taksi bersama Emma, Ashton masih terus gelisah dan melirik ke belakang sesekali. Meskipun berhasil keluar, dia tahu bahwa ayahnya sangat hebat dan mungkin sulit baginya untuk terus bersembunyi."Kak Emma," panggil Ashton."Hmm?""Kamu sayang padaku, 'kan? Nggak peduli apa pun yang terjadi nanti, kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?"Mendengar pertanyaan itu, Emma tersenyum tak berdaya, "Kenapa tiba-tiba tanya begitu, anak nakal? Aku ini ibumu. Kalau bukan sayang kamu, aku mau sayang siapa lagi? Langit runtuh sekalipun, aku nggak akan meninggalkanmu."Mendengar ucapan itu, Ashton merasa sangat tersentuh hingga matanya berkaca-kaca. Sejak kecil, orang yang selama ini dianggapnya sebagai ibu, tidak pernah mengatakan hal seperti itu padanya."Terima kasih, Kak Emma. Aku juga nggak akan meninggalkanmu!"Emma tersenyum dan kemudian mengetuk kepalanya dengan lembut.Setelah turun dari taksi, Emma menggandeng tangan Ashton masuk ke apartemen. Ashton yang sejak kecil selalu diatur
"Kalau aku nggak punya istri, dari mana datangnya kamu?" Russel merasa tak berdaya menanggapi pertanyaan ini.Setelah memastikan pertanyaan ini, Vin mulai berpikir keras. Ini benar-benar nggak masuk logika. Kalau begitu, dia dan Ashton bukan kembaran yang telah lama terpisah? Lalu kenapa mereka bisa semirip ini?"Pertanyaan terakhir," Vin menatap Russel dan bertanya, "Kenapa aku sampai kabur dari rumah?"Kenapa kabur dari rumah? Kelihatannya Ashton benar-benar amnesia sampai tidak ingat hal-hal seperti ini lagi. Bisa jadi, ini adalah hal yang baik. Setidaknya dia sudah lupa tentang Emma. Jika sudah terlupakan, kenapa harus diingat lagi?"Itu karena kamu nggak mau makan teratur dan Papa memarahimu.""Cuma karena itu?"Russel mengangguk.Apakah Ashton benar-benar selemah itu? Kak Emma biasanya bukan cuma memarahinya, entah sudah berapa kali Vin dipukul. Namun, dia tetap saja mengikuti Emma dengan senang hati. Tidak pernah terpikirkan olehnya untuk kabur dari rumah.Ah, anak-anak keluarga
"Ini mamaku?" Saat bertemu dengan Marion, Vin membelalakkan matanya dengan lebar, kemudian mengerutkan alisnya. Dari segi manapun, wanita ini tidak terlihat lebih cantik dari Emma. Selera pria ini buruk sekali."Ya, Ashton. Aku mamamu. Katanya kepalamu terbentur? Buat kaget Mama saja. Gimana keadaanmu sekarang? Masih sakit nggak?" Sambil berkata demikian, Marion hendak mengelus kepalanya, tetapi Vin langsung menghindar."Nggak sakit lagi. Makasih atas perhatian Mama."Mendengar ucapan ini, Russel langsung tersenyum puas. Ternyata bocah ini bisa bicara dengan sesopan ini pada Marion."Baguslah kalau nggak sakit lagi. Kalau begitu, kamu pergi main dulu. Kalau ada masalah, panggil Mama," ucap Marion."Oke!"Vila ini benar-benar besar sekali. Butuh waktu lama untuk bisa mengelilingi semuanya. Jadi, Vin memutuskan untuk berkeliling sampai puas.Yani membawa Vin naik ke lantai atas, sedangkan Marion langsung menoleh pada Russel dengan wajah memikat. "Nggak kusangka Ashton akan menerimaku sua