Share

Bab 10

Penulis: Nisa Fitri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-18 12:49:46

Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda.

"Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri.

Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu.

Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya.

Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi.

"Bagaimana jika Sandra tahu aku sudah menikah dengan Fiona? Apa dia akan membenciku? Atau, lebih buruk lagi, dia akan pergi... menjauh dariku selamanya?" pikirnya dengan sesak di dada.

Ketakutan itu menghantuinya setiap malam. Pikiran Sandra menemukan pelarian dengan bosnya, atau memilih menikah dengan pria lain, membuatnya merasa seperti dihantam pukulan keras di perut. Ia tahu ia tidak punya hak untuk berharap lebih, tapi perasaan itu tidak bisa hilang.

"Aku hanya ingin Sandra kembali. Tapi apa aku terlalu egois? Fiona... bagaimana dengan Fiona?"

Fiona, istrinya. Perempuan yang selalu mencoba memahami dirinya, bahkan ketika ia tidak sepenuhnya hadir untuknya. Namun sekarang, ia tidak bisa berpura-pura. Hatinya masih milik Sandra.

Ponselnya berdering lagi. Nama Fiona muncul di layar. Sudah lima kali Fiona menelpon, tapi Leo mengabaikannya. Ia tidak punya tenaga untuk menjelaskan, tidak punya keberanian untuk mendengar suara Fiona yang penuh kekhawatiran.

"Aku butuh waktu. Aku butuh ruang," gumamnya pada dirinya sendiri, meskipun ia tahu itu hanyalah alasan.

Leo melempar ponselnya ke meja, lalu memejamkan mata. Air mata mengalir tanpa ia sadari. Ia merasa seperti pria paling lemah di dunia.

"Sandra... apa yang harus aku lakukan? Kalau ingatanmu kembali, apa kamu akan menerima aku? Atau kamu akan membenciku karena aku sudah menikahi wanita lain?"

Bayangan Sandra menangis di kamar mandi sebelum pernikahan mereka menghantui pikirannya lagi. Apa alasan Sandra menangis? Apa ada sesuatu yang ia lewatkan?

Pikiran itu bercampur dengan rasa takut dan rasa bersalah. Leo menggigit bibirnya hingga terasa perih. Masalah ini seperti benang kusut yang tidak tahu dari mana harus ia mulai mengurainya.

Di tengah kesendiriannya, suara hujan mulai terdengar di luar. Bunyi gemericik itu biasanya menenangkan Leo, tapi malam ini tidak ada yang bisa menghilangkan rasa frustasinya.

"Aku mencintai Sandra... Tapi aku sudah menikah dengan Fiona. Apa aku harus menyerah?"

Ia menggeleng kuat-kuat, memukul meja dengan tinjunya hingga gelas yang ia letakkan bergetar.

"Tidak. Aku tidak bisa menyerah. Aku harus menemukan jalan keluar."

Namun, jalan keluar apa? Ia tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah satu hal: ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Sandra, meski itu berarti harus kehilangan segalanya.

__________

Pagi itu, matahari terbit lebih lambat dari biasanya, seolah tahu bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Ketika Fiona dan ibu Leo tiba di apartemen, suasana yang menyambut mereka jauh dari yang mereka harapkan.

Fiona menekan bel pintu dengan tangan gemetar, kecemasan di hatinya semakin menguat. Semalam, Leo mengabaikan semua teleponnya, dan pesan-pesan yang ia kirimkan hanya dibalas dengan keheningan. Hati Fiona dipenuhi dengan ketakutan, merasa ada sesuatu yang sangat salah, sesuatu yang jauh lebih dalam dari yang dia kira.

Pintu terbuka, dan ibu Leo segera melangkah masuk, tetapi yang mereka temui di ruang tamu membuat jantung mereka serasa berhenti berdetak.

Leo terbaring di lantai, tubuhnya terkulai lemah. Beberapa botol whisky kosong tergeletak berserakan di sekitarnya. Wajahnya pucat, matanya terpejam, dan dari bibirnya terdengar suara samar yang menyebutkan satu nama—nama yang begitu familiar, namun sangat menyakitkan bagi Fiona.

"Sandra... Sandra..." Leo bergumam lirih, matanya kosong, dan suaranya penuh penderitaan.

Fiona terpaku di tempatnya, tubuhnya terasa kaku. Rasa sakit itu menyelusup dalam-dalam ke hatinya. Ia sudah tahu tentang perasaan Leo terhadap Sandra. Ia sudah lama menyadari bahwa meskipun mereka sudah menikah, bayangan Sandra selalu ada di antara mereka. Namun, melihat Leo seperti ini—hancur, tenggelam dalam kenangan tentang Sandra—rasa sakit itu menjadi tak tertahankan.

Ibu Leo segera bergerak mendekat, mendudukkan diri di samping anaknya. Dengan tangan yang tremor, ia meraih ponsel dan menghubungi seorang dokter. Sementara itu, Fiona berdiri diam, tidak tahu harus berbuat apa. Setiap detik terasa seperti siksaan. Bagaimana ia bisa mengatasi ini? Bagaimana ia bisa melanjutkan hidupnya dengan Leo jika pria itu terus-menerus dihantui oleh wanita dari masa lalunya?

"Ibu... kenapa dia seperti ini?" Fiona akhirnya berbisik, suaranya serak. "Kenapa dia terus mengingat Sandra?"

Ibu Leo menghela napas panjang, mencoba menenangkan Fiona meskipun hatinya juga terluka. Ia menatap putranya dengan rasa cemas dan khawatir. "Leo... Leo harus sadar lebih dulu. Ini semua karena dia terlalu memikirkan masa lalunya, terlalu terobsesi dengan Sandra. Dia tidak bisa melepaskannya."

Fiona menggigit bibirnya, rasa sakit mulai merambat dari dadanya. "Aku tahu," jawabnya pelan. "Aku sudah tahu sejak lama... bahwa Sandra masih ada di pikirannya, bahwa dia tak bisa melepaskannya. Tapi aku tak tahu harus bagaimana lagi."

Fiona menatap Leo dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah berusaha, aku sudah berikan semuanya. Tapi dia tidak pernah bisa melupakan Sandra." Dengan nada lirih, Fiona melanjutkan, "Aku tahu aku hanya pengganti, tapi kenapa harus seperti ini?"

Ibu Leo menatap Fiona dengan penuh pengertian. "Fiona sayang, kamu tahu Leo bukan orang yang mudah melupakan. Tapi dia akan sadar suatu saat nanti, dan kamu harus sabar." Ia meraih tangan Fiona dengan lembut, mencoba memberi sedikit kenyamanan.

Fiona hanya bisa terdiam, hatinya hancur. Apakah ini benar-benar kehidupan yang dia inginkan? Semua pengorbanannya, semua usahanya untuk menjadi yang terbaik bagi Leo, terasa seperti sia-sia jika pria itu terus-menerus dihantui oleh bayangan Sandra.

Ia memandang Leo yang terkulai lemah di lantai. Air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku tidak tahu lagi... aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dengan keadaan seperti ini."

Namun, ibu Leo menarik Fiona kembali, menenangkannya. "Kamu harus tetap kuat, Fiona. Leo membutuhkan kamu lebih dari yang kamu pikirkan."

Fiona mengangguk pelan, meski hatinya penuh kebingungan dan rasa sakit. "Leo, apa yang harus aku lakukan untuk bisa membuatmu melihatku?"

Di saat yang sama, Fiona bertanya-tanya dalam hatinya,"Apakah Leo benar-benar ingin hidup bersamaku, atau ia hanya mencoba bertahan hidup tanpa Sandra?"

---

Leo mengerang pelan, tanda-tanda kesadarannya mulai kembali. Kepalanya terasa berat, dan matanya sulit dibuka sepenuhnya. Suara sayup-sayup itu, suara ibunya yang lembut, memanggilnya kembali ke realitas. Fiona tetap berdiri di sudut ruangan, diam membisu.

“Nak, bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya ibunya dengan penuh kekhawatiran, sementara tangannya mengusap lembut kening putranya.

Leo membuka matanya perlahan, menatap ibunya dengan ekspresi kosong sebelum menyadari keberadaan Fiona di belakangnya. Rasa bersalah langsung menghantamnya saat melihat wajah istrinya yang tampak letih dan terluka. Namun, pikirannya masih terjebak di antara masa kini dan bayangan masa lalu.

“Ibu...” Suaranya serak dan lemah. “Aku... Aku ingat sesuatu… Sandra mengatakannya padaku...”

Ibunya menatapnya dengan mata penuh pengertian, tetapi tidak menjawab. Dia membiarkan Leo melanjutkan.

Leo duduk dengan susah payah, menatap lantai. “Dia bilang..dia menangis… menangis menjelang hari pernikahan. Tapi aku tidak tahu kenapa dia menangis. Apa aku yang salah? Apa aku membuat dia merasa tertekan? Kenapa dia tiba-tiba pergi begitu saja? Kenapa dia meninggalkanku tanpa penjelasan?”

Ibunya terdiam sejenak, membiarkan Leo mencurahkan isi hatinya.

“Aku sudah berusaha melupakan, Bu… Aku pikir menikah dengan Fiona akan membantuku melanjutkan hidup. Tapi kenangan itu terus muncul, dan aku tidak tahu harus bagaimana. Aku… aku hanya ingin tahu. Apakah aku terlalu keras? Terlalu mendominasi? Apa aku tidak memberinya kebahagiaan?”

Leo mengusap wajahnya dengan kedua tangan, frustrasi dengan perasaannya sendiri. “Sandra... Dia tidak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan, Bu. Dia pergi begitu saja, dan aku harus menikah dengan Fiona, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Matanya mulai berkaca-kaca, emosinya semakin memuncak. “Dan aku tahu aku menyakiti Fiona. Aku tahu aku tidak adil padanya. Tapi aku... aku masih ingin tahu. Aku harus tahu kenapa Sandra menghilang.”

Ibunya mendekat, duduk di samping Leo, lalu mengusap bahunya perlahan. “Leo, kamu harus berhenti menyalahkan dirimu sendiri,” katanya lembut. “Ibu tahu kamu merasa bersalah, tapi memendam semua ini hanya akan membuatmu semakin sulit untuk melangkah. Jika kamu masih penasaran dengan Sandra, kamu bisa meminta penjelasan darinya. Tapi jangan biarkan emosimu menguasai, Nak.”

Leo mendongak, menatap ibunya dengan penuh harap. “Maksud Ibu?”

“Jika kamu memutuskan untuk bertemu Sandra lagi,” lanjut ibunya dengan nada sabar, “Buatlah hubungan pertemanan yang baik dengannya. Jangan mendekatinya dengan amarah atau tuntutan. Itu hanya akan memperburuk hubungan kalian,termasuk hubunganmu dengan Fiona.”

Leo terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Ia tahu apa yang dikatakan ibunya benar. Selama ini, ia terlalu sibuk mempertanyakan apa yang salah, tanpa mencoba melihat dari sudut pandang Sandra.

“Ibu benar…” gumam Leo pelan. “Aku terlalu keras kepala. Aku terlalu memaksakan kehendakku… Aku hanya ingin memastikan Sandra bahagia, tapi mungkin caraku salah.”

Ibunya menepuk bahunya lembut, memberi dukungan. “Yang terbaik sekarang adalah menenangkan dirimu dulu, Leo. Fokus pada hidupmu yang sekarang. Kalau kamu ingin berbicara dengan Sandra suatu hari nanti, pastikan kamu sudah siap untuk mendengar apa pun yang dia katakan, tanpa emosi yang membebani.”

Leo mengangguk pelan, meski hatinya masih bergemuruh. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia tidak bisa terus-menerus hidup dengan bayangan masa lalu. Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya, menatap Fiona dengan penuh kesadaran.

“Fiona…” katanya pelan. “Aku… aku minta maaf. Aku tahu aku telah menyakitimu. Aku hanya… aku hanya butuh waktu untuk menyelesaikan semua ini.”

Fiona tidak menjawab. Ia hanya menatap Leo dengan mata penuh luka, sebelum akhirnya meninggalkan ruangan, air mata mengalir di pipinya. Sementara itu, Leo tetap duduk di sana, dengan hati yang semakin berat. Perjuangan untuk menemukan kebenaran tentang Sandra baru saja dimulai, tapi ia sadar, pernikahannya dengan Fiona mungkin akan menjadi korban dari pencarian itu.

---

Fiona melangkah dengan berat hati menuju rumahnya. Sepanjang perjalanan, air matanya tak kunjung berhenti. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Leo yang terus menyebut nama Sandra. Rasa sakit dan kecewa menyelubungi hatinya, seolah-olah semua usahanya selama ini sia-sia. Namun, ketika ia tiba di depan pintu rumah, langkahnya terhenti.

Seorang pria paruh baya dengan pakaian lusuh berdiri di sana, bersandar pada dinding, wajahnya penuh ekspresi tidak sabar. Fiona terpaku, darahnya seolah berhenti mengalir. Ia mengenali pria itu.

“Akhirnya kamu pulang,” kata pria itu dengan nada kasar. “Ayah butuh uang untuk judi. Cepat! sebelum terlambat.”

Fiona menghela napas berat, berusaha menenangkan dirinya. Tapi melihat pria yang pernah menghancurkan masa kecilnya kini berdiri di depan pintu rumahnya, membuat emosinya sulit terkendali.

“Apa yang Ayah lakukan di sini?” tanya Fiona tajam, suaranya bergetar antara marah dan takut. “Bukannya aku sudah memberi uang beberapa waktu lalu? Aku bilang jangan coba-coba datang ke sini! Bisa gawat kalau Leo tahu tentang Ayah!”

Pria itu menyipitkan matanya. “Leo? Suamimu itu? Jadi kamu belum bilang tentang Ayah ke dia, ya?” Ia tertawa sinis. “Dasar pengecut. Kamu bilang apa ke dia? Ayahmu sudah mati?”

Fiona terdiam. Tenggorokannya tercekat. Ayahnya melanjutkan dengan suara penuh kemarahan. “Berani sekali kamu mengarang cerita seperti itu! Anak durhaka! Ayah dengar dari orang-orang bahwa kamu menikah, tapi kamu bahkan tidak memberitahu Ayah! Apa kamu malu punya Ayah seperti ini?”

Fiona mengepalkan tangannya, berusaha menahan diri agar tidak meledak. Tapi rasa sakit dan kemarahan di hatinya terlalu besar untuk ditahan.

“Sudahlah, Ayah!” teriak Fiona akhirnya. “Yang Ayah pedulikan hanyalah uang! Ayah tidak pernah peduli denganku atau Ka Amar! Ayah meninggalkan kami begitu saja, membuat kami harus berjuang hidup sendirian! Sekarang Ayah datang lagi, hanya untuk meminta uang?”

Pria itu mendengus, jelas tidak terpengaruh oleh kata-kata Fiona. “Kamu bisa bilang apa saja. Tapi jangan lupa, kalau Ayah tidak mendapatkan yang Ayah mau, Ayah bisa pergi ke Leo dan menceritakan semuanya. Ayah akan bilang bahwa Ayah masih hidup, dan kamu berbohong padanya tentang semuanya. Bagaimana kalau dia tahu? Apa dia akan tetap mencintaimu?”

Fiona merasa seperti dihantam pukulan keras di dadanya. Ia tahu ancaman ayahnya bukan main-main. Jika Leo tahu kebenarannya, pernikahan mereka yang sudah rapuh mungkin benar-benar hancur. Selama ini, ia menyembunyikan masa lalunya dari Leo, termasuk fakta bahwa ayahnya masih hidup dan terlibat dalam kehidupan mereka dengan cara yang tidak diinginkan.

“Ayah…” Fiona berbicara dengan suara lelah, nyaris putus asa. “Berapa banyak yang Ayah butuhkan kali ini?”

Pria itu tersenyum puas, lalu menyebutkan jumlah yang cukup besar. Fiona menghela napas dalam-dalam, merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia tidak punya pilihan. Untuk saat ini, ia harus memastikan ayahnya tidak melakukan sesuatu yang lebih buruk.

“Tunggu di sini,” katanya dingin. “Aku akan ambilkan uangnya.”

Namun, saat Fiona membuka pintu dan masuk ke dalam rumah, air mata mulai mengalir lagi di wajahnya. Semua ini terasa begitu berat baginya. Suaminya terobsesi dengan wanita lain, ayahnya kembali dengan tuntutan yang menghancurkan, dan rahasianya yang terpendam di ambang kehancuran.

Saat dia mengambil uang di kamar, tangannya gemetar. Dia tahu bahwa memberikan uang kepada ayahnya hanya akan menjadi solusi sementara. Cepat atau lambat, ayahnya pasti akan kembali. Dan jika itu terjadi, dia mungkin tidak bisa lagi melindungi rahasianya dari Leo.

Namun, saat ini, Fiona tidak punya pilihan. Ia harus melindungi apa yang tersisa dari hidupnya—meskipun hanya untuk sementara.

Bab terkait

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19
  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-20
  • Memori Yang Menghukum   Bab 1

    Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 2

    Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • Memori Yang Menghukum   Bab 3

    Leo pun terlelap mulai memasuki alam bawah sadarnya.Dalam mimpinya, Leo berdiri di sebuah taman yang dipenuhi bunga berwarna-warni. Langit biru cerah membentang di atasnya, dan udara terasa segar serta menenangkan. Di tengah taman itu, ia melihat Sandra berdiri mengenakan gaun putih sederhana yang berkilauan di bawah sinar matahari. Senyum lembut menghiasi wajahnya, namun ada kesedihan tipis yang tersembunyi di balik kehangatannya. "Leo," kata Sandra, suaranya seperti bisikan angin yang hangat. "Aku senang bisa melihatmu di sini." Leo terdiam. Kehadirannya membawa kenangan yang bercampur antara rasa bahagia dan perih. Ia ingin memalingkan wajah, tetapi mata Sandra seolah memaksanya untuk bertahan. "Aku ingin kamu tahu, aku tidak pernah membencimu," Sandra melanjutkan. "Kita mungkin pernah gagal, tapi aku tidak pernah menyesali waktu yang pernah kita lalui. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski bukan denganku." Leo menunduk. Kata-kata itu, meskipun lembut, terasa seperti tamparan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14

Bab terbaru

  • Memori Yang Menghukum   Bab 15

    Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik

  • Memori Yang Menghukum   Bab 14

    Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa

  • Memori Yang Menghukum   Bab 13

    Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m

  • Memori Yang Menghukum   Bab 12

    Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali

  • Memori Yang Menghukum   Bab 11

    Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka

  • Memori Yang Menghukum   Bab 10

    Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr

  • Memori Yang Menghukum   Bab 9

    Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L

  • Memori Yang Menghukum   Bab 8

    Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b

  • Memori Yang Menghukum   Bab 7

    Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status