Share

Memori Yang Menghukum
Memori Yang Menghukum
Author: Nisa Fitri

Bab 1

Author: Nisa Fitri
last update Last Updated: 2024-11-14 16:54:08

Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu.

"Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya.

Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?"

Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar.

Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan.

"Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana.

"Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus.

Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ketika pelukan Leo semakin erat. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya ketakutan yang muncul, membungkam kata-katanya.

"Siapa kamu?" Sandra berteriak, dorongannya membuat Leo terjatuh ke lantai.

Leo terdiam, menatap Sandra dengan mata yang tampak penuh kebingungan dan kesedihan. "Sandra, aku Leo... Kekasihmu," katanya, berusaha menjelaskan.

Namun, Sandra hanya bisa menatapnya kosong. Tidak ada kenangan, tidak ada perasaan.

Tiba-tiba, suara seorang wanita paruh baya memecah keheningan. "Leo, hentikan! Jangan buat dia takut seperti itu!" Ibu Leo berdiri di ambang pintu, wajahnya penuh kecemasan.

Sandra, masih terisak, duduk di pojok ruangan, merangkul tubuhnya sendiri. Keheningan yang mengisi ruangan seperti sebuah dinding tebal, menutupi setiap kenangan, setiap wajah yang seharusnya ia kenali.

Air mata menetes perlahan, dan ia hanya bisa menangis, merasa terjebak dalam tubuh yang tak lagi ia kenali. Semua terasa asing—namanya, wajahnya, bahkan dirinya sendiri. Seperti lembaran buku yang kehilangan halamannya.

"Sandra..." Suara lembut itu datang mendekat, membawa sedikit kenyamanan. Seorang wanita, dengan wajah penuh kasih, berjongkok di depannya. "Ini aku, Ibu Leo. Kami di sini untukmu."

Tapi kata-kata itu hanya terasa seperti gema kosong. Sandra menatapnya dengan mata yang kosong, tanpa rasa. Kepalanya terasa berat, seperti ribuan jarum menghujam setiap kali ia mencoba mengingat.

Dokter masuk, memperingatkan semua orang. "Biarkan dia tenang dulu. Kenangannya akan kembali perlahan."

Ibu Leo mengulurkan tangan, berharap Sandra bisa merasa nyaman. "Ayo ikut kami, Sandra. Kami akan membawamu pulang," ujarnya lembut.

Sandra menatap mereka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Di mana keluargaku? Kenapa aku harus ikut kalian?" tanyanya, suaranya serak. "Apakah aku tidak punya keluarga?"

Ibu Leo dan Leo terdiam. Mereka tak tahu apa yang harus dijawab. Keheningan menggantung berat di udara.

Sandra kembali terisak. Leo menunduk, tidak tahu harus berbuat apa selain merasakan perasaan kosong yang memenuhi hatinya.

Di saat-saat itu, seorang wanita paruh baya lain muncul di ambang pintu. Wajahnya penuh kehangatan, dengan kerutan yang menunjukkan pengalaman hidup yang panjang.

"Sandra... Ini aku, Bi Rina. Ingatkah kamu?" katanya dengan suara lembut.

Sandra memandangnya dengan tatapan kosong, tapi ada sesuatu yang samar, sesuatu yang terasa akrab, meskipun kenangan itu belum kembali sepenuhnya. Bi Rina, wajah yang penuh kasih sayang, seolah mengirimkan perasaan nyaman yang belum ia rasakan selama ini.

"Bi Rina..." Sandra berbisik, suaranya hampir hilang di udara.

Bi Rina mendekat, tersenyum lembut. "Kamu bisa ikut aku, Sandra. Aku akan menjagamu seperti dulu. Kamu aman bersamaku."

Sandra menunduk, mencoba mencari jawaban dalam kepalanya yang kosong. Perasaan itu... perasaan aman yang datang dari Bi Rina membuatnya merasa sedikit tenang. Mungkin, hanya dia yang bisa membuatnya merasa seperti dirinya sendiri.

Leo dan ibunya hanya bisa diam, melihat Sandra yang begitu rapuh. Mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti ini, orang yang bisa memberi kenyamanan lebih dari sekadar kenangan adalah seseorang yang pernah ada dalam hidupnya.

Bi Rina meraih tangan Sandra, menggenggamnya dengan lembut.

Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Leo dengan cepat menyusul mereka dan kembali merengkuh Sandra dalam pelukannya. "Sandra... kamu tidak boleh pergi," katanya, suaranya bergetar, hampir putus asa. "Aku tidak bisa membiarkanmu pergi begitu saja."

Sandra membeku, rasa takut semakin mencekamnya. Pelukan Leo yang dulu memberi kenyamanan kini terasa seperti belenggu. Ia ingin berteriak, tetapi kata-katanya terhenti, tenggelam dalam ketakutan.

"Leo!"

"Ibu... aku tidak bisa!" Leo berteriak, semakin keras, menahan Sandra dalam pelukannya. "Dia milikku. Aku yang akan menjaganya."

Ibu Leo berlari mendekat, tampak marah. "Lepaskan dia, Leo! Apa yang kamu lakukan? Sandra butuh ruang untuk memilih sendiri," suaranya penuh kemarahan.

Bi Rina yang berdiri di sisi Sandra segera maju, wajahnya berubah tegas. "Leo, kamu tidak bisa memaksanya seperti ini. Sandra berhak memutuskan dengan siapa ia merasa aman," katanya dengan suara tajam. "Tindakanmu hanya akan membuatnya semakin takut."

Sandra menatap Leo dengan penuh ketakutan, dan dalam suara gemetar, ia memohon, "Lepaskan aku... Tolong, Leo, aku tidak mengenalmu... Aku tidak ingin dipaksa..."

Kata-kata itu menembus hati Leo seperti jarum tajam. Ia terdiam, perlahan melepaskan Sandra, merasakan perih yang tak terkatakan. Sandra mundur beberapa langkah, berdiri di samping Bi Rina. Dalam keheningan yang menyesakkan, Sandra merasa sedikit cahaya—harapan baru—masih ada. Mungkin, dengan Bi Rina, ia bisa menemukan dirinya kembali.

Bi Rina menggenggam tangan Sandra dengan penuh kasih sayang. "Ayo pulang, Nak. Kita mulai lagi dari awal, bersama-sama."

Sandra mengikuti langkah Bi Rina dengan ragu. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Leo memanggilnya lagi, lebih pelan kali ini. "Sandra..." Suara itu bergetar, memohon dengan kesedihan yang mendalam.

Sandra menoleh. Tatapan Leo penuh rasa putus asa, cinta, kehilangan, dan rasa bersalah. Ada sesuatu di sana yang terasa akrab, meski samar. Ia mencoba menggapainya, mencoba mengingat wajah itu, suara itu, atau mungkin perasaan yang seharusnya menyertainya. Tapi yang ia rasakan hanya kekosongan.

"Aku mohon, Sandra... Jangan tinggalkan aku," kata Leo lagi, suaranya hampir tenggelam.

Kata-katanya menusuk sesuatu di dalam diri Sandra, sebuah ruang yang sebelumnya kosong kini terasa bergetar. Namun, rasa itu tak berbentuk—hanya sebuah desakan samar yang membuat pikirannya terasa berat. Ia ingin mengingat, tapi setiap kali mencoba, rasa sakit menyergap kepalanya.

Sandra memegangi pelipisnya, wajahnya meringis. "Kenapa aku tidak bisa mengingatmu?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Kenapa aku merasa ada sesuatu... sesuatu yang penting, tapi tidak bisa aku temukan?"

Leo melangkah maju, ingin menjawab, tapi Bi Rina segera berdiri di antara mereka. "Cukup, Leo. Jangan buat dia semakin bingung," kata Bi Rina tegas.

Namun Sandra mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Bi Rina berhenti. "Aku ingin tahu... Aku ingin tahu siapa kamu sebenarnya," katanya pada Leo, suaranya gemetar. "Tapi setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti... aku tenggelam. Kenapa?"

Leo terlihat ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia menunduk, tak sanggup menjawab.

Sandra mendesak lebih keras, hampir berteriak, "Siapa kamu, Leo? Apa yang sebenarnya terjadi padaku?"

Tidak ada jawaban. Leo hanya berdiri di sana, diam, dengan wajah penuh rasa sakit. Ibu Leo mencoba mendekat, tetapi Sandra mundur, menggelengkan kepala. "Semua ini... semua ini terasa salah. Aku tidak tahu apa yang benar, atau siapa yang bisa kupercaya," katanya, suaranya mulai tersendat.

Rasa pening mulai menjalar di kepalanya. Pandangannya mulai berputar, dan tubuhnya terasa lemas.Sandra mulai kehilangan keseimbangan.

Ketika Sandra mulai goyah, rasa pening yang menyerangnya menjadi semakin tak tertahankan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemas, dan akhirnya ia roboh. Bi Rina dengan sigap menangkapnya, namun Leo lebih cepat melangkah maju, wajahnya diliputi kepanikan.

"Sandra!" seru Leo, suaranya pecah. Ia berlutut di sebelahnya,kedua tangannya mencoba menangkapnya. "Kamu baik-baik saja? Sandra, tolong jawab aku!"

Namun, Sandra mengangkat tangannya yang gemetar, menahan Leo untuk menjaga jarak. Matanya yang redup menatapnya dengan kesedihan bercampur ketegasan. "Jangan... jangan sentuh aku," bisiknya lirih.

Leo tertegun, tangannya menggantung di udara sebelum akhirnya ia mundur perlahan, meskipun raut wajahnya penuh rasa cemas. "Aku hanya ingin memastikan kamu—"

"Jangan," potong Sandra, nadanya memohon sekaligus tegas. Ia memalingkan wajah, menatap Bi Rina. "Bi Rina... tolong bawa aku pergi dari sini," katanya, suaranya semakin lemah.

Bi Rina mengangguk, menopang tubuh Sandra yang gemetar. "Ayo, Nak. Kita pergi sekarang," katanya lembut namun tegas.

Leo hanya bisa duduk membeku di tempatnya, menyaksikan Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu. Napasnya berat, dadanya terasa sesak, namun ia tak punya pilihan selain membiarkan mereka pergi.

Ketika Bi Rina membawa Sandra keluar dari ruangan itu, Sandra menoleh sekali lagi ke arah Leo. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata itu tak pernah keluar. Sebaliknya, hanya satu pikiran yang berputar di kepalanya ,"Siapa aku sebenarnya? Dan siapa dia bagiku?"

Related chapters

  • Memori Yang Menghukum   Bab 2

    Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 3

    Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 4

    Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 5

    Sandra menatap layar ponselnya dengan ragu setelah mengirim pesan kepada Leo. Ia tidak yakin apa yang membuatnya merasa harus menghubungi pria itu, tetapi nama itu terus mengusik pikirannya sejak pagi. Tak sampai beberapa menit, ponselnya bergetar. Balasan dari Leo muncul di layar: [Sandra? Kamu ingat aku? Tentu aku mau bertemu. Katakan di mana, aku akan datang.] Sandra membaca pesan itu dengan kening berkerut. Ingat? pikirnya. Apa aku benar-benar pernah mengenalnya? Namun di sisi lain, Leo yang menerima pesan itu merasa hatinya bergolak. Matanya membesar, tangannya sedikit gemetar saat membaca nama pengirim pesan. Ada kelegaan sekaligus kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan. "Dia ingat aku," gumamnya dengan suara serak, senyum kecil terukir di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan dengan cepat. ---------- Pertemuan Sandra dan Leo Kafe kecil yang dipenuhi aroma kopi hangat, Sandra terduduk merasa dingin saat menunggu. Ketika pintu terbuka, seorang pria m

    Last Updated : 2024-11-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 6

    Di kantornya,Leo dan Amar kembali berdiskusi menyusun rencana. Leo terdiam, merenungkan saran Amar. "Dan jika ternyata mereka benar-benar punya hubungan?" "Kalau itu terjadi," Amar melanjutkan dengan nada licik, "Anda sudah punya akses untuk menggali lebih dalam. Bukti bisa dikumpulkan perlahan tanpa ada kecurigaan. Dengan pendekatan ini, Anda tetap memegang kendali penuh." Leo mengangguk pelan, mulai melihat logika di balik saran Amar. "Baik. Atur pertemuan itu. Pastikan semuanya terlihat seperti urusan bisnis. Aku ingin tahu siapa sebenarnya bos Sandra dan apa yang dia sembunyikan." Amar tersenyum penuh kepuasan. "Percayakan pada saya,Tuan. Kita akan menemukan jawabannya tanpa perlu membuat mereka merasa terancam." Leo akhirnya duduk kembali di kursinya, meski amarahnya belum sepenuhnya reda. Namun, kini ia memiliki rencana yang terasa lebih strategis. Sementara itu, Amar mulai memikirkan langkah-langkah untuk memuluskan pertemuan tersebut, sekaligus mempersiapkan cara aga

    Last Updated : 2025-01-15
  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

    Last Updated : 2025-01-15
  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

    Last Updated : 2025-01-17
  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

    Last Updated : 2025-01-18

Latest chapter

  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status