Share

Bab 11

Author: Nisa Fitri
last update Last Updated: 2025-01-18 15:39:52

Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya.

Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai.

“Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?”

Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar.

“Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh tekanan. Tanpa menunggu jawaban, ia memutus panggilan.

Tak lama kemudian, Amar tiba di rumah Fiona. Pria itu menghela napas panjang saat melihat kondisi adiknya. Fiona duduk di lantai dengan wajah penuh air mata, sementara ruangan di sekitarnya berantakan. Amar melipat kedua tangannya, mencoba menenangkan diri sebelum mendekati Fiona.

“Fiona, apa lagi ini?” tanya Amar, suaranya tegas namun berusaha lembut. “Kenapa kamu selalu seperti ini? Apa yang terjadi sekarang?”

Fiona mendongak, wajahnya memerah karena tangis dan emosi. “Ka, apa kamu tidak bisa melenyapkan Sandra dari muka bumi?” tanyanya, dengan nada dingin yang membuat Amar tercengang.

“Fiona, apa maksudmu?” Amar menatap adiknya dengan tajam. “Jangan gegabah. Kamu tahu apa yang kamu bicarakan sekarang?”

Fiona berdiri dengan tiba-tiba, menunjuk Amar dengan marah. “Aku sudah tidak tahan, Ka! Sandra selalu mengganggu hubunganku dengan Leo. Waktu itu, Leo hampir bisa melupakannya. Dia mulai mencintaiku Ka,mulai memberiku perhatian yang aku inginkan! Tapi saat Sandra muncul lagi, semuanya hancur!” Suaranya meninggi, histeris, dan penuh emosi. “Leo menjauhiku, dia terus memikirkan Sandra, dan aku tidak ada artinya lagi!”

Amar menghela napas panjang, berusaha menenangkan Fiona. “Tenang dulu,” katanya, menatap adiknya dengan serius. “Kaka akan pastikan mereka tidak akur terlebih dahulu. Aku akan mencari cara perlahan untuk melenyapkan Sandra dari kehidupan Leo.”

Fiona terdiam sesaat, menatap Amar dengan tatapan penuh harap. “Kapan, Ka? Kapan itu dilakukan? Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi! Aku tidak ingin terus diabaikan oleh Leo!”

“Fiona, kamu harus sabar,” jawab Amar tegas. “Kamu tahu kan, Leo sangat mencintai Sandra. Sandra menjauh darinya saja dia sudah frustasi, apalagi kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya. Kalau dia mati, Leo bisa gila. Apa kamu mau menghadapi Leo yang seperti itu?”

Fiona mengepalkan kedua tangannya, mencoba menahan luapan emosi. Ia tahu Amar benar, tapi hatinya terlalu terluka untuk berpikir jernih. Semua impiannya—kehidupan mewah, perhatian penuh dari suaminya, kebahagiaan yang sempurna—hancur berkeping-keping setiap kali nama Sandra muncul dalam percakapan mereka.

“Jadi, Ka,” gumam Fiona dengan suara pelan tapi penuh tekad, “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

Amar menatap Fiona dengan tajam, lalu berbisik, “Kaka akan cari cara. Tapi kamu harus bersikap biasa-biasa saja di depan Leo. Jangan buat dia curiga. Kalau kamu panik atau terburu-buru, semua rencana ini akan gagal.”

Fiona mengangguk pelan, meski dadanya masih dipenuhi amarah. “Baiklah, Ka. Tapi pastikan ini selesai secepat mungkin. Aku tidak bisa hidup seperti ini lebih lama lagi.”

Amar menghela napas lagi, memandang adiknya dengan campuran rasa kasihan dan frustrasi. “Kaka akan urus ini. Tapi ingat, Fiona, kalau sampai ada kesalahan, semuanya akan berbalik menghancurkanmu.”

Fiona menatap Amar dengan mata tajam. “Aku tidak peduli. Aku hanya ingin Sandra hilang dari hidupku”

---

Pagi itu Sandra menemani Bagas dalam pertemuan bisnis dengan beberapa perusahaan,Bagas tampak sibuk berbicara bersama para rekannya,sementara Sandra hanya diam memperhatikan.Tanpa Sandra sadari Leo sudah memperhatikannya dari tadi.

Setelah pertemuan bisnis selesai, Leo mendekati Sandra dengan senyum yang sama sekali berbeda dari sikapnya selama ini. “Sandra, ada waktu sebentar? Aku ingin mengajakmu jalan-jalan ke taman dekat sini. Kita bisa santai sejenak.”

Sandra mengerutkan kening,menatapnya penuh curiga. “Maaf..tapi aku harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa laporan.”

Namun, Leo tidak menyerah. “Sandra, aku mohon. Aku hanya butuh beberapa menit. Tidak ada pembicaraan proyek, hanya... hanya ingin mengobrol sebentar. Tidak ada tekanan.”

Sandra menatapnya lama, mencoba membaca niat di balik permintaan itu. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda dari Leo hari ini, sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Namun, ia juga tahu bahwa menolak secara langsung hanya akan memperumit situasi.

“Baiklah, tapi hanya sebentar,” jawab Sandra akhirnya, meskipun rasa curiga terus mengintai di hatinya.

---

Mereka tiba di taman kecil yang sepi, tidak jauh dari gedung tempat mereka bekerja. Leo berjalan di samping Sandra, dan sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo tiba-tiba menggandeng tangannya. Sandra terkejut, tapi ia membiarkannya. Leo membimbingnya ke sebuah kursi kayu di bawah pohon besar.

“Duduklah,” kata Leo dengan suara lembut. Sandra menurut, meski ekspresinya tetap waspada.

“Kamu baik-baik saja, Tuan Leo?” tanya Sandra, suaranya sengaja dibuat formal. Ia berharap menjaga jarak seperti ini akan menghindarkan mereka dari konflik atau ketegangan. Namun, alih-alih meredam situasi, nada formal itu malah membuat hati Leo terasa sakit. Ia tahu Sandra sengaja menjaga jarak, dan itu membuatnya merasa semakin jauh dari wanita yang dulu ia cintai.

Leo menarik napas panjang, mencoba tetap tenang seperti yang disarankan ibunya. “Sandra,” katanya pelan, “Bisakah kamu tidak berbicara seperti itu padaku? Kita pernah punya perasaan... kamu tidak pernah canggung sebelumnya. Bahkan meskipun kamu masih kehilangan sebagian ingatanmu.”

Sandra menoleh, menatapnya dengan penuh kehati-hatian. “Apa yang kamu inginkan, Leo?”

Leo tersenyum tipis, menundukkan kepala sejenak sebelum menatapnya lagi. “Aku hanya ingin kita berhubungan baik, Sandra. Aku merasa kamu selalu menghindariku, menjauhiku, seolah-olah aku ini musuh. Aku tidak mau seperti itu. Aku hanya ingin... memperbaiki semuanya.”

Sandra menghela napas panjang. “Aku paham, Leo. Jadi, kamu mau bagaimana?”

Leo menggenggam kedua tangannya dengan lembut, tapi Sandra menarik tangannya perlahan, membuat Leo tersenyum masam. “Kita mulai dari awal,” katanya dengan suara yang terdengar tulus. “Kamu tidak perlu menganggapku sebagai tunangan atau apa pun yang membebanimu. Anggap aku sahabat saja, Sandra. Aku tidak ingin menekanmu lagi.”

Sandra terdiam, memikirkan ucapannya. Tawaran itu terdengar sederhana, tapi ia tahu itu tidak akan semudah yang Leo bayangkan. Namun, melihat kesungguhan di matanya, Sandra merasa tidak ada salahnya mencoba.

“Baiklah,” jawab Sandra akhirnya. “Kalau itu yang kamu inginkan, aku setuju. Tapi kamu juga harus paham, Leo. Aku masih butuh ruang untuk diriku sendiri.”

Leo mengangguk pelan. “Aku paham, Sandra. Terima kasih. Itu sudah cukup untukku.”

Mereka duduk di sana dalam keheningan, membiarkan waktu berlalu tanpa banyak kata. Bagi Sandra, tawaran itu mungkin awal yang baik untuk menghindari konflik lebih jauh. Namun, di hatinya, ia masih bertanya-tanya: apa sebenarnya yang Leo inginkan darinya?

---

Keheningan di taman itu tiba-tiba terpecah oleh dering ponsel Leo. Ia melihat layar, dan raut wajahnya langsung berubah. Nama Fiona terpampang jelas, membuat dadanya berdebar. Ia tahu, pembicaraan ini tidak bisa dihindari, tapi tidak di depan Sandra.

“Maaf, aku harus menjawab ini sebentar,” kata Leo sambil bangkit berdiri, berusaha tersenyum agar tidak terlihat gelisah. Ia berjalan beberapa langkah menjauh, lalu mengangkat teleponnya.

“Kenapa, Fiona?” tanya Leo dengan nada datar.

Di seberang telepon, suara Fiona terdengar dingin dan penuh rasa sakit. “Kenapa? Itu yang ingin aku tanyakan padamu, Leo. Aku istrimu, tapi kenapa aku selalu merasa seperti aku hanya bayangan di hidupmu? Kamu terus mengabaikanku!”

Leo menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. “Fiona, ini bukan tempatnya untuk membahas ini. Aku sedang sibuk.”

“Dengan siapa?” tanya Fiona tajam. “Sandra, kan? Aku tahu kamu sedang bersamanya.”

Leo terdiam sejenak, menatap Sandra yang masih duduk di kursi taman. “Fiona, tolong jangan membuat ini lebih rumit. Aku sedang mencoba menyelesaikan semuanya.”

Fiona tertawa sinis. “Menyelesaikan? Dengan siapa? Aku atau Sandra? Karena sejauh ini, aku hanya melihat kamu berusaha mendekatinya lagi!”

Leo mengusap wajahnya, mencoba mengendalikan amarah yang perlahan muncul. “Fiona, aku akan pulang dan kita bicara. Tapi tidak sekarang.”

Fiona menghela napas keras di seberang sana. “Baiklah, Leo. Tapi ingat, aku tidak akan menunggu selamanya.”

Telepon terputus. Leo menatap ponselnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia tahu masalah dengan Fiona semakin memuncak, tapi untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lega karena hubungan dengan Sandra mulai membaik. Namun, itu hanya langkah kecil dalam jalan panjang yang masih harus ia tempuh.

---

Leo kembali ke tempat Sandra, memasang senyum yang berusaha menutupi kegelisahannya. “Maaf, panggilan penting,” katanya ringan.

Sandra menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia tahu ada sesuatu yang Leo sembunyikan, tapi memilih untuk tidak mengomentarinya. “Tidak apa-apa. Kalau sudah selesai, aku rasa aku juga harus kembali ke kantor.”

Leo mengangguk.“Tentu, aku akan mengantar kamu ke sana.”

“Tidak perlu,aku bisa sendiri.”

“Baiklah Sandra.”

Leo berusaha santai. Namun, dalam hatinya, ia sudah memikirkan langkah berikutnya: menyelesaikan semuanya dengan Fiona. Ia tahu istrinya terluka, cemburu, dan sakit hati. Tapi ia tidak bisa terus mengabaikannya, tidak jika ia ingin memperbaiki semuanya. Fiona mungkin sedang marah, tapi Leo sadar, dia tidak bisa mengulur waktu lebih lama lagi.

---

Setelah menatap jam tangannya, Leo bangkit dari kursi taman. Ia menatap Sandra dengan senyum lembut. “Aku harus pergi sekarang. Terima kasih, Sandra, sudah mau mendengarkan dan memberikan waktu. Aku benar-benar menghargainya.”

Sandra mengangguk kecil, tidak ingin terlalu banyak bicara. “Baiklah, Tuan Leo. Semoga harimu berjalan lancar.”

Leo tersenyum tipis, sedikit tersinggung dengan formalitas itu, tapi ia tidak ingin memperpanjang suasana. “Jaga dirimu, Sandra. Sampai jumpa.”

Setelah Leo pergi, Sandra masih duduk di kursi taman. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya melayang ke kejadian barusan. Ia mengingat momen ketika Leo menerima telepon. Suara di ujung telepon terdengar seperti suara wanita, dan dari nada bicaranya, wanita itu tampak sangat emosional.

“Siapa itu?” pikir Sandra, dahinya mengerut. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba muncul. Namun, ia segera menggelengkan kepala, berusaha mengabaikannya. “Itu bukan urusanku,” gumamnya pelan.

Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua itu tidak penting. Apa pun yang terjadi dalam hidup Leo sekarang, itu adalah masalahnya sendiri. Sandra menatap dedaunan yang tertiup angin, mencoba menenangkan pikirannya. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh. Taman itu kini terasa sepi, tapi Sandra merasa lebih baik diam sejenak untuk melupakan semua yang membebaninya.

Related chapters

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

    Last Updated : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

    Last Updated : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

    Last Updated : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

    Last Updated : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 1

    Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 2

    Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 3

    Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan

    Last Updated : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 4

    Keesokan harinya, Sandra kembali menatap cincin itu. Pikirannya berkecamuk, mencoba mengingat siapa pria yang telah memberikannya cincin tersebut. Bayangan kabur tentang seorang lelaki yang memegang tangannya muncul di benaknya, tetapi setiap kali ia mencoba mengingat lebih banyak, kepalanya terasa berdenyut, seolah otaknya menolak menggali lebih dalam. “Mungkin lebih baik aku melupakan semuanya,” gumam Sandra pelan. Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa pria itu pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya. Di luar jendela, tanpa ia sadari, Leo berdiri di sudut jalan, mengamatinya dari kejauhan. Hatinya bergetar melihat Sandra yang tampak begitu asing namun tetap sama seperti dulu. Ia merindukan wanita itu, tapi rasa bersalahnya pada masa lalu membuatnya tetap berdiri di tempatnya tanpa berani mendekat. ---------- Malam hari,Fiona menunggu Leo di kamar tidur. Ia mengenakan gaun tidur yang sederhana, namun tetap cantik. Ketika Leo masuk, Fiona menghampirinya dan memelukny

    Last Updated : 2024-11-14

Latest chapter

  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status