Share

Bab 13

Author: Nisa Fitri
last update Last Updated: 2025-01-19 13:27:22

Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya.

"Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho."

Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu."

Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa."

Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh."

Siska tersenyum puas, merasa senang mendengar jawaban Sandra. "Kalau aku sih lebih mendukung kamu bersama Bagas. Dia jelas lebih baik daripada Leo. Kamu tahu, kan? Leo itu egois,terlalu berlebihan. Dia cuma bikin kamu kesal."

Nama itu membuat Sandra terdiam sejenak. Ia menunduk, menggenggam cangkirnya erat. Ada rasa campur aduk setiap kali nama Leo disebut. Ia tahu Siska hanya ingin yang terbaik untuknya, tapi ada bagian dari dirinya yang tidak bisa sepenuhnya melepaskan Leo.

"Aku tidak tahu, Siska," gumam Sandra akhirnya. "Leo itu... ada sesuatu di antara kita yang tidak bisa aku jelaskan. Kadang aku merasa seperti aku mengenalnya lebih dalam dari siapapun, meskipun aku kehilangan sebagian ingatan. Tapi semalam, aku kembali melihat bayangan itu."

Siska mencondongkan tubuh, penasaran. "Bayangan apa?"

Sandra menggigit bibirnya ragu, namun akhirnya berkata, "Bayangan seorang pria yang memasangkan cincin di jariku. Wajahnya jelas, itu Leo. Tapi ada sesuatu yang menghalangiku untuk mengingat semuanya. Seolah-olah ada batas yang tidak bisa aku tembus. Dan entah kenapa, aku merasa ada alasan kenapa kita tidak bisa bersama lagi."

Siska menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Sandra dengan lembut. "Sandra, mungkin ini tanda kalau kamu harus membuka lembaran baru. Kalau aku boleh jujur, Bagas itu kelihatan benar-benar menghargai kamu. Dia tidak punya beban rumit seperti Leo. Dia orang baik, dan mungkin... dia bisa buat kamu bahagia."

Sandra tersenyum kecil, meskipun pikirannya masih kacau. "Terima kasih, Siska. Aku tahu kamu hanya ingin aku bahagia. Tapi untuk sekarang, aku hanya ingin fokus pada diriku sendiri dan pekerjaanku. Soal perasaan...biarkan waktu yang menjawab."

Siska mengangguk, memutuskan untuk tidak menekan lebih jauh. Ia tahu, meskipun Sandra terlihat kuat, di dalam hatinya ia masih berjuang melawan banyak hal. Tapi Siska percaya, cepat atau lambat, sahabatnya itu akan menemukan jawabannya sendiri.

Di tengah percakapan mereka yang hangat, ponsel Sandra tiba-tiba berdering. Nama Bagas muncul di layar. Sandra menghela napas sejenak sebelum mengangkat panggilan itu.

"Selamat siang Tuan," ucap Sandra dengan nada profesional seperti biasa.

"Sandra," suara berat Bagas terdengar di seberang, "Malam ini kita harus menghadiri pesta. Banyak pemimpin perusahaan besar akan hadir, termasuk Leo."

Sandra terdiam sejenak. Nama Leo kembali disebut, membuatnya merasa malas. Ia menatap Siska yang sudah memandanginya penuh rasa ingin tahu. "Baik Tuan. Saya akan menyiapkan semuanya," jawab Sandra akhirnya, meski nadanya terdengar sedikit datar.

"Bagus. Saya akan menjemputmu seperti biasa. Sampai nanti malam." Bagas menutup telepon tanpa banyak basa-basi.

Sandra meletakkan ponselnya di meja sambil menghela napas panjang. Siska langsung menyandarkan dagunya di tangan, menatap Sandra dengan senyum menggoda. "Bagas lagi ya?" tanyanya sambil menaikkan alis. "Kamu yakin tidak ada yang spesial antara kamu dan dia? Serius Sandra,dia perhatian sekali sama kamu."

Sandra memutar matanya, terlihat enggan menanggapi. "Siska, tolong ya. Dia bosku. Aku tidak mau orang salah paham, termasuk Leo. Apalagi, setiap kali aku dan Bagas terlihat bersama, Leo selalu menunjukkan sikap seolah-olah aku yang salah."

Siska tertawa kecil. "Ah, Leo memang tidak tahu diri. Dia hanya cemburu karena dia kehilangan kamu. Dan jujur aja, aku lebih suka kalau kamu bikin dia kapok. Tampil memukau malam ini, buat dia tahu kalau kamu tidak berurusan dengannya lagi."

Sandra menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. "Aku tidak mau cari perhatian siapa pun, Siska. Aku hanya menjalankan tugas, dan aku tetap menjaga batasan dengan Bagas. Dia memang orang baik, tapi aku tidak mau orang berpikir yang macam-macam."

Siska mendengus kecil, lalu menyeruput kopinya lagi. "Ya ampun, Sandra. Kamu ini terlalu serius. Sesekali menikmati hidup, dong. Lagipula,tidak ada salahnya tampil lebih memukau, kan? Siapa tahu itu justru buat kamu merasa lebih percaya diri."

Sandra tersenyum kecil, meski dalam hatinya ia masih merasa berat untuk menghadapi malam itu. "Aku tahu kamu ingin yang terbaik untukku. Tapi percayalah, aku tidak ingin memaksakan sesuatu yang bukan pada tempatnya."

Siska mengangguk perlahan. "Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi jujur, aku tidak sabar melihat bagaimana reaksi Bagas nanti."

Sandra hanya tertawa kecil, meskipun di dalam hatinya ada sedikit keraguan. Ia tahu, malam itu akan menjadi ujian lagi bagi dirinya—antara masa lalu yang terus menghantuinya dan masa kini yang berusaha ia jalani sebaik mungkin.

---

Malamnya, Bagas tiba di rumah Sandra dengan mobilnya. Ketika Sandra keluar, Bagas sempat terpaku sesaat. Sandra tampil sangat menawan dengan gaun hitam sederhana namun elegan, rambutnya ditata dengan anggun, dan riasannya membuat kecantikannya semakin bersinar.

Bagas tersenyum, memujinya. "Kamu luar biasa malam ini, Sandra. Kita pasti akan menarik perhatian."

Sandra hanya tersenyum kecil. "Terima kasih,Tuan. Saya sudah siap."

Tanpa banyak basa-basi, mereka masuk ke dalam mobil dan menuju lokasi pesta. Selama perjalanan, Bagas beberapa kali melirik Sandra, tampak kagum namun tetap berusaha menjaga sikapnya. Sandra, di sisi lain sibuk mempersiapkan dirinya untuk menghadapi kerumunan orang.

---

Sesampainya di lokasi pesta, suasana megah segera menyambut mereka. Lampu kristal yang berkilauan dan alunan musik lembut menciptakan nuansa elegan. Bagas menggandeng Sandra, memperkenalkannya kepada beberapa rekan kerjanya, sebelum melangkah lebih jauh ke tengah ruangan.

Di sudut ruangan, Leo sedang berbincang santai dengan beberapa pemimpin perusahaan lainnya. Penampilannya tetap memukau seperti biasa, mengenakan setelan abu-abu gelap yang pas di tubuhnya. Namun, pembicaraannya terhenti sejenak ketika ia melihat Sandra masuk bersama Bagas.

Leo berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang, meskipun matanya sesekali melirik ke arah Sandra. Ada perasaan aneh yang muncul di dadanya, campuran cemburu dan nostalgia, tetapi ia menutupinya dengan senyuman kecil yang penuh kendali.

Sandra menyadari tatapan Leo. Namun, ia tidak merasa tertekan seperti waktu itu. Ia hanya tersenyum ringan, menyapa beberapa orang yang ditemui sambil tetap berjalan di sisi Bagas. Dalam hatinya, Sandra tahu bahwa hubungan dengan Leo sudah berubah. Ia kini menganggap Leo tak lebih dari seorang sahabat, dan perasaan itu membuatnya lebih santai.

Sikap percaya diri Sandra membuat Leo semakin sulit menahan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul. Namun, ia tetap fokus pada percakapan di sekitarnya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kehadiran Sandra yang kini tampak begitu bersinar.

---

Lampu pesta tiba-tiba meredup, membuat seluruh tamu berhenti berbicara dan menoleh ke arah panggung utama. Beberapa orang terdengar berbisik heran, tetapi suasana segera kembali tenang saat lampu perlahan menyala kembali. Di atas panggung, seorang MC muncul dengan senyum cerah.

"Para tamu yang terhormat! Kini saatnya kita masuk ke momen istimewa malam ini—pesta dansa! Jadi, manfaatkan waktu ini untuk bersenang-senang bersama pasangan Anda."

Musik lembut mulai mengalun, mengundang para tamu ke lantai dansa. Banyak pasangan mulai beranjak dan mengambil tempat. Namun, Sandra hanya berdiri di sudut ruangan bersama Bagas, merasa enggan. Dalam hatinya, ia berpikir bahwa ia tidak punya pasangan dan lebih baik tetap di tempatnya.

Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, Bagas tiba-tiba berlutut di hadapannya dengan gerakan yang lembut. Ia mengulurkan tangan dengan senyum hangat.

"Mau berdansa denganku?" tanya Bagas dengan nada yang sopan namun penuh keyakinan.

Sandra tertegun. Gerakan dan cara Bagas berbicara membuat semua mata di sekitar mereka tertuju padanya. Ia merasa sedikit canggung, terutama karena suasana mulai membuatnya jadi pusat perhatian. Ia melirik sekilas ke arah sudut ruangan tempat Leo berada, memastikan pria itu tidak memperhatikan.

Untungnya, Leo tampak sibuk berbicara dengan para pemimpin perusahaan lainnya. Ia tertawa ringan pada sesuatu yang dikatakan salah satu dari mereka, sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi di sisi lain ruangan.

Melihat itu, Sandra merasa lega. Ia mengalihkan pandangannya kembali ke Bagas, yang masih menunggu dengan sabar. Dengan sedikit ragu, ia akhirnya mengangguk. "Baiklah Tuan," katanya sambil tersenyum tipis, menyambut tangan Bagas.

Bagas berdiri, menggenggam tangan Sandra dengan lembut, lalu membimbingnya ke lantai dansa. Musik perlahan berubah menjadi alunan waltz yang indah. Sandra mengikuti langkah Bagas dengan hati-hati. Meskipun awalnya merasa canggung, ia mulai merasa lebih nyaman karena sikap Bagas yang sopan dan penuh perhatian.

Dari sudut matanya, Sandra sempat melirik ke arah Leo sekali lagi. Kali ini, tatapan mereka sempat bertemu sejenak. Namun, Leo hanya tersenyum tipis, tetap menjaga ekspresinya tenang, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Sandra pun membalas dengan senyum kecil dan canggung, kembali fokus pada dansanya.

Bagas menatap Sandra dengan kagum. "Kamu menari dengan sangat anggun," katanya.

"Terima kasih," jawab Sandra singkat, tetap menjaga sikapnya meskipun ia merasakan ketulusan dalam pujian itu. Baginya, momen ini hanyalah bagian dari pesta kerja, bukan sesuatu yang perlu terlalu ia pikirkan.

---

Di sudut ruangan yang temaram, Leo berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. Namun, perasaan di dalam dirinya berkecamuk. Matanya tak henti-hentinya mengikuti gerakan Sandra yang masih berdansa dengan Bagas. Tangan yang memegang gelas perlahan meremas, semakin erat, seolah ingin menghancurkannya.

"Tuan..." Thomas pegawai setia Leo, menyadari ada sesuatu yang salah. Ia melirik wajah bosnya, lalu mengikuti arah pandangan Leo hingga berhenti pada sosok Sandra dan Bagas di lantai dansa. Thomas segera memahami situasinya. Ia tahu betul bahwa Leo masih menyimpan perasaan untuk Sandra, meskipun berusaha menyembunyikannya.

Berusaha mencegah hal buruk terjadi, Thomas mendekati Bagas dengan langkah percaya diri. Dengan senyum profesional, ia menyela dansa mereka dengan alasan penting.

"Tuan Bagas," kata Thomas sopan, "Saya ingin membahas sedikit perihal rencana kerja sama anda dengan Tuan Leo. Sepertinya ini waktu yang tepat."

Bagas menatap Thomas sejenak sebelum mengangguk. Ia menoleh ke Sandra dengan sopan. "Maaf Sandra. Saya harus pergi sebentar. Terima kasih sudah menemani saya."

Sandra mengangguk kecil, merasa lega karena akhirnya bisa keluar dari lantai dansa. Ia melangkah menjauh, menuju teras untuk mencari udara segar. Udara malam yang sejuk menyapa wajahnya, memberikan sedikit ketenangan dari suasana pesta yang riuh. Ia berdiri di sana, menatap langit, mencoba mengatur napas.

Namun, tanpa ia sadari, seseorang telah berdiri di belakangnya. Ketika ia berbalik, ia terkejut mendapati Leo di sana. Wajahnya tampak tenang, tapi senyum kecil yang tersungging di bibirnya memancarkan sesuatu yang berbeda—perasaan yang sulit dijelaskan, campuran luka dan cemburu.

"Maukah kamu menari denganku malam ini?" tanya Leo tiba-tiba, suaranya dalam dan penuh perasaan. Ia menjulurkan tangannya, menatap Sandra dengan mata yang sulit diabaikan.

Sandra mendadak diam, tak tahu harus berkata apa. Hatinya berdebar, bukan karena cinta, tetapi lebih kepada kebingungan menghadapi situasi ini. Ia tahu Leo mungkin sedang terluka, dan ia tidak ingin memperumit keadaan.

"Sandra?" panggil Leo lagi, masih dengan tangan terulur.

"Ah, iya. Tentu." Akhirnya Sandra menjawab, berusaha tersenyum meskipun canggung. Ia menyambut tangan Leo, membiarkannya membimbingnya kembali ke lantai dansa.

Leo tampak senang, bahkan sedikit lega. Ia menarik Sandra ke tengah lantai dansa yang mulai lengang, lalu membimbingnya dengan gerakan yang anggun. Musik kembali mengalun lembut, mengiringi langkah mereka. Sementara itu, Sandra berusaha menjaga pikirannya tetap jernih, mengingatkan dirinya bahwa hubungan mereka kini hanyalah sebatas sahabat.

Namun, di dalam hati Leo, ada perasaan yang sulit ia kendalikan. Meski ia tahu keadaan sudah berubah, malam ini terasa seperti kesempatan untuk mendekatkan dirinya kepada Sandra, walau hanya melalui satu tarian.

---

Saat alunan musik terus mengisi ruangan, Sandra dan Leo bergerak mengikuti irama. Namun, tak seperti saat berdansa dengan Bagas, Sandra kali ini tampak lebih canggung. Kepalanya tertunduk, matanya fokus pada sepatu Leo, tidak berani menatap wajah pria itu.

Leo memperhatikan tingkah Sandra yang berbeda. Ia semakin merasa tersinggung. Saat bersama Bagas, Sandra terlihat percaya diri dan bahkan tersenyum, tetapi bersamanya, Sandra seolah kehilangan keberanian. Leo menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya, namun rasa kesal mulai menguasai dirinya.

Akhirnya, ia berhenti menari. Gerakannya tegas, membuat Sandra mendongak terkejut. Musik terus mengalun, tetapi keduanya hanya berdiri diam di tengah lantai dansa.

"Sandra." Leo membuka mulut, suaranya rendah tapi tegas. "Apa aku melakukan sesuatu yang salah? Kenapa kamu terlihat seperti ini setiap kali bersamaku?"

Sandra menegang. Ia tahu, inilah hal yang paling ia takutkan—Leo mulai mempertanyakan sikapnya. Ia ingin menghindari konflik, tapi tidak tahu bagaimana menjelaskannya tanpa memperburuk suasana.

"Aku... aku tidak apa-apa Leo," jawab Sandra, mencoba terdengar tenang, meskipun suaranya sedikit gemetar.

Leo menatapnya tajam, tidak puas dengan jawaban itu. "Benarkah? Karena saat bersama Bagas, kamu terlihat santai dan percaya diri. Tapi dengan aku, kamu selalu seperti ini—canggung, murung, seolah-olah aku adalah masalah besar dalam hidupmu."

Sandra terdiam, rasa cemas mulai meliputinya. Ia tahu Leo tidak akan puas dengan jawaban yang samar. Dalam hatinya, ia tidak ingin kembali ribut dengan pria ini. Ia telah melalui cukup banyak drama dengan Leo waktu itu, dan satu-satunya hal yang ia inginkan sekarang adalah kedamaian.

"Leo, aku tidak ingin kita berdebat," kata Sandra akhirnya, suaranya pelan tapi tulus. "Aku hanya tidak tahu harus bersikap bagaimana di depanmu. Aku takut salah lagi."

Mendengar itu, ekspresi Leo melunak sedikit, meskipun matanya masih menyimpan tanya. Ia menghela napas panjang, menyadari bahwa mungkin sikapnya sendiri yang membuat Sandra merasa tertekan.

"Kamu tidak perlu takut Sandra," katanya, lebih lembut kali ini. "Aku hanya ingin kita bisa berbicara seperti dulu. Seperti sahabat, tanpa ada jarak seperti ini."

Sandra menatap Leo sejenak, membaca ketulusan di matanya. Ia tahu Leo berusaha memperbaiki keadaan, tetapi luka lama di antara mereka membuat semuanya terasa lebih sulit. Akhirnya, ia mengangguk pelan, mencoba mengendurkan ketegangannya.

"Baiklah," ujar Sandra. "Aku akan mencoba."

Leo tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa hubungan mereka tidak akan pernah benar-benar kembali seperti dulu. Tapi setidaknya, malam ini, ia merasa berhasil mendekatkan dirinya sedikit lagi kepada Sandra.

Related chapters

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

    Last Updated : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

    Last Updated : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 1

    Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 2

    Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 3

    Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 4

    Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 5

    Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m

    Last Updated : 2024-11-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 6

    Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga

    Last Updated : 2025-01-15

Latest chapter

  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status