Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna.
Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa ada jarak seperti ini." Sandra terdiam. Perkataan Leo menusuk hatinya, tapi juga menimbulkan rasa tersinggung. Ia menggigit bibirnya, menyadari bahwa ia tidak bisa memberikan apa yang diharapkan Leo. Ingatannya yang hilang membuat ia merasa terputus dari kenangan indah itu, dan ia tidak ingin disalahkan atas sesuatu yang tidak dapat ia kendalikan. "Leo," kata Sandra akhirnya, suaranya sedikit tajam. "Kamu tahu aku kehilangan ingatan, kan? Aku bahkan tidak ingat seperti apa aku dulu. Jadi, bagaimana aku bisa bersikap seperti dulu lagi?" Leo menunduk, menelan kenyataan pahit itu. Tapi ia tidak menyerah. Dengan suara bergetar, ia melanjutkan, "Tapi aku ingat semuanya, Sandra. Saat kamu selalu menaruh perhatian padaku, seperti seorang ibu yang menyayangi anaknya. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan bahkan sebelum aku menyadarinya." Nada suaranya terdengar berat, seperti sedang menahan tangis. Sandra menoleh, dan untuk pertama kalinya,malam ini ia melihat sisi Leo yang rapuh. Pria yang biasanya kuat dan penuh percaya diri ini kini terlihat begitu rentan. "Kamu adalah rumahku, Sandra," lanjut Leo, kali ini suaranya lebih lirih. "Dan sekarang... aku merasa kehilangan rumah itu." Kata-kata Leo membuat Sandra tertegun. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Bagian dari dirinya merasa ingin meminta maaf, tapi bagian lain merasa bahwa ini adalah tanggung jawab yang tidak ia pilih. Mereka duduk dalam diam untuk beberapa saat, ditemani oleh kilauan lampu taman dan suara air mancur. Dalam hatinya, Sandra mencoba memahami perasaan Leo, meskipun ia tahu bahwa semuanya tidak akan pernah semudah mengembalikan kenangan yang hilang. Leo terus berbicara dengan suara yang semakin berat oleh emosi, mengungkapkan rasa rindunya kepada Sandra yang dulu, tanpa memberi celah sedikit pun bagi Sandra untuk menyampaikan perasaannya. Sandra mendengarkan dengan raut wajah lelah, merasa terjebak dalam monolog tanpa akhir. Ia tahu Leo membutuhkan seseorang untuk berbicara, tetapi ia mulai merasa beban itu terlalu berat untuknya. Saat Leo masih sibuk dengan ceritanya, Sandra akhirnya bangkit dari tempat duduk, mencoba menghindar. "Leo, aku rasa kita cukupkan di sini saja. Aku benar-benar—" Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Leo menangkap lengannya dengan tegas. "Aku belum selesai bicara!" seru Leo, suaranya meninggi. Sandra menoleh dengan kaget, matanya melebar. "Leo, tolong—" "Tetap di sini!" potong Leo, nadanya penuh perintah. Dalam satu gerakan cepat, Leo menarik Sandra ke arahnya, membuat wanita itu terjatuh di pangkuannya. Sandra membeku, duduk di paha Leo dengan tubuh tegang dan wajah memerah karena takut. Ia memejamkan matanya, berharap momen itu segera berlalu. Leo memegang wajah Sandra dengan kedua tangannya, membuatnya tidak bisa menghindar. "Ada apa denganmu, Sandra?" bisik Leo, suaranya terdengar kasar, tapi jelas terselip keputusasaan di dalamnya. "Aku berusaha bersikap baik, berusaha mendekatimu, tapi kamu selalu bersikap seakan aku ini monster yang ingin melahapmu." Sandra menahan napas, tidak berani menjawab. Matanya tetap tertutup, mencoba menenangkan diri. Sementara itu, Leo terlihat semakin kesal. Tapi kemudian, keletihan emosinya memuncak, dan ia menarik Sandra ke dalam pelukannya. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi," bisiknya mulai terisak.Leo mengeratkan pelukannya, seolah-olah ia takut kehilangan Sandra untuk kedua kalinya. Air matanya jatuh, membasahi bahu Sandra. Sandra terdiam, bingung harus berbuat apa. Sebagian dirinya merasa tidak nyaman, tetapi ia juga tidak ingin membuat situasi semakin buruk. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengalah sedikit. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan membalas pelukan Leo. Gerakannya lembut, penuh keraguan, tapi cukup untuk membuat Leo berhenti menangis. Leo tetap memeluk Sandra erat, seperti mencari ketenangan dalam kehadirannya. Beberapa menit berlalu, dan napas Leo mulai melambat. Pelukannya mengendur, dan Sandra menyadari bahwa pria itu hampir tertidur di bahunya, kelelahan oleh emosi yang telah lama ia pendam. Sandra hanya bisa menghela napas panjang, merasa lega karena akhirnya Leo tenang. Namun, di dalam hatinya, ia masih dihantui kebingungan. Ia tahu ada sesuatu yang lebih besar yang harus mereka bicarakan, tetapi untuk saat ini, ia memilih untuk membiarkan Leo beristirahat dalam keheningan malam. Leo tampak tertidur lelap di pelukan Sandra, napasnya mulai teratur, menandakan kelelahan emosinya. Sandra, yang merasa situasi ini cukup canggung, mencoba perlahan melepaskan diri. Dengan hati-hati, ia menyandarkan tubuh Leo ke kursi, berharap pria itu tetap tertidur. Namun, tidak butuh waktu lama, Leo dengan sigap kembali memeluk Sandra, seperti mencari kenyamanan yang ia rasakan sebelumnya. Sandra terkejut, tapi tidak bisa menghindar. "Leo!" serunya pelan, mencoba membangunkannya. "Pinjam tubuhmu sebentar," gumam Leo tanpa membuka mata. "Aku sedikit mengantuk." Sandra mendengus pelan, merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Kalau kamu mengantuk, sebaiknya pulang dan istirahat, Leo. Aku bukan kasur!" ujarnya dengan nada setengah kesal. Namun, Leo tidak menggubrisnya. Ia hanya bergumam pelan dan kembali menenggelamkan wajahnya di dada Sandra, mencari kenyamanan yang lebih. "Diam saja... aku nyaman di sini," katanya dengan suara rendah, nyaris seperti anak kecil yang manja. Sandra menghela napas panjang, menatap langit malam sambil mencoba menahan rasa kesal dan malu. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan pria ini?" pikirnya. Namun, ia memutuskan untuk tidak memperpanjang masalah. "Baiklah," katanya dengan nada pasrah. "Tapi hanya sebentar, Leo. Setelah ini, aku akan meninggalkanmu di sini sendiri kalau kamu tidak sadar juga." Leo tidak menjawab, hanya merapatkan pelukannya seolah tidak ingin kehilangan momen itu. Sandra hanya bisa menghela napas lagi, merasa situasi ini semakin absurd. Namun, dalam diam, ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya—campuran antara bingung, marah, dan, iba. --- Beberapa jam kemudian, suara Thomas memecah keheningan malam. "Tuan... ini sudah tengah malam. Saatnya pulang," katanya dengan sopan, mencoba membangunkan Leo yang masih setengah tertidur. Leo mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba kembali fokus. Ia merasakan dinginnya udara malam, lalu menyadari bahwa tubuh Sandra tidak lagi bersandar padanya. Ia langsung menegakkan badan, pandangan matanya menatap sekitar. "Dimana Sandra?" tanyanya dengan nada panik bercampur lelah. Thomas menatap Leo dengan ragu sejenak sebelum menjawab. "Dia sudah pulang, Tuan. Bersama bosnya." Mata Leo melebar seketika. Ia terdiam, mencoba mencerna informasi itu. "Dia meninggalkanku sendirian di sini?" tanyanya dengan nada yang sulit ditebak—antara kaget, kesal, dan kecewa. Thomas hanya mengangguk kecil. "Dia tampak lelah, Tuan. Mungkin merasa anda membutuhkan waktu sendiri, jadi dia memutuskan untuk pulang lebih dulu." Leo menghela napas panjang, memalingkan wajahnya ke arah taman yang sepi. Ia merasa ada kekosongan yang mendadak menyeruak dalam hatinya. Momen tadi—meski singkat dan penuh emosi—adalah saat-saat ia merasa dekat dengan Sandra, seperti menggenggam secercah harapan untuk menghidupkan kembali apa yang telah hilang. Namun, kini momen itu telah berakhir. "Baiklah," gumamnya dengan nada pelan, mencoba menutupi rasa kecewa yang jelas terpancar dari matanya. Thomas menunduk, menghormati kesunyian yang meliputi tuannya. "Saya akan siapkan mobil untuk Anda, Tuan," katanya sebelum berjalan pergi, meninggalkan Leo yang masih duduk di kursi dengan pikiran melayang. Leo memandang langit malam untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya bangkit. Dalam hatinya, ia berjanji bahwa ini belum berakhir. Ia masih akan mencoba mendekati Sandra, apa pun yang terjadi. "Kita lihat nanti, Sandra," bisiknya pelan, suara itu penuh tekad sekaligus kesedihan. --- Sandra terbaring gelisah di tempat tidurnya, matanya terbuka lebar menatap langit-langit kamar yang gelap. Pikiran-pikirannya berputar cepat, terjebak dalam kekhawatiran yang terus mengganggu."Kenapa Leo selalu seperti itu?" pikirnya dengan kesal."Kenapa aku selalu menjadi sasaran amarahnya setiap kali ada masalah?" Ia mendengus pelan, frustasi dengan dirinya sendiri. Perasaan cemas dan bingung menguasai dirinya. Setiap kali berinteraksi dengan Leo, selalu ada ketegangan yang sulit dihindari. Leo yang tampaknya mudah tersinggung dan cepat merasa kecewa, sementara Sandra selalu berada di tengah, bingung harus bagaimana. Ia merasa seperti beban, seperti orang yang selalu disalahkan meskipun ia tidak tahu harus berbuat apa. "Satu-satunya cara agar aku bisa tenang adalah bicara langsung dengan Leo," pikirnya, bertekad."Aku harus menanyakan semuanya kepadanya, dan biarkan dia tahu bahwa aku tidak ingin terus dihantui oleh perasaan bersalah yang tak jelas." Sandra duduk di atas tempat tidur, memijat pelipisnya yang mulai terasa pening. Ia tahu bahwa akan ada saatnya bertemu dengan Leo lagi, dan saat itu ia akan memastikan untuk berbicara secara jujur. Ia tidak ingin merasa terjebak dalam perasaan yang dipaksakan atau disalahkan atas sesuatu yang tak ia mengerti sepenuhnya. "Leo, aku butuh penjelasan," bisiknya pelan kepada dirinya sendiri. "Aku tidak ingin terus dipermainkan oleh perasaan ini." Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Sandra tahu, apapun yang terjadi, ia harus bisa menjaga pikirannya tetap sehat dan tidak membiarkan emosi Leo terus mempengaruhinya. Ini adalah langkah pertama untuk memahami dirinya sendiri, dan mungkin, untuk memahami Leo. Tapi untuk saat ini, ia hanya ingin tidur dan beristirahat, berharap esok hari akan memberinya kesempatan untuk berbicara dengan Leo, untuk menjernihkan semuanya. --- Leo masuk ke kamarnya dengan langkah berat. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi ada sesuatu yang lain di balik ekspresinya—pikiran yang masih melayang-layang, sulit ditebak. Fiona, yang sedang duduk di tepi ranjang, langsung menatapnya dengan penuh curiga. Namun, kali ini ia memutuskan untuk menahan lidahnya, tidak ingin membuat suasana semakin tegang. "Kenapa lama sekali?" tanya Fiona dengan nada lembut, meskipun rasa tidak puas jelas terdengar. Leo melepaskan jasnya perlahan, lalu menjawab tanpa melihat Fiona. "Tamu di sana sangat banyak. Aku harus menyapa mereka satu per satu." Ia membuka kemejanya, memperlihatkan tubuh atletisnya yang seolah memancarkan daya tarik alami. Fiona menelan ludah, matanya terpaku pada tubuh suaminya. Keinginan yang sudah lama ia pendam mulai muncul ke permukaan. "Sayang..." panggilnya dengan suara manja sambil mendekat. "Aku ingin sekali malam ini." Tangannya mulai menyentuh pundak Leo, penuh harap. Leo hanya mendengus pelan, menghindari tatapan Fiona. "Nanti saja ya," jawabnya singkat, nada suaranya datar. "Aku sangat lelah hari ini." Tanpa menunggu respon, Leo segera mengenakan piyamanya dan berbaring di ranjang, membelakangi Fiona. Fiona tertegun, rasa kecewa perlahan menyeruak di hatinya. "Kenapa selalu seperti ini?" pikirnya, namun ia mencoba menenangkan diri. Ia tidak ingin menyerah begitu saja. Dengan perlahan, Fiona mendekati Leo, menyelipkan tubuhnya di dekatnya. Tangannya mulai membelai punggung suaminya dengan lembut, mencoba menggoda tanpa terlalu kentara. Namun, tidak seperti biasanya, Leo tetap diam, tak memberikan respon apapun. Ketika Fiona mulai menyentuh bagian intens, berharap bisa menarik perhatian Leo, tiba-tiba Leo menangkap pergelangan tangannya dan menghentikan gerakannya. "Fiona." ujar Leo dengan suara pelan namun tegas. Ia menoleh sedikit, cukup untuk menatap istrinya. "Aku mohon... jangan malam ini. Aku benar-benar butuh istirahat!" Tatapan Fiona berubah, kecewa dan terluka. Namun, ia menelan emosinya, memilih untuk tidak memperdebatkan hal ini. "Baiklah," katanya pelan, menarik diri dengan hati yang terasa kosong. Ia hanya bisa memandang punggung Leo yang berbaring membelakanginya. Meski mencoba bersabar, Fiona tidak bisa mengabaikan perasaan diabaikan yang semakin sering ia rasakan."Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Leo?" pikirnya dengan sedih, sambil membaringkan tubuhnya di sisi ranjang yang terasa semakin dingin. --- Fiona memandangi Leo yang terbaring di ranjang dengan napas yang berat dan tak teratur. Rasa curiga yang sejak tadi mengganggunya kini semakin kuat. Pikirannya mulai terfokus pada satu nama yang terus muncul di benaknya: Sandra. "Pasti dia bertemu dengan Sandra lagi," gumam Fiona dalam hati, matanya memperhatikan setiap gerak kecil Leo, seolah mencari petunjuk atas perubahan sikap suaminya. Ia tahu, setiap kali Leo bertemu atau bahkan hanya membahas Sandra, sikapnya selalu berubah. Leo menjadi lebih pendiam, lebih mudah tersinggung, dan, yang paling menyakitkan bagi Fiona, lebih jauh darinya. "Sandra... apa yang dia lakukan pada Leo sehingga dia sulit melepaskannya?" pikir Fiona dengan perasaan bercampur antara cemburu dan marah. Fiona mencoba mencari logika di tengah emosinya. Meskipun ia tahu bahwa Sandra telah kehilangan ingatannya tentang masa lalu mereka, ia tetap merasa bahwa wanita itu menjadi alasan Leo terus bersikap seperti ini. Setiap kebersamaan mereka kini terasa seperti bayangan Sandra selalu hadir di antara mereka. Fiona menggigit bibirnya, mencoba menahan emosi."Aku istrinya, aku yang ada di sini bersamanya, tapi kenapa aku merasa seperti orang asing di matanya?" Ia ingin sekali menanyakan langsung kepada Leo, tapi ia tahu malam ini bukan waktu yang tepat. Suaminya terlihat terlalu lelah, dan ia tidak ingin menciptakan pertengkaran baru. Namun, hatinya memanas setiap kali mengingat wajah Sandra—wanita yang tampaknya masih memiliki tempat di hati suaminya. Fiona menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya."Besok aku akan cari tahu lebih jauh.Kalau benar dia bertemu Sandra lagi, aku tidak akan diam saja." Namun, di balik tekad itu, Fiona tidak bisa menghindari rasa takut. Takut bahwa suatu hari, Leo akan meninggalkannya demi Sandra—entah dengan ingatannya yang kembali atau tidak. Dengan perasaan yang campur aduk, Fiona memalingkan tubuhnya dari Leo, menutup matanya, dan berharap rasa cemburu ini mereda. Tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa kebenaran tentang Leo dan Sandra harus segera terungkap.Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan
Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny
Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m
Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p