Share

Bab 8

Penulis: Nisa Fitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-17 07:03:04

Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya.

Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!"

Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..."

Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur."

Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak bisa sepenuhnya menerima atau menolak.

__________

Di sisi lain, Leo berjalan masuk ke rumahnya dengan langkah berat. Fiona langsung menyambutnya dengan senyum hangat. "Kamu pulang juga. Aku sudah menunggu," katanya lembut.

Namun, Leo tidak membalas apa-apa. Ia hanya melewati Fiona begitu saja, menuju ruang kerja dengan wajah penuh beban. Fiona terdiam sejenak, tetapi kemudian mengikutinya, mencoba mencari tahu.

"Leo, kamu kenapa? Apa ini tentang Sandra lagi?"

Mendengar nama itu, Leo langsung berhenti. Ia berbalik dengan tatapan tajam. "Jangan bawa-bawa Sandra! Aku tidak mau membicarakannya sekarang."

Fiona mendengus, amarahnya mulai memuncak. "Tentu saja kamu tidak mau membicarakannya, karena kamu masih memikirkan dia! Aku ini istrimu Leo, tapi kenapa kamu selalu terlihat lebih peduli padanya?"

Leo menghela napas panjang, mencoba menahan diri. "Aku butuh waktu sendiri, Fiona. Jangan membuat ini lebih sulit."

Tanpa menunggu jawaban, Leo mengambil kunci mobil dan pergi dari rumah, meninggalkan Fiona yang berdiri terpaku. Fiona akhirnya meledak dalam tangis, merasa dikhianati dan diabaikan.

Tak lama setelah itu, Amar muncul dengan senyum tipis, ia berkata, "Sandra dan Leo baru saja bertengkar hebat."

Fiona menghapus air matanya dan menatap Amar dengan penuh rasa penasaran. "Benarkah?"

Amar mengangguk sambil duduk di depan Fiona. "Ya, mereka berdua terlihat sangat kacau. Leo bahkan terlihat lebih marah daripada biasanya."

Mendengar kabar itu, Fiona tersenyum puas, tangisannya mereda. "Bagus. Kalau mereka terus seperti ini, mereka tidak akan pernah bersama lagi."

Amar memiringkan kepalanya, matanya bersinar penuh tipu muslihat. "Jangan khawatir!Aku akan memastikan mereka terus bertengkar.Hingga akhirnya,mereka saling membenci dan tidak akan pernah kembali bersama."

Fiona mengangguk pelan. "Pastikan itu terjadi,Ka. Aku tidak mau Sandra ada dalam kehidupan Leo lagi. Dia hanya merusak pernikahan kami."

Amar tersenyum licik. "Tentu saja,aku akan urus semuanya."

Di dalam hatinya, Amar menikmati drama yang terjadi. Ia tahu bahwa konflik ini adalah ladang subur untuk memanipulasi semua pihak demi kepentingannya sendiri.

__________

Pagi itu, telepon di meja kerja Sandra berdering.

“Ya Tuan?” jawab Sandra setelah mengangkat telepon dari bosnya.

“Sandra, saya butuh kamu menghadiri pertemuan penting dengan Tuan Leo. Detail proyek ini harus selesai hari ini,” kata Bagas dengan nada serius.

Sandra terdiam sejenak. Nama itu membuat dadanya terasa sesak. "Tuan, apa tidak ada orang lain yang bisa menggantikan saya? Saya rasa ini bukan waktu yang tepat,"jawabnya mencoba terdengar profesional, meski suaranya bergetar.

Bosnya mendesah panjang. "Sandra, ini bukan soal cocok atau tidak. Saya sudah putuskan kamu yang menangani. Saya harap kamu bisa profesional. Ini penting untuk perusahaan."

Sebelum Sandra bisa menjawab, telepon sudah terputus. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan tak menentu. Bertemu Leo adalah hal yang paling ingin ia hindari, terutama setelah konflik terakhir mereka yang penuh dengan amarah dan rasa kecewa.

__________

Sandra duduk di ruang konferensi, kedua tangannya bertumpu di meja.Sementara itu Leo duduk di seberang meja. Aura dingin pria itu memenuhi ruangan, membuat Sandra semakin gelisah.

Ketegangan makin terasa saat Bagas menerima panggilan telepon mendadak. Ia tersenyum singkat pada mereka sebelum berkata, "Sandra, pastikan semua pembicaraan selesai dengan baik bersama Tuan Leo, ya." Lalu ia melangkah keluar meninggalkan mereka berdua.

Sandra berusaha mencari alasan untuk ikut pergi, tapi Leo yang sudah memperhatikannya sejak tadi langsung bersuara.

"Kamu mau ke mana?" tanyanya dengan nada tajam.

Sandra berbalik perlahan, gugup. “Aku hanya ingin memastikan…"

"Berhenti mencari alasan," potong Leo, bangkit dari kursinya. Langkahnya perlahan mendekati Sandra. "Sampai kapan kamu mau menghindar terus dariku?"

Sandra mundur beberapa langkah hingga punggungnya menyentuh dinding. Ia menunduk, menghindari tatapan Leo yang tajam.

"Kenapa kamu terus berpura-pura lupa, Sandra?" suara Leo terdengar semakin rendah namun penuh tekanan.

“Aku tidak paham apa yang kamu maksud Leo,” jawab Sandra dengan suara pelan, nyaris berbisik.

Leo mendengus sinis, lalu mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cincin di jari manisnya. Cincin ukiran inisial L&S yang membuat tubuh Sandra membeku seketika.

“Kamu tidak ingat ini?” Leo menatapnya tajam, ekspresinya penuh kemarahan yang ditahan. “Ini cincin tunangan kita, Sandra. Kamu punya yang sama di rumah. Tapi entah kenapa, kamu berpura-pura tidak tahu.”

Sandra tertegun. Ingatan samar tentang cincin itu muncul di benaknya, tapi ia menggeleng pelan. “Aku… aku memang punya cincin itu, Leo. Tapi aku tidak ingat apa yang ada dibaliknya…”

“Jangan bohong!” bentak Leo, suaranya menggema di ruangan. “Kamu pikir dengan pura-pura lupa semuanya akan selesai? Kamu pikir aku bisa melupakan semuanya begitu saja?”

Telepon Sandra tiba-tiba berdering, memecah ketegangan. Dengan tangan gemetar, ia menjawab panggilan itu.

“Bagaimana pembicaraannya, Sandra?” suara Bagas terdengar dari seberang.

“Kami… masih berdiskusi Tuan,” jawab Sandra, berusaha terdengar tenang meski suaranya bergetar.

Setelah panggilan berakhir, Leo menyentak tangannya ke samping, menatap Sandra dengan penuh amarah. “Apa kamu serius tidak ingat, atau ini cuma permainanmu?”

Sandra menggeleng lagi, kali ini matanya mulai memerah. “Aku benar-benar tidak tahu, Leo. Aku tidak ingat apa-apa.”

Leo menatapnya lama, lalu meraih pergelangan tangannya dengan kasar. “Kalau begitu, aku akan buat kamu ingat.”

Leo langsung menyeret Sandra keluar dari gedung tanpa peduli pada tatapan karyawan lain.

“Lepaskan aku, Leo! Apa yang kamu lakukan?!” desis Sandra, berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Leo yang kuat.

"Diam, Sandra. Jangan memberontak."

Ia membukakan pintu mobil dan mendorong Sandra masuk. Begitu masuk ke dalam mobil, Leo menyalakan mesin dan melaju dengan kecepatan tinggi.

Di dalam mobil, suasana mencekam. Sandra hanya bisa menatap jalan dengan tubuh kaku. Tapi Leo tiba-tiba bicara dengan nada penuh kemarahan.

“Kamu tahu apa yang paling membuatku marah, Sandra? Kamu selalu keras kepala, tidak pernah mendengarkan. Bahkan sekarang, kamu masih mencoba melawan.”

Sandra menoleh ke arahnya, matanya penuh ketakutan. “Aku tidak tahu apa yang kamu mau, Leo! Kita sudah tidak ada hubungan lagi!”

Leo menatapnya tajam sambil tertawa kecil tanpa humor. Ia mengepalkan jarinya kembali menunjukkan cincin di tangannya. “Tidak ada hubungan lagi? Lalu apa ini? Kamu pikir aku akan pakai ini kalau tidak ada hubungan?”

Sandra terdiam, menggigit bibirnya menahan tangis. Ingatan tentang cincin yang mirip miliknya terus menghantui pikirannya.

“Kita sudah selesai, Leo…” ucapnya lirih.

Leo menatap lurus ke depan. “Kita belum selesai, Sandra. Dan sayangnya,hanya aku yang akan memutuskan kapan hubungan ini berakhir,bukan kamu.Aku akan memastikan kamu ingat siapa aku dan apa yang pernah kita lalui.”

__________

Di dalam mobil, Sandra menatap ke luar jendela. Hujan deras membuat pandangannya kabur, namun itu lebih baik daripada menatap Leo, yang mengemudi dengan rahang mengeras dan tatapan tajam ke arah jalan. Ia tahu ada sesuatu yang salah—lebih dari sekadar cemburu.

"Ke mana kamu membawaku, Leo?" tanya Sandra meredakan situasi, suaranya pelan tapi bergetar.

Leo tidak langsung menjawab. Ia hanya terus mengemudi, jemarinya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata dengan nada dingin, "Kita perlu bicara. Tanpa gangguan."

Sandra merasakan perutnya mual. Situasi ini membuatnya merasa terkepung, terperangkap oleh seseorang yang ia kenal, namun sekaligus terasa seperti orang asing. Ia mencoba menenangkan dirinya, meski detak jantungnya semakin tidak karuan.

"Aku tidak tahu apa yang ingin kamu bicarakan," katanya pelan. "Tapi aku tidak nyaman seperti ini, Leo."

Leo mendadak menghentikan mobil di pinggir jalan. Suara rem yang mendadak membuat Sandra tersentak. Ia menoleh ke arah Leo, yang kini sudah menatapnya dengan mata penuh emosi yang sulit diterjemahkan.

"Kamu benar-benar tidak ingat?" suaranya rendah, nyaris berbisik, namun ada nada perih yang terasa dalam setiap kata. "Sama sekali tidak ada?"

Sandra menggeleng, bingung dan sedikit takut. "Aku tidak ingat apa pun. Tentang kamu, tentang kita... aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi sebelum kecelakaan itu."

Leo menundukkan kepalanya, menarik napas dalam-dalam. Ketika ia menatapnya lagi, ada sesuatu yang lebih lembut di balik tatapan tajamnya. "Kamu tidak tahu betapa sulitnya ini, Sandra. Melihatmu bertingkah seperti aku tidak berarti apa-apa bagimu. Padahal aku... aku tidak pernah berhenti memikirkanmu."

Sandra terdiam. Kata-kata Leo terasa berat, seperti beban yang ia tidak tahu bagaimana cara menanggungnya.

"Leo," katanya dengan hati-hati. "Aku mengerti ini sulit untukmu, tapi aku tidak tahu apa yang kamu harapkan dariku. Aku tidak bisa mengingat sesuatu yang sudah hilang. Dan aku tidak tahu apakah aku ingin mengingatnya."

Ekspresi Leo berubah. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara rendah.

Sandra mencoba mengumpulkan keberanian. "Mungkin... mungkin ini tanda bahwa aku harus memulai hidup baru. Tanpa masa lalu, tanpa kenangan tentang kita."

Leo tertawa pendek, tapi tidak ada humor dalam suaranya. "Hidup baru? Dengan siapa? Dengan bosmu? Itu yang kamu inginkan?"

Sandra terkejut mendengar nada cemburu dalam suaranya. "Ini bukan tentang dia, Leo. Ini tentang aku. Tentang bagaimana aku mencoba menemukan diriku sendiri."

"Tapi kamu tidak perlu menemukannya sendiri," potong Leo, suaranya semakin tegas. "Aku di sini. Aku orang yang paling mengenalmu, Sandra. Aku tahu kamu lebih baik dari siapa pun."

"Tapi aku tidak mengenalmu," balas Sandra, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan. "Aku tidak tahu siapa kamu, Leo. Aku bahkan tidak tahu siapa aku. Dan kamu memaksakan dirimu ke dalam hidupku hanya membuat semuanya semakin sulit."

Leo terdiam, rahangnya mengeras lagi. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, tatapannya kosong. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya,Leo akhirnya berkata, "Kamu tidak mengerti. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang berarti segalanya bagimu."

Sandra merasa hatinya mencelos. Ada kejujuran dalam kata-kata Leo yang membuatnya merasa bersalah, meskipun ia tahu ia tidak seharusnya merasa begitu.

"Aku tahu kamu bingung Sandra," lanjut Leo, suaranya melembut. "Tapi aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja. Cepat atau lambat, kamu akan mengingatku. Kamu akan mengingat semuanya."

Sandra hanya bisa terdiam. Hatinya dipenuhi perasaan campur aduk—antara takut, bingung, dan sedikit tersentuh oleh ketulusan yang ia rasakan dari Leo. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang mengatakan bahwa ia harus berhati-hati.

Hujan di luar semakin deras, menutupi suara napas berat mereka berdua. Sandra menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari tatapan Leo yang terus mengawasinya.

Bab terkait

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 1

    Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14

Bab terbaru

  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status