Share

Bab 6

Author: Nisa Fitri
last update Last Updated: 2025-01-15 15:55:46

Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana.

Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?"

"Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh."

Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan."

Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam."

Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara agar ia tetap berada di posisi yang menguntungkan, apa pun hasil dari penyelidikan ini.

__________

Keesokan Harinya

Amar telah menyusun rencana untuk pertemuan bisnis dengan bos Sandra. Pagi itu, Leo bersiap dengan hati penuh konflik. Ia tahu ini pertemuan penting, tetapi tujuan utamanya bukan bisnis, melainkan mencari tahu hubungan Sandra dengan bosnya.

Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang. Amar memastikan semuanya tertata rapi. Ketika bos Sandra tiba, pria itu menyapa Leo dengan ramah. "Tuan Leo, terima kasih telah meluangkan waktu untuk bertemu. Saya sudah lama mendengar reputasi Anda."

Leo berdiri dan menjabat tangannya dengan senyum tipis, berusaha menutupi cemburu dan amarah yang bergolak di dadanya. "Tuan...?" Leo berhenti sejenak, membiarkan pria itu menyebutkan namanya.

"Bagas," jawab pria itu dengan santai. "Bagas Raharja."

Mereka saling memperkenalkan diri dan duduk di meja. Bagas mulai berbicara dengan ramah, membahas peluang kerja sama antara kedua perusahaan. Namun, Leo hampir tidak mendengar apa yang dikatakan pria itu. Pikirannya terus memutar pertanyaan tentang Sandra. "Kenapa dia belum muncul? Bukankah dia seharusnya ada di sini?"

Amar, yang menyadari Leo kehilangan fokus, segera mengambil alih percakapan. Dengan nada profesional, ia menjawab pertanyaan dan menyampaikan ide-ide untuk kerja sama, menjaga agar pertemuan tetap berjalan lancar.

Pintu kafe terbuka, dan Sandra masuk dengan langkah terburu-buru. Matanya langsung tertuju pada meja tempat Leo dan bosnya duduk. Ia sempat terkejut melihat Leo di sana, tetapi ia cepat-cepat memasang senyum dan menyapa.

"Maaf saya telat, Tuan," katanya kepada Bagas sambil membungkuk sedikit.

Bagas tersenyum santai. "Tidak apa-apa, Sandra. Lagipula kemarin kamu sudah cukup lelah seharian."

Kata-kata Bagas itu menusuk Leo seperti duri. "Lelah?" pikirnya. "Apa yang mereka lakukan di hotel sampai Sandra kelelahan?" Imajinasi liar mulai memenuhi pikirannya, membuatnya semakin emosi. Wajahnya tetap tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa sakit dan cemburu yang mendalam.

Sandra tersenyum tipis, tetapi matanya kemudian beralih pada Leo. Ada keraguan sejenak sebelum ia akhirnya berkata, "Hai Leo."

Leo mengangguk kecil,membalas senyuman, tetapi jelas sekali itu senyum yang dipaksakan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memandang Sandra dengan tatapan penuh arti.

Bagas, yang menyadari suasana aneh itu, menatap mereka bergantian sebelum akhirnya bertanya, "Kalian sudah saling kenal sebelumnya?"

Sandra meskipun bingung harus menjawab bagaimana, segera berkata, "Ya, dia sahabatku."

Bagas tertawa kecil, tampak terkejut. "Wah, saya tidak menyangka asisten pribadi saya ternyata bersahabat dengan bos dari perusahaan ternama. Dunia ini kecil sekali, ya?"

Sandra hanya tersenyum canggung, tidak tahu bagaimana harus merespons. Hilang ingatannya masih menjadi beban yang ia sembunyikan dari semua orang, termasuk Bagas.

Namun, bagi Leo, ucapan Sandra itu adalah pisau tajam yang menusuk hatinya. "Sahabat?" pikirnya dengan pahit. "Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin dia mengingat bahwa kita adalah tunangan. Tapi aku tidak bisa memaksa... Tidak sekarang."

Rasa cemburu yang ia coba pendam mulai membakar dirinya. Ia tidak tahan berada dalam situasi itu, tetapi ia juga tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk meledak. Dengan cepat, ia mengubah arah pembicaraan. "Baiklah, Tuan Bagas, mari kita kembali ke alasan utama kita bertemu. Saya dengar perusahaan Anda memiliki proyek baru yang menarik untuk dikerjakan bersama."

Bagas, yang dengan mudah mengikuti alur, mulai membahas detail kerja sama yang ia tawarkan. Leo menanggapi dengan nada profesional, mencoba mengabaikan perasaan yang berkecamuk.

Namun, saat pembicaraan mulai mengalir, Sandra ikut menambahkan pendapatnya. Ia dengan percaya diri menjelaskan bagaimana kerja sama ini bisa menguntungkan kedua belah pihak. Bagas langsung tersenyum puas dan berkata, "Luar biasa, Sandra. Pendapatmu sangat tajam. Saya semakin yakin memilihmu sebagai asisten pribadi saya."

Sandra tersipu malu, menundukkan kepala sambil tersenyum kecil. "Terima kasih, Tuan."

Sementara itu, Leo hanya bisa memandang mereka dengan rahang mengeras. "Apa yang dia lihat di pria ini?" pikirnya. "Apa hanya karena dia bosnya? Atau ada yang lain?" Api cemburu membakar dadanya, membuatnya semakin sulit untuk tetap tenang.

Setelah beberapa saat mendengarkan mereka berbicara, Leo merasa ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan nada yang tiba-tiba lebih tegas, ia berkata, "Tuan Bagas, bolehkah saya berbicara sebentar dengan Sandra,secara pribadi?"

Bagas terlihat sedikit terkejut, tetapi ia dengan ramah mengangguk. "Tentu, Tuan Leo. Saya bisa menunggu di sini."

Sandra, yang merasa bingung dengan permintaan itu, hanya menatap Leo dengan ekspresi ragu. Namun, ia akhirnya berdiri, mengikuti Leo yang sudah berjalan menuju sudut ruangan yang lebih sepi.

__________

Di sudut ruangan yang lebih sepi, Leo berdiri dengan tangan terkepal. Matanya penuh dengan emosi yang sulit dibendung. Sandra memandangnya dengan bingung, merasakan ada sesuatu yang besar akan diungkapkan.

"Sandra," suara Leo terdengar dingin namun penuh intensitas. "Aku tidak bisa lagi diam. Kamu harus tahu,Aku adalah tunanganmu!"

Sandra tertegun, wajahnya berubah kaget. "T-tunangan?" ucapnya pelan, suaranya bergetar.

Leo mengangguk, tetapi bukan dengan ketenangan. Suaranya semakin keras, dipenuhi kemarahan dan cemburu. "Ya! Kita bertunangan sebelum semua ini terjadi. Sebelum kamu menghilang dan kembali tanpa ingatan. Aku menunggumu! Aku mencarimu! Tapi lihat dirimu sekarang... Kamu malah akrab dengan bosmu, seolah dia lebih berarti bagimu daripada aku!"

Sandra terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kalimat itu menghantamnya seperti badai.

Leo melanjutkan, suaranya semakin tajam. "Kenapa Sandra? Kenapa kamu bisa begitu nyaman dengannya, tetapi selalu merasa takut atau menjauh dariku? Apa aku begitu buruk bagimu? Aku tunanganmu! Aku pria yang seharusnya kamu percayai, bukan dia!"

Sandra membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi Leo tidak memberinya kesempatan. Ia mencecar lebih lanjut. "Kamu bahkan mau diajak kemana saja oleh bosmu. Ke hotel? Apa yang kalian lakukan di sana? Kamu tahu apa yang orang lain pikirkan Sandra? Kamu seperti... wanita murahan yang tidak punya harga diri!"

Kata-kata itu menusuk Sandra seperti belati. Air mata mulai mengalir di pipinya, tetapi Leo dalam amarah dan cemburunya, tidak berhenti bicara. "Kamu pikir ini adil? Aku menunggu, berharap kamu kembali mengingat segalanya, sementara kamu... Kamu malah terlihat bahagia bersama pria lain!"

Sandra tidak bisa lagi menahan tangisnya. Dengan suara pelan yang terputus-putus, ia berkata, "Leo, aku... aku tidak tahu. Aku tidak ingat. Semua ini... semua yang kamu katakan... terlalu banyak untukku. Aku bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya."

Namun Leo yang dibutakan oleh rasa sakit dan cemburu,tidak mendengarkan. "Kamu tidak tahu? Atau kamu hanya berpura-pura tidak tahu? Jangan jadikan hilang ingatan sebagai alasan untuk berbuat seperti ini!"

Sandra memegang dadanya yang terasa sesak. "Aku tidak berpura-pura... Aku benar-benar tidak tahu... Dan sekarang, kamu... Kamu malah menghinaku. Mengatakan hal-hal buruk yang bahkan aku sendiri tidak pernah bayangkan."

Air mata terus mengalir, tetapi Leo tidak segera menyadari betapa dalamnya luka yang ia ciptakan. Ia hanya melihat Sandra sebagai penyebab dari rasa sakit yang ia rasakan, tanpa berpikir tentang apa yang sedang dialami Sandra.

"Kamu tahu apa yang membuatku marah, Sandra? Aku melihatmu seperti ini—bahagia, percaya diri, bersama pria lain. Tapi dengan aku, kamu hanya merasa takut dan menjauh. Apa aku tidak cukup bagimu? Apa aku tidak pantas untukmu?"

Sandra tidak menjawab. Ia hanya menatap Leo dengan tatapan yang hancur, merasa begitu kecil di hadapan tuduhan-tuduhan itu. Akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, "Kalau aku memang seburuk itu di matamu, kenapa kamu masih di sini, Leo? Kenapa kamu masih peduli?"

Pertanyaan itu membuat Leo terdiam. Ia menyadari bahwa meskipun ia marah, ia tidak bisa membiarkan Sandra pergi. Tetapi sekarang, ia juga sadar bahwa dalam usahanya mempertahankan Sandra, ia malah menghancurkannya lebih jauh.

Sandra menghapus air matanya dan berkata dengan tegas, meskipun suaranya bergetar. "Aku tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu, Leo. Tapi kalau kamu benar-benar tunanganku... kamu seharusnya membantuku mengingat, bukan menghancurkanku dengan tuduhan seperti ini."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

    Last Updated : 2025-01-15
  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

    Last Updated : 2025-01-17
  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

    Last Updated : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

    Last Updated : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

    Last Updated : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

    Last Updated : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

    Last Updated : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

    Last Updated : 2025-01-20

Latest chapter

  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status