Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani.
"Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memiliki senyum seperti Sandra, mata ceria yang selalu membuat dunia terasa lebih ringan. Dia membayangkan memeluk Sandra dengan penuh kasih sayang setiap malam, tanpa rasa canggung atau jarak. Setiap hari bersama Sandra akan menjadi anugerah, di mana cinta tak pernah pudar. Namun, bayangan itu seketika runtuh saat Leo kembali ke kenyataan. Ranjang dingin di sebelahnya diisi oleh Fiona, bukan Sandra. Ruang kosong di hatinya yang tak pernah terisi membuat dadanya semakin sesak. "Seandainya aku lebih sabar, lebih bijak... mungkin hidupku akan seperti itu sekarang," pikir Leo, rasa penyesalan melingkupinya. Bukan hanya cinta yang hilang, tetapi juga harapan untuk hidup yang bahagia. Air matanya mulai mengalir, membasahi bantal. Leo menyadari, bayangan itu hanyalah ilusi. Namun, betapa ia berharap bisa hidup dalam ilusi itu untuk selamanya, daripada menghadapi kenyataan yang membuat hatinya hancur. --- Leo memejamkan matanya, tapi pikirannya terus berputar. Dalam hati, ia bergumam penuh kepedihan,"Sandra,kamu adalah satu-satunya wanita yang benar-benar kucintai." Ia teringat bagaimana hubungan mereka dulu berjalan—setiap senyuman, setiap tatapan, dan setiap sentuhan yang terasa begitu alami. Mereka telah menciptakan begitu banyak kenangan bersama, kenangan yang terus menghantui pikirannya, meski waktu telah berlalu. "Kenapa kamu tak bisa jadi istriku?" pikirnya, rasa sesal mencengkeram dadanya."Kita sudah melewati begitu banyak hal bersama. Aku mencintaimu, Sandra. Aku selalu mencintaimu." Leo merasa hancur karena kenyataan bahwa ia kini terpisah dari wanita yang paling berarti dalam hidupnya."Kamu tahu berapa lama aku menunggu? Berapa lama aku berharap?" gumamnya dalam hati, seolah berbicara kepada Sandra yang tak lagi ada di sisinya. Dia membayangkan kembali momen-momen kecil yang mereka bagi: tawa Sandra saat mendengar leluconnya, bagaimana dia selalu tahu cara membuat Leo merasa dihargai, dan kelembutan yang hanya dimiliki Sandra. Semua itu adalah hal-hal yang membuat Leo semakin yakin bahwa Sandra adalah cinta sejatinya, seseorang yang ingin ia jadikan istri sejak awal. Namun, semuanya berakhir begitu saja."Kenapa waktu itu aku tidak berjuang lebih keras? Kenapa aku membiarkan ego dan emosi menguasai diriku?" pikirnya, tenggelam dalam rasa penyesalan. Leo menarik napas panjang, mencoba meredakan rasa sakit yang terus menghantam dadanya."Sandra... hanya kamu yang kumau. Bukan Fiona, bukan siapa pun. Kamu yang seharusnya menjadi istriku." Air mata kembali mengalir di pipinya. Ia tahu, perasaan itu tak akan mudah hilang. Kenangan mereka yang panjang dan mendalam membuatnya sulit untuk melupakan Sandra, bahkan jika hidup terus memaksanya untuk melangkah maju. --- Di lain tempat,Sandra terbangun dengan napas tersengal-sengal, keringat dingin mengalir di pelipis dan lehernya. Jantungnya berdetak seolah ingin keluar dari dadanya. Mimpi itu terasa begitu nyata, membuat tubuhnya gemetar. Ia duduk di tepi tempat tidur, tangan gemetar memegang selimut yang kusut, mencoba menenangkan diri. Dalam mimpinya, Sandra dan Leo berada di sebuah ruangan yang redup,hanya diterangi oleh cahaya lilin. Leo terlihat berbeda dari biasanya. Senyumnya lembut, hampir terlalu lembut, seperti seseorang yang sedang berada di puncak emosi yang tidak stabil. Ia perlahan mendekat ke arah Sandra, tatapan matanya mengunci milik Sandra. "Leo... kenapa kamu seperti ini?" tanya Sandra dengan suara gemetar, langkahnya mundur perlahan. Leo tak menjawab, hanya tersenyum samar,mulai melepaskan kemejanya. Gerakannya perlahan, namun matanya tetap terpaku pada Sandra, seolah ingin menelan seluruh keberadaannya. "Aku mencintaimu, Sandra," ucapnya dengan suara yang rendah, namun penuh tekanan. Senyumnya semakin lebar, tetapi di balik itu ada sesuatu yang mengganggu—frustrasi yang jelas terasa, seperti emosi yang telah lama terpendam. "Leo, hentikan. Ini tidak benar!" Sandra mencoba menghentikan langkahnya, tetapi punggungnya sudah menyentuh dinding. Ia terjebak. "Tidak, Sandra. Aku tidak bisa berhenti. Aku butuh kamu... Aku hanya ingin kamu," ujar Leo, suaranya berubah menjadi bisikan tajam yang menusuk. Sandra menggeleng dengan kuat, mencoba mencari celah untuk melarikan diri. "Tidak, Leo! Aku tidak mau. Jangan seperti ini!" Namun, senyuman Leo lenyap seketika, tergantikan oleh ekspresi marah yang tak terkontrol. "Berhenti menolakku!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan. Dalam satu gerakan cepat, ia meraih Sandra dan mendorongnya ke tempat tidur. Sandra menjerit, air matanya mengalir deras saat ia mencoba melawan. Namun, tubuh Leo yang kuat sudah menguasai dirinya. Wajahnya semakin dekat, dan meski Sandra terus berteriak, suaranya seolah teredam. Dunia di sekitarnya menjadi gelap, dan hanya ada rasa takut yang menggulung dirinya. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi!" seru Leo, menggenggam pergelangan tangan Sandra dengan kasar. Sandra terus menangis, melawan sekuat tenaga, namun semuanya terasa sia-sia. Saat Leo semakin mendekat, teriakan Sandra semakin kencang, hingga akhirnya ia tersentak dan terbangun dari mimpi itu. "Ya Tuhan... apa yang baru saja terjadi?" Sandra terengah-engah, tangannya mencengkeram erat dada yang terasa sesak. Pandangannya terpaku pada dinding kamar yang gelap, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya mimpi buruk. Namun, bayangan Leo yang mendekatinya, yang berubah dari lembut menjadi liar, masih terukir jelas di benaknya. Ia meminum seteguk air dari gelas di meja samping tempat tidur, tetapi tangannya gemetar hingga sebagian air tumpah. "Kenapa aku bermimpi seperti itu? Apa artinya semua ini?" batinnya kacau, bercampur rasa takut dan bingung. "Apakah dia sedang memikirkan aku? Atau... apakah ini hanya imajinasiku sendiri karena kelelahan?" Sandra menggenggam erat gelasnya, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan gelisah yang tersisa dari mimpinya sulit diabaikan. Ia memandang keluar jendela, langit malam begitu gelap dan sunyi. "Leo... apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku? Kenapa kamu menghantui pikiranku seperti ini?" batinnya penuh kebingungan. Sandra akhirnya berbaring kembali, memejamkan mata sambil berharap mimpi itu tidak datang lagi. Namun, di sudut hatinya, Sandra tak bisa menampik bahwa ada sesuatu tentang Leo yang terus mengguncang ketenangannya, meskipun ia berusaha keras untuk menjauh darinya. --- Keesokan harinya di kantor, Sandra duduk di meja kerjanya dengan wajah lesu. Matanya sedikit sembab meskipun sudah ditutupi dengan foundation. Siska yang baru saja datang langsung memperhatikannya. "Kamu kenapa, Sandra? Hari ini kelihatan banget kalau kamu kurang fresh," tanya Siska dengan nada khawatir. Sandra menguap kecil, lalu melirik temannya sambil berusaha tersenyum tipis. "Aku kurang tidur semalam. Mimpi buruk!" jawabnya singkat, kembali mencoba menyembunyikan lelahnya. "Mimpi buruk? Tentang apa?" Siska mendekat, penasaran dengan ekspresi Sandra yang terlihat tak seperti biasanya. Sandra menarik napas dalam, seolah enggan menceritakan, tapi akhirnya ia buka suara. "Aku bermimpi tentang Leo. Tapi dia bukan seperti Leo yang biasa, Siska. Dia beringas... seperti hewan buas yang mau memangsa. Aku sangat panik sampai terbangun. Dan setelah itu, aku tidak bisa tidur lagi." Siska menatap Sandra dengan mata melebar. "Ya ampun, Sandra! Kamu sering bertemu Leo akhir-akhir ini?" tanyanya penuh kecemasan.Sandra hanya mengangguk pelan, membenarkan. Siska langsung merespons dengan nada tegas. "Sandra, bukannya aku sudah bilang? Kamu harus jaga jarak sama dia! Dia itu sudah me—" Siska menghentikan ucapannya tiba-tiba, menggigit bibirnya sendiri. Sandra mengernyit, penasaran. "Sudah apa, Siska?" "Ah, maksudku, dia sudah mengganggumu terlalu jauh. Pokoknya kamu jauhi dia, Sandra. Aku ingatkan sekali lagi.Jauhi dia!" kata Siska, mencoba mengalihkan pembicaraan sambil berusaha tetap tenang. Sandra menghela napas panjang. "Aku selalu berusaha menghindar, Siska. Tapi setiap kali aku mencoba menjauh, dia malah tersinggung. Dan kalau sudah begitu,dia meluapkan amarahnya secara langsung padaku. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana menghadapi orang seperti itu." Siska mengusap bahu Sandra dengan penuh empati. "Kalau kamu butuh bantuan, biar aku saja yang bicara langsung sama dia. Aku akan beritahu dia supaya berhenti mengganggumu." Sandra menatap Siska sejenak, kemudian mengangguk lesu. "Baiklah, terserah kamu saja. Aku sudah lelah menghadapi sikapnya." Siska mengangguk mantap. "Oke, serahkan padaku." Sandra mencoba kembali fokus pada pekerjaannya, mengetik di laptop dengan mata yang masih terasa berat. Tapi di dalam hati, bayangan Leo dalam mimpinya masih menyisakan kegelisahan yang belum hilang. --- Di ruang rapat yang terang benderang, Leo duduk di kursi kepala meja. Para rekan kerjanya memperhatikan presentasi di layar, tetapi perhatian mereka sesekali teralihkan ke wajah Leo yang tampak letih. Matanya sedikit sembab, menandakan malam yang tidak tenang. Leo berusaha menjaga sikap profesional, tetapi auranya tidak seperti biasanya. Ia tampak kurang fokus, meskipun suaranya tetap tegas saat memberikan arahan. "Untuk proyek ini, saya ingin laporan rinci tentang progres minggu depan," katanya sambil mengetukkan pena ke meja. Namun, nadanya terdengar datar, berbeda dari biasanya yang penuh energi. Leo menatap para peserta yang masih sibuk mencatat poin-poin diskusi. Suasana rapat yang panjang membuat tubuhnya semakin lelah, tetapi ia tetap berusaha tenang. "Baik, kita sudahi rapat ini sampai di sini. Pastikan semua target tercapai sesuai tenggat waktu," ucap Leo dengan suara tegas, meskipun ada nada kelelahan di dalamnya.Para peserta mengangguk dan mulai membereskan berkas-berkas mereka. Thomas memperhatikan kondisi Leo dengan cemas. Setelah rapat usai dan para peserta mulai beranjak pergi, Thomas mencoba mendekati Leo. "Tuan, Anda terlihat tidak sehat. Apakah Anda baik-baik saja?" tanya Thomas dengan hati-hati. Leo menghela napas panjang, merapikan berkas-berkas di depannya tanpa menatap Thomas. "Aku baik-baik saja, Thomas. Hanya kurang tidur," jawabnya singkat, meskipun jelas terlihat ada sesuatu yang mengganggunya. Thomas mengerutkan kening, ragu-ragu untuk melanjutkan. Tapi ia sudah terlalu mengenal bosnya. "Apakah ini..tentang Nona Sandra?" Pernyataan itu membuat tangan Leo berhenti sejenak. Ia menatap Thomas dengan pandangan tajam, tetapi ada kelelahan dan kesedihan yang tidak bisa disembunyikan dari matanya. "Aku tidak ingin membahasnya sekarang," ucap Leo akhirnya, suaranya rendah namun tegas. Thomas mengangguk patuh, tidak ingin memaksa. Namun, di dalam hati, ia tahu bahwa perasaan Leo terhadap Sandra masih jauh dari kata selesai. Setelah ruangan sepi, Leo bersandar di kursinya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Pikirannya kembali melayang ke wajah Sandra, ke momen-momen singkat yang ia habiskan bersamanya, dan ke kenyataan pahit bahwa sekarang mereka terpisah oleh dinding yang ia buat sendiri. "Kenapa aku tidak bisa melupakannya?" bisik Leo pelan, hanya untuk dirinya sendiri. Hatinya terasa berat, dan ia tahu bahwa kehadiran Sandra masih menguasai setiap sudut pikirannya. Disisi lain,Amar berdiri tak jauh dari ruang rapat, ia telah mendengar percakapan Leo dan Thomas tentang Sandra.Amar menyandarkan tubuhnya ke dinding, memasang senyum sinis. Dalam hatinya bergumam, "Apa semalam mereka ribut lagi? Ini berita baik untuk Fiona. Tapi sayangnya, aku tidak melihat langsung apa yang terjadi." Amar melirik pintu ruang rapat yang mulai sepi, memastikan Leo sudah benar-benar sendirian. Namun, ia tidak berani langsung masuk. Amar tahu bahwa Leo dalam keadaan letih dan bisa saja meledak jika ia mencoba mendekati topik sensitif. "Nanti saja," pikir Amar sambil tersenyum licik. "Aku akan tunggu momen yang tepat untuk mendapatkan informasi lebih banyak. Dan kali ini, aku tidak akan hanya diam. Aku harus memastikan Leo lebih menghargai posisiku, atau aku buat semuanya lebih rumit untuknya." Amar sedang sibuk dengan pikirannya saat ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Ia mengeluarkan ponsel tersebut dan melihat nama Sandra muncul di layar. Sebuah pesan singkat masuk: [Amar, laporan kerjasama dengan klien sudah selesai. Siska akan segera mengirimkannya ke kantor Leo. Harap diperiksa sebelum rapat berikutnya.] Amar membaca pesan itu dengan mata menyipit,"Ini menarik." gumamnya.Dengan cepat, ia membalas: [Sandra,kenapa tidak kamu saja yang membawanya langsung. Ini urusan penting, bukan tugas staf.] Pesan terkirim, dan senyum tipis kembali menghiasi wajah Amar. Ia tahu, permintaannya akan sedikit merepotkan Sandra. --- Setelah beberapa menit bersandar di kursinya, Leo akhirnya bangkit dan berjalan kembali ke ruang kerjanya. Namun di luar, Amar masih sibuk menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Amar mengetik sesuatu dengan cepat, wajahnya memancarkan ekspresi puas. Ia baru saja membalas pesan Sandra dan merencanakan sesuatu yang ia anggap sebagai langkah cerdas untuk membuat situasi lebih rumit. "Permainan baru saja dimulai," gumam Amar dalam hati sambil memasukkan ponselnya ke saku dengan santai. Namun, pandangannya langsung berubah serius ketika melihat Leo muncul dari ujung koridor. Amar berdiri tegak, memastikan tidak ada sedikit pun kecurigaan dari bosnya. "Tuan," sapa Amar dengan nada penuh hormat, "Ada informasi penting yang baru saja saya terima." Leo berhenti di depan Amar, meliriknya dengan sedikit rasa penasaran. "Apa itu?" tanyanya singkat. "Sandra akan datang ke kantor membawa laporan kerja sama dari perusahaan Raharja," jawab Amar. Lalu, dengan sedikit jeda yang disengaja, ia menambahkan, "Saya juga meminta dia untuk datang bersama Tuan Bagas agar pembahasan lebih komprehensif." Leo terdiam sejenak, rahangnya mengeras. Tetapi ia dengan cepat menutupi emosinya, menunjukkan ekspresi datar yang sulit ditebak. "Baik. Siapkan ruang rapat dan semua dokumen yang diperlukan," ucapnya sebelum melangkah pergi ke ruangannya tanpa melihat Amar lagi. Amar memandang punggung Leo yang semakin menjauh dengan senyum licik. "Aku yakin ini akan jadi tontonan menarik. Kalau rencanaku berjalan mulus, Fiona akan mendapatkan keuntungannya juga," pikir Amar sambil kembali menuju mejanya, menyusun langkah berikutnya.Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p