Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap.
Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. Leo mematikan mesin mobil. Ia menatapnya dalam-dalam, dan untuk pertama kalinya, ada kelembutan dalam sorot matanya, meskipun masih dihiasi kesedihan yang menyesakkan. "Ini tempat kita pertama kali bertemu," jawabnya pelan. Sandra mengerutkan kening. Tempat ini seharusnya terasa akrab jika memang begitu penting, tetapi pikirannya kosong. Tidak ada apa pun di sana kecuali kehampaan yang menyesakkan. "Kita bertemu di sini?" tanyanya, nada suaranya lebih seperti perlawanan daripada penasaran. Leo keluar dari mobil tanpa menjawab, lalu membukakan pintu untuk Sandra. "Ikutlah denganku," katanya, menawarkan tangan. Awalnya Sandra ragu, tetapi akhirnya ia menerima tangan Leo. Kulitnya terasa hangat, kontras dengan udara dingin yang mengelilingi mereka. Keduanya melangkah di jalan setapak berbatu itu, suara langkah mereka berpadu dengan gemericik tetesan hujan dari dedaunan. Di tengah taman, berdiri sebuah pohon besar yang megah. Di bawah pohon itu terdapat sebuah bangku kayu yang terlihat usang. Leo berhenti di sana, menghadap Sandra dengan ekspresi penuh nostalgia. "Di sini semuanya dimulai," katanya pelan. "Aku melihatmu untuk pertama kali di bangku itu. Kamu sedang membaca buku, mengenakan gaun biru muda. Rambutmu dibiarkan terurai, dan aku tidak bisa berhenti memperhatikanmu." Sandra mengalihkan pandangan ke bangku kayu itu. Dalam pikirannya, ia mencoba memvisualisasikan dirinya duduk di sana, tetapi gambarnya tidak pernah utuh. Ia menggeleng pelan. "Aku tidak ingat, Leo. Aku bahkan tidak tahu harus merasakan apa." Leo melangkah mendekat, wajahnya menyiratkan kesungguhan yang menyakitkan. "Kamu percaya cinta pada pandangan pertama, Sandra? Karena aku yakin aku jatuh cinta padamu sejak saat itu." Kata-katanya membuat hati Sandra terasa sesak. Ia ingin percaya, tetapi kepalanya tidak bisa bekerja sama. "Aku tidak tahu," katanya lemah. Leo menarik napas panjang, lalu menunjuk bangku itu. "Di sini juga aku melamarmu. Aku membawa cincin ini," ia mengangkat tangan kirinya, menunjukkan cincin perak yang masih tersemat di jari manisnya. "Dan aku memintamu menjadi pendamping hidupku." Sandra terpaku. Bayangan buram tiba-tiba melintas—seorang pria berlutut di depannya, wajahnya tidak jelas, tetapi ada rasa bahagia yang aneh merasuki dirinya. Ia mengernyit, memegang pelipisnya. "Aku… sepertinya mengingat sesuatu," gumamnya. Mata Leo berbinar penuh harapan. "Apa yang kamu ingat, Sandra? Katakan padaku!" "Tangan seseorang… memasangkan cincin di jari manisku," jawab Sandra pelan, matanya menerawang. "Tapi aku tidak tahu siapa. Wajahnya buram." Leo mendekat dengan langkah penuh keyakinan. "Itu aku, Sandra. Di sini. Saat itu adalah malam terindah dalam hidupku." Sandra menggeleng pelan. "Bagaimana jika itu bukan kamu?" tanyanya, matanya menatap Leo dengan tatapan tajam, mencoba mencari kebenaran. Leo terlihat terpukul, tetapi ia mengendalikan dirinya. "Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Tapi aku yakin, Sandra. Aku yakin kamu merasakan sesuatu saat itu, bahkan jika ingatanmu sekarang menolak." Sandra membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi tiba-tiba rasa sakit menusuk pelipisnya. Ia memekik pelan, tubuhnya melemas, hampir jatuh jika Leo tidak sigap menangkapnya. "Sandra!" teriak Leo panik. "Hei, apa yang terjadi?" "Aku… tidak tahu," jawab Sandra lemah. "Kepalaku sakit sekali." Leo menggendongnya tanpa ragu, membawanya kembali ke mobil. Hujan mulai turun lagi, tetapi ia tidak peduli. Ketika ia menempatkan Sandra di kursi mobil dan menutup pintunya, kilatan gambar lain menyeruak di benak Sandra—lebih jelas kali ini. Pria itu yang sebelumnya buram, kini menampilkan sosok Leo meski sedikit samar, tersenyum penuh cinta saat menyematkan cincin ke jari manisnya. "Leo…" gumam Sandra, sebelum kesadarannya menghilang. Leo menatapnya dengan panik, mesin mobilnya sudah menyala, tetapi matanya tetap fokus pada wanita yang ia cintai. "Sandra, bertahanlah. Aku tidak akan kehilanganmu. Tidak kali ini," katanya, menginjak pedal gas sekuat tenaga, membawa mereka menembus hujan. __________ Sandra membuka matanya perlahan, memandang langit-langit rumah sakit yang putih. Serpihan memori mulai bermunculan, menyeretnya kembali ke masa lalu yang buram. Ia mencoba melawan rasa takut yang muncul bersama bayangan itu, tapi kenangan itu menyerang begitu kuat hingga ia merasa seperti terjebak dalam waktu. Di dalam memori itu, ia melihat dirinya duduk di lantai kamar mandi sebuah apartemen kecil. Tubuhnya gemetar, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Di tangannya, ada ponsel yang terus bergetar—pesan masuk yang hampir semuanya berasal dari Leo. Suara ponsel yang bergetar di lantai dekatnya terus berulang-ulang, tetapi ia tidak beranjak untuk menjawabnya. Layar ponsel berkedip, memperlihatkan pesan-pesan dari Leo. "Sandra, kamu di mana? Kita harus bicara." "Pernikahan kita tinggal beberapa hari lagi. Aku mohon, pulanglah lebih awal malam ini." "Sandra, kamu kenapa? Tolong angkat teleponku!" Tangannya meraih ponsel dengan gemetar, tetapi bukannya menjawab, ia malah membukanya untuk membaca pesan-pesan lama. Salah satu pesan dari seseorang muncul di layar—singkat, tapi menyakitkan. Pesan itu berbunyi: [Kalau kamu masih ragu, jangan paksakan dirimu.] Sandra tertegun. Pesan itu berasal dari seseorang yang mengenalnya tapi tampak asing baginya. Kata-kata itu telah berulang kali mengisi pikirannya dalam beberapa hari terakhir, menambah keraguannya akan pernikahan yang akan segera digelar. Air matanya mengalir lagi. Hatinya terasa sesak, seolah ada beban besar yang menghimpitnya. Ia mencoba menghapus pikiran tentang pesan itu, tetapi kata-kata itu terus menggema di kepalanya. Ia mendongak, memandang cermin di atas wastafel. Wajahnya terlihat asing baginya sendiri—pucat, lelah, dan penuh kebingungan. “Apa yang salah denganku?” gumamnya, suara hampir tak terdengar. “Kenapa aku merasa seperti ini?” Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, sebuah kilatan tajam muncul di kepalanya. Rasa sakit menghantam pelipisnya, memaksa Sandra untuk memeluk kepalanya sendiri. “Sandra!” suara Leo terdengar dari ponsel yang masih berdering. Tapi semua itu seolah menghilang, tergantikan oleh kegelapan yang menyelimuti pikirannya. --- Sandra tersentak dari lamunannya. Tangannya gemetar saat mencoba meraih gelas air di samping ranjang, tetapi tanpa sengaja gelas itu terjatuh dan pecah. Suara kaca yang berderai membuat Leo yang tertidur di kursi dekat tempat tidur, langsung terbangun. Ia segera menoleh dengan wajah cemas, menatap Sandra. “Sandra? Ada apa?” tanya Leo, wajahnya penuh kekhawatiran. Sandra menggelengkan kepala, mencoba menguasai dirinya. “Aku… aku ingat sesuatu.” Leo langsung duduk di kursi di sebelahnya. “Apa yang kamu ingat?” tanyanya hati-hati, suaranya penuh harap. Sandra menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Aku ingat… aku pernah menangis histeris. Beberapa hari sebelum pernikahan kita.” Ekspresi Leo berubah. Rahangnya mengeras, dan tatapannya menjadi lebih tajam. “Kenapa kamu menangis?” Sandra menggeleng, air mata mulai mengalir di pipinya. “Aku tidak tahu. Aku hanya ingat perasaan itu—rasa takut, sesak... seolah-olah ada yang salah. Tapi aku tidak tahu apa.” Leo menatapnya dengan pandangan curiga. Ia berusaha menahan kata-katanya, tetapi akhirnya ia bertanya, “Apa ini ada hubungannya dengan bosmu?” Sandra terperanjat. “Apa maksudmu?” “Ya,” kata Leo, suaranya terdengar getir. “Kamu banyak menghabiskan waktu dengannya. Bahkan di hari-hari terakhir sebelum pernikahan kita, kamu selalu sibuk dengannya. Aku melihat cara dia memperlakukanmu, Sandra. Aku tahu dia peduli lebih dari sekadar rekan kerja.” Sandra mengerutkan alisnya, merasa bingung sekaligus terluka. “Leo, tidak ada apa-apa antara aku dan dia. Aku hanya bekerja. Kalau dia bersikap baik, itu karena dia bosku. Tidak lebih.” “Tapi kamu menangis,” Leo menegaskan, nada suaranya lebih keras. “Kamu menangis seperti itu beberapa hari sebelum kita menikah. Bagaimana aku bisa tidak mengaitkan hal ini dengannya? Dia selalu ada di sekitarmu. Apa kamu yakin tidak ada yang kamu sembunyikan?” Sandra memandangnya dengan mata penuh air mata. “Aku tidak menyembunyikan apa pun, Leo! Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menangis waktu itu. Yang aku tahu, aku merasa tidak sanggup... tapi itu bukan karena dia!” Leo berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruangan itu. Ia menggenggam tangannya, mencoba meredam rasa frustrasinya. “Lalu apa, Sandra? Kenapa kamu merasa seperti itu? Kalau bukan karena dia, lalu karena apa?” “Aku tidak tahu!” seru Sandra, suaranya pecah. Ia memalingkan wajahnya, merasa lelah dengan pertanyaan yang juga tak bisa ia jawab. Leo berhenti di depan jendela, menatap keluar dengan ekspresi penuh kepedihan. “Sandra, aku mencintaimu. Tapi aku merasa seperti orang bodoh sekarang. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kita, dan aku tidak tahu apakah aku pernah benar-benar mengerti dirimu.” Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Sandra. Ia ingin menjelaskan, tetapi bahkan dirinya sendiri tidak memiliki jawaban. “Leo…” bisiknya, tetapi pria itu sudah memalingkan wajah, berjalan keluar dari ruangan tanpa mengatakan apa pun lagi. Sandra duduk terpaku di tempatnya, air matanya terus mengalir.Ia merasa semakin jauh dari jawaban yang ia cari. Sandra duduk diam di ranjang rumah sakit, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Leo pergi. Kata-katanya tadi terus terngiang-ngiang di kepala Sandra: 'Aku tidak tahu apakah aku pernah benar-benar mengerti dirimu.' Sandra meremas selimut dengan tangan gemetar. Ia tahu Leo sedang terluka, tapi ia juga merasa tersesat di dalam pikirannya sendiri. Memori yang kembali begitu samar, seolah-olah hanya serpihan kecil dari teka-teki besar yang lebih mengganggu. "Kalau ingatan ini saja sudah membuat Leo seperti itu,bagaimana kalau semuanya kembali? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang aku sembunyikan dari diriku sendiri?" __________ Leo duduk diam di dalam mobilnya, memandang lurus ke arah jalanan yang gelap. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangan samar di kaca depan, tapi pikirannya tidak ada di sana. Hatinya terasa seperti dihimpit beban yang semakin berat setiap kali ia mengingat apa yang baru saja Sandra katakan. 'Aku menangis histeris sebelum pernikahan kita, tapi aku tidak tahu kenapa...' Kalimat itu terus terulang di benaknya. Ia mengepalkan setir dengan erat, napasnya memburu, seolah berusaha menahan badai yang mengamuk di dalam dirinya. "Kenapa? Kenapa dia menangis? Apa dia tidak bahagia menikah denganku? Atau..." pikirannya melompat ke arah yang lebih menyakitkan. "Apa dia punya pria lain waktu itu?" Leo menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. Namun, bayangan Sandra menangis di kamar mandi, seperti yang ia ceritakan, terus menghantui pikirannya. "Aku mencintainya lebih dari apa pun. Aku memberikan semuanya untuk dia. Jadi kenapa? Apa aku tidak cukup?" Merasa frustrasi, Leo memukul setir dengan tangan kanannya, menciptakan bunyi keras yang menggema di dalam mobil. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba mengendalikan diri. Tapi rasa sakit itu tidak pergi. Di hatinya, ia ingin percaya pada Sandra. Tapi bayangan yang muncul di pikirannya mulai merusak keyakinannya. Ia teringat bagaimana Sandra pernah bekerja lembur di kantor, pulang larut malam, dan selalu tampak gelisah setiap kali ia bertanya soal pekerjaan. "Apa dia ada hubungan dengan bosnya?" pikir Leo. Pertanyaan itu membuat perutnya terasa mual. Ia membenci dirinya sendiri karena membiarkan pikiran itu muncul, tapi ia juga tidak bisa mengabaikannya. Leo meraih ponselnya, membuka galeri foto. Ia berhenti pada foto mereka berdua, diambil beberapa hari sebelum pernikahan. Di foto itu, Sandra tersenyum—senyum yang tampak bahagia, tapi sekarang Leo merasa ragu. Apakah itu senyum kebahagiaan, atau senyum yang menutupi sesuatu? "Apa yang aku lewatkan? Apa aku terlalu buta oleh cinta sampai tidak melihat tanda-tandanya?" Hati Leo seperti diiris. Ia mencintai Sandra dengan seluruh jiwanya, tapi rasa sakit dan keraguan ini mulai menggerogotinya. Ia memutuskan untuk kembali ke apartemen. Tapi bukannya merasa tenang, pikiran-pikiran itu terus menghantuinya. Di ruang tamu, ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit tanpa ekspresi. "Kenapa aku merasa seperti ini? Sandra bilang dia tidak ingat. Tapi bagaimana kalau sebenarnya dia ingat dan tidak mau mengaku? Bagaimana kalau..." Leo menutup matanya, menarik napas panjang. Ia tahu ia harus berbicara lagi dengan Sandra, tapi untuk sekarang, ia merasa terlalu lelah—secara fisik dan emosional. Ia tidak ingin melontarkan tuduhan yang hanya akan memperburuk keadaan.Leo merasa seperti pria tenggelam, berusaha keras mencapai permukaan, tapi hanya terseret lebih dalam ke dalam kegelapan.Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Sandra terbangun di rumah sakit dengan perasaan kosong. Matanya menyapu ruangan yang asing—dinding putih, bau antiseptik, dan suara detak jam yang terasa mengganggu. "Siapa kalian?" Suaranya terdengar ragu, hampir tak percaya pada apa yang diucapkannya. Seorang wanita muda yang duduk di dekatnya, tampak terkejut. "Masa kamu tidak mengenali kami?" Sandra mencoba mengingat, menggapai kenangan yang mungkin masih tersisa, tapi semuanya terasa kabur, seperti bayangan yang hilang dalam kabut. Tidak ada yang terasa familiar. Tiba-tiba, seorang pria berlari mendekat. Dia adalah Leo, kekasihnya. Tanpa ragu, Leo memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskan. "Akhirnya kamu selamat," bisiknya dengan suara parau, penuh kelegaan, tapi juga ada ketakutan yang samar di sana. "Aku sangat takut... Tolong, jangan pergi lagi dariku," Leo melanjutkan, suaranya hampir putus-putus. Sandra diam, tubuhnya menegang dalam dekapan itu. Luka-luka di tubuhnya masih segar, rasa sakitnya menjalar ke
Leo terduduk di kursi ruang kerjanya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, namun ruangan itu tetap terasa gelap dan menyesakkan. Dinding-dinding seakan memantulkan bayangan Sandra—sosok yang pernah ia cintai, tapi juga yang kini menjadi sumber kehampaan di hidupnya. "Kenapa aku bisa sebodoh itu?" gumamnya pelan. Suaranya serak, seperti berjuang menahan sesuatu yang tak terungkap. Dulu, ia begitu yakin bahwa Fiona adalah pilihan terbaik. Sandra adalah perempuan sederhana, terlalu lembut untuk dunianya yang keras. Ia menganggap cinta Sandra tak cukup untuk mendukung ambisinya. Tetapi kini, setelah waktu berjalan, Fiona—istri yang ia pilih—terasa seperti bayangan kosong. Namun Sandra... Sandra adalah api kecil yang terus menyala di hatinya. Tangan Leo meraih ponsel di meja. Jarinya gemetar saat membuka kontak. Ia menelusuri nama demi nama hingga sampai pada satu nama yang membuat napasnya tertahan: Sandra. Tapi ia tahu, nomor itu tak lagi aktif sejak kecelakaan. Alih-ali
Leo masih terjaga,pikirannya terus melayang pada Sandra. Namun, saat ia menghirup napas panjang, pikirannya kembali membawa dirinya ke sebuah kehidupan yang tak pernah ia jalani. "Bagaimana kalau waktu itu aku menikah dengan Sandra?" pikirnya, membiarkan imajinasinya mengambil alih. Ia membayangkan Sandra dengan gaun pengantin yang cantik, senyum lembut menghiasi wajahnya, saat mereka saling mengucapkan janji di hadapan Tuhan. Kehidupan mereka akan dimulai dengan penuh cinta, tanpa keraguan. Mereka akan tinggal di rumah yang hangat, tempat di mana tawa selalu mengisi setiap sudut ruangan. Dalam bayangannya, Leo bisa melihat Sandra menyambutnya setiap pulang kerja dengan senyum khasnya. Ia membayangkan mereka duduk bersama di ruang tamu, berbagi cerita hari itu, atau menikmati teh di sore hari di taman kecil mereka. Tak hanya itu, Leo juga membayangkan dua atau tiga anak kecil berlarian di sekitar mereka, memanggilnya "Ayah" dengan penuh semangat. Anak-anak yang mungkin memilik
Melihat Sandra yang masih tampak kaku dan menunduk, semangat Leo untuk menari seakan runtuh. Ia menghela napas panjang,tanpa berkata banyak, ia langsung menggenggam tangan Sandra. "Ayo keluar!" katanya singkat, suaranya terdengar datar namun penuh makna. Sandra terkejut, namun ia tidak berusaha menolak. "Leo, ada apa?" tanyanya, sedikit bingung. Leo hanya menjawab singkat, "Kita butuh udara segar." Mereka berjalan keluar dari aula pesta menuju taman yang diterangi lampu malam yang temaram. Suasana di luar begitu tenang, hanya ditemani suara angin yang berhembus lembut. Leo memilih sebuah kursi di dekat air mancur kecil dan meminta Sandra untuk duduk bersamanya. Sementara Sandra masih mencoba membaca situasi, Leo membuka pembicaraan dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan. "Aku rindu..." katanya tiba-tiba. Sandra menoleh dengan bingung. "Rindu apa?" "Masa-masa dulu," jawab Leo, menatap ke arah langit malam. "Saat kamu selalu menyapaku dengan ramah, bersikap lembut, tanpa
Keesokan harinya, Sandra duduk di sebuah kafe yang tenang bersama sahabatnya, Siska. Aroma kopi hangat dan suasana yang nyaman membuat percakapan mereka mengalir santai. Siska menyeruput cappuccino-nya sambil sesekali melirik Sandra yang terlihat lebih tenang daripada biasanya. "Jadi," Siska mulai, suaranya sedikit menggoda, "Bagaimana rasanya semalam,menghabiskan makan malam bersama Bagas di restoran? Kalian kelihatan cocok, lho." Sandra mendongak dari cangkir kopinya, menatap Siska dengan alis terangkat. "Siska, kamu tahu kan, aku hanya ikut karena itu urusan kerja. Lagipula,Bagas itu atasan.Tidak lebih dari itu." Siska terkekeh. "Iya, iya. Tapi aku lihat caranya dia memandangmu... beda, Sandra. Dia tidak hanya bos biasa." Sandra menghela napas, menaruh cangkirnya di atas meja. "Aku akui, dia memang atasan yang sangat baik. Dia perhatian,tidak pernah diluar batas, dan selalu menghargaiku. Tapi itu saja. Aku tidak mau berpikiran lebih jauh." Siska tersenyum puas, merasa senang m
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Leo melangkah keluar dari gedung kantor dengan kepala penuh pikiran. Ia berencana pulang lebih awal untuk menenangkan diri. Namun, suara familiar memanggil namanya dari kejauhan. "Leo!" Leo berbalik dan mendapati Fiona berlari ke arahnya. Sebelum sempat bereaksi, Fiona memeluknya erat, membuat Leo terkejut. "Fiona?" Suaranya terdengar bingung. Ia melepas pelukan Fiona dengan hati-hati dan menatapnya. "Ada apa? Bukankah aku sudah bilang untuk menunggu di rumah? Kenapa kamu datang kemari?" Fiona menatap Leo dengan wajah memelas, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa? Kamu tidak senang melihatku? Atau... karena Sandra?" Leo terdiam sejenak, tak menyangka Fiona akan menyebut nama itu. Ia mencoba menjawab dengan tenang, "Bukan begitu. Aku hanya—" "Sudahlah, Leo," potong Fiona. Suaranya mulai bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. "Kamu tidak perlu berbohong. Aku tahu semuanya. Kamu ingin meninggalkanku, kan? Karena Sandra sudah kembali
Fiona menyerahkan uang itu dengan kasar kepada ayahnya. Tanpa mengucapkan terima kasih, pria itu segera pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi. Begitu pintu tertutup, Fiona terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar. Air matanya mengalir deras saat rasa frustrasi dan kemarahan mendidih di dalam dirinya. Dengan emosi yang tak terkendali, Fiona bangkit dan mulai melemparkan barang-barang di ruang tamu. Vas bunga pecah berkeping-keping, dan buku-buku berserakan di lantai. “Kenapa hidupku selalu begini?” teriaknya, penuh rasa putus asa. “Yang aku inginkan hanya kehidupan mewah dan cinta! Kenapa semuanya selalu hancur?” Bayangan Leo yang terus-menerus menyebut nama Sandra menghantui pikirannya. Semua pengorbanan yang ia lakukan terasa sia-sia. Perasaan cemburu, marah, dan tidak berdaya berkumpul menjadi satu, menghancurkan semua logika dan kendali dirinya. Ia mengangkat ponselnya, lalu menekan nomor Amar. “Ka Amar, datang ke rumah sekarang,” ucap Fiona, suaranya serak dan penuh teka
Malam semakin larut, namun pikiran Leo tidak pernah tenang.Leo duduk di sofa dengan segelas whisky di tangannya, ia menatap kosong ke arah meja di depannya. Botol minuman hampir habis, tapi rasa gelisah yang menghantui tidak juga mereda. "Kenapa semuanya jadi seperti ini?" pikir Leo, meremas rambutnya sendiri. Keputusan untuk menikahi Fiona kini terasa seperti belenggu yang semakin mengetat. Ia menikahi Fiona di saat hidupnya hancur berantakan setelah Sandra menghilang tanpa alasan yang jelas. Fiona hadir di saat ia rapuh, menawarkan kenyamanan dan harapan. Ia berpikir saat itu, mungkin cinta pada Sandra akan memudar seiring waktu. Tapi, kenyataan berkata lain. Sandra kembali, meski dengan ingatan yang hilang. Tatapan mata wanita itu, suara lembutnya—semuanya membawa Leo kembali ke masa lalu. Luka lama yang ia kira telah sembuh, ternyata hanya terkubur di balik kepura-puraannya. Namun, kini ia berada di tengah badai yang tidak tahu bagaimana harus ia hadapi. "Bagaimana jika Sandr
Hujan mulai mereda ketika Leo membawa mobilnya keluar dari jalan utama. Pepohonan lebat di sepanjang jalan kecil itu menciptakan kanopi alami yang membuat udara terasa lembap dan dingin. Sandra duduk di kursi, kedua tangannya meremas tas kecil di pangkuannya, seolah mencari pegangan dari rasa cemas yang perlahan merayap. Setiap tikungan terasa seperti sebuah misteri. Sandra memandang Leo, mencoba membaca ekspresinya, tetapi pria itu hanya menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras, namun matanya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Ketika mobil berhenti di depan sebuah taman yang indah, Sandra mengernyit. Taman itu terlihat seperti dunia yang lain—jalan setapak berbatu dihiasi bunga-bunga yang masih basah oleh hujan. Daun-daun besar meneteskan sisa air, menciptakan simfoni pelan. Namun, ada sesuatu tentang tempat ini yang membuat Sandra merasa aneh. Bukan ketakutan, tetapi rasa tak nyaman, seperti menyentuh kenangan yang terkubur. "Apa ini?" tanya Sandra, nyaris berbisik. L
Sandra duduk bersama Siska di sebuah kafe yang tenang, menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh. Setelah menarik napas panjang, ia menceritakan semua yang terjadi—konfrontasinya dengan Leo, kata-kata menyakitkan yang dilontarkan, hingga rasa bingung yang terus menghantuinya. Siska mendengarkan dengan seksama, tetapi wajahnya memerah karena amarah. "Sandra! Kamu harus menjauh darinya! Dia jelas tidak menghargaimu! Wanita murahan? Berani sekali dia berkata seperti itu!" Sandra menunduk, tangannya gemetar di atas meja. "Aku tidak tahu Siska,aku merasa ada yang salah. Tapi, aku tidak tahu harus bagaimana..." Siska memegang tangan Sandra dengan erat. "Dengar, Sandra. Kalau dia benar-benar peduli padamu, dia tidak akan bicara seperti itu. Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu! Jauhkan dirimu dari dia sebelum dia membuatmu semakin hancur." Sandra tidak menjawab, hanya terdiam dengan wajah yang penuh kebingungan. Ia tahu Siska hanya ingin melindunginya, tetapi hatinya tidak b
Sandra pun berbalik hendak meninggalkan Leo,namun saat Sandra mencoba pergi, Leo dengan cepat menarik lengannya, menghentikan langkahnya. "Sandra!" katanya dengan geram.Sandra berbalik, terkejut dengan tindakan Leo. Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, Leo menariknya lebih dekat dan mencium bibirnya dengan penuh emosi. Ciuman itu tidak lembut; itu adalah luapan amarah, rasa sakit, dan cemburu yang ia tahan selama ini.Sandra terkejut dan marah,dia langsung memberontak. Dengan tenaga yang ia miliki, ia mendorong Leo untuk menjauh, lalu menampar wajahnya cukup keras."Apa yang kamu lakukan, Leo?!" teriak Sandra, matanya penuh dengan kemarahan dan air mata.Leo, bukannya merasa bersalah, malah semakin terbakar oleh emosinya. "Aku tahu kenapa kamu seperti ini, Sandra? Karena kamu sudah punya pria lain yang lebih kamu anggap berarti! Kamu bahkan merasa nyaman dengannya, sedangkan aku kamu abaikan!"Sandra menggeleng, air mata membanjiri wajahnya. "Bagaimana kamu bisa mengatakan itu p